Title : A Love from Snow
Cast : VIXX Ken and Leo
Pairing : KEO
Genre : Romance
Rate : T
Chapter : 1/3
A/N: Hai! maaf ya, harusnya author nyelesain ff horor yang itu dulu.. tapi gatau gereget pengen update ff ini juga. Padahal belum complete -_- Tadinya malah author berniat bikin ff ini oneshot. tapi seiring berjalannya waktu, ternyata jadinya panjang banget. so, author bagi tiga... dan chapter 3 belum ada progress sama sekali. dan mungkin update ff ini bakal lama. karena sebentar lagi masuk kuliah. heheh...
Author harap kalian suka ya~ Enjoy reading ^^
oO| A Love from Snow |Oo
Libur musim dingin tiba. Artinya Lee Jaehwan bisa sedikit lega. Karena Ia akan terhindar dari bullying di sekolah. Meski hanya akan berakhir beberapa hari lagi. Tapi keadaan tak berbeda. Jaehwan tetap tak punya siapa pun yang bisa menemaninya menghabiskan natal dan tahun baru.
Jaehwan tak punya teman. Tinggal pun sendiri. Kakak sulungnya sudah menikah dan tinggal bersama keluarganya. Kakak keduanya melanjutkan pendidikan di luar negeri. Sedangkan orang tua mereka sudah lama tiada. Ibunya meninggal ketika Jaehwan duduk di bangku SMP karena penyakit. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan setahun setelahnya. Sejak saat itu, hidup mereka ditanggung oleh kakak sulung Jaehwan. Meski sudah tak serumah memang, tapi biaya sekolah Jaehwan dan kakak keduanya ditanggung olehnya. Dan Jaehwan sudah berjanji pada dirinya sendiri, suatu saat nanti Ia akan membalas budi pada kakaknya itu.
Jaehwan menghela nafas, membuat udara panas yang keluar dari mulutnya itu menjadi seperti sebuah kepulan asap. Ia terkekeh sebentar, membuat orang-orang di taman tempatnya berada kini menatap aneh. Memang aneh pasti melihat seorang siswa SMU tertawa sendirian di sebuah bangku taman. Tapi Ia sudah terbiasa dengan tatapan macam itu di sekolah.
Setelah puas tertawa sendiri, Jaehwan melihat sekeliling. Suasana tak begitu ramai oleh orang, tapi banyak hiasan lampu warna-warni di sekeliling taman. Malam ini malam natal, jadi wajar.
Mengingat itu, pria berhidung mancung itu kembali menghela nafas, tapi kali ini tak tertawa. Karena kali ini Jaehwan sadar, bahwa besok akan jadi ketiga kalinya Ia menghabiskan hari natal sendirian. Tapi tak ada yang bisa Ia lakukan. Tidak mungkin Jaehwan meminta kakaknya yang berada di luar negeri untuk kembali ke Korea malam ini juga hanya untuk menemaninya selama natal besok. Sedangkan kakak sulungnya sudah memiliki kebiasaan rutin untuk berlibur bersama keluarganya setiap liburan musim dingin. Jaehwan tidak ingin mengganggu kebahagiaan mereka.
Oh, Tuhan... Apa yang bisa kulakukan untuk mengatasi kesepianku ini?
Tanpa sadar, air matanya keluar begitu saja dan jatuh di atas salju di dekat sepatunya. Jaehwan memperhatikan tetes air matanya yang perlahan menyatu dengan butiran-butiran kristal putih di tanah. Beberapa detik kemudian, sebuah ide muncul di otaknya.
Jaehwan beranjak dari bangku tempatnya duduk, kemudian pergi ke sisi taman yang sepi dimana tak ada yang bisa melihatnya. Ia tak ingin tatapan orang-orang itu mengganggu konsentrasinya.
oO| A Love from Snow |Oo
"Dan... Sentuhan terakhir..."
Diletakkannya beanie yang sejak tadi ia kenakan di kepala benda yang ia buat itu. Seperti saat ia mengalungkan syalnya dan memakaikan sarung tangan miliknya. Semua ia lakukan dengan hati-hati.
"Selesai..."
Gumamnya sambil menatap manusia salju pertama yang ia buat setelah bertahun-tahun. Terakhir Ia membuatnya bersama kakaknya tiga tahun yang lalu sebelum kakaknya itu pergi ke luar negeri.
Jaehwan tersenyum.
"Mulai sekarang, kita berteman! Kita akan habiskan natal bersama besok. Oke?" serunya, berharap ada jawaban.
Tapi tentu saja yang terdengar hanya suara hembusan angin. Tubuhnya menggigil, kemudian Ia sadari bahwa hari sudah malam dan gelap. Keadaan di taman juga sudah sepi tanpa orang satu pun kecuali dirinya. Ia kembali menatap manusia buatannya itu.
"Sudah malam. Besok aku akan kembali lagi ke sini. Kita akan habiskan natal yang luar biasa bersama!"
Jaehwan kembali menatap wajah di depannya. Setelah diperhatikan lagi, senyum yang Ia buat di wajah manusia saljunya itu tidak terlalu lebar. Malah membuatnya merasa kesepian.
Angin kembali berhembus, membuat Jaehwan yang kini hanya berbalut sweater-nya kembali menggigil.
"Uh... Sebaiknya aku cepat pulang."
Ia berlari keluar dari taman itu. Tapi belum jauh, ada sesuatu yang menghentikan langkah kakinya dan memaksanya untuk menoleh kembali ke arah taman. Sekilas ia lihat ada seberkas cahaya mendekati manusia saljunya, namun kemudian cahaya itu seperti bersembunyi di balik bola-bola salju tersebut, kemudian hilang.
Pemandangan tadi membuat Jaehwan merinding. Ada beberapa pikiran menyeramkan yang masuk ke otaknya, Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya mencoba membuang pikiran tersebut.
Hanya perasaan, Jaehwan... benaknya, kemudian melanjutkan perjalanannya.
oO| A Love from Snow |Oo
Sesampainya Jaehwan di apartemennya yang tak jauh dari taman tadi, segera ia mengganti pakainnya yang basah karena salju, kemudian membuat secangkir Hot chocolatte.
Setelah Hot chocolatte-nya selesai, Jaehwan membawanya ke ruang tengah. Sambil menyeruput minumannya, Jaehwan membuka ponselnya yang Ia tinggal di rumah sejak tadi siang Ia pergi ke taman. Rupanya ada dua pesan.
Jaehwan tersenyum membaca nama-nama kedua kakaknya tertera di layar ponselnya.
[From: Jaegwanie hyung]
[Hai, Hwanie! Bagaimana kabarmu? Pasti baik, kan? Tentu saja. Siapa yang rela menghabiskan natal dengan keadaan buruk? Hoho... ^o^ Ah, ngomong-ngomong maaf, lagi-lagi aku tidak bisa kembali ke Korea untuk natal dan tahun baru. Seperti biasa, saat liburan seperti ini, justru banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan. Dan lagi, gajiku untuk part-time-job dipotong karena beberapa alasan (tidak usah tanya macam-macam! Dan jangan beritahu Jaeho hyung -_-). Jadi aku tidak punya ongkos naik pesawat. Mianhae~ Oh, tapi aku sudah kirim kado natal untukmu dan hyung. Tapi baru kukirim tadi siang. Jadi mungkin baru akan sampai tiga atau empat hari lagi. Hehe... Nah, selamat merayakan malam natal, my beloved maknae! Dan aku janji akan pulang selama libur musim panas! Merry X-mas! Hohoho~ (note: Oh, dan kau tidak perlu membalas kadoku. Aku yakin kau belum punya cukup uang, kan? Kkk~)]
Jaehwan tertawa membaca pesan dari kakaknya itu. Kakaknya yang satu itu memang suka sekali bicara. Sebelum membalas, Jaehwan memilih untuk membaca pesan yang satu lagi.
[From: Jaeho hyungie]
[Hai, Jae. Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja. Maaf, aku lagi-lagi tidak bisa menemanimu. Anak-anakku memaksa untuk liburan ke Jeju kali ini. Tapi sebenarnya aku khawatir padamu. Jaegwan juga tidak bisa kembali lagi tahun ini, kan? Kau sendiri menolak ketika kuajak ke Jeju. Aku jadi kepikiran ~_~ Tapi kau akan menghabiskan natal dengan teman-temanmu, kan? Aku benar-benar minta maaf. Kau nikmati natalmu, ya? Tapi ingat, bukan berarti kau boleh mengonsumsi yang macam-macam! Awas saja kalau kau lakukan. Aku akan tarik semua biaya sekolahmu -_- Oke, selamat berpesta dengan teman-temanmu, maknae-ya! Merry christmas! ^^]
Jaehwan menghela nafas dengan senyum pahit di wajahnya. Kakaknya satu ini juga sangat bawel kalau sudah menyangkut masalah apa-apa yang boleh dan tidak boleh Jaehwan lakukan. Tapi Jaehwan bersyukur, itu artinya kakak-kakaknya peduli padanya. Meski sebenarnya mereka tak tahu bahwa maknae mereka itu adalah salah satu korban bully terparah di sekolahnya. Yang mereka tahu hanyalah Jaehwan adalah maknae mereka yang ceria, manis, dan hiperaktif. Itu semua memang benar. Setidaknya sampai tiga tahun yang lalu, semenjak Ia masuk SMU dan tinggal sendirian.
Jaehwan hampir menangis ketika ia sadari kebodohannya sendiri yang tidak pernah menceritakan kesedihan dan kesendiriannya kepada kedua kakaknya. Tapi Jaehwan sungguh hanya tidak ingin membuat keduanya khawatir.
Ia pun mulai menggerakkan jarinya untuk membalas pesan dari kakaknya, kemudian beranjak tidur.
[To: Jaegwanie hyung]
[Hai, hyung! Ya, aku baik-baik saja. Siapa juga yang bersedih? Kau tahu sendiri, Lee Jaehwan-mu ini maknae yang ceria. Tidak ada yang akan membuatku bersedih. Hoho... Oh, semangat dalam menyelesaikan tugasmu, hyung! Pasti tidak enak, ya, harus mengerjakan tugas saat liburan. Poorhyungie Gaji part-time-mu dipotong? Aish... Aku yakin itu pasti karena kau sering menggoda pelanggan wanita. Ya, kan? Kkk... Dan aku memang tidak berniat untuk membelikanmu kado, hyung. Kau jangan berharap! *mehrong* Haha! Ne, aku tunggu kau saat liburan musim panas. Merrychristmas, hyungie]
[To: Jaeho hyungie]
[Hai, hyung! Tentu aku baik-baik saja. Asyiknya jalan-jalan ke Jeju... Sejujurnya memang aku ingin ikut, hyung. Tapi sudah ada janji dengan teman-temanku Tapi kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, hyung. Aku bukan anak kecil lagi, tahu -3- Iya, iya... Aku tidak akan mengonsumsi atau melakukan hal yang macam-macam. Aku juga bisa pilih teman kok,hyung ;) Oke, kau juga nikmati natal dengan keluargamu, hyung! Oh, dan salam untuk noona dan anak-anakmu! Merry X-mas, hyungie! ^^]
oO| A Love from Snow |Oo
Ting Tong Ting Tong~
Jaehwan membuka mata ketika ia dengar bel apartemennya berbunyi. Perlahan Ia bangkit dari tidurnya. Mata kantuknya melihat sekeliling mencari jam.
5.30. Siapa yang membangunkannya jam segini?
Ting Tong Ting Tong~
Jaehwan dengan lemas berjalan menuju pintu depan.
"Ne?"
Jaehwan membuka mata kantuknya lebih lebar, dan memfokuskan pandangannya. Di depannya berdiri seorang pria tinggi dan tampan.
"Ng? Nuguseyo?"
"Entahlah. Tapi aku manusia salju yang tadi malam kau ciptakan."
"Oh..." Jaehwan menutup pintu kembali, lalu menguap. Ia hendak kembali ke kasur dan kembali mimpi bermain dengan manusia salju buatannya tadi malam.
Eh, tunggu. "NE?!"
Dengan cepat, Jaehwan kembali membuka pintu. Diperhatikannya pria yang masih berdiri di sana yang menatapnya datar.
Pria itu berpakaian serba putih: sweater, coat dan celana putih. Rambutnya pirang keemasan dan Ia mengenakan seluruh atribut yang Jaehwan tinggalkan pada manusia saljunya di taman tadi malam: Beanie merah, syal biru, serta sarung tangan merahnya.
Jaehwan terbelalak.
"Kau sungguh..."
"Ya. Aku manusia salju yang kemarin kau buat untuk menemanimu hari ini..." ujar pria itu, masih dengan wajah datarnya.
Kemudian hening. Keduanya hanya saling pandang. Jaehwan dengan wajah terkejutnya, dan lelaki yang mangaku sebagai manusia salju itu masih dengan ekspresi datarnya.
Tiba-tiba Jaehwan berlari melewati pria iru, keluar begitu saja menuju suatu tempat.
"Ya! Neo eodiga?!" Lelaki itu pun mengejarnya.
oO| A Love from Snow |Oo
Rupanya Jaehwan berlari menuju taman tempat manusia saljunya berada. Dan ya, hasil karyanya itu masih di sana. Polos tanpa sehelai benang pun yang membalutinya.
Jaehwan mengatur nafasnya yang tersengal akibat berlari tadi, sembari terus menatap bola-bola salju di depannya. Saat itu, Lelaki bersurai pirang itu berdiri di sampingnya. Ia melakukan apa yang Jaehwan lakukan. Mengatur nafasnya.
Jaehwan kini menatap lelaki di sampingnya. "Kau bohong, kan? Manusia saljuku ada di sini!"
"Ya! Kau belum dengar penjelasanku." Lelaki itu masih mengatur nafasnya. Kemudian setelah nafasnya kembali normal, Ia memulai, "Aku memang manusia salju yang kau buat tadi malam. Tapi bukan berarti tubuh manusia salju ini bergerak. Aku ini hanya jiwa yang diberikan ke dalam tubuh manusia salju ini, kemudian dibebaskan keluar untuk menjadi temanmu. Memang kau mau orang-orang melihatmu berteman dengan bola-bola salju yang bisa hidup? Mereka malah akan ketakutan dan menganggapmu menyeramkan."
"Ke- kenapa kau dihidupkan?" gumam Jaehwan.
Lelaki itu menatap Jaehwan, kemudian tersenyum tipis sekali. Kau tak akan tahu apa dia tersenyum atau tidak.
"Kau tahu tidak? Semua benda mati, ketika baru selesai diciptakan oleh manusia, sebenarnya akan langsung diberikan jiwa. Dan aku ini jiwa yang diberikan tepat setelah kau selesai menciptakan tubuhku. Kemudian aku tahu keinginan hatimu. Kau ingin aku hidup dan menjadi temanmu sungguhan. Maka aku meminta kepada Tuhan untuk mengizinkanku keluar dari tubuh itu. Dan Tuhan mengabulkan."
Jaehwan dan lelaki itu kini saling tatap. Jaehwan tampak berpikir sejenak.
"Jadi... Kau temanku?"
"Yah, kau boleh anggap begitu kalau kau mau." Ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangannya, mengisyaratkan Jaehwan untuk menggenggamnya.
Jaehwan memperhatikan tangannya, kemudian dengan ragu, Ia genggam tangan besar itu. Jaehwan menatap wajah sosok di depannya dengan senyum lebar.
Kemudian, Jaehwan mulai menggigil. Tentu saja, hanya dengan piyamanya, ia tiba-tiba berlari keluar rumah. Padahal udara dingin di luar sedang mencapai puncaknya. Pria itu dapat merasakannya dari tangan Jaehwan yang sangat dingin.
Tanpa kata, Ia melepas syal yang melingkari lehernya, dan mengalungkannya pada Jaehwan.
"Ng... Apa kau tidak apa-apa? Udaranya sedang dingin." Tanya Jaehwan ketika pria itu sibuk mengalungkan syal itu di lehernya.
"Jangan pikirkan aku..." Ucapnya tenang. Kini Ia melepas coat putihnya, dan memakaikannya di bahu Jaehwan. "Aku ini manusia salju. Terbuat dari milyaran butiran es. Dingin adalah kekuatanku."
Jaehwan hanya menunduk malu.
oO| A Love from Snow |Oo
"Oh iya!" Sontak Jaehwan tiba-tiba ketika keduanya tengah berjalan kembali ke apartemen Jaehwan. Di tangan masing-masing ada satu cup kopi yang mereka beli di mesin penjual yang ada di taman. Sosok di samping Jaehwan itu menoleh. "Kau benar-benar tak punya nama? Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Hm... Kau boleh berikan aku sebuah nama kalau kau mau."
"Benarkah?" Seru Jaehwan. Si manusia salju itu mengangguk. "Hm... Bagaimana dengan Mr. Snowman?" sosok tinggi di samping Jaehwan itu tak menjawab, hanya tertawa mendengar pemilihan nama Jaehwan. "Oh, bukan. Nunsaram-ssi?!"
Tawa sosok itu makin menggelegar.
"Ya! Kenapa tertawa begitu? Apa yang lucu?!"
"Kau tahu? Dua nama yang kau sebutkan tadi itu artinya sama. Haha!"
"Eyy, aku tahu itu! Aku hanya tidak tahu nama yang cocok untukmu..." Ucap Jaehwan. Bibirnya mengerucut dan wajahnya memerah.
Melihat itu, si manusia salju itu berhenti tertawa dan hendak ikut memikirkan nama yang cocok untuk dirinya. Tapi tiba-tiba, angin kencang berhembus dan beanie di kepalanya terlepas.
"Ah, beanie-ku."
Keduanya memperhatikan benda itu jatuh tak jauh dari kaki Jaehwan.
"Enak saja. Beanie ini milikku." Ucap Jaehwan sambil menunduk mengambil beda itu dari tanah. Sedang sosok tinggi di sampingnya terkekeh.
Jaehwan kembali berdiri tegak. Namun tak segera memberikan beanie itu pada sosok di sampingnya. Ia memperhatikan gambar pada benda itu.
"Hei. Kau tidak mau meminjamkannya lagi padaku?"
Gambar singa.
"Ah, aku tahu!"
"Mwo?"
"Leo! Mulai sekarang, namamu Leo!" Ucap Jaehwan sambil memeluk tubuh besar di sampingnya itu.
Sosok yang kini diputuskan bernama Leo itu terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya agak terkejut. Tapi perlahan, tangannya mulai membalas pelukan Jaehwan.
"Uhm... Y- ya... Nama yang... Bagus..."
oO| A Love from Snow |Oo
"Aish, Jaehwan... Pasang yang benar!"
Leo menggeram kesal melihat Jaehwan belum juga memasang lampu-lampu hias di sisi lain pohon natal yang tengah mereka hias.
Jaehwan memutuskan untuk menghias pohon natal berukuran sedang yang baru mereka beli tadi pagi sebagai kegiatan pertama yag mereka lakukan bersama. Namun sudah lama tidak melakukannya, membuat Jaehwan sedikit linglung. Sejak awal mulai bekerja, Jaehwan hanya sibuk mengurusi kabel lampu yang terbelit. Bahkan kini tangannya sendiri yang terbelit di antara kabel-kebel tersebut.
"Ya! Aku sudah lama tidak melakukan ini! Wajar saja kalau aku sedikit payah, kan?"
"Ck. Bukan sedikit. Kau benar-benar payah." Gumam Leo.
"Mwo?!" Jaehwan mendelik ke arah sosok di sisi lain pohon natal.
Leo hanya memutar bola matanya. Kemudian ia berdiri dan berjalan ke tempat Jaehwan duduk. Ia berlutut di belakang Jaehwan dan membantu merapikan kabel yang membelit tangannya. Jaehwan tersentak dan diam. Pasalnya posisi Leo saat ini seolah sedang memeluknya dari belakang. Jaehwan tahu wajahnya kini memerah.
"Y- ya! Apa yang kau lakukan?"
"Membantumu. Kalau tidak, kita tidak akan selesai sebelum waktu makan siang." Ucap Leo tenang, masih sibuk dengan apa yang ia lakukan.
"Ke- kenapa harus dari belakang?"
Leo terhenti sejenak. Ia akhirnya menyadari posisi mereka. Tapi ia melanjutkan kegiatannya.
"Kau duduk terlalu dekat dengan pohon. Aku tidak bisa melakukannya dari depan."
"Oh..." Jaehwan hanya mengangguk pelan.
"Lagi pula kau juga tahu ini sudah terlambat, kan? Kenapa kau semangat sekali ingin memasang pohon natal?" Tanya Leo mencoba agar suaranya terdengar biasa.
Hening sejenak. Leo tak tahu apa yang ada dipikiran Jaehwan. Dan ia kira, anak ini tak akan menjawab, jadi ia tak menunggu. Namun rupanya Jaehwan mulai bersuara, meski pelan.
"Karena sudah tiga tahun aku tidak melakukannya. Aku tak mau lupa bagaimana bahagianya saat memasang pohon natal."
Muncul pertanyaan di benak Leo. Tiga tahun? Tapi bukan berarti ia akan bertanya. Leo tak mau apa bila ada hal menyedihkan yang ikut menemani mereka saat natal.
Tak lama,
"Dwaetda." Tangan Jaehwan akhirnya bebas dari lilitan kabel.
"Gomawo."
"Ne." Jawab Leo, kemudian berdiri dari posisinya. "Lupakan saja lampunya. Kurasa segini juga sudah cukup. Sekarang kita pasang bintang di puncaknya."
"Biar aku yang pasang! Aku saja! Aku!" Jaehwan berdiri dan melompat-lompat di depan Leo, menawarkan diri.
"Kurasa kau tak cukup tinggi untuk itu. Biar aku yang pasang."
"Aku saja! Aku bisa naik ke kursi untuk memasangnya." Jaehwan menarik sebuah kursi kecil yang tak jauh dari mereka. "Jebal..."
Leo menatap Jaehwan. Bibirnya mengerucut dan matanya menatap dengan tatapan puppy-eyes.
Gwiyeopta...
"Ehem. Ya, baiklah. Tapi hati-hati."
"Ne!"
Jaehwan pun mulai naik ke atas kursi. Leo memberikan bintang berwarna emas. Jaehwan mulai merentangkan tangannya untuk mencapai puncak pohon. Dengan sedikit kesulitan, Ia akhirnya berhasil memasang bintang itu.
"Yey! Aku berhasil melakukannya! Aku melakukannya!" ujarnya kegirangan sambil melompat-lompat, masih di atas kursi.
"Ya! Hati-hati!" Leo mulai terlihat panik dari bawah. Sedang Jaehwan masih heboh di atas kursi. "Jaehwan, hentikan! Nanti kau ja—"
"Whaaa!" keduanya berteriak.
Leo berhasil menangkap Jaehwan yang hampir jatuh dari kursi. Ya, hampir. Posisi kaki Jaehwan masih berada di permukaan kursi, namun tubuhnya miring dan bertumpu pada tubuh Leo. Tangannya berpegangan pada bahu lebar itu, sedangkan tangan besar Leo memegangi pinggang Jaehwan. Dan wajah keduanya sangat dekat.
Keadaan hening sejenak. Tak ada yang bergeming dari posisi masing-masing. Hanya saling tatap.
Awkward...
Leo pun memecah keheningan.
"Kau baik-baik saja?"
"N-ne..." Jaehwan akhirnya menapakkan kakinya di lantai dan kembali mendapatkan keseimbangannya. Dengan cepat, ia melepas genggamannya pada bahu Leo.
"Sudah kubilang hati-hati." Leo menghela nafas. Tangannya lepas dari pinggang Jaehwan.
"Mian. Aku hanya... Ini pertama kalinya aku melakukannya setelah bertahun-tahun. Aku sangat senang. Jadi—" Jaehwan tak punya kekuatan untuk melanjutkan kalimatnya ketika air mata hampir keluar dari matanya.
Kemudian ia rasakan sebuah tangan mengelus kepalanya dengan lembut. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Leo tersenyum.
"Sudahlah. Yang penting kau baik-baik saja."
Jaehwan hanya mengangguk. Kemudian keduanya beranjak untuk menyiapkan makan siang.
oO| A Love from Snow |Oo
25 Desember usai sudah. Leo masih menetap di apartemen Jaehwan keesokan harinya. Segala kegiatan selama libur musim dingin dihabiskan bersama jiwa manusia salju itu. Jaehwan sungguh bersyukur Leo ada bersamanya. Liburan yang 3 tahun ini ia rasakan sepi, tak lagi demikian. Dan Jaehwan berharap Leo akan ada hingga musim-musim lainnya. Ya, begitu harapnya.
Untuk saat ini Jaehwan bersyukur. Paling tidak tahun barunya akan ia habiskan bersama seseorang. Dan itu berarti 20 menit lagi.
Jaehwan tersenyum memandang langit luas di hadapannya. Ia kini duduk di balkon rumahnya, dan bersandar pada dinding. Menanti 20 menit terakhir yang dapat dikatakan suram baginya. Tapi paling tidak, keberadaan Leo selama 7 hari seperti dapat menghapuskan kesedihannya pada 358 hari sebelumnya.
Memikirkan itu, membuat Jaehwan terkekeh.
"Apa yang lucu?"
Suara Leo muncul di sampingnya. Jaehwan menoleh dan mendapati sosok itu tengah berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir coklat panas sesuai pesanannya.
"Tidak ada. Aku hanya ingin tertawa." Ucap Jaehwan sembari mengambil satu cangkir yang ada di tangan Leo. Ia tersenyum pada sosok yang kini duduk di sampingnya. "Gomawo."
Leo hanya memperhatikan Jaehwan yang kini menyeruput coklat panasnya. Ia tersenyum melihat betapa manisnya Jaehwan tersenyum pada langit. Kemudian, Leo ikut bersandar pada dinding, dan menatap langit seperti yang Jaehwan lakukan.
Keadaan hening sejenak. Sampai Jaehwan angkat bicara.
"Oh, Leo. Tunggu di sini. Aku punya sesuatu untukmu." Leo tak menjawab, hanya memperhatikan Jaehwan yang dengan cepat masuk ke kamarnya dan kembali dengan sebuah paper bag di tangannya. Kembali duduk di samping Leo, Jaehwan menyodorkan paper bag itu padanya. "Untukmu. Maksudku awalnya untuk hadiah natal. Tapi saat itu kau baru muncul, makanya aku baru mempersiapkannya sehari setelah itu."
Leo menatap senyuman Jaehwan, kemudian beralih ke paper bag di tangannya. Di ambilnya paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Sebuah syal rajutan berwana merah, sewarna dengan beanie yang ia kenakan.
"Syal? Lagi?" Tanya Leo sedikit bingung kenapa Jaehwan memberikannya syal baru. Sedangkan dari awal, Leo sudah mengenakan syal, meski pun memang itu milik Jaehwan.
"Ne. Syal yang kau pakai sekarang ini barang lama. Serabutnya sudah berantakan dan dekil. Lagi pula warnanya tidak cocok dengan beanie yang kau kenakan. Makanya aku buatkan yang baru." Ucap Jaehwan sambil membantu Leo melepaskan syal yang lama dari lehernya.
Mata musang Leo mendelik. "Kau membuatnya?" Jaehwan hanya menangguk malu. Ia mulai melingkarkan syal yang baru di leher Leo. "Tapi... Kapan?"
"Um... Belakangan ini aku selalu terbangun tengah malam, dan tidak bisa kembali tidur. Makanya aku memutuskan untuk membuatnya. Nah, dwaetda!" serunya ketika syal di leher Leo sudah rapi terpasang.
"Jadi itu yang membuat kantung matamu ini muncul?" Nada bicara Leo terdengar khawatir. Tangannya menyentuh pipi Jaehwan dan ibu jarinya mengusap lingkaran hitam yang berada dekat di bawah matanya.
Jaehwan terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. "Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir."
Keduanya pun hanya saling tatap.
Leo mengehela nafas, "Maafkan aku."
"Ung? Kenapa kau meminta maaf?" Tanya Jaehwan kebingungan.
Leo menunduk, menatap syal baru yang kini terkalung di lehernya. "Kau membuatkanku syal. Tapi aku sama sekali tak punya apa pun untukmu."
Mendengar itu, Jaehwan terdiam. Ia lihat wajah Leo sedikit muram.
"Tidak juga." Ucap Jaehwan. Leo menoleh, dan di saat yang bersamaan Jaehwan memeluknya. Leo tak bisa berkata-kata. "Kau tahu? Keberadaanmu di sini adalah hadiah terbaik bagiku selama tiga tahun ini."
"Jaehwan..."
Leo menatap senyuman yang terpampang di wajah Jaehwan. Ia tak yakin apa senyuman itu adalah senyum bahagia atau sedih. Tapi Leo tak mau mempermasalahkan itu. Yang penting Jaehwan kini dapat tersenyum, karena ia berada di sini bersamanya.
Tiba-tiba,
Tuut tuut~ Alarm dari jam tangan Jaehwan berbunyi. Dengan cepat, Jaehwan mengangkat tangannya dan membaca waktu.
"Oh, sudah pukul 23.59! Satu menit lagi tahun baru!"
"Kau memasang alarm semenit sebelum tahun baru?"
"Tentu saja! Siapa yang mau melewatkan detik terakhir dalam setahun?"
Jaehwan kini kembali menatapi langit dimana sudah banyak kembang api yang menghiasi langit hendak menyambut datangnya tahun yang baru. Tapi tidak dengan Leo. Matanya masih fokus memperhatikan ekspresi bahagia di wajah Jaehwan. Ia mengagumi setiap titik di wajah itu.
"10 detik lagi! Mulai berhitung! 9!"
Leo menatap mata Jaehwan. Mata itu berbinar seolah seluruh cahaya bintang terpantul di sana.
"8!"
Pandangan Leo beralih ke hidung Jaehwan. Betapa sempurnanya bentuk hidung itu, dengan lembut menghirup udara malam yang mereka bagi bersama.
"7!"
Kini Leo memandang pipi Jaehwan. Tidak tirus dan tidak chubby. Hanya... normal. Dan itu sempurna bagi Leo. Rona pipinya semerah kembang api yang pada detik itu diluncurkan ke langit.
"6!"
Kini matanya menatap bagaimana angin malam berhembus menerpa surai hitam di kepala Jaehwan seolah membelainya dengan lembut.
"5!"
Tak ingin kalah dengan angin, tangan Leo beranjak naik ke kepala Jaehwan dan mengelus helai-helai coklat itu dengan lembut.
"4!"
Leo mulai menatap bibir Jaehwan. Senyum yang tertera saat itu begitu indah dan damai. Seolah Jaehwan tak pernah punya masalah di kehidupannya.
"3!"
Tanpa sadar, Leo mulai mendekat secara perlahan. Ia tahu ini bukan hal baik.
"2!"
Tapi seolah magnet, bibir itu terus menarik Leo untuk mendekat. Leo menutup matanya. Wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Jaehwan yang masih terus menatap langit.
"1! Happy new year, Leo!"
Barulah saat itu, Jaehwan menoleh. Di saat yang bersamaan, Leo berhenti mendekat dan membuka matanya lebar. Degan cepat ia kembali duduk tegap, dan memalingkan wajah dari Jaehwan.
"Ung? Leo, kau kenapa?"
Tanya Jaehwan denagn polos saat menemukan gerak-gerik aneh Leo.
"Ti- tidak. Happy new year, Jaehwan."
Tak ingin senyum Jaehwan menghilang, Leo berusaha mengabaikan perasaan malunya dengan tersenyum kepada Jaehwan. Jaehwan terdiam sejenak. Sejak awal muncul, baru kali ini Jaehwan lihat senyum selebar itu terpampang di wajah tampan itu. Perasaan aneh mulai menggelayut di hati laki-laki berhidung mancung itu. Tapi ia tak tahu perasaan apa itu.
Tak lama, Jaehwan kembali tersenyum.
"Oh, Leo! Apa harapanmu tahun ini?" Ucap Jaehwan dengan riang.
"Harapan?"
"Ne." Jaehwan mengangguk dengan antusias, kembali menengadah ke langit. "Kalau aku berharap, semoga Leo bisa terus berada di sampingku. Sepanjang tahun ini, tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya. Aku ingin Leo jadi temanku seumur hidup."
Leo hanya menatap wajah manis Jaehwan dari samping. Harapan yang sederhana, namun seimbang dengan hari-harinya yang mungkin bisa dikatakan sepi dan menyedihkan. Yah, mungkin sebelum kemunculan Leo. Tapi Leo tahu, Jaehwan hanya ingin paling tidak ada satu orang yang selalu berada di sisinya, di saat suka dan duka.
Tapi di sisi lain, Leo tahu bahwa harapan itu juga bisa jadi mustahil. Karena suatu saat dan bagaimana pun Leo harus pergi.
Tiba-tiba Leo melihat di sudut mata Jaehwan, ada sebutir kerlip yang turun membasahi pipinya. Saat itu juga Leo tahu anak itu menangis. Tanpa sadar dan pikir panjang lagi, sosok bersurai hitam itu menarik lengan Jaehwan hingga kepalanya bersandar di dada bidang Leo.
"Le- Leo?"
"Aku juga…" Leo mencoba menahan ajakan hatinya untuk menangis. "Aku juga berharap agar bisa selalu di sisimu. Sepanjang tahun ini, tahun baru, tahun-tahun selanjutnya, dan selamanya. Aku tak ingin kau selalu sendirian, Jaehwan."
Jaehwan terkejut mendengar kalimat kalimat yang keluar dari mulut Leo. Seketika ia teringat bagaimana kehidupannya begitu terasa sepi dan menyedihkan, tanpa orang-orang yang menyayanginya. Tanpa orang-orang yang akan selalu berada di sisinya. Sungguh, ia tak ingin kembali ke masa-masa itu. Ia ingin seandainya waktu terhenti. Ia ingin harapannya tadi terkabul. Tapi entahlah, ada perasaan yang mengatakan bahwa Tuhan tak akan pernah mengabulkan permohonan itu.
Jaehwan menangis makin keras, membuat syal dan sweater yang dipakai Leo rembes oleh air matanya. Kedua tangannya mencengkram sweater putih itu dengan kuat, berharap dengan itu emosinya dapat meluap keluar dari hatinya. Ia menangis tanpa henti. Selagi Leo terus mendekapnya dengan erat. Tak satu pun dari keduanya yang ingin lepas dari kehangatan ini, hingga akhirnya Jaehwan terlelap dalam pelukan itu. Leo menatap wajah Jaehwan dengan sendu, kemudian menghela nafas sebelum mempererat dekapannya pada Jaehwan kemudian menatap langit.
Seandainya waktu dapat benar terhenti…
oO| A Love from Snow |Oo
Leo menemukan Jaehwan melamun menghadap pintu keluar apartemennya. Anak itu sudah rapi dengan seragam dan ranselnya. Ya, hari ini hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang musim dingin. Dimana sebagian pelajar menganggapnya buruk karena mereka harus kembali menghadapi pelajaran-pelajaran yang memusingkan. Namun tetap memanggapnya baik, karena segera mereka bisa bertemu dengan teman-teman.
Beda cerita bagi Jaehwan, keduanya bukanlah pernyataan yang tepat. Ia tak masalah belajar di sekolah kerena kenyataannya, Jaehwan memang anak yang pintar dan suka belajar. Tapi ia juga tak menganggapnya baik karena ia harus kembali ke tempat dimana tak ada satu pun yang mau berteman dengannya dan tempat dimana ia hanya dianggap sebagai sampah. Jaehwan masih bimbang apa dia akan masuk sekolah hari ini.
"Jaehwan," mendengar suara lembut Leo memanggilnya dan tangan besar yang mendarat di pundaknya, Jaehwan menoleh. "Kau baik-baik saja?"
Jaehwan mencoba tersenyum. "N- ne. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit—"
Leo tahu apa yang ada di pikiran Jaehwan. Terlihat jelas dari setiap lekuk wajahnya. Tapi Leo tak mau membicarakannya, tak mau Jaehwan jadi makin bimbang. Tanpa pikir lagi, Ia menggenggam lengan Jaehwan. Lelaki berstatus masih pelajaran itu mengangkat kepalanya dan ia lihat Leo tersenyum.
"Kalau terus melamun, kau akan terlambat. Aku akan mengantarmu sampai gerbang sekolah. Ayo!"
oO| A Love from Snow |Oo
"Um… Leo,"
Jaehwan memutar tubuhnya menghadap Leo. Sebentar lagi, hanya tinggal beberapa langkah lagi, mereka akan sampai ke gerbang sekolah Jaehwan. Selama perjalanan tadi Jaehwan masih mempertimbangkan apa baiknya dia masuk sekolah atau tidak. Jaehwan melihat Leo tersenyum, kemudian melirik gerbang abu di depan sekolahnya itu. Di matanya, gerbang itu terlihat seperti gerbang dari kastil tua dan angker yang biasa kalian lihat di film-film. Tapi yah, hanya Jaehwan yang dapat melihatnya seperti itu. Ia pun kembali menatap sosok yang lebih tinggi darinya itu.
"Um… Ku- kurasa aku akan pulang saja." Kaki Jaehwan melangkah, hendak melalui Leo dan kembali menyusuri rute ke rumah.
Namun lengan panjang Leo dapat menghentikannya.
"Jaehwan, dengarkan aku." Leo menggenggam kedua pundak Jaehwan hingga laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menatap mata musangnya. "Berpikirlah positif, dan fokuslah pada pelajaran. Jangan pikirkan yang tidak-tidak. Kau akan baik-baik saja."
"Ta- tapi—"
"Kau tak mau jadi anak bodoh yang tidak suka belajar dan kelak hanya akan jadi pengangguran di pinggir jalan, kan?"
Mendengar kalimat Leo, Jaehwan menggeleng kuat. Leo benar. Jaehwan tak bisa membuang cita-citanya untuk jadi orang sukses begitu saja hanya karena rasa takutnya di sekolah. Lagi pula Jaehwan pernah bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan jadi orang sukses suatu hari nanti, dan menunjukkan pada semua orang bahwa ia tak pantas lagi dicaci dan direndahkan,
Oh, Jaehwan tak mau cita-cita itu hilang.
Seolah membaca pikiran Jaehwan, Leo tersenyum. "Kalau begitu, sekarang saatnya kau kembali ke sekolah, dan belajar dengan benar. Aku janji, tak akan terjadi hal buruk padamu."
Leo mengusap surai kecoklatan Jaehwan. Merasakan kelembutan di puncak kepalanya, Jaehwan akhirnya tersenyum.
"Baiklah, aku akan belajar dengan giat!" Serunya dengan senyum yang makin merekah menghiasi wajahnya. Jaehwan mengangkat pergelangan tangannya, dan membaca waktu. "Ya ampun, 15 menit lagi bel! Aku masuk dulu, ya, Leo. Annyeong!"
Jaehwan berlari masuk ke gerbang sekolah sambil melambaikan tangan pada Leo. Sosok itu hanya hanya membalas lambaian tangannya hingga Jaehwan hilang dari pandangannya.
Tak lama, ia dengar beberapa suara, mungkin tiga, muncul dari arah belakang. Dan yang membuat Leo tertarik adalah nama Jaehwan yang disebut dalam percakapan mereka.
"Ya! Apa menurut kalian, si Lee Jaehwan itu akan masuk sekolah hari ini?"
"Kurasa tidak. Dia pasti ketakutan bertemu dengan kita di hari pertama setelah kebebasannya."
"Menurutku tidak begitu. Hei, bagaimana kalau kita kerjai dia habis-habisan nanti? Tanganku terasa lumpuh seminggu lebih tidak mengerjainya."
"Boleh saja."
"Hahaha!"
Mendengar itu, Leo menyeringai dan berbalik.
"Hei, kalian!" ucapnya dengan nada dingin.
Ketiga remaja berseragam itu mengalihkan perhatian pada sosok pria yang berdiri di hadapan mereka. Seketika, ekspresi mereka berubah, terkejut dan takut. Salah satu dari mereka mengangkat tangannya dan menunjuk kearah Leo.
"K- kau? Bukankah kau—"
oO| A Love from Snow |Oo
Minggu pertama masuk sekolah dirasa aneh bagi Jaehwan. Rasa takut yang biasa menggelayuti dirinya tidak sama sekali menghantuinya. Anak-anak yang biasanya selalu mengerjainya tak pernah terlihat batang hidungnya. Saat berpapasan pun mereka asyik sendiri, tak mempedulikan keberadaan Jaehwan seolah anak itu tidak pernah ada. Itu semua sangat aneh bagi Jaehwan. Ah, bukannya Jaehwan ingin di-bully lagi atau apa. Tapi ia baru menyadari sesuatu, bahwa keanehan ini rupanya yang membuatnya makin takut.
Ada muncul di benaknya, "Apa ini cara baru yang mereka gunakan untuk mengerjaiku?"
Begitulah seminggu Jaehwan lewati. Agak lega juga, karena paling tidak ia bisa fokus belajar. Ditambah keberadaan Leo yang selalu mengantarjemputnya—meski jalan kaki—menambah semangat Jaehwan untuk masuk sekolah. Yang Jaehwan tak harapkan adalah kalau tebakannya tadi benar. Bahwa anak-anak itu sengaja tiak menghiraukannya dan akan mengerjainya habis-habisan minggu depan.
"Jaehwan, kau baik-baik saja?"
Jaehwan berhenti dari lamunannya dan mengangkat kepala. Leo sudah di depan gerbang, menjemputnya.
"Ne. Aku baik-baik saja. Ayo pulang!"
Jaehwan mulai melangkah di depan Leo. Sosok bersurai pirang itu sedikit kebingungan, tapi kemudian ia berhasil mengimbangi langkah Jaehwan dengan kaki jenjangnya. Hampir setengah perjalanan ditempuh dengan keheningan. Tidak seperti biasanya. Hari-hari sebelumnya, Jaehwan akan langsung menceritakan kesehariannya di sekolah, serta apa saja yang ia pelajari. Dan Leo akan dengan senang hati mendengarkan.
Tapi kali ini benar-benar berbeda. Jaehwan sangat diam dan terlihat banyak pikiran. Leo tak suka melihatnya begitu. Jadi mungkin, dia yang akan memancing Jaehwan bercerita.
"Bagaimana sekolah hari ini?"
Jaehwan sedikit tersentak dengan pertanyaan singkat dari Leo. Dengan agak kikuk, ia menjawab, "Uhm, baik-baik saja. Tak ada yang terjadi." Leo mengangguk. Ia kira hanya itu Jawaban Jaehwan, namun ia salah, "Tapi justru itu yang membuat keadaan aneh."
Leo mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
"Anak-anak yang biasa menjahiliku, sudah seminggu ini mereka tak melakukan apa-apa padaku. Bahkan mereka seperti tidak menghiraukan keberadaanku."
"Lalu? Bukankah itu hal baik?"
Jaehwan menghela nafas sebelum kembali menjawab. "Ya, tapi itu membuatku takut. Aku takut itu rencana mereka untuk membuatku merasa bahwa aku sudah bebas, dan setelah itu kembali mengerjaiku habis-habisan."
Dalam hati, Leo tertawa. Kemudian ia menarik pundak Jaehwan hingga anak itu berbalik dan melihatnya. Ekpresi kebingungan bercampur dengan lesu wajahnya akibat keadaan aneh di sekolah.
"Leo?"
"Aku yakin mereka tak akan melakukannya, selama kau berpikir positif. Jangan tunjukkan rasa takutmu saat bertemu mereka. Percaya padaku! Setelah ini tak akan ada lagi yang berani menyentuhmu, barang seujung helai rambut pun." Tutur Leo lumayan panjang. Tangannya sembari memainkan beberapa helai rambut kecoklatan Jaehwan, dan itu membuat Jaehwan terdiam menatap Leo. "Mau percaya padaku, atau terus dijahili oleh mereka?"
Jaehwan menunuduk. Entah kenapa wajahnya merasa panas seperti dikukus. Tapi dengan itu, dia bisa menjawab.
"A- aku percaya padamu."
Tersenyum, Leo kini mengacak-acak rambut Jaehwan, membuat anak itu meringik kesal.
Tiba-tiba, dari arah berlawanan, muncul sosok seseorang pria dan suaranya yang lantang.
"Yo, chinguya!" Pria berawakan tidak tinggi itu menepuk pundak Leo yang saat itu juga terkejut.
"Sial. Kenapa dia muncul di sini?!"
"Eo? Siapa ini?" Pria itu kini menatap Jaewhan yang dengan polos hanya menatapnya balik karena kebingungan. "Ah, ini anak yang waktu itu kau bicarakan, ya? Wah, kau benar-benar menghabiskan musim dinginmu bersamanya? Pantas saja kau sulit dihubungi."
Jaehwan dan Leo hanya masih diam menatap pria yang masih seru bermonolog itu. Tentu dengan tatapan yang berbeda arti. Kalau Jaehwan menatapnya dengan penuh tanya, Leo menatapnya dengan tatapan yang seolah berkata, "Pergi dari hadapan kami, atau kau mati di sini sekarang juga."
Menyadari tatapan Leo, pria pendek itu sedikit merinding.
"Ah, iya iya... Baiklah, aku pergi sekarang. Annyeong, chingu!"
Sekelebat angin, pria itu menghilang di ujung jalan. Diam-diam, Leo menghela nafas.
"Leo, kau kenal pria itu?"
"Tidak mungkin. Kau satu-satunya manusia yang kukenal setelah aku diciptakan. Mungkin tadi itu orang mabuk, omongannya saja melantur."
Jaehwan hanya mengangguk-angguk. Lalu keduanya melanjutkan perjalanan. Lagi, keheningan melanda keduanya. Jaehwan kembali memikirkan perkataan Leo tentang mempercayainya, sedangkan sosok itu sendiri tengah asyik mengutuk seseorang dalam hatinya. Entah siapa seseorang itu, yang pasti bukan Jaehwan. Oh, Leo sangat menyayangi Jaehwan, bahkan ia tak akan membiarkan siapa pun membuat anak ini menangis lagi. Siapa pun itu, termasuk dirinya sendiri.
Yah, semoga Leo tak mengingkarinya.
oO| A Love from Snow |Oo
To Be Continued
A/N : What do you think readers? Tell me by giving some reviews! See you in the next chapter! :D
