"Draco, please. Jangan lakukan itu. Aku mencintaimu."

"Aku juga. You're My Soul, Hermione Granger."

-o0o-

Disclaimer : J.K. Rowling, tetapi ide dan cerita murni punya saya

Pairing : DraMione

Rated : T

Latar : Ketika Harry Potter dan kawan-kawan mencari Horcrux

Warning : OOC, typo (padahal saya sudah berusaha tidak typo), cerita gaje, berbeda dengan yang di novel/film (namanya juga ffn), alur gk beraturan, dll.

DON'T LIKE, DON'T READ

-o0o-


Hermione duduk bersandar di bawah pohon besar sambil membaca buku karya Rita Skeeter tentang Albus Dumbledore—yang ia ambil dari rumah Bathilda Bagshot. Hermione dan Harry sedang berkelana untuk berburu 7 buah Horcrux Voldemort. Namun ketika di tengah jalan, Harry dan Ron bertengkar hebat, Ron pergi meninggalkan Harry dan Hermione entah kemana. Mereka berdua terpaksa melanjutkan perjalanan tanpa Ron. Mereka sudah berpindah-pindah tempat untuk mencari Horcrux—termasuk ke desa Godric's Hollow. Dan bahkan tragisnya, mereka hampir saja terbunuh oleh ular yang menyamar sebagai Bathilda Bagshot. Sungguh perjalanan yang mengerikan.

"Hermione," panggil Harry, "kali ini kau melakukan ini semua sendirian." Ia mendudukkan diri di hadapan Hermione.

"Hutan Dean. Aku pernah kesini beberapa tahun lalu, dengan orang tuaku." Jawab Hermione sambil tersenyum muram.

Harry tersenyum. Tiba-tiba ia teringat oleh tongkat sihirnya. "Hermione, dimana tongkatku?"

Namun bukannya menjawab, Hermione malah menggeser tempat duduknya dan mengeluarkan tongkat Harry dari saku mantelnya. Tongkat itu 'hampir' patah menjadi dua, hanya sehelai bulu Phoenix berwarna perak yang masih melekat dan menghubungkan patahan tongkat. "Ma-Maafkan aku, Harry. Tongkatmu patah, aku tak bisa memperbaikinya. Aku sudah berusaha—"

"Tak apa." Potong Harry dengan nada seperti orang marah, "pinjamkan saja tongkatmu. Masuklah dan hangatkan dirimu. Malam ini aku saja yang berjaga." Ucap Harry sambil mengambil tongkat yang diulurkan Hermione.


Cuaca di luar sangat dingin. Badai salju terdengar berdesing, menerpa tenda Harry dan Hermione. Harry tidak bisa berjaga di luar, melainkan hanya di depan pintu. Hermione sedang memperhatikan Teropong-Curiga yang sengaja mereka pasang untuk berjaga-jaga. Teropong itu tidak bergerak, namun Hermione merasa ada seseorang berada di sekitar tenda mereka.

"Hermione, ingin berapa lama kau memperhatikan Teropong-Curiga yang tidak bergerak? Cepatlah pergi tidur, aku akan berjaga." Perintah Harry dengan lembut.

Namun Hermione tetap bergeming, "Entahlah, Harry. Aku tidak ingin tidur, perasaanku tidak enak. Sepertinya akan ada seseorang yang datang. Aku takut jika itu adalah Pelahap Maut."

Harry memutar bola matanya, "Oh, sudahlah, Hermione. Bukannya kau sudah memasang mantera perlindungan di sekitar tenda? Tidak akan ada Pelahap Maut atau siapapun yang—"

"Shhtt—Harry, dengar." Hermione mengangkat tangannya menyuruh Harry diam.

"Ada ap—"

"Kubilang diam." Perintah Hermione dengan suara lirih.

Mereka berdua mendengarkan keadaan sekitar dalam diam, mencoba menangkap bunyi-bunyi mencurigakan. Hermione, yang masih sangat penasaran, mengambil dua buah Telinga Terjulur dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Harry satu. Mereka cepat-cepat memasukkan ujung benang berwarna kulit ke dalam telinga dan menjulurkan ujung lainnya keluar pintu masuk tenda. Mereka diam mencoba menangkap suara-suara mencurigakan yang tadi sempat terdengar. Terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat, sepertinya ia melangkah dengan terseok-seok. Mereka juga mendengar suara orang batuk-batuk, sepertinya seorang pria.

"Tolong—uhuk, uhuk—tidak adakah—uhuk—orang disini? Siapa saja—uhuk, uhuk—tolong." Terdengar suara seorang pria merintih meminta pertolongan. Harry dan Hermione saling bertatapan sambil mengerutkan keningnya, sepertinya mereka kenal dengan suara itu.

"Bagaimana, Harry? Apa kita tolong saja dia?" bisik Hermione.

Harry mengangkat bahunya pelan, "Entahlah, Hermione. Aku tak yakin, siapa tahu itu adalah Pelahap Maut."

Hermione membuka pintu tenda sedikit. Ia tidak bisa melihat apa-apa, badai salju di luar sangat lebat, sehingga pemandangan di sekitarnya tak terlihat. Ia menutupnya lagi dan menoleh kepada Harry. "Aku tak dapat melihat apapun di luar. Badainya sangat lebat." bisiknya.

Harry berdiri dan melemparkan Telinga Terjulur ke meja. Ia memakai jaket tebalnya dan membawa tongkat sihir Hermione. "Akan aku periksa sebentar." Sebelum Harry melangkah pergi, Hermione mencegatnya.

"Tidak, Harry. Jangan. Siapa tahu dia adalah Pelahap Maut dan—lagipula, di luar badainya sangat lebat." Bujuk Hermione.

Namun, Harry tetap bersikukuh, "Aku hanya akan memeriksanya sampai batas mantera perlindungan. Aku tidak akan melewatinya, tenang saja. Sudah, kau tunggu aku disini saja." Ucap Harry menenangkan, ia melangkah keluar menghilang di tengah badai salju.

Hermione menggigiti jarinya dan duduk di kursi berlengan. Berkali-kali ia mengintip keluar tenda, mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa menit berlalu, Harry belum juga kembali. Ia sangat khawatir. Akhirnya, Hermione memutuskan untuk menyusul Harry. Namun sebelum Hermione selesai memakai mantel, Harry membuka pintu tenda. Ia sedang merangkul seseorang pria, berbadan tinggi tegap, berdagu runcing, dan berambut pirang.

Draco Malfoy

"Hermione, cepat ambilkan air hangat." Suruh Harry. Ia meletakkan tubuh Draco yang lemas dan berbalut salju di atas tempat tidur Hermione. Hermione mengangguk. Tubuh Draco menggigil kedinginan, bibirnya pucat, dan tubuhnya sangat dingin.

Hermione kembali sambil membawa sebaskom air hangat dan sebuah handuk kecil berwarna putih. "Cepat kompres dia." Ucap Harry, Hermione mengangguk patuh. Ia mencelupkan handuk kecil itu ke dalam air hangat dan mengompres dahi Draco.

"Kenapa kau membawanya kesini, Harry? Dia Pelahap Maut, dia bisa saja berpura-pura dan setelah menemukan kita, dia akan memberitahu Tuannya." Ucap Hermione dengan ketus.

"Shhtt—sudahlah, Hermione. Soal itu gampang, kita bisa saja melakukan Jampi Memori kepadanya. Sekarang, kita harus menolongnya terlebih dahulu." Jawab Harry. Hermione hanya terdiam sambil mengerucutkan bibirnya. "Uhm—Hermione, sepertinya kita harus mengganti bajunya." Ucap Harry tiba-tiba.

Mata Hermione terbelalak, "Apa maksudmu 'kita'? Kau saja yang melakukannya." Pipi Hermione tiba-tiba memerah seperti kepiting rebus.

Harry memutar bola matanya, "Kau tinggal mengucapkan mantera saja. Aku tidak bisa melakukannya."

Hermione mendesah dan memanyunkan bibirnya. Ia mencari baju Draco di dalam ransel hitam yang Draco bawa. Setelah menemukan setelan piyama hijau hangat, ia meletakkannya di samping tubuh Draco dan menutup mata. Hermione mengucapkan mantera non-verbal, dan secara otomatis baju itu mengganti sendiri. Hermione menyihir pakaian basah Draco menjadi kering dan melipatnya. "Bagaimana? Sudah? Tidak ada yang harus kuurusi lagi, kan?" tukas Hermione dengan nada mengejek.

Harry tersenyum melihat kelakuan Hermione, "Tidak, terima kasih. Uhm—sebenarnya ada satu hal lagi yang harus kau lakukan." Ujar Harry sambil tersenyum jahil.

Hermione mendelik memandang sahabatnya itu, "Apa?"

"Yeah—sederhana. Hanya menjaga Malfoy. Jika dia macam-macam, berikan saja Jampi Memori—"

"Kenapa bukan kau saja?"

"Karena aku berjaga, Hermione."

"Kalau begitu, aku saja yang berjaga malam ini."

"Tidak bisa."

"Arrgghh—Harry, kau amat sangat menyebalkan." Bentak Hermione, "Ya, ya, ya, aku mau menjaga musang gila ini." Ucap Hermione akhirnya. Harry tertawa dan berjalan menuju kursi dekat pintu tenda untuk kembali melakukan tugas berjaganya lagi. Hermione mengumpat dalam hati dan memandang wajah pucat Draco yang sedang pingsan. Lama Hermione terjaga, akhirnya ia tertidur dengan posisi terduduk di kursi berlengan.


Draco merasa kepalanya begitu pusing dan suhu badannya tinggi. Ketika ia memegang dahinya untuk mengecek suhu badan, ia merasa ada handuk basah yang digunakan untuk mengompres dirinya. Ia mengerjapkan matanya untuk melihat sekitar.

Draco merasakan dirinya sedang berbaring di tempat tidur kecil, namun sangat nyaman dan beraroma vanila yang menggiurkan. Kemudian ketika ia menoleh ke samping, ia mendapati Hermione sedang terlelap di kursi berlengan. "AAAAAAA..." Draco berteriak kaget.

Hermione tersentak bangun dan langsung mengacungkan tongkatnya ke segala arah. Kemudian ia tersadar dan menatap Draco dengan tatapan membunuh, "MALFOY," bentaknya, "bisa tidak sih, kau tidak membuat kekacauan disini? Kalau kau tidak bisa menutup mulut, akan kubunuh kau." Bentak Hermione.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Draco.

"Seharusnya, aku yang bertanya kepadamu. Kenapa kau berkeliaran di sekitar tenda kami tadi malam? Untuk memburu kami, eh? Jika bukan karena Harry, kau pasti akan mati membeku di luar. Berterima kasihlah karena masih ada orang yang mau menyelamatkanmu, Ferret bodoh." Bentak Hermione dalam satu tarikan nafas. Ia terengah-engah dan wajahnya memerah.

Draco mencibir, "Apa? Berterima kasih? Kepadamu dan Potter? NO WAY!" ucapnya dengan nada angkuh.

Harry memasuki tenda dengan terburu-buru, "Ada apa, Hermione?" ucapnya cepat-cepat karena mendengar keributan dari dalam tenda.

"Harry, sebaiknya kau tak usah membantu pria pirang ini semalam—"

"Hey, apa kau bilang, rambut semak?"

"Dasar musang."

"Berang-berang."

"Mayat hidup."

"Gigi tonggos."

Hermione menganga, "Oy, gigiku tidak tonggos. Dasar kau—"

"DIAM." Bentak Harry. Ia memijat kepalanya yang terasa berdenyut akibat mendengar cekcok ini. Ia tidak heran, mengingat selama di Hogwarts, Draco dan Hermione selalu bertengkar meskipun hanya karena masalah sepele. "Oke, diam. Bisa tidak kalian berhenti bertengkar sehari saja?"

"TIDAK." Ucap Hermione dan Draco bersamaan. Mereka saling pandang dengan tatapan membunuh. Harry hanya bisa menggeleng pelan melihat kedua orang tersebut. Hermione menghentakkan kakinya dan berjalan menuju kamar mandi dengan mengucapkan sumpah-serapah berulang kali.

Draco mendecih dan mengumpat, "Dasar wanita gila. Apa dia tidak diajari cara menjadi wanita baik? Setidaknya—"

"Malfoy, bisa diam tidak?" tukas Harry dengan ketus. Draco memandangnya dan mencibir. Harry memutar bola matanya dan pergi keluar untuk berjaga lagi.


Hermione memasak jamur kayu yang baru saja ia petik dari hutan. Memang rasanya tidak terlalu enak, setidaknya mereka tidak kelaparan. Hermione melamun, ia kepikiran dengan Ron. Bagaimana kabar Ron sekarang? Ia tak tahu. Ia hanya bisa berdo'a supaya Ron baik-baik saja dimanapun ia berada. Hermione merasa sangat kesepian jika tidak ada Ron, hanya ada dia, Harry, dan—euh... Hermione malas mengakuinya—baiklah, Malfoy.

"Hey, otak ganggang, kau berniat memasak atau melamun?" ucap Draco tiba-tiba dengan suara mengejek. "Lihatlah, masakanmu gosong. Dasar lemah, wanita memang lemah. Tidak bisa apa-apa." Cela Draco dengan suara lirih.

Hermione tersentak kaget, "Oh, ya ampun. Jamurku. Oh, Tuhan, bagaimana ini?" Hermione menggigiti bibir bawahnya dengan gusar. Ia membawa wajannya keluar dan membuang masakannya yang gosong. Draco tertawa terbahak-bahak.

"Kalau tidak bisa memasak, mending tidak usah. Daripada kau membuang-buang bahan masakan dan—bisa saja membakar tenda kecil kalian ini." Cela Draco dengan seringai kecil menghiasi wajahnya.

Hermione mendelik menatapnya sambil membersihkan wajannya. "Diam kau, Malfoy. Kenapa kau tidak pulang saja ke Mannormu yang besar dan nyaman itu?" ejek Hermione.

Seringai di wajah Draco menghilang, wajahnya datar tanpa ekspresi. "Aku tak mau pulang ke neraka itu lagi. Bisa-bisa aku mati muda." Kata Draco dengan dingin.

Hermione mengangkat sebelah alisnya bingung mendengar perkataan Draco. Ada apa dengan pemuda pirang ini? Apakah dia ada masalah dengan keluarga atau Pelahap Maut lainnya? Entahlah. Hermione tak ingin ikut campur mengenai masalah Draco yang terkesan pribadi ini. Hermione hanya memunggungi Draco sambil terus menggosok wajannya yang berkerak.

Draco menghampiri Hermione dan menyahut wajan yang sedang dibersihkan Hermione. Hermione mendelik menatapnya, namun Draco hanya diam dan merapalkan mantera ke arah wajan yang menghitam dan penuh kerak itu. Dalam sekejap mata, wajan itu bersih seperti baru lagi. Draco menyeringai dan mendecih, "Begini saja tidak bisa. Dasar Muggle bodoh." Umpat Draco sambil berjalan pergi. Hermione menganga bodoh memandang punggung Draco.

"Cih, dasar Darah-Murni sombong." Gumam Hermione lirih. Ia meletakkan wajannya dan mengambil keranjang bambu yang digantung di kanvas tenda. Hermione berjalan keluar untuk mencari bahan makanan lagi. Namun, ia tidak melihat seorang pun di luar. Kemana Harry dan Draco? Hermione mengedikkan bahunya dan melanjutkan berjalan mencari makanan.

"Hermione, mau kemana?" teriak Harry dari jauh sambil berlari menghampiri Hermione.

Hermione menoleh dan tersenyum, "Yeah, aku mencari bahan makanan lagi. Jamur kayu persediaan kita gosong ketika aku masak. Aaarrgghh... ini semua salahku." Kata Hermione frustasi sambil menggaruk rambutnya yang terkuncir indah, sehingga menjadi berantakan.

Harry tersenyum, "Tak apa, akan kutemani mencari bahan makanan. Aku juga sekalian mau mencari kayu bakar untuk api unggun." Kata Harry. Hermione tersenyum dan mereka berjalan berdua mencari sesuatu untuk bisa dimasak.

"Harry," panggil Hermione tiba-tiba sambil memetik buah Berry Liar, "apa kau tidak merasa risih kalau Draco Malfoy ada disini? Maksudku—aku hanya takut saja, kalau-kalau dia memanggil Pelahap Maut lain atau Vol—uhm.. maksudku, Kau-Tau-Siapa sendiri untuk menangkap kita. Kenapa kau tidak mengusirnya saja?" tanya Hermione.

Salju mulai turun lagi, Harry mendongak sambil menjawab, "Entahlah, Hermione. Aku juga merasa takut. Mungkin nanti dia juga pergi dengan sendirinya. Aku malas berbicara dengannya lagi. Ayo, apa sudah selesai? Salju mulai turun." Harry menggendong kayu bakarnya. Hermione mengangguk dan mereka berdua kembali ke tenda sambil membawa cukup kayu bakar dan Berry Liar untuk dimakan.

Draco duduk di kursi berlengan Hermione sambil menyangga dagu runcingnya. Ekspresinya terlihat sedih dan bingung. Ia bingung harus melakukan apa. Kembali ke Mannor? Hell, no. Tidak akan. Ia benci dipaksa menjadi pengikut si Darah-Campuran, Voldemort. Keluarga Malfoy adalah Darah-Murni terhormat, kenapa mereka mau saja diperbudak oleh penyihir berdarah-campuran? Draco tak habis pikir, mengingat ayahnya yang sangat memuja Voldemort. Draco mendecih mengingat itu semua. Ia menyeringai sinis dan berdiri, berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya.

"Aku tidak bodoh." Gumam Draco lirih sambil menunduk mengamati air yang mengalir dari keran westafel. Bibirnya terangkat membentuk seringai menyebalkan. "Aku tak akan mau menjadi budakmu lagi, Darah-Campuran bodoh." Umpatnya sambil mengangkat kepala memandang pantulan wajahnya dari kaca yang memerah menahan amarah.

Harry mengetuk pintu Kamar Mandi, "Malfoy, kau di dalam? Cepatlah keluar, aku hendak bicara." Kata Harry dengan datar sambil melirik Hermione yang sedang mencuci buah Berry di dapur tenda.

Draco memutar bola matanya dan mendengus, "Ya, Potter. Tunggu sebentar." Ucap Draco malas. Ia menyeka air yang membasahi mukanya dan membuka pintu menghadap Harry. "Ya?"

"Bisa kita duduk sebentar?" Harry melangkah menuju kursi panjang dan Draco mengikutinya. "Apa tujuanmu kemari?" tanya Harry setelah duduk.

Draco menatap Harry dengan datar. "Bukan urusanmu, Potty."

"Jelas ini urusanku, Malfoy. Apa kau juga ikut memburu kami seperti rekan-rekan Pelahap Mautmu lainnya?" tukas Harry dengan tajam.

Hermione yang mendengar sayup-sayup suara Harry dan Draco sedang mengobrol, langsung menghentikan kegiatannya untuk memperhatikan. Ia meniriskan buah Berrynya dan menaruhnya di meja, ia menempelkan telinganya ke kanvas tenda untuk menguping pembicaraan kedua orang itu.

Draco mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai mengejek, "Kau takut, Potter? Apa kau takut para Pelahap Maut menangkapmu?" Draco tertawa mengejek, "sayangnya aku bukan Pelahap Maut lagi, Potter."

Harry mendengus tidak percaya, "Pelahap Maut tidak pernah berhenti, Malfoy. Mereka tetap menjadi Pelahap Maut sampai kapanpun. Termasuk kau." Tukas Harry.

Hermione memutuskan untuk menghampiri Harry dan Draco. mereka langsung berhenti ketika melihat Hermione. Harry hanya menunduk sambil menyangga dahinya, Draco memandang Hermione dengan pandangan membunuh. Hermione membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Kenapa, Granger? Menguping pembicaraan, eh?" sindir Draco.

Hermione mengatupkan mulutnya dan memandang Harry dan Draco secara bergantian, "Uhm—tidak. A-aku hanya... hanya... ingin memanggil Harry sebentar." Kilah Hermione sambil tersenyum kepada Harry.

Harry mengangkat kepalanya dan menghela nafas, "Ya, Hermione?"

"Be-Berrynya sudah siap, Harry. Apa kubawakan kemari saja?"

"Tidak usah, nanti saja, Hermione. Aku belum lapar." Harry tersenyum. Hermione membalas senyumnya dan berbalik pergi.

"Kenapa aku tidak ditawari makanan?" ucap Draco tiba-tiba ke arah Hermione.

.

.

.

~To be Continue~


Hollaaa... ('-')/

Ketemu lagi dengan author newbie yang masih belajar ini :v

Bagaimana fict terbaruku? Jelek, kah? Huwaaa... Maafkanlah saya T-T

RnR please...