[Kesatria jatuh cinta pada Putri bungsu dari Kerajaan Bidadari..
..Bintang Jatuh menawarkan sebuah bantuan kepadanya, bantuan untuk dapat terbang menemui Sang Putri..
..ia menggenggam tangan Sang Kesatria. "Inilah perjalanan sebuah cinta sejati," ia berbisik, "tutuplah matamu, Kesatria. Katakan untuk berhenti begitu hatimu merasakan keberadaannya."]
.
.
Dongeng masa kecil itu membuat mata Hangeng berkaca-kaca. Ada kepedihan yang tak dapat dijelaskan di sana. Untuk yang pertama kalinya, ia menangis..
Ia ingin jadi Kesatria..
.
Title :
SUPERNOVA
(Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh)
REMAKE.
.
Main Cast :
Hangeng
Kim Heechul
Kim Kibum
Choi Siwon
.
Pairing : I let you to guess! :)
.
Rated : T+ to M
.
Warning :
Genderswitch, Typo(s), OOC, AU, Adult Content, Confusing Plot, Over..
.
Disclaimer :
All the characters are belong to theirselves. I do not own the idea and the plot. But this fict is mine.. ^^
.
.
A/N:
FF ini 75% merupakan Remake dari Novel karya Dewi Lestari yang berjudul Supernova - Kesatria Putri dan Bintang Jatuh.
Adanya kesamaan plot, kutipan, monolog dan dialog merupakan unsur yang DISENGAJA..
Ingat, ini FF Remake, isn't plagiat.. Oke?
Don't Like? Don't Read!
.
~oOo~
.
.
Telepon genggam berwarna hitam itu berdering nyaring. Berteriak beberapa kali guna mendapat perhatian dari sang pemilik yang saat ini sedang tergopoh untuk segera menjangkaunya.
"Yeoboseyo?", ucapnya tersengal. Kotak kacamata yang berada di dekapannya bersama tumpukan tebal dokumen-dokumennya sampai meluncur jatuh dari genggamannya.
"Wei! Gege! Lama sekali! Kau kemana saja, eoh?"
"Zhoumi? Ck, aku kira siapa!"
Sahabatnya, Zhoumi yang selalu namja itu panggil dengan sebutan Koala, tertawa di ujung sana.
"Aku dapat voucher lagi! Ayo malam ini kita ke sana! Kau sudah lama tidak berpesta kan?"
"No, thanks! Pekerjaanku menumpuk, besok pagi harus rapat dengan si racoon, belum lagi agendaku yang semakin padat saja. Jika aku menurutimu, bisa kacau semua jadwalku! Aku tak mau merepotkan Ryeowook lagi.", tutur Hangeng, si namja berkebangsaan China.
"Ish, kau ini tidak asyik, ge! Okelah weekend! Aku tunggu kau lusa di klub seperti biasanya, dong le ma?"
Hangeng mendengus panjang. Ia sudah sangat hafal dengan sifat sahabat kecilnya itu yang selalu senaknya menentukan nasib.
"Aku usahakan, tapi aku tidak janji!".
Secepatnya Hangeng menyudahi pembicaraan mereka. Ia sungguh ingin cepat bersantai.
.
.
Air hangat yang mengucur dari shower di atasnya membalut tubuh telanjangnya yang tengah berdiri sambil terpejam. Merasakan hangat tiap partikelnya yang seolah meresap melalui pori-pori kulitnya.
Melamun..
Kegiatan yang sudah lama ditinggalkannya. Ditengah pikirannya yang selalu terfokus, hampir tidak ada jeda yang mengizinkannya untuk melamun.
Namun lain dengan malam ini, bahkan sejak sebulan kebelakang. Sejak sosok indah itu mengambil alih seluruh jiwa dan pikirannya.
Kibum..
Hangeng tidak akan pernah lelah untuk menyebutkan namanya. Menuliskannya dimana-mana, bahkan sampai mengukirnya pada pundi-pundi otaknya.
Ia sadar jika tingkahnya kini sudah seperti seorang remaja yang tengah dimabuk cinta. Tapi ia tak peduli. Seluruh dunianya hanya berkiblat pada sesosok yeoja manis yang sejak sebulan lalu sukses mencuri hatinya.
Ia berbohong pada Zhoumi. Ia tidak sedikit pun menyentuh pekerjaannya hari ini. Jika ada waktu luang, maka Hangeng akan lebih memilih untuk bersantai. Karena hanya dengan itu, ia dapat memikirkan sosok Kibum dengan lebih intensif.
.
.
~Kesatria~
.
.
Semua berawal dari satu tindakan..
Semua berawal dari satu pertemuan..
Dan semua berawal dari satu getar halus yang menyentuh sel tubuhnya..
Hangeng adalah seorang Managing Director muda yang sangat sukses. Di usianya yang ke 28 ia sudah mampu menempati posisi terpenting dalam sebuah perusahaan Multinational Coorporation.
Perjalanan karirnya yang cemerlang merupakan inspirasi bagi para generasi muda di masa mendatang. Berbagai deretan surat kabar saling berlomba memuat artikel tentang dirinya. Ia bukan hanya sukses, tapi juga kharismatik. Penampilanya yang elegan, sikap tenangnya, serta fisik yang sangat proporsional. Tak jarang yang memintanya untuk menjadi bintang iklan sampai model untuk majalah wanita. Bahkan salah satu manajemen artis terkenal sempat memberikan satu tawaran menggiurkan padanya.
Banyak yang mengira kehidupannya selama ini ia jalani dengan serba borju. Ia memang menerima fasilitas kelas atas mulai dari rumah dinas hingga kendaraan pribadinya. Namun itu semua tak luput dari kerja kerasnya dari senin hingga jumat, dari pagi hingga petang. Aktifitas serba padat yang cukup menguras otak, tak mengizinkannya untuk menikmati pemandangan barang sejengkal pun.
Namun pagi ini lain dari biasanya. Jadwalnya kosong hingga 3 jam kedepan. Sekretarisnya, Ryeowook, sudah meyakinkannya bahwa tidak ada yang salah dengan hari ini.
Hangeng termenung. Sepertinya ada yang berbeda dengan hari ini. Entah apa..
Tak lama kemudian, telepon ruangannya berdering.
"Han sajangnim, ada yang meminta untuk wawancara dengan Anda. Dari redaksi majalah wanita. Ia menanyakan kesediaan Anda."
Hangeng tertawa kecil. "Tidak ada kapok-kapoknya mereka."
"Saya tolak saja ya, sajangnim?"
Namja itu sudah akan mengatakan "Ya", namun entah naluri apa yang tiba-tiba membuatnya terdiam. Sesuatu di dalam dirinya memberontak kuat saat ia hendak menolak tawaran itu. Sejenak Hangeng tercenung.
"Sajangnim?"
"Eh.. Ryeowook, katakan aku bersedia. Tapi ingat, waktuku tak banyak. 15 menit lagi aku tunggu mereka di ruanganku."
Sambungan interphone itu terputus. Lagi-lagi Hangeng terdiam.
'It's not really me!'
.
.
Setengah jam kemudian, nampak seorang yeoja tengah berjalan tergopoh-gopoh memasuki ruangan serba hitam-putih milik Hangeng. Sambil mencoba mengatur nafasnya kembali, ia berusaha tersenyum seramah mungkin pada Hangeng yang kini sedang menatapnya dengan pandangan 'kau-sangat-terlambat-tahu'.
"Selamat siang. Anda hanya punya waktu dua jam untuk mewawancari saya. Silahkan.", Hangeng mempersilahkan reporter itu untuk duduk.
Nampak yeoja itu masih sibuk mengatur nafasnya. Ia tidak punya banyak waktu. Bahkan ia juga belum sempat menyusun konsep wawancaranya.
"Hangeng imnida. Kau boleh memanggilku Han atau Geng, terserah.", mereka berjabat tangan.
"Kibum. Choi Kibum", suara yeoja itu bergetar. Ia mulai mempersiapkan perangkat wawancaranya. Sesekali manik karamelnya mencoba mencuri pandang ke arah Hangeng. Namja itu.. Ternyata jauh lebih tampan aslinya. Namja yang selalu menjadi topik hangat teman-teman seredaksinya hingga di klub fitnesnya. Dialah Hangeng, sang mitos.
"Ada lagi yang perlu kita tunggu?"
Suara lembut Hangeng membuyarkan lamunannya. Setelah itu, wawancara mereka pun berlangsung tanpa skema.
.
.
Sesi wawancara itu berakhir di luar perkiraannya. Hangeng benar-benar kagum dengan sosok Choi Kibum. Dua jam wawancara mereka habiskan dengan apik, mengalir seperti air, namun sangat berbobot.
"Pertanyaan-pertanyaanmu sungguh mengejutkan, Bummie."
Kibum menatap namja itu. Ada intensitas dalam pandangan mereka yang berlangsung tak lebih dari dua detik. Sayup-sayup, suara biola mengalun merdu di relung hati keduanya.
"Ehm, kau punya waktu sampai makan siang kan, Kibum?"
Kata sapaannya berubah lagi. Kibum mengangguk cepat. Terlalu kentara. Sehingga tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Termasuk cincin emas yang melingkar anggun di jari manisnya.
.
~oOo~
.
"Kau sudah menikah?", satu pertanyaan yang meluncur saat mereka tengah menikmati makan siang bersama di sebuah resto di lantai low ground kantor Hangeng.
"Nde..", nada jawaban Kibum terdengar sedikit mengambang.
"Sudah berapa lama?"
"Tiga tahun."
"Kalau boleh tahu, berapa usiamu sekarang?"
"26."
"Wah, berarti kau menikah di usia yang cukup muda ya! Bagaimana rasanya menikah?"
Senyum Kibum sontak memudar. Demi apapun, ia ingin waktu siang ini berjalan lebih lambat namun tidak dengan pertanyaan-pertanyaan yang begitu mengusiknya seperti ini.
"Ma-maaf.. Aku salah bicara ya?", ucap Hangeng hati-hati.
Kibum menggeleng cepat. "Kehidupan itu punya kurva, Hangeng. Kadang naik, kadang turun. Ada kalanya kita bahagia, namun tak jarang juga kita berada pada titik terendah. Begitupun dengan menikah. Kalau kau ingin tahu bagaimana rasanya menikah, kau harus mengalaminya sendiri.", satu jawaban diplomatis dari Kibum demi menghindarkannya dari hal-hal yang lebih jauh lagi.
"Mianhae, aku hanya terkesan dengan orang-orang yang mampu berkomitmen tinggi soal cinta. Mengingat aku sendiri tidak pernah serius dalam berhubungan."
Kibum terheran-heran, "Dalam pekerjaanmu yang rawan stres seperti itu, apa kau tidak ingin mempunyai seseorang yang bisa membuatmu merasa nyaman?"
Hangeng menggedikkan bahu. "Sebenarnya ingin sekali. Tapi aku belum siap berkomitmen."
Mendengar spekulasi Hangeng, raut wajah Kibum berubah serius seketika. "Cinta itu butuh pengorbanan, Han."
Dan Hangeng hanya terkekeh pelan, "Menurutku, cinta itu membebaskan. Tidak mengikat. Dan bukannya butuh pengorbanan."
Mereka berdua terdiam. Terlalu lama sehingga mampu menyiratkan segalanya.
"Kibum..", panggil Hangeng.
Yeoja dengan eyes-smile itu menoleh.
"Ada kartu nama?"
Kibum langsung merogoh tas kulitnya cepat. Mengambil dompetnya dan menyerahkan selembar kartu nama berwarna soft pink kepada Hangeng. Ia lega. Setidaknya ia meninggalkan jejak.
Hangeng tersenyum hangat. "Terima kasih wawancaranya. Kau membuat hari ini menjadi sangat berkesan."
Suara denting piano mengalun harmonis di rongga dada Kibum, dimana senyuman Hangeng terpatri sangat rapi di sana.
"Kibum.."
Yeoja manis itu kembali menoleh. Manik mata karamelnya bersinar cerah. Tidak ada yang menyangka, bahwa di sanalah hati Hangeng tertambat.
"Kau anak bungsu?"
"Bagaimana kau tahu?"
'Kesatria jatuh cinta dengan Putri bungsu dari Kerajaan Bidadari.'
Hangeng tersenyum getir. Inilah momen dimana alunan biola itu kembali tercipta. Hangeng bisa mendengarnya. Namun suara yang terdengar tak seindah pada awalnya, suara itu sangat sumbang. Mengiris bahkan menyayat..
.
.
~Putri~
.
.
Suasana makan malam itu terasa begitu sunyi. Entah karena rumah mereka yang terlalu besar atau karena memang ada jarak yang tercipta.
Choi Siwon memandangi yeoja yang berstatus sebagai istrinya dengan heran. Makanan telah tersaji 15 menit yang lalu, tapi yeoja manis itu tak kunjung menyentuhnya. Pandangan yeoja itu mengawang entah kemana.
"Kibummie..", panggil Siwon lembut.
"Ya?"
"Ada masalah? Aku perhatikan, kau sekarang sering sekali melamun. "
Kibum menunduk. 'Ya, yeobo. Aku jatuh cinta dengan namja lain. Aku ingin kita kembali ke masa lalu dan tidak perlu menikah.'
"Kau sehat-sehat saja kan, sayang? Akhir-akhir ini kau sibuk sekali. Bahkan sering pulang larut malam. Ada event apa memangnya?", selidik Siwon.
"Aku baik-baik saja kok, sayang.. Tidak usah khawatir.", Kibum tersenyum sewajar mungkin di hadapan Siwon.
'Kesibukanku mulai terlihat tak wajar ya? Aku akan usahakan supaya tidak kentara. Terima kasih peringatannya.'
"Aku harap kau menjaga kesehatanmu, Bummie.. Tahun ini kita kan sudah berjanji akan membuat baby, ingat?"
Kibum melengos. 'Aku akan tetap mengkonsumsi pil KB. Mianhae..'
"Chagiya?", panggil Siwon lebih lembut begitu melihat ekspresi di wajah Kibum berubah.
"Nde, Siwonnie.. Aku mengerti."
Dan suasana malam itu kembali tertelan oleh kesunyian. Mereka berdua terperangkap oleh pusaran waktu yang membelenggu. Tidak ada yang muncul ke permukaan. Semuanya terkunci dalam pusaran itu.
.
.
~Bintang Jatuh~
.
.
Panggung catwalk itu di dominasi warna emas dengan pencahayaan semi klasikal. Music dance dengan paduan jazz menggema memenuhi atrium megah itu. Mengantarkan keluar para gadis-gadis tinggi semampai berbusana malam dengan warna senada. Berjalan melenggok penuh keanggunan tingkat dewa. Menjadikan malam itu terkesan begitu glamour sekaligus eksotis.
Dengan pandangan tajam, ia menantang para audience yang berada di hadapannya. Namun selalu ada yang berbeda setiap kali peragawati itu muncul. Perbedaan yang tidak sederhana. Pandangan matanya. Tatapan tajam yang seolah membelah tiap pasang mata yang memandangnya. Ia tidak mencari ruang kosong. Ia memandang tepat di iris mata. Menghunus, menelanjangi semuanya.
Siapa pun tidak ada yang bisa menolak pesonanya. Penampilannya selalu ditunggu-tunggu. Semua tahu itu. Semua rela menyerahkan diri untuk dipenggal bola mata itu.
Satu putaran terakhir, dan bidadari itu menghilang di balik tirai emas.
.
.
"Kim Heechul noona!"
Yeoja itu menoleh. Desainernya berlari tersengal ke arahnya.
"Bajumu.. Hh.. Hh..", katanya sambil menyerahkan sepasang gaun berwarna marun dan tosca yang terbungkus rapi pada dress bag.
"Gomawo."
"Oh ya, besok jangan lupa. Jam 7 pagi, oke? Ini permintaan khusus dari agensi. Yah.. Aku harap kau mengerti.", ujar Hongki, desainernya, sambil tersenyum lebar.
"Arraseo.", Heechul menjawab cepat dan langsung pergi.
"Heechul noona," panggil Hongki lagi. "Mau kuantar pulang?", tawarnya basa basi.
Hongki sebenarnya enggan berlama-lama dengan modelnya itu. Kim Heechul bukan tipe orang yang menyenangkan. Yeoja itu dijuluki "Si Pahit", karena kata-katanya yang selalu pedas. Tidak pernah ramah dan terlalu dingin. Suka mood swing dengan cukup ekstrim. Belum lagi lidahnya yang sadis tanpa tedeng aling-aling. Namun di balik itu semua, Kim Heechul bagaikan magnet yang mampu membalikkan apa saja untuk berpihak padanya.
Heechul adalah model papan atas. Tidak mau dibayar murah dan hanya mau muncul untuk acara-acara bonafide. Tapi ia memang sangat profesional. Menghargai waktu, dan tidak pernah mengeluh.
"Tidak usah. Aku pulang dengan taxi saja. Duluan ya, Hongki.", Heechul tersenyum singkat.
Begitu ia sampai di lobby gedung manajemennya, alarm ponselnya berbunyi. Ia memang suka lupa dengan appointmentnya. Maka dari itulah ia sangat bergantung dengan ponsel.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian, iphone putihnya berdering.
"Yeoboseyo Heechul? Sudah siap? Aku jemput sekarang ya? Kau dimana?", terdengar suara namja di ujung sana.
.
15 menit kemudian, muncul sebuah sedan hitam mewah yang datang menjemput.
"Hai sayang..", seorang namja tinggi dengan setelan jas mahal menyambut Heechul yang hanya memandangnya datar.
"Hai.", balas Heechul pendek.
"Bagaimana show-nya? Malam ini kau cantik sekali."
"Shownya? Sukses. Aku cantik? Dari dulu. Jujur aku capek, Jay. Tapi tenang, aku profesional.", ucap Heechul datar. Ia menjepit rambut kecoklatannya ke atas. Memamerkan leher jenjangnya yang sedikit berkeringat. Membuat Jay semakin lapar dibuatnya.
Mobil itu melaju kencang membelah malam.
.
.
Kasur pegas itu akhirnya beristirahat setelah beberapa jam berderit kencang dan menandak-nandak liar. Sesi panas itu selesai, dan kini keduanya hanya saling mengobrol.
"Heechul, jujur saja. Kau ini sebenarnya lebih pintar lho daripada CEO-ku. Bagaimana kalau kau melamar saja di kantorku. Aku yakin kau akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dariku."
Heechul yang sekarang hanya memakai bathrobe memandang Jay lewat ekor matanya, jengah.
"Justru karena aku lebih pintar dari CEO-mu, makanya aku tidak mau bekerja seperti kalian. Kita sama-sama berdagang. Hanya komoditasnya saja yang berbeda. Aku tidak suka terikat. Dan pikiranku tidak mau diperintah oleh siapapun. Aku juga berdagang tidak sembarangan bukan?"
"Jadi itu sebabnya kau memasang tarif dollar?", Jay tersenyum. Ia mengambil amplop di tas kerjanya. Menyerahkannya pada Heechul.
"Same work, different pay!", kata Heechul ringan. Ia siap pergi.
"Minggu depan jangan lupa!"
"Kita ada janji lagi?", Heechul mengernyit heran.
"Bisakah kita buat?", Jay tersenyum nakal. "Aku masih merindukanmu."
Yeoja cantik itu hanya mencibir. "Aku pasang tarif mahal saja banyak yang rindu. Apalagi kalau aku pasang murah? Bisa gila aku menghadapi orang-orang macam kalian."
Jay terkekeh sembari mengerling genit pada Heechul. "Heechul.."
"Apalagi?"
"Saranghae.."
Waktu terasa bergulir lamban jika sudah bersama Heechul. Jay amat bisa merasakannya. Heechul itu, seperti mahluk yang memiliki dimensi waktu tersendiri.
.
.
~oOo~
.
.
Ada gambaran mereka berdua dalam benak masing-masing. Di suatu siang di hari minggu. Dimana tetes gerimis membasahi jendela ruang kerja Hangeng.
Kedua insan ini masih saling melempar tawa satu sama lain. Bercanda seolah dunia hanya sebatas Hangeng dan Kibum.
"Kita taruhan yuk!", ujar Kibum tiba-tiba.
"Taruhan apa, Princess?"
Kibum terdiam seketika. Pandangan matanya nanar, menahan pilu.
"Bummie?"
"Hatiku meleleh tiap kali kau memanggilku 'Putri'.", kata Kibum lirih.
"Kau memang Putriku yang paling cantik, Kibum-ah..", Hangeng membelai pelan pipi Kibum.
Kibum tersenyum tulus. "Kau memang mencintaiku dengan tepat, Hangeng."
.
"Kita taruhan apa, Putri?"
Dengan semangat Kibum menyodorkan selembar kertas dan sebatang pensil ke hadapan Hangeng.
"Tiap kali kita kangen, kita coret garis di kertas. Lalu kita hitung mulai dari kita bangun tidur hingga malam menjelang tidur. Lalu saling melaporkan jumlahnya. Harus jujur! Awas kalau tidak!"
Hangeng berpikir sejenak. Lalu kemudian ia tersenyum lebar. "Baiklah! Lalu bagi yang kalah hukumannya apa?"
"Yang kalah harus membuatkan puisi!", Kibum tersenyum menang.
"Mwo? Aku tidak bisa bikin puisi!", sergah Hangeng.
"Kalau begitu jangan sampai kalah! Arraseo?", Kibum meraih tangan Hangeng lalu mengecupnya lembut.
Sayup-sayup, suara gerimis mendominasi.
'Sudah kumenangkan taruhan ini, bahkan dengan amat adil. Jauh sebelum kau menyerahkan kertas dan pensil. Karena rinduku menetas sebanyak tetes gerimis. Tidak butuh kertas, atau corengan garis. Genggamlah jantungku dan hitung denyutannya. Sebanyak itulah aku merindukanmu, Putri.'
.
.
~oOo~
.
.
Hampir tiap malam alarmnya berbunyi dan lembaran-lembaran dollar senantiasa mengalir lancar ke rekeningnya.
Pagi hari, setelah yoga, Heechul dengan tertib menyelesaikan latihannya di treadmill. Mengkonsumsi jus dua gelas, melenturkan otot. Dan tidak pernah absen merawat tubuhnya begitupun rambut indahnya. Membaluri kulit putih susunya dengan pelembab mahal. Serta menjaga bentuk tubuhnya.
Pekerjaannya membutuhkan fisik yang selalu fit dan penampilan maksimal. Bagi Heechul pribadi, menjaga tubuh adalah sebuah tanggung jawab akan raga.
Malam ini, Heechul lebih cepat dari alarmnya. Peristiwa yang sangat jarang terjadi.
Tamunya malam ini bukan termasuk golongan klien. Ia sudah seperti sahabat. Satu-satunya namja yang ia izinkan untuk mencium bibirnya.
Beberapa menit kemudian, suara deru mobil sampai di pekarangan rumahnya.
"Yunho! Apa kabar, chagiya~", sambut Heechul ceria.
"Kabarku luar biasa, baby.."
Keduanya berciuman hangat.
Yunho adalah seorang namja mapan dengan penampilan yang luar biasa tampan. Peranakan Korea-Spanyol dan hobinya travelling.
"Kau mau makan malam dengan apa, darling? Atau mau makan aku?", tanya Heechul dengan masih setia melingkarkan kedua tangannya di leher Yunho.
"Aku mau dua-duanya..", bisik Yunho mesra, tepat di cuping telinga Heechul.
Mereka berciuman lagi. Lebih lama, lebih dalam, lebih panas. Meresapi tiap detiknya, mengingat mereka hanya bertemu tiap setahun sekali.
"Baby, aku ingin bercinta denganmu, sekarang juga, di sini, saat ini.."
"Sayangnya aku tidak bisa..", Heechul kembali berbisik. "Ayo kita pergi! Kita lanjutkan yang tadi."
Yunho tertawa. Dengan sayang ia mengamit pinggang Heechul, mataharinya, cintanya yang terpendam..
.
.
Masih teringat jelas dibenak Yunho pertemuan awalnya dengan Heechul. Saat Yunho melihat sosok Heechul untuk yang pertama kalinya, ia sudah menetapkan pada hatinya, bahwa Heechul adalah mataharinya. Ia adalah langit malam, dan Heechul adalah matahari yang membuatnya tak pernah lagi merasakan apa itu gelap.
Tidak ada yang bisa menjelaskan, bahwa sosok Heechul yang saat ini duduk di hadapannya tanpa sehelai benang pun dengan rambut tergerai merupakan pemandangan terindah dalam hidupnya.
Malam itu, ia merasakan magis saat Heechul mulai menyentuhnya. Memekarkan sesuatu dalam sel tubuhnya, membuatnya utuh sebagai seorang namja sejati.
"Ini yang pertama kalinya buatku.", Yunho berkata ragu.
Heechul terkesiap. Reflek ia merengkuh namja itu dengan lembut. Membawanya masuk dalam lapisan hangat selimut mereka berdua.
"Seharusnya kau tidak melakukan ini denganku.", bisik Heechul.
"Tidak akan ada yang aku sesali. Aku yakin itu."
Ada kesungguhan dalam suara Yunho. Membuat Heechul merasa merinding dibuatnya. Ia mengigit bibirnya kuat.
Melihat itu, Yunho dengan sigap menyergah.
"Jangan.."
Perlahan dan tenang, Yunho menyentuh dagu Heechul. Memisahkan jarak diantara mereka. Dan menciumnya lembut.
Heechul tak pernah membiarkan hal seperti itu sebelumnya. Namun malam ini, ia merasa telah mengambil sebuah keputusan yang tepat. Menikmati saat percikan listrik menyengat halus syarafnya. Setiap detik.. Tanpa sepeser pun menyentuh uang Yunho.
Mereka berdua sama-sama membawa sebuah pengalaman baru. Ciuman pertama bagi Heechul, dan cinta pertama untuk Yunho.
.
.
"Ikutlah denganku, Heechul baby..", Yunho mendekap tubuh polos Heechul dengan erat.
"Kau sudah tahu jawabannya," Heechul mengecup tangan Yunho yang memeluknya.
"Aku janji akan membiarkanmu bebas.", Yunho mengatupkan matanya seraya berbisik pelan. "Saranghae.."
Heechul mendengarnya. Diciumnya bibir Yunho sekilas. "Masih banyak yang harus aku kejar, Yun.. Aku harap kau mengerti."
Yunho mengerti. Heechul adalah jiwa penuh kebebasan. Ia adalah merpati yang bebas terbang kemana saja, bebas melakukan apapun yang ia suka, namun selalu tahu aral dan tujuannya. Berat rasanya ia melepaskan pelukan itu. Meninggalkan malam ini.. Meninggalkan mataharinya..
.
.
~oOo~
.
.
Kibum sadar bahwa Siwon sudah hafal dengan siklusnya. Karena itu ia benar-benar risih.
Semakin lama ia menghindar, semakin membuat Siwon bagaikan singa yang kelaparan. Yang siap menyerang begitu ada kesempatan. Mengingat rencana mereka untuk segera memiliki momongan, sudah sewajarnya jika kegiatan tersebut lebih diintensifkan.
Siwon keluar dari kamar mandi. Hanya menggunakan bathrobe. Kibum melirik suaminya. Ia tahu benar apa yang diinginkan Siwon setelah ini.
"Kau tidak minum pil KB lagi kan, sayang?"
"Ani..", Kibum menelan ludah gugup.
Lampu kamar dipadamkan. Perlahan Kibum mulai merasakannya, lengan kekar Siwon yang merayap melingkari pinggangnya. Deru nafas Siwon yang begitu memburu dan belaian penuh maksud yang menyentuh kulitnya.
"Kau baik-baik saja kan, mhh?", Siwon setengah mendesah.
Kibum benar-benar merinding kali ini.
'Jangan lakukan itu, kumohon', jerit batin Kibum.
"Relaks, chagi~ Aku akan pelan-pelan.."
Dan setelahnya, Siwon langsung menumpukan sebagian berat tubuhnya tepat di atas tubuh Kibum yang gemetar. Menyelipkan telapak tangannya di balik piyama Kibum dan menerjang bibir plumpnya.
Malam itu, kamar gelap mereka menjadi saksi bisu, bagaimana seorang Choi Kibum merintih pilu, mendesah pasrah dan berteriak sunyi. 'Hangeng, tolong.. Aku diperkosa'.
.
.
.
To Be Continue
