Hoooi, hoooooiii, watashi wa Kimchi desu.
Pertama saia ngebaca fiction di sini, rasanya terharu banget. Semakin saia baca, saia makin terharu. Rasanya, air mata ini udah satu ember yang menetes. Salah satu impian saia adalah menemukan dan berkarya di fandom yang nggak ada junkfic. Inilah fandom yang saia dambakan itu. FFVII, jejejejeeeeng~
Sebenernya tadinya saia mau publish cerita ini di akun saudara sepupu saia, tapi daripada selamanya saia jadi bayang-bayang, saia berpikir mungkin lebih baik kalo saia publish pake akun sendiri.
a/n: cerita FFVII pertama saia. Dalam cerita ini akan ada dua konflik. Yang pertama masalah antara Cloud dan Tifa. Yang ke dua adalah kedatangan lima orang tak dikenal ke sektor tujuh karena suatu alasan. Saia berusaha biar kedua konflik yang nggak nyambung itu bisa saling berkaitan. Tapi, yah... biarin aja ceritanya ngalir.
Oke, cukup deh ngeksis di author's note. Dan sekarang waktunya fiction dimulai. Nih!
Di dini hari yang dingin membeku, mata biru turquoise itu telah mengawasi muramnya permukaan tenang. Tak ada gejolak, tak ada gelombang. Nyaris sama seperti hatinya yang sepi, termangu sendiri. Pohon-pohon pinus hitam di pagi yang kejam itu seolah ikut bungkuk menteror, mengintimidasinya. Namun, tampaknya tak ada lagi yang dapat membuat semua yang telah terlaksana itu bertambah buruk, karena segala yang terburuk dari yang mungkin terjadi telah menimpanya.
Mimpi adalah jarang baginya. Namun, beberapa hari terakhir, ia berulang-ulang memimpikan hal mengerikan. Satu per satu temannya tewas. Dibunuh, disiksa sampai mati, hilang begitu saja, bahkan bunuh diri. Kian hari, mimpi-mimpi itu muncul tak hanya saat ia sedang terlelap, tapi saat ia terjaga pun, kilasan-kilasan horor muncul begitu saja. Lama kelamaan, bayangan-bayangan semu itu mulai mejadi momok baginya. Sebelum ia benar-benar gila, pria muda itu memutuskan mengeluhkan segala masalahnya pada sang kubangan raksasa tempat raga'nya' bersemayam damai.
-o-
DISCLAIMER
Final Fantasy VII milik Square Enix
Setting: AU, OC(s)
Part 1: The Arrival
-o-
Di atas bebatuan pasir, berdiri seorang pemuda berkostum hitam. Kacamatanya yang juga hitam memantulkan sinar rembulan. Sambil ditemani bintang-bintang yang bertebaran tak beraturan, matanya menyapu pemandangan gurun sunyi itu.
Diam-diam, pikirannya jauh berkelana, ke dunia putih yang dulu pernah dimasukinya.
"Maaf, ya, sepertinya tak ada tempat bagimu di sini."
Karena ia masih memiliki misi untuk diselesaikan. Karena teman-temannya membutuhkannya. Karena kini, ia tidak sendiri. Meski gadis itu tiada lagi di sisinya, ia tidak sendiri.
Dengan berat, pemuda pirang itu menghembuskan nafas. Letih, sekaligus lelah.
"Sungguhkah jalan yang kutempuh ini benar?" batinnya melayang-layang.
Sedetik kemudian, sang perjaka menegakkan kepalanya. Bukan karena PHS-nya berdering, namun karena ia mendengar suara samar dari kejauhan.
NGUUUUNG...
Suara itu makin dekat, makin jelas. Suara deru mesin.
Sebuah tanda tanya besar muncul di benaknya. Ia melepas kacamata hitamnya, dan dilihatnyalah adegan ini; lima orang berbaju serba hitam mengendarai motor 3000cc dengan kelajuan super tinggi. Bahkan Fenrir milik Cloud pun mungkin tak bisa berpacu secepat itu.
'Turks?' Tanyanya pada diri sendiri. 'Bukan,' jawabnya pada dirinya. Mata biru Cloud tak sedetikpun lepas dari kelimanya. Dari mana mereka, tidak ada yang lebih pasti dari sebuah perkiraan. Tetapi, mau ke mana mereka pergi, sudah dapat ia estimasikan.
Cloud langsung menunggang Fenrirnya. Segera dipacunya mesin itu menuruni lereng tebing curam tanpa mempedulikan PHS-nya yang menyalak-nyalak nyaring minta diangkat segera.
"Apa yang mau mereka lakukan di sana?" selidiknya berkali-kali. Memaksimalkan akselerasi motornya masih menyisakan jarak yang cukup jauh antara dia dan kawanan orang asing itu. Beruntung, ia masih sempat melihat orang-orang itu mengambil jalur yang hanya mengarah ke satu tempat. Gereja Aerith.
Cloud memarkir motor hitam itu agak jauh dari gedung. Didorong rasa khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk –pada tempat tua itu- Cloud mendorong gerbangnya yang berat perlahan. Tapi, itu tidak perlu. Pintu itu telah menganga dengan sendirinya. Ah, bukan. Ada seseorang yang membukakan, tentu saja.
"Strife," panggil sebuah suara tenor yang kuat. "Cepat juga kau datang," suara lain terdengar. Cloud tak bergerak sampai sosok-sosok hitam muncul seiring dengan terbukanya pintu. Satu di antaranya, yang wajahnya terlihat paling muda, menyilakannya masuk.
Seorang asing mempersilakan tuan rumah masuk ke tempat yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Lucu bukan?
"Apa yang mau kalian lakukan di tempat ini?" pancing Cloud.
"Masuklah dulu, nanti kami jelaskan," pinta si muda dengan halus. "Kami tidak akan menyakitimu."
Untuk disakiti atau untuk tidak disakiti. Bukan itu yang ia dikhawatirkan. Akhir-akhir ini ia sangat sensitif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan si gadis bunga, Aerith yang ia cintai. Kemungkinan orang-orang ini merusak gereja yang penuh kenangan itu lebih membuatnya takut.
Tiada bergeming, Cloud bersikeras menanyakan tujuan mereka. "Katakan apa mau kalian!"
Salah seorang yang berkalung metal akhirnya mengatakan tujuannya.
"Kami datang untuk meminta bantuanmu, Cloud Strife. Mantan SOLDIER. Sahabat Zack Fair." Kata-kata yang mengejutkan itu tidak membuat Cloud lantas membelalakkan mata. Sebaliknya, alisnya mulai bertaut heran.
"Kami mencari seorang putri. Putri itu adalah masa depan negeri kami, Wutai," jelas si rambut jabrik sambil memperlihatkan selembar foto kecil. Di sana diumbar samar rupa jelita seorang putri kerajaan. Cloud mengalihkan pandangannya pada lembaran itu.
"Sekilas, putri ini.. ."
"Tuan putri akan dinikahkan dengan raja Northern Crater yang selama ini menjajah perekonomian kami. Dengan begitu, kerjasama yang akan terjalin selanjutnya akan memperbaiki ekonomi negeri kecil kami. Sebaliknya, bila kami tidak menyerahkan tuan putri, sang raja akan menghancurkan kerajaan kami dengan akal liciknya."
Cloud kali ini… tidak tertarik.
"Putri memang tidak pernah mengatakan tujuannya kabur. Tapi kami tahu. Ia berniat menginjeksi mako ke dalam tubuhnya sendiri, berharap dengan itu ia punya cukup kekuatan untuk membunuh raja Northern Crater sendirian," sambung yang termuda cepat, menangkap sinyal-sinyal bosan dari mata Cloud. Yah, memang wajar kalau si jabrik pirang itu bosan. Itu bukan urusannya. Putri yang hilang itu bukan masalahnya.
"Apa hubungannya semua ini denganku?" tanyanya dingin.
"KAU pernah menjadi SOLDIER. Tidakkah itu cukup untuk dijadikan alasan?" jawab si suara tenor lebih tak bersahabat. Jelas sudah semuanya. Mereka menginginkan Cloud menunjukkan jalan menuju ke reaktor mako dan menyingkap pertahanan pasukan ShinRa yang menjaganya. Memang tak mengherankan, karena reaktor itu dijaga oleh pasukan yang meskipun tak terlalu kuat, jumlahnya banyak. Hanya orang yang sudah kenal betul tempat itu yang bisa menemukan 'gang-gang tikus' yang terselubung menuju ke inti bangunan.
"Lakukan sendiri."
Mereka diam. Sampai akhirnya seseorang ingat ada hal lain yang bisa mereka katakan.
"Sebagai gantinya, bila misi ini berhasil, Wutai akan berbagi keuntungan dengan membangun sektor ini, agar semua orang bisa hidup lebih layak."
"Kami bisa bangun semuanya sendiri. Tak butuh bantuan."
"Tapi dengan bantuan kami, perkembangan kawasan kumuh ini akan jauh lebih cepat. Penduduk yang menderita bisa tertawa lagi. Raja Northern Crater sendiri berjanji akan melipatgandakan beberapa ratus persen ekonominya di negeri Wutai. Dengan begitu kami bisa mendirikan banyak lapangan kerja, tempat hiburan, dan pabrik-pabrik besar di kota yang terlupakan ini," pria murung yang memakai goggle di kepalanya akhirnya berbicara.
"Jangan kau kira kami sebegitu miskin. Kami bisa bertahan selama ini, dan akan bertahan untuk seterusnya," Cloud bersikukuh dengan keputusannya.
"Ini adalah tawaran yang sama sekali tidak merugikanmu, Cloud Strife. Kau hanya perlu membantu kami. Apa susahnya?"
"Tidak-tertarik."
Kelimanya menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda. Pemuda yang kelihatan paling belia memandanginya penuh rasa heran becampur sedih. Rambut jabrik tampak sedang memikirkan cara lain untuk membujuk dirinya. Sang pemakai goggle yang penampilannya paling aneh langsung murung. Sedangkan dua yang lain, si kalung metal dan si jangkung suara tenor melempar pandangan merendahkan pada Cloud.
Kesunyian itu makin mencekam, sampai akhirnya,
"sungguh menyedihkan. Seorang SOLDIER yang terhormat berakhir menjadi kurir antar barang hina."
Cloud Strife memicingkan mata.
"Dan kini, saat tiba sebuah kesempatan untuk mengubah hidupnya yang tak berarti, dia malah menolaknya." Ternyata kata-kata itu memberondong dari mulut pria berkalung logam. Pria yang rambutnya tak beraturan itu memiliki tatapan paling dingin, tanpa belas kasihan.
"Ini adalah kesempatanmu, mungkin satu-satunya, untuk membuat dirimu sedikit berguna bagi orang-orang di sekelilingmu. Kau boleh mengubah keputusanmu yang terlalu terburu-buru sekarang. Karena bila tidak, sesuatu yang buruk mungkin saja menimpa orang yang kau sayangi. Sekali lagi. Cloud Strife."
Sekali lagi? Sekali lagi. Sekali lagi! Orang ini…
Orang ini tahu masa lalunya.
Orang ini tahu tentang Zack.
Tentang Aerith juga.
Cloud mencengkram pedangnya.
"Kau sudah terima jawabanku. Sekarang, enyahlah dari tempat ini." Gertakan kecil tentunya tidak dapat mengubah keputusan Cloud untuk tidak menganggap masalah sepele itu. Dia tetap pada proyeksinya, bahwa mengambil tindakan untuk membantu orang-orang asing ini akan membawa dampak berbahaya lebih lanjut.
Mungkin saja, ia bisa kehilangan temannya yang lain. Persis seperti mimpi yang telah menghantuinya beberapa hari terakhir.
Jelas, ia tidak sudi.
~toBcontinued~
Pendek ya? Tapi perjuangan nyelesaiinnya panjaaaaang banget.
Karena ini cerita semi AU (atau udah murni alternate universe?), mohon ikuti aja alurnya ya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Oh iya. Sebagai bahan evaluasi Kimchi, tinggalin review please?
