Summary : Sang bintang juara tidak akan pernah menyangka sebelumnya bahwa ia dikalahkan oleh seorang penembak lokal yang hanyalah seorang gadis kecil. Lebih dari itu, sang bintang menyadari bahwa ternyata gadis itu bukan hanya memenangkan kompetisi, tapi juga telah memenangkan hatinya.
.
.
.
Tubuh belia yang begitu mungil sontak tiarap menutupi diri di antara rumput-rumput liar yang mengering begitu melihat sosok predator yang kini berdiri jauh dari posisinya. Salah satu spesies kucing besar bertubuh ramping dengan ekor yang panjang, memiliki corak bulu indah dengan bintik-bintik hitam di bulunya yang keemasan, sedang menampakkan taringnya yang menunjukkan ia sedang mencari mangsa.
Bukan karena apa yang lihat adalah seekor predator yang mungkin bisa menyerang tubuh kecilnya, tapi karena binatang itu memiliki bulu yang amat bagus. Jika ia berhasil mendapatkannya, ia bisa menjualnya dengan harga yang cukup mahal.
Ia menurunkan tali yang mengikat senapan tua di punggungnya, menarik senapannya ke depan lalu mengarahkan moncongnya ke sang predator. Melalui celah antara rerumputan yang bergoyang oleh desau halus angin, ia menatap waspada ke arah targetnya ketika sang target menoleh ke arahnya, seolah-olah binatang itu menyadari kehadirannya. Ia tahu ia harus cepat, jika tidak, maka dialah yang akan menjadi mangsa. Ia mulai membidik.
"Tembak matanya! Jangan sampai kau merusak apa yang bisa dijual!"
Pesan yang selalu dilontarkan mendiang ayahnya terngiang diingatannya. Ia mengerti, pelurunya tidak boleh mengoyak kulit targetnya. Dari kejauhan, mungkin lebih dari dua puluh meter, ia membidik bola mata sang target, tapi…
"Jangan sia-siakan peluru yang kau pakai! Kita menembak bukan untuk kesenangan." Ia menggigit bibirnya. "Usahakan hanya satu tembakan! Sasaranmu diam… atau bergerak cepat sekalipun."
Ia ingat, ia hanya mengisi senapan tuanya dengan empat butir peluru. Separuhnya telah digunakan untuk menembak dua ekor kelinci yang kini tergeletak di sampingnya. Itu berarti, senapannya tinggal berisi dua peluru. Ia tahu targetnya bukanlah target biasa, predator itu bisa bergerak tiba-tiba dan mampu berlari dengan kecepatan 110km/ jam. Ia tak boleh kehilangan sesuatu yang bernilai jual tinggi, tapi ia harus menembaknya dengan sekali tembak, tepat di salah satu bola matanya.
"Usahakan hanya satu tembakan!"
Ia menenangkan dirinya, memfokuskan arah pandangnya. Irama napasnya terdengar halus, begitu teratur. Telunjuknya melingkar di pelatuk, siap menariknya. Namun, begitu ia menarik pelatuk, tiba-tiba sang target bergerak spontan dengan kecepatan yang tak terduga.
DOR
Burung-burung yang diam bertengger di ranting-rangting pepohonan sontak beterbangan meninggalkan persembunyiannya.
.
.
.
Disclaimer : Kubo Tite
POV 1 (Kurosaki Ichigo) & POV 3 (normal POV)
AU, OOC, Typo (always and forever)
Basic story : inspirit of true story and musicals with same title
"Annie Get Your Gun"
Ket : pergantian POV dipisahkan oleh garis datar!
.
.
.
CH 1
Competition
.
.
.
"Hahahaha…" Tawa kemenangan milik sang bintang bersurai orange terdengar memuakkan di telinga puluhan lawan-lawannya yang telah kalah. Ia lalu melemparkan pandangannya ke arah para penonton dengan tampang angkuhnya, berjalan sambil menyeret senapan panjangnya ke tengah-tengah lapangan yang menjadi area pertandingan. "Sepertinya memang tidak ada penembak Rokungai yang bisa mengalahkanku!" serunya bernada congkak.
Pria berkacamata dengan potongan rambut lurus belah samping yang sedari tadi duduk di barisan paling depan dari kerumunan penonton, tampak mengipas-ngipas tubuhnya yang gerah oleh terik matahari dengan topinya. Tatapannya sudah tak lagi mengarah ke area pertandingan, ia bosan. Beberapa hari yang lalu, ia mendengar bahwa kota Rokungai terkenal memiliki banyak penembak lokal yang jitu. Makanya, ia mengajak sahabatnya, Kurosaki Ichigo, yang notabene adalah seorang juara sharp shooter di ibu kota, jauh-jauh datang ke kota pinggiran, Rokungai, untuk mengadakan kompetisi, menantang para penembak lokal hanya untuk membuktikan cerita orang-orang. Namun, apa yang mereka dapat?
Ternyata, cerita-cerita mengenai kehebatan penembak Rokungai hanyalah isapan jempol belaka. Ada puluhan penembak lokal yang mengikuti kompetisi, tapi tak satu pun yang berhasil mengalahkan sahabatnya yang kini berdiri dengan angkuhnya sembari menyenggerkan salah satu siku lengannya di atas senapan berlaras panjang yang berdiri di sampingnya.
"Ayo, siapa lagi yang ingin kalah?"
Tak ada sahutan dari penonton, sang bintang berdecak bosan. "Ternyata memang tidak a…"
"Aku! Aku!"
Tiba-tiba suara seorang gadis yang tenggelam dalam kerumunan penonton menyeru sembari mengangkat salah satu tangannya tinggi-tinggi agar perhatian orang-orang teralih ke arahnya. Ichigo menyeringai lalu mengalihkan pandangannya dengan malas, ternyata masih ada juga yang berani mempermalukan diri untuk dikalahkan, pikirnya.
"Permisi!" seru gadis itu seraya berjalan untuk keluar dari kerumunan penonton. Dan begitu ia keluar, sosok bertubuh mungil dengan senapan berlaras panjang yang menggantung di punggung mungilnya.
Suasana menjadi hening seketika. Bukan karena yang maju sekarang untuk menantang sang bintang tak terkalahkan adalah seorang anak kecil, namun karena yang maju bukanlah seorang yang dikenal sebagai penembak profesional. Semua orang-orang di Rokungai tahu bahwa gadis itu hanyalah seorang anak yang pandai menembak, namun ia belum bisa benar-benar dikatakan sebagai seorang penembak.
oOo
Aku melongo memandang lawanku yang kini berdiri di hadapanku dengan tatapan menantangnya yang tak gentar sedikitpun. Kupandangi orang itu dari atas hingga bawah beberapa kali. Hah, seorang anak kecil? Perempuan pula! Membawa senapan di punggung kecilnya? Ada-ada saja orang-orang di kampung ini, seorang gadis kecil seperti dia juga menembak? Apa masyarakat di sini hanya menganggap bahwa menembak itu hanya suatu permainan yang selevel dengan permainan gasing?
Kembali kupandangi penampilan gadis kecil itu. Kemeja kotak-kotak berlengan panjang dan berwarna merah terlihat kebesaran di tubuh mungilnya dan astaga… bahkan dengan sepatu boots yang tinggi pun, dia masih terlihat kecil. Rasanya aku ingin tertawa segila-gilanya.
Si mungil melepaskan senapannya yang menggantung di punggungnya dan kini ia pijakkan di tanah agar berdiri tepat di sampingnya. Aku menatap mata besarnya dengan bola mata di tengahnya yang berwarna violet. Hm… tidak biasa orang memiliki warna mata seindah itu, tapi dia cocok dengan mata itu, membuatnya terlihat manis.
"Siapa namamu?" tanyaku lantang, bermaksud mengintimidasinya.
"Namaku Kuchiki, Kuchiki Rukia!" jawabnya antusias, yang membuatku semakin ingin tertawa karena walaupun dia bersikap sangat menggemaskan, aku tak akan memberinya ampun. "Aku akan mendapatkan semua uang taruhan jika aku menang, kan?" tanyanya dengan tampang lugu yang penuh harap.
"Tentu saja, Kuchiki!" sahutku seraya menekan gemas puncak kepalanya dengan telapak tanganku hingga ia harus merendahkan kepalanya, "tapi jangan menangis, ya, kalau kau kalah! Aku tidak akan mau mengalah walau bertanding dengan seorang balita sekalipun."
Aku lalu berjalan menjauh, begitupun dengan dia, menyeret senapan yang terlalu panjang untuknya. Kami mengambil posisi masing-masing, berdiri tepat di garis tembak. Aku yang mendapat giliran pertama karena aku yang mengadakan kompetisi ini. Aku mulai mengangkat senapanku, menempatkan popor senapan di bahuku dan mengarahkan bidikanku.
DOR
Tepuk tangan yang ramai dari para penonton menyambut keberhasilan aksiku. Aku menyeringai senang melihat peluruku berhasil mengenai bagian dalam dari lingkaran target di papan yang berdiri tegak dua puluh meter di depanku, dan aku mendapat satu point. Huh, bahkan aku tak begitu fokus pun, tembakanku masih bisa mengenai tepat sasaran.
Sekarang giliran si mungil itu. Aku meliriknya melalui ekor mataku. Dia mulai mengangkat senapannya yang pasti sangat berat baginya. Ia menempatkan popor senapan di pangkal bahunya, tangannya yang bertugas menembak siap di bagian grip senapan, telunjukkan sudah melingkar di pelatuk. Dia mengarahkan bidikannya dan pandangannya terlihat amat fokus ke sasaran hingga pipinya menempel di bagian depan popor senapan. Hm, ternyata lumayan juga dia.
DOR
Aku tercengang melihat peluru bidikannya mengenai tepat di tengah-tengah bagian dalam lingkaran target. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya. Si kecil itu ternyata…
oOo
Suara tembakan yang dimuntahkan mulut senapan terdengar berkali-kali. Ini sudah puluhan kali tembakan, namun baik tembakan sang juara, Kurosaki Ichigo, maupun gadis belia bernama Rukia, belum ada yang keluar dari lingkaran merah dari papan target.
Sang bintang juara tampak mulai panik dan tak tenang. Berkali-kali ia melirik gelisah ke arah lawannya yang tetap terlihat tenang dan fokus, seakan-akan gadis itu tak berada di dalam area pertandingan. Walau ichigo tak mau mengakuinya, gadis itu benar-benar adalah ancaman baginya. Tak disangkanya, di balik tubuh mungil itu ternyata menyimpan kehebatan.
Ishida Uryuu, sahabat Ichigo, yang tadinya malas dan tak tertarik lagi melihat kelanjutan pertandingan sahabatnya, kini menatap serius dengan raut tegang ke arah pertandingan, hingga mata di balik kacamata perseginya tak berkedip. Tidak biasanya sahabatnya dibuat kewalahan oleh lawannya, apalagi oleh seorang gadis kecil.
Dahi Ichigo sudah dipenuhi peluh. Rambut orange-nya yang mencolok kini basah bermandikan keringat, saat ia mengibaskan tangannya yang mengusap keringat di dahinya, ada banyak tetesan-tesan keringat yang terpercik dari tangannya
Kini gilirannya menembak untuk yang kedua puluh lima kali. Berkali-kali terdengar ia berdecak jengkel ketika mengarahkan bidikannya. Pandangan yang tak fokus, genggaman yang terlalu kuat di foregrip, nafas yang tak beraturan, semuanya menandakan bahwa ia tak bisa lagi berkonsentrasi.
DOR
Semua mata membelalak ke arah papan target milik Ichigo. Suasana berubah menjadi hening seketika. Beratus-ratus kali sudah sang bintang beraksi tanpa ada satu peluru pun yang meleset, tapi kini peluru itu mengenai bagian luar lingkaran merah, nyaris mengenai sasaran.
Kening Ichigo yang sudah mengerut kini semakin mengerut dalam menatap hasil tebakannya. Peluhnya mengalir di salah satu pelipisnya, tubuhnya mendadak bergeming kaku di sana. Perlahan ia menoleh ke arah Rukia, senyum senang terukir di wajah manis gadis itu.
"Sial!" gerutu Ichigo. Kini ia hanya bisa berharap semoga bidikan lawannya juga meleset. Jika tidak, maka sang bintang akan dinyatakan kalah. Ichigo jadi harap-harap cemas, apalagi selama pertandingan berlangsung, tembakan gadis itu tak pernah meleset.
Rukia mengangkat senapannya, mendudukkan popor di bahunya. Tangan yang tidak menembak memegang foregrip senapan dengan santainya, mengarahkan moncong senapan ke arah sasaran Tulang pipinya ia tekan di bagian depan popor dan matanya terlihat tajam ke arah bidikannya. Telunjuknya kini menyentuh pelatuk, senyum tipis yang siap menjemput kemenangan menghiasi wajahnya sebelum akhirnya ia menarik pelatuk senapannya.
DOR
Mata Ichigo melebar, Ishida langsung berdiri tegang dan semuanya mendadak hening setelah lengkingan peluru terdengar. Napas Ichigo mendadak sesak ketika menoleh ke arah wajah lawannya yang kini memancarkan ekpresi senang yang berbinar-binar.
Beberapa detik kemudian, riuh dan tepuk tangan para penonton memecah keheningan. Teman-teman Rukia yang sedaritadi setia menonton aksi teman mereka, kini berhamburan menghampiri Rukia, mengangkat dan melempar-lempar tubuh mungil itu seraya menyoraki kemenangan mereka.
Sementara Ishida yang kembali duduk di belakang, menatap kasihan ke arah sahabatnya yang kini hanya bisa bergeming kaku sambil termangu ke arah lawannya. Rasanya benar-benar tak bisa dipercaya, sahabatnya adalah seorang penembak terbaik di ibu kota, kini dikalahkan oleh seorang penembak lokal di kota pinggiran, dan hanyalah seorang gadis bertubuh mungil, hanya seorang gadis kecil…
.
.
.
To be Continue…
Kamus kecil
Popor : bagian paling belakang senapan.
Grip : bagian dari senapan untuk pegangan tangan yang menembak
ForeGrip : bagian senapan untuk pegangan tangan yang tidak menembak, untuk mengontrol arahan senapan ke target.
Hehehehe… pendek banget ya? iya… sengaja memang karena ini bakalan cepet tamatnya. Mudah-mudahan ada yang suka :)
dan…khusus untuk sharp shooterku tersayang, Tari, ini tanda terima kasihku padamu karena udah bantuin aku, hihihihihi… walaupun aku gagal masuk perbakin tapi aku tahu-tahu sedikit kok tentang senjata, kan udah belajar forensik, jiahahahaha. Oh, ya, ntar aku traktir ya cint :*
oh, ya! aku ga yakin kalo suara senapan itu "DOR" tapi... biarin aja jiahahahaha
By the way anyway busway, adakah yang ga suka dengan pergantian POV di atas? itu karena juzie lagi ga suka liat ada keterangan POV gitu deh, ga tau ya, kayak merusak pemandangan gitu. Tapi klo ada yang merasa terganggu klo ga ada keterangan POV, ntar chap slanjutnya aku cantumkan, tapi klo ga ada yg terganggu, aku ga kasi keterangan aja ya, cukup pake garis datar pemisah, oke cint :*
