Disclaimer: Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki and Yusuke Murata.

A/N: Yaa~ another supernatural fic from me! Inilah yang terjadi kalo saya kebanyakan nonton Jigoku Shoujo. =_=' Pair kali ini SenaSuzu, soalnya saya lagi pengin coba yang selain HiruMamo. ^^ Special thanks buat Dilia Shiraishi yang udah mau nge-beta fic saya ini. Arigatou goszaimasu, Dilia-san! :D

Oh iya, yang dibatasi pake o-oOo-o itu flashback. ^^

Enjoy!


Higanbana

Bola mata yang sejernih embun pagi

Senyum yang semanis sirup

Murni bagaikan malaikat, menggoda bagaikan iblis

Matahari semakin condong ke barat. Langit yang semula berwarna biru telah berubah merah, seolah bermandikan darah. Sinar matahari senja pun telah mewarnai kota Tokyo dengan sapuan kemerahan yang menyilaukan sekaligus memilukan. Beberapa awan tipis yang sewarna dengan daun-daun ginko yang kini berguguran di jalan tampak menggantung pasrah di langit berwarna merah, seolah tersesat dan kesepian.

Tersesat dan kesepian.

Rasanya kata-kata itu sangat pas untuk menggambarkan keadaan seorang pemuda berambut cokelat yang saat ini terduduk lemas di atas sebuah ranjang rumah sakit berwarna putih bersih, sambil memperhatikan matahari senja dari balik jendela ruang rawatnya.

Kobayakawa Sena, itulah nama pemuda berusia tujuh belas tahun yang telah divonis mengidap penyakit leukemia dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit sejak dua tahun yang lalu ini.

Ironis bukan? Padahal di usianya sekarang, Sena seharusnya bisa bersenang-senang dengan teman-temannya, mencoba banyak hal baru dan menikmati hidup. Tapi kenapa pada masa-masa yang seharusnya indah ini, Sena justru harus menghadapi kenyataan bahwa sisa hidupnya hanya tinggal beberapa minggu lagi? Hidup sungguh tidak adil…

Sena menghela napas, matanya masih menerawang jauh ke arah matahari terbenam, ibarat sedang menantikan akhir yang bisa menjemputnya kapan saja. Masih terngiang jelas di telinga percakapan ibunya dengan sang dokter, percakapan yang tidak sengaja ia dengar dan membuat Sena mengetahui kenyataan pahit bahwa ia hanya bisa bertahan hidup paling lama tiga sampai empat minggu lagi.

Dan, jujur saja, kalau usianya memang hanya bisa bertahan tiga-empat minggu lagi, ada satu hal yang sangat ingin ia lakukan; satu hal yang menjadi keinginan terakhir Kobayakawa Sena.

"Aku ingin bertemu lagi dengan dia…," Sena bergumam pelan dalam keputusasaan.

Pemuda berambut cokelat ini pun kembali teringat akan pertemuannya dengan seorang gadis yang sejak saat itu terus menghantui mimpnya….

o-oOo-o

Musim gugur tiga tahun yang lalu, Sena dan teman-teman dari klub American Football mengadakan pelatihan khusus di daerah selatan Kyoto dalam rangka mempersiapkan diri untuk kejuaraan musim semi tahun depan. Pelatihan khusus itu diadakan selama satu minggu penuh di daerah pegunungan. Selama satu minggu itu, Sena dan teman-temannya menginap di sebuah kuil milik kenalan salah seorang senior mereka di klub Amefuto.

Pada malam pertama mereka menginap di kuil itu, Raimon Taro—atau yang lebih akrab disapa Monta, salah satu anggota yang seangkatan dengan Sena, mengadakan tantangan kecil bagi bagi para anggota klub Amefuto; uji nyali. Monta menantang semua anggota klub untuk bergantian mendatangi sebuah kuil tua yang sudah terbengkalai dan berjarak sekitar satu kilometer dari kuil tempat mereka menginap sekarang. Di sana, mereka harus memetik setangkai Higanbana(1) yang banyak tumbuh di pelataran kuil tua itu. Setiap anggota harus pergi ke sana sendirian dan kembali lagi ke kuil tempat mereka menginap sebelum batas waktu yang diberikan habis. Mereka yang tidak bisa kembali sebelum batas waktu habis atau tidak berhasil memetik setangkai pun Higanbana, akan mendapat hukuman membersihkan ruang klub sehabis latihan selama satu tahun.

Siapa sangka kalau tantangan yang hanya sekadar untuk main-main dan mengisi waktu luang ini akan mempertemukan Sena—yang 'beruntung' mendapat giliran pertama untuk mengunjungi kuil yang konon berhantu itu—dengan gadis yang kelak akan mengubah takdirnya?

***

Sena berjalan perlahan di jalan setapak yang dikelilingi hutan lebat. Sebuah senter kecil tergenggam erat di tangannya yang gemetar bukan saja karena udara malam yang dingin, tapi juga karena rasa takut yang menyusupi. Cahaya kekuningan dari senter kecil miliknya tidak cukup kuat untuk menembus kabut tebal yang selalu turun di pegunungan setelah matahari terbenam, cahaya samar-samar di tengah kabut itu hanya mampu menerangi jalan setapak yang dipijaknya sekitar satu sampai satu setengah meter ke depan.

Sambil sesekali menelan ludah untuk menenangkan diri, Sena terus memaksakan kakinya—yang tak kalah gemetar dibandingkan tangannya—untuk melangkah maju, meniti jalan sempit dan tak terawat yang terbentang di depannya. Ia punya waktu satu jam untuk mengambil Higanbana di kuil tua yang dimaksudkan dan kembali ke tempat teman-temannya. Itu berarti Sena harus bergegas, sebab satu jam bukanlah waktu yang cukup panjang. Oh, betapa Sena ingin berlari sekencang yang ia bisa supaya dapat cepat menyelesaikan tantangan bodoh ini. Tapi apa daya, untuk berjalan biasa saja sudah sulit kalau dengan kaki gemetaran seperti itu.

Setelah cukup lama menempuh perjalanan di tengah kabut yang tebal, akhirnya Sena mendapati sebuah undakan batu yang sudah tua dan berlumut. Di puncak undakan itu, terlihat siluet sebuah torii(2) yang—meskipun sudah sama tuanya dengan si undakan batu—masih bisa berdiri kokoh. Sembari menghela napas lega, Sena berlari mendaki undakan batu yang licin karena lumut tersebut.

Usai melewati torii di puncak undakan, segera saja Sena disambut oleh pemandangan sebuah kuil tua yang sudah bobrok dan lapuk karena tak terawat lagi dengan halaman yang luas serta ditumbuhi berbagai macam tanaman liar—rerumputan, ilalang, dan tentu saja, Higanbana berwarna merah menyala.

Sena berjalan mendekati kumpulan Higanbana yang tumbuh tepat di depan pintu si kuil tua.

'Lebih baik aku segera memetik bunga ini dan secepatnya kembali ke penginapan,' pikir Sena sambil mengulurkan tangannya untuk memetik satu dari puluhan Higanbana yang terbentang di depannya.

Belum sempat ia memetik bunga berwarna merah itu, ia sudah dikejutkan oleh sebuah tepukan halus di punggungnya yang sukses membuat pemuda berambut cokelat ini terlonjak kaget.

"HIIIIIIIIIIIEEEEEEEEEEEEE…!!!" dengan mata terbelalak, Sena membalikkan badannya.

Namun bukannya mendapati sosok menyeramkan yang sering ia lihat dalam film-film horor, Sena malah mendapati sesosok gadis cantik dengan rambut berwarna biru dengan potongan pendek berdiri di hadapannya. Gadis ini mengenakan yukata hitam bermotif bunga-bunga kecil merah di sekitar kerah dan lengannya. Sebuah obi berwarna kuning pucat yang pas dipinggangnya dan sepasang geta berwarna cokelat muda melengkapi penampilan gadis ini.

Entah mengapa, Sena merasakan sesuatu yang tidak biasa pada sang gadis berkimono hitam. Selain harum udara malam pegunungan yang tecium darinya, Sena juga bisa merasakan hawa dingin yang seolah terpancar dari si gadis. Dan ada sesuatu… sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang membuat gadis ini begitu cantik. Begitu cantik sampai seolah ia tidak nyata. Apakah itu karena kulit putihnya yang tampak berpendar bak mutiara di tengah kabut tebal yang mengelilingi mereka berdua? Ataukah karena sepasang mata berwarna biru pucat yang begitu jernih bagaikan permata itu? Entahlah, Sena tidak tahu pasti…

Dan sementara Sena terpana mengamati sosok mempesona di hadapannya, sepasang mata milik gadis misterius ini balik menatap Sena lekat-lekat. Selama beberapa waktu mereka berdua hanya terdiam, saling memandang satu sama lain; Sena terpana oleh kecantikan yang bagai fatamorgana, dan si gadis yang mengamatinya bagaikan anak kecil mengamati mainan barunya.

Setelah beberapa saat akhirnya Sena bisa menguasai dirinya lagi. Ia bertanya pada gadis yang tiba-tiba muncul di depannya ini, "Si-siapa kamu?" Jangan-jangan gadis ini adalah… hantu?

Sebuah senyum tiba-tiba saja merekah di bibir merah jambu si gadis misterius.

"Yaa~ maaf mengejutkanmu. Namaku Taki Suzuna. Kau?" tanyanya riang.

"Eh… Erm… Ko-Kobayakawa Sena," jawab Sena gugup.

Gadis bernama Suzuna itu tertawa. Suara tawanya begitu jernih, seperti suara gemerincing bel dalam Suzu no Mai(3). Mendengar tawanya yang begitu ringan itu sudah cukup untuk membuat wajah Sena memerah dan membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasa. Sungguh, ada sesuatu pada diri Suzuna yang membuatnya tampak begitu murni dan begitu… memikat.

"Kau takut, ya?" tanya Suzuna. "Apa kau kira aku ini hantu?"

Wajah Sena semakin memerah mendengar pertanyaan gadis manis itu.

"M-maaf… Soalnya aku dengar kuil ini berhantu, jadi aku…."

Suzuna terkikik geli. "Ya~ tak apa, kok. Aku bisa mengerti kalau kau takut, soalnya kuil ini memang berhantu."

Wajah Sena kontan memucat. Ia menelan ludah. Jadi, kuil ini memang benar berhantu, ya?

Seolah bisa merasakan ketakutan yang terpancar dari pemuda berambut cokelat di hadapannya, Suzuna tersenyum. "Tenang saja, kurasa hantunya tidak akan mengganggumu selama kau tidak punya niat jelek," ia berkata menenangkan. "Aku saja sudah sering ke sini tapi tidak pernah mengalami kejadian yang aneh, kok."

"Kau sudah sering datang ke kuil ini?" tanya Sena, kaget mendengar pernyataan Suzuna. Gadis macam apa yang senang mendatangi kuil berhantu?

Suzuna mengangguk mantap. "Iya, hampir setiap malam aku ke sini."

"Setiap malam? Untuk apa?"

Sebuah senyum yang mengandung rahasia mengembang di bibir tipis Suzuna, "Wah, maaf, itu rahasia. Aku tidak bisa mengatakannya padamu…," jawabnya pelan seraya mengalihkan pandangan ke arah hamparan Higanbana yang tampak seperti karpet berwarna merah di sekitarnya.

"Kau sendiri? Untuk apa kau kemari, Sena?" tanya Suzuna.

Sena pun menceritakan tentang uji nyali yang diprakarsai oleh Monta itu dan perjalanannya di tengah kabut supaya bisa sampai kemari, sementara Suzuna mendengarkannya dengan penuh antusias.

"Hmm… Jadi kau punya waktu satu jam untuk memetik setangkai Higanbana dari kuil ini dan kembali ke tempat teman-temanmu, ya?" tanya Suzuna setelah Sena selesai bercerita.

"Iy—HAH!!" tiba-tiba saja Sena berseru kaget.

"Ada apa?"

"Gawat! Aku 'kan hanya punya waktu satu jam!! Dan sekarang waktu yang tersisa untuk kembali ke kuil tempat kami menginap hanya tinggal limabelas menit!!!" terang Sena panik.

Sena segera memetik setangkai Higanbana di dekat kakinya. Kemudian ia bergegas ke arah torii di depan kuil sambai melambai ke arah Suzuna. "Maaf ya, Suzuna! Aku harus segera kembali. Kalau tidak, aku akan mendapat hukuman membersihkan ruang klub selama satu tahun penuh!!"

"Ya~ Hati-hati ya, Sena!" Suzuna balas melambai riang ke arahnya sambil menyunggingkan sebuah senyum manis yang lagi-lagi membuat wajah Sena memerah.

Sena balas tersenyum kepada Suzuna dengan wajah tersipu. Lalu ia segera berlari menuruni tangga batu di depan torii tua itu dan terus beranjak kembali ke kuil tempat klubnya menginap. Entah kenapa rasa takut yang menemaninya sewaktu ia berangkat ke kuil berhantu tadi sudah lenyap, digantikan dengan perasaan gembira yang aneh dan membuat Sena merasa seolah ribuan kupu-kupu sedang menari dalam perutnya.

Namun sejak saat itu, Sena tidak pernah bertemu lagi dengan gadis misterius bernama Taki Suzuna.

TO BE CONTINUED


Glossary:

Higanbana atau Spider Lily: bunga berwarna merah yang biasa tumbuh liar di pedesaan Jepang, terutama di sekitar sawah dan di halaman kuil Buddha. Tumbuh di musim gugur, yakni ketika orang-orang Jepang mengunjungi makam nenek moyang mereka. Umbinya bunga ini beracun. Karenanya, higanbana lekat denga kesuraman dan kematian.

Torii: gerbang yang biasanya ada di kuil-kuil Shinto Jepang sebagai pintu masuk ke pelataran kuil. Orang Jepang percya bahwa gerbang ini melambangkan perbatasan antara dunia fana dan dunia akhirat.

Suzu no Mai: merupakan bagian dari Urayasu no Mai, tarian yang biasa dibawakan para miko dalam festival-festival tertentu. Urayasu no Mai terdiri dari dua bagian: Suzu no Mai (ditarikan menggunakan kerincing) dan Ogi no Mai (ditarikan menggunakan kipas).

Yukata, obi, dan geta nggak saya kasih penjelasan karena kayaknya sudah jadi pengetahuan umum. ^^