Gelap.
Keping violet itu terbuai dalam bawah sadar.
Ruang itu hitam pekat. Luas tak berujung temu. Tiada secercah cahaya menerangi.
Namun suara itu senantiasa membimbingnya, mejadi satu-satunya bintang di tengah gelap gulita.
"Pulanglah, Mammon."
Antara Ilusi, Kenyataan dan Cinta
Summary : Antara ilusi, kenyataan dan cinta, kemana pun tiga dunia itu membawanya, seseorang selalu meminta dia kembali, "Pulanglah, Mammon."
Rate : T
Chara : Fon, Mammon/Viper.
Genre : Romance, hurt/comfort.
Disclaimer : Amano Akira.
Warning : OOC, typo, romance gaje, dll.
Suara itu kembali terngiang–tegas, namun hangat pun lembut. Pemuda bertudung menilik sekitar, di sana hitam pekat sejauh mata memandang. Tubuh mungil itu melangkah tiada tentu, berinisiatif maju walau terambang dalam ketidakpastian. Pikirannya kacau sejak tiba, seakan kehilangan hal penting yang terburai membentuk kesadaran tanpa ruang maupun waktu. Kegelapan itu adalah proyeksi kekosongan, hampa dan membingungkan untuk dimengerti,
bahkan meskipun menyandang sang pencipta. Baginya sendiri mustahil menemukan jalan keluar.
Namun dia datang, suara itu kembali memanjakan telinga yang kosong–terenggut oleh keputusasaan semata.
"Tidak perlu takut, Mammon." Lagi-lagi namanya disebut. Bariton yang beresonansi dalam pikiran–begitu familier tanpa wujud nyata sang pemilik.
"Siapa di sana, muu? Tunjukkan dirimu!" Teriakan itu menggema. Memantulkan suara yang lemah dan bergetar oleh rasa takut–membuat siapa pun iba termasuk 'seseorang'.
"Aku selalu berada di sisimu. Percayalah."
"M-muu? Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak kelihatan?! Lagi pula ini di mana? Semuanya gelap, muu!" Hening sejenak. Pemuda bernama Mammon itu menunggu jawaban. Menghentak-hentakkan kaki bosan sepanjang sunyi mengungkung.
"Waktu adalah uang dan aku benci membuangnya!"
"Hahaha … di mana pun kau berada Mammon tetaplah Mammon, pecinta uang. Sebutlah mimpi indah. Sudah saatnya mengakhiri ketakutanmu." Tawa yang renyah membuyarkan senyap–membuat sebelah alis tertaut heran, orang ini aneh, muu!
"Mimpi indah dengkulmu?! Cepat lakukan jika bisa, tapi jangan harap akan kubayar. Salah sendiri kenapa terlambat?!" Sungguh, Mammon ingin menendang pantatnya sampai terpental jauh. Seribu kali sayang sosok itu bersembunyi.
Cahaya berpilih menjadi satu. Berputar dan mengakhiri pekatnya hitam.
Tahu-tahu Mammon berdiri di bawah atap kelontong, dengan mesin otomatis yang menjajakan berbagai minuman kaleng. Hujan mengguyur deras semak-semak. Bunga ajisasi memancarkan keindahan tiada tara. Keping violet itu mencuri pandang lewat ekor mata–setidaknya jauh lebih baik dibanding gelap. Suara tersebut mendadak hilang. Meski dia acuh dan memilih menyaksikan tangis langit, kelabu awan juga mendengar nyanyian merdu.
"Hujan yang indah, bukan? Mengingatkanmu pada sesuatu?" Ternyata perkiraannya salah, 'dia' kembali dengan suara lembut itu, menarik sepersen kesadaran Mammon yang melirik ke kiri.
"Menurutku sama saja. Hujan ya hujan, tidak ada yang menarik dari itu, muu," jawabnya memandang lurus ke depan–berhenti mempedulikan suara lain yang berbaur dengan rintik hujan. Di situ terlalu berisik, Mammon sulit konsentrasi.
"Tapi bagi seseorang hujan kali ini amat spesial. Kalian bertemu setelah lama berpisah. Terjebak dalam hujan yang katamu menyebalkan karena membuang waktu."
"Bertemu siapa maksudmu? Yang terakhir benar, siang itu aku dan Bel mampir ke Jepang. Dia pergi sebentar lalu meninggalkanku sangat lama. Tapi niatku minta ganti rugi menghilang, muu." Bagian itu janggal, Mammon harusnya memorot si pangeran hingga miskin.
"Itu karena kau terlalu asyik bicara dengannya."
"Dengannya? Martial arts sialan?! Muu,aku tak habis pikir kenapa bertemu dia!"
"Mungkin rencana takdir. Kalian cocok, kok, menurutku."
"Jangan bercanda, muu! Lawakanmu sejelek Levi anggota kami, bahkan lebih parah, muu!" Amarahnya kian menjadi-jadi–mengundang tawa itu yang terdengar renyah, bagai alunan lagu di siang bolong nan cerah.
"Namun kau menikmatinya, bukan?" Sekarang Mammon bungkam tanpa niat buka mulut. Kalau matamu cukup tajam–semburat merah nampak menghias pipi yang bersemu malu, dia benci mengaku apalagi kepada suara bernadam (sok) akrab itu.
"Ka-kata siapa? Dia tertawa macam orang bodoh. Memaklumi seakan mengerti betul kelakukanku. Martial arts sialan itu benar-benar menyebalkan!"
"Ingat janji yang kalian buat?"
Tesentak kaget, Mammon refleks melirik lagi ke kiri. Suara itu dekat, sangat malah. Interupsi hujan tidak membuat telinganya tuli maupun salah dengar. Toh, ruang gelap tersebut lenyap dan berhenti memantulkan suara yang keluar. Dia mendongak ke atas, langit-langit toko kelontong dipenuhi sarang laba-laba juga kumpulan debu. Namun bukan itu masalahnya, melainkan janji mereka saat kutukan arcobaleno merundung.
"Teruslah hidup demi sesuatu yang kau percayai."
Itu bunyinya, perjanjian bodoh sang martial arts.
"Kapan aku menyetujuinya sebagai janji? Martial arts sialan itu merendahkan ilusi, muu. Mengagung-agungkan kekuatan yang dia sebut hebat."
"Alasan itu berlaku untukmu. Buktinya kau terus berjuang dengan tubuh bayi."
"Terserah. Aku lelah berdebat denganmu, muu. Lebih baik kau membawaku pulang!"
"Masih ada yang ingin kutunjukkan. Jangan terburu-buru, nikmatilah mimpi indahmu." Hendak menyuarakan protes, Mammon menutup matanya akibat silau. Dia mati kutu di hadapan cahaya tersebut.
Cahaya berpilih menjadi satu. Berputar dan mengakhiri kisah hujan.
Pemandangan lain menyambut hangat–sebuah cafe di mana dirinya dan seorang pria duduk berhadapan. Berlatar musim semi dengan harum sakura menyengat hidung. Mammon mengerjap kaget–dia tidak ingat punya memori semacam ini, apalagi tentang cowok berparas oriental mengenakan cheongsam merah. Mungkin suara itu menyajikan delusi, tapi intuisi sang ilusionis tak melacak sejejak pun kebohongan,
semua asli, murni pernah dialaminya.
"Katakan apa maumu menemuiku, muu!" Itu dia, sedang mengobrol dengan pria Asia yang menatapnya hangat. Mammon terkesiap, kenapa peristiwa ini terlupakan? Berwujud kilat-kilat bayang nan samar?
"Aku hanya ingin memandang wajahmu, tidak boleh?"
"Jawaban bodoh macam apa itu, muu? Pulanglah ke Cina. Aku benci diganggu olehmu." Mammon di seberang cafe mengangguk cepat. Dirinya ini memang dia yang selalu cinta uang.
"Jika aku membayarmu bagaimana?"
"Diberi sekoper uang pun belum tentu aku mau." Bagus. Jangan terima tawaran dia! Batin sang ilusionis Varia berbatin semangat. Bibir merah itu tertawa menanggapi, sebelas-dua belas dengan suara yang menganggu sekaligus membantunya.
"Tak semua hal harus dibayar dengan uang," nasihat si kempoka menyingkirkan teh hijau ke samping. Pandangannya berubah intens. Mammon yang khidmat menyesap susu stroberi berhenti sejenak–menggser pantat agar menjauh.
"Berisik, muu! Aku tidak butuh ceramah murahanmu."
"Ah! Ada sesuatu di pipimu." Tangan besar itu terjulur ke depan–hendak menyapu cairan pink muda yang menempel. Mammon tahu maksud martial arts sialan. Mati-matian menghindar walau gubrisannya tidak berarti apa-apa.
"Di mana? Biar aku yang bersihkan–?"
CUP!
"M … muu?" Belum genap pertanyaannya, sebuah benda lembut mengecup singkat dalam sepersekian detik–tepat di bibir lawan main. Sukses membuat Mammon membeku di kursi–kaget setengah mati.
"Dengan begini aku sudah membayarmu. Terima kasih atas traktirannya." Pamit pulang, terakhir kali ia melambai–tersenyum berhasil merebut ciuman lelaki merangkap pujaan hati sekaligus cinta pandangan pertama.
SRAKK!
"A-apaan itu, muu? Ciuman pertamaku direbut oleh pria Cina mesum?!" Adunya menunjuk-nunjuk pemandangan nista tersebut. Terlalu kalap sampai keluar dari balik semak-semak, bergumam, 'dia harus diberi pelajaran!'.
"Tunggu sebentar. Mammon, Mammon!" Panggil sang suara mencegat. Namun terlambat, dia terlanjur menghadang sesosok pria yang lebih tinggi darinya–minta pertanggungjawaban.
"Hoi cowok mesum, apa maksudmu menciumku, muu? Harganya mahal tahu! Bahkan satu truk uang tidak bisa membeli, muu!" Ini berhubungan dengan harga diri. Mammon menolak tubuhnya disentuh orang asing.
"Dengarkan aku. Jangan ja–!"
Barusan apa? Jariku menembus bahunya?! Latar tersebut pecah berkeping-keping–berganti kegelapan yang mengurung total. Sang suara terdiam–jikalau ia berwujud maniknya pasti menyiratkan sendu, ingin sekali memeluk pria malang itu dari belakang, berbisik, "semua baik-baik saja. Jangan takut.". Namun apalah daya, Mammon buta untuk memperhatikan sekeliling, yang kini menundukkan kepala dalam-dalam, mengacak tudung hitamnya frustasi.
"I-ilusi, kah, muu? Sebenarnya aku di mana? Cepat jawab pertanyaanku, sialan!" Semua mendadak rumit. Mammon lelah merangkai kata-kata, menjelaskan jenis keadaan yang dialami. Coba pikirkan, bagaimana mungkin cerita itu ada? Dia berani bersumpah tidak pernah bertemu seorang pria Cina!
"Bukan ilusi, melainkan kenangan berhargamu."
"Kebohonganmu memuakkan, muu! Aku tidak setolol itu, dibodohi suara aneh yang terus berisik sejak tadi." Terbit sudah amarahnya. Mammon berjanji–salah, melainkan bersumpah mengacangi entah siapa dia.
"Lalu siapa martial arts sialan? Bagaimana wajahnya?"
"Kami dipertemukan di sebuah pondok. Dia orang teramah kedua setelah Luce, pemimpin arcobaleno. Saat kutukan pelangi mendera, martial arts sialan itu menantangku, 'mana yang lebih kuat, bela diri milikku atau ilusimu'. Muu, berani-bernainya menjelek-jelekkan kekuatan pikiran!"
"Lihat. Kau selalu mengenangnya setiap saat."
"Satu hal lagi, aku lupa bagaimana wajahnya. Pria Cina itu juga nampak asing. Kenapa diriku mau-mau saja diterkam pria mesum, muu?!"
"Sekarang bayar aku. Beritahu ini di mana dan bagaimana caranya keluar? Berterima kasihlah tak perlu mengeluarkan sepeser pun uang." Sesuai ucapannya, Mammon tidak setolol itu menagih pada suara yang hanya berwujud lisan.
"Bayaran yang pantas adalah aku akan mengeluarkanmu dari situ."
"Lakukan dan jangan banyak omong, muu! Aku benci pembohong."
"Namun tidak sekarang. Bersabarlah sedikit lagi, kumohon." Nada tegasnya berubah memelas. Perasaan aneh itu menelusuk Mammon–ibarat es dalam hatinya mencair, seakan perkataan itu mantera mujarab untuk menenangkan seorang keras kepala sekalipun.
"Baiklah. Sebagai gantinya kau harus membayarku lima–tidak, sepuluh kali lipat. Camkan baik-baik, muu!"
"Terima kasih banyak, Mammon. Lain waktu dengarkan lagi suaraku, ya?"
"Kau bilang apa, muu? Tidak terdengar!"
"Lupakan. Tunggu aku, oke? Kuharap kau tidak bosan."
Suka atau benci, Mammon kembali tenggelam dalam penantiannya yang panjang. Suara itu menghilang–berhenti di kala ia membutuhkan selarik cahaya.
Karena aku yang membuatmu terperangkap dalam ilusi sendiri.
Terus berputar di jalan yang tiada meloloskanmu dari bayang masa lalu. Seribu kali sayang terlalu menyakitkan untuk dikenang.
Mammon,
sudah waktunya kau pulang.
Kembalilah,
bentak, caci, marahi aku sebanyak apa pun.
Jangan takut ditinggal. Aku pasti memelukmu erat–membisikkan, "selamat datang" yang selalu kau tunggu di setiap perjumpaan kita.
Sekali lagi,
kumohon kembalilah.
Bersambung….
