Hai, Anne is back!
Aku punya cerita baru yang terinspirasi dari salah satu sahabat SMP aku dulu. Seorang sahabat lama yang aku kenal sebagai anak yang cerdas, ceria, bersahabat namun.. dia jadi "korban" akan sebuah "keagungan" dari nama besar yang pernah ia miliki. Aku nggak bisa jelaskan banyak-banyak apa-bagaimana itu, aku cuma bisa bilang kalau ternyata nama besar yang kita dapatkan.. tidak akan serta-merta membuat orang lain bangga kalau nasib kita berkata lain.
Dan di cerita kali ini, aku sedikit membuat kisah Al masuk dari sekuel "Bakat Tersembunyi Lily". Ya.. paling enggak nyangkut-nyangkut sedikit, lah..
Penasaran? Langsung saja, ya.
Happy reading!
"Gryffindor!"
Sorak-sorai mengiringi langkah Hugo turun dari kursi seleksi asrama menuju meja Gryffindor. "Selamat datang, buddy!" James menyalami sepupunya itu penuh semangat. Di sampingnya Fred ikut bahagia mengetahui Hugo masuk asrama yang sama. "Korban kita akan bertambah satu nama lagi, James." Bisik Fred berapi-api.
Beberapa sepupu yang lain tampak bahagia luar biasa dengan kedatangan Hugo. Kecuali sang kakak, Rose. Ia tampak biasa saja.
"Kuucapkan selamat untukmu, adikku sayang," kata Rose singkat, ia kembali melihat murid selanjutnya yang akan diseleksi oleh topi usang yang bisa bicara itu.
Seorang murid perempuan sudah menuju bangku Ravenclaw disusul selanjutnya oleh murid laki-laki yang berlari ke meja Slytherin. Tepuk tangan dan sorak ramai dari masing-masing murid senior masih terdengar semarak menyambut kedatangan para anggota baru di asrama kebanggaan mereka.
Sampai akhirnya suara itu berhenti tiba-tiba saat nama selanjutnya dipanggil, "Lily Potter!" panggil Neville, ah tepatnya Prof. Longbottom kepada murid baru selanjutnya.
"Akhirnya! Kini gilirannya..,"
"Aku tak sabar melihatnya lagi..,"
"Semoga dia masuk asrama kita, dia akan bisa terus berlatih dengan Prof. Flitwick..,"
"Dia harus masuk dalam tim orkestra Hogwarts, pasti akan hebat..,"
Bukan lagi sorakan, tapi kini berubah jadi bisik-bisik yang keluar dari mulut murid-murid lain yang melihat sosok cantik berambut merah naik ke panggung. Lily mendadak risih mendengarnya. "Ada apa dengan mereka semua? Membuatku tak nyaman saja," batin Lily. Ia tetap melangkah mendekat dan duduk di bangku kecil yang disediakan.
Neville tersenyum, "kau siap, nak?" tanyanya pelan. Lily mengangguk setelah menghembuskan napasnya berat. Sahabat ayahnya itu paham betapa gugupnya murid-murid baru saat akan diseleksi. Karena ia merasakannya juga dulu.
Mata duplikat Ginny itu menerawang keseluruh aula besar, melihat wajah-wajah yang pernah ia lihat beberapa tahu lalu. Saat itu Lily pertama kali tampil di depan para murid dan guru Hogwarts dalam acara peringatan Battle of Hogwarts. Dua tahun sebelum ia benar-benat masuk ke sekolah sihir terhebat di Inggris. Sebagian dari mereka Lily ingat saat ia memberikan salam penghormatan sebelum bermain piano dengan orkestra pimpinan Prof. Flitwick.
Dulu ia hanya tamu, sekarang.. ia benar-benar jadi bagian dalam sekolah itu.
Al menatap sang adik serius. Dari meja Slytherin tampak Al dengan tenang bergumam pelan memberikan semangat pada Lily, "tenanglah," katanya. Lily mengangguk paham. Begitupula James dengan gaya khas sok kerennya. Lily tak menanggapi serius maksud ekspresi James tadi. Ia terus mencoba tenang sesuai instruksi Al.
"Wow.. another Potter," kata pembuka si Topi Seleksi, sesaat setelah menyentuh rambut merah Lily. Semua yang mendengarnya langsung diam, bersiap mendengarkan penilaian Topi Seleksi terhadap Lily. Nama Potter selalu jadi daya tarik tersendiri bagi kebanyakan penyihir.
"Aku benar-benar merasakan darah kedua orang tuamu mengalir begitu kuat, nak. Sama seperti dua saudaramu," si Topi Seleksi sejenak terdiam, "kau pemberani, memiliki kreatifitas yang sangat tinggi, pekerja keras, dan.. ahh kau juga cerdas. Namun terkadang kau juga keras kepala, mirip seperti ibumu dan ambisius layaknya ayahmu,"
Banyak suara-suara yang berharap Lily masuk ke asrama yang sama dengan mereka. Terutama James, "Lily pasti masuk Gryffindor. Lihat saja nanti!" kata James optimis.
Lily memejamkan matanya meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Topi Seleksi. Berharap asrama yang dipilih untuknya benar-benar pas.
Topi Seleksi kembali berbicara, "sulit sekali.. sulit sekali. Kau memiliki peluang masuk ke empat asrama itu. Kreatifitasmu akan berkembang jika masuk Ravenclaw, tapi semangatmu sangat pas aku masukkan Hufflepuff..,"
"Ohh tak apa asalkan jangan Slytherin," tanpa sadar Lily bergumam. Mengutarakan apa yang diiginkannya.
"Apa? Jangan Slytherin? Kenapa kau mengikuti jejak ayah dan saudaramu? Mereka juga mengatakan demikian saat aku akan pilihkan asrama mereka? Tapi apa kau lupa jika salah satu saudaramu aku masukkan Slytherin?" tantang Topi Seleksi.
Ada rasa seperti menusuk di dada Al saat Topi Seleksi mengatakan permintaan Lily itu. Secara tersirat, itu menyangkutkannya.
Lily geram dengan dirinya sendiri mengapa ia bisa mengatakan keinginan itu saat Topi Seleksi masih terpasang di kepalanya. "Dan aku yakin saudaramu itu nyaman dengan asrama yang aku pilihkan. Karena pilihanku selalu tepat,"
"Oh ya?" kata James dan Fred Jr bersamaan. Mereka lantas tertawa dan beradu tos.
Dari mejanya Al tersenyum simpul merasa dibicarakan, walaupun sedikit sesak di dadanya masih terasa. Di sampingnya Scorpius ternyata ikut tersenyum melirik sahabatnya itu disinggung-singgung lagi. "Mereka belum tahu kita, Al," bisik Scorpius di telinga Al coba menenangkan. Duplikat Harry Potter itu mengangguk membenarkan.
"Baiklah.. baiklah.. langsung saja aku pilihkan asrama mana yang cocok untukmu..,"
Sosok mungil yang sedang diseleksi sudah semakin pucat menunggu nasibnya akan berakhir di meja asrama mana. Begitupula mereka yang sudah lama menunggu datangnya Lily di sekolah. Satu hal yang mereka inginkan, masuk ke asrama yang sama dengan mereka.
"Akan aku masukkan kau ke.. GRYFFINDOR!"
Bak menyambut bintang besar, murid-murid dari asrama Gryffindor langsung berdiri dan bersorak-sorak ramai menyambut datangnya Lily ke tempat mereka. Beberapa murid senior menghampiri Lily dan menyalaminya selamat.
Mereka yang tampak berharap besar Lily masuk ke asrama yang sama tampak kecewa dengan pilihan si Topi Seleksi. Ada suara-suara decakkan sebal, gerutu kesal, sampai mendesah pasrah dari asrama lain.
"Selamat!" Al berdiri dari bangkunya sambil bertepuk tangan menatap Lily menuju meja asrama singa. "Kau tak sebal, Al? Kau tampak berbeda saat Lily masuk Gryffindor?" Scorpius tiba-tiba bertanya setelah Al kembali duduk.
"Tidak. Tak apa-apa,"
Seleksi masih terus berjalan, "untuk apa aku sebal?" tanya Al.
"Adikmu masuk Gryffindor, Al," jawab Scorpius singkat, takut menyakiti hati sahabatnya.
"Kenapa harus sebal? Pilihan Topi Seleksi itu pasti baik untuk Lily, Scorp. Kau tak dengar tadi dia bilang apa?"
"Iya, tapi.. hanya kau yang masuk Slytherin di antara keluargamu yang lain. Kau—"
"Tak ada yang perlu ditakutkan. Aku sudah melaluinya dua tahun, dan sukses, sekarang aku sudah siap di tahun ke tiga. Memang aku sempat tak suka. Dad memang tak marah. Jujur saja, Scorp, aku sempat takut karena membuat malu nama keluarga Potter dan Weasley karena mereka datang dari Gryffindor. Sedangkan aku? Aku masuk asrama yang bahkan jadi musuh bebuyutan asrama mereka. Ahh Merlin, maaf Scorp kalau aku—"
"Tak apa," Scorpius tahu betul. Musuh bebuyutan itu didefinisikan seperti apa. Apalagi ayahnya dan ayah Al dulu adalah dua orang yang tak pernah akur alias musuh sejati.
Al menghadap Scorpius tepat di depannya, "walaupun masa lalu mereka yaa.. kau tahu sendiri, tak baik, tapi persahabatan kita akan selalu baik. Iya, kan?" kata Al penuh keyakinan
"Hitung-hitung memperbaiki hubungan mereka," sambung Scorpius senang. "Jadi sekarang tak perlu dipermasalahkan,"
Ya, masa lalu ayah-ayah mereka harus diperbaiki. Al dan Scorpius paham sebab-musababnya. Tinggal kembali kepada mereka bagaimana masa lalu itu bisa dipandang sebagai pelajaran. Khususnya untuk persahabatan mereka.
Selesai jamuan makan, para murid Hogwarts diminta untuk langsung menuju ke kamar masing-masing. Al sejenak menyempatkan waktu untuk bertemu Lily sebelum bersama Scorpius menuju kamar mereka.
"Hei, selamat ya, Lils. Aku ikut bangga padamu. Mom dan Dad harus segera tahu kabar ini,"
Lily tersenyum mendapati Al tampak bahagia dengan hasil seleksinya. "Terima kasih, Al. Pasti! Rencananya aku akan kirim surat ke mereka besok pagi. Aku sudah tak sabar memulai pelajaranku besok," jawab Lily penuh semangat. Lily membenarkan ekor rambut yang tersangkut di jubahnya.
Scorpius tiba-tiba muncul dari balik punggung Al dan melambaikan tangannya ke arah Lily, "hei, Lily. Kita bertemu lagi. Aku ucapkan selamat datang di Hogwarts. Kau pasti akan senang dengan suasana di sini. Dan pastinya Hogwarts juga akan senang mendapatkan murid baru seorang pianis hebat sepertimu, Lily," kata Scorpius sembari menjabat tangan Lily ramah.
"Oke, Scorp.. itu adik Al, sahabatmu sendiri," rapal Scorpius menyadarkan dirinya di depan Lily.
"Thanks, Scorpius." Ucap Lily sedikit gugup.
Sekeliling aula besar semakin sepi seiring berakhirnya acara penyambutan tahun ajaran baru, "ah.. ini sudah malam, kami harus ke asrama. Kau juga harus istirahat Lils, persiapkan dirimu!"
Al dan Scorpius pamit menuju kamar sampai suara teriakan Lily menahan langkah mereka, "Al!" panggil Lily cukup kencang.
"Iya?" Al berbalik. Menatap sang adik penuh tanya.
"Maafkan soal permintaanku tadi, Al. Maksudku.. masalah asrama Slytherin, saat Topi Seleksi mulai memilihkan asrama untukku. Maaf kalau kau—"
"Aku tak apa-apa, Lily. Tenang saja, sekali lagi selamat,"
Al menarik badan Scorpius untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju kamar mereka. Scorpius menangkap sesuatu yang berbeda dari sahabatnya itu. Ekspresi wajah Al berubah. Wajahnya sedikit pucat, dan..
"Al—"
"Aku yakin kau sudah paham apa yang aku rasakan sekarang, teman. Tak perlu aku jelaskan lagi, kan?" potong Al cepat-cepat. Ia tak bisa mengatakan yang sebenarnya. Berharap Scorpius memahaminya dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Scorpius terdiam dalam langkahnya. Ia menepuk-nepuk pundah Al pela, "kau anak yang hebat, Al. Kau Slytherin pertama yang aku kenal memiliki kebesaran hati yang luar biasa. Aku harus banyak belajar darimu,"
Malam itu menjadi malam yang berbeda seperti biasanya, itu menurut Al. Suatu kenyataan bahwa dirinya ditakdirkan berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Nasibnya kini membuat dirinya harus jujur, kepada dirinya sendiri.
"Aku butuh alasan mengapa aku bernasib seperti ini?!" batinnya merintih.
- tbc -
Masih awal.. jadi butuh chapter-chapter selanjutnya untuk menyelesaikan cerita ini. 7 hari istirahat jadi semangat untuk memulai berbagi kisah-kisah baru. Terima kasih untuk yang sudah memberikan doa untuk alm. kakek aku. Anne sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih.
Jangan lupa review, ya!. Ditunggu chapter selanjutnya!
Thanks,
Anne x
