Kembali
.
By: Emily Weiss
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
.
.
Karena memiliki kau adalah hal baik untukku. Dan mencium mu tidak akan pernah cukup sekali atau seratus kali, jadi sebaiknya kau segera kembali padaku, nona Haruno.
.
Prolog.
Sasuke melangkah pelan menyusuri trotoar, untung saja cuacanya mendung. Sebagai daerah yang titik curah hujannya tinggi, sebenarnya Konoha jadi tempat yang cukup menyenangkan untuk berjalan kaki. Trotoarnya yang berubin jingga muda dengan aksen bebatuan hitam dan putih juga amat menarik untuk di jejaki. Seribu orang berlalu di trotoar itu, termasuk keturunan Uchiha ini. Tampak menyisipkan kedua telapak tangan di kantong celana kainnya. Kerah kemejanya sudah di longgarkan. Ia memang berjalan dari kantornya. Bukan untuk pulang, ada komplek cafe tak jauh dari Uchiha Corporation. Saat itu pukul setengah tiga. Dan Sasuke terlalu bosan untuk sekedar meminta kopi pada office boy di pantry. Sepatu pantofelnya beradu dengan ubin. Derap langkahnya yang samar seirama dengan kegiatan bernapasnya. Pemuda ini memang tampak tidak terburu-buru dan sengaja menikmati waktunya yang berjalan lambat. Seakan ingin melangkah lebih jauh lagi.
Antrian Konobucks tidak ramai. Dua orang lagi dan Sasuke sudah diperbolehkan memesan. Jadi lelaki ini memutuskan untuk tinggal. Sambil menunggu barisannya maju, ia tampak mengutak-atik smartphone dengan gusar. E-mail dari kantornya. Lagi-lagi ia diingatkan berkas pekerjaannya yang belum selesai oleh sekertarisnya untuk di pelajari. Dahinya mengerut mengecek notification pada jadwalnya hari ini. Pemuda ini mendengus pelan lalu memasukkan alat elektroniknya ke dalam saku bertepatan dengan jatahnya memesan.
"Selamat datang di Konobucks, tuan. Bolehkah saya mencatat pesanan anda?" sapa wanita dengan celemek ungu tua itu ramah.
"Capuccino. Sugar free. Double cream." ucap Sasuke. Wanita pelayan tadi tampak memberikan kode pada pria bercelemek ungu tua lainnya di belakang.
"Baik, silakan ambil pesanannya di sebelah sana."
Sasuke menuju kasir dengan gontai. Bersamaan dengan sampainya di kasir, asupan kafeinnya telah siap dalam gelas foam tebal. Pria dengan rambut raven itu memberikan sejumlah uang, dan mengambil minumannya. Coffeshop ini sedang tidak ramai seperti biasanya. Mungkin karena memang ini masih hari kerja. Bila weekend, tempat ini penuh oleh gerombolan anak sekolahan yang bahkan Sasuke yakin mereka tidak menyukai kopi, tapi berlagak kemari.
Akhirnya Sasuke memilih sofa di pojok dekat tembok kaca. Ia bisa melihat langsung ke jalanan, beserta orang-orang yang berlalu-lalang. Di antara orang-orang berdasi dan ibu-ibu berkemeja yang menggunakan ponsel sambil berjalan, anak-anak remaja berseragam sekolah, pedagang kaki lima, dan berbagai jenis orang sore itu, Sasuke memilih langit sebagai objeknya melemparkan pandang.
Pikirannya kembali melayang pada beberapa minggu yang lalu. Tepatnya dua minggu kemarin. Ia mengakhiri hubungan percintaannya dengan Sakura Haruno.
Malam itu, ia mengajak Sakura makan. Mereka melewatinya dengan hening, biasanya Sakura akan mengoceh paling tidak tentang pekerjaannya. Sakura adalah seorang psikologi anak. Setiap hari selalu ada cerita tentang paling tidak satu anak dengan kepribadian unik yang Sasuke dengar. Lelaki itu yakin Sakura berdiam memikirkan permintaannya beberapa hari lalu. Pemuda dengan iris kelam ini meminta breakâya. Sasuke meminta waktu rehat dalam hubungan mereka. Sakura sendiri saat itu hanya tercenung.
.
"Sakura, kurasa kita perlu break."
"Apa?"
"Kau tahu."
"Ya, aku mengerti."
"Jadi?"
"Sasuke-kun, kumohon bisakah kita bicarakan ini besok? Aku lelah sekali."
"Tentu." Sasuke mengiyakan. Sakura mengecup bibir Sasuke singkat. Lalu segera masuk ke dalam rumahnya.
Sasuke bergeming sejenak. Ia cukup yakin melihat selapis genangan air di mata emerald kekasihnya. Sedetik kemudian, ia merasa bersalah.
Dan disalah mereka sekarang, saling diam. Awalnya Sasuke agak menyesal, namun ia yakin dengan keputusannya. Bukannya pria ini sudah tak menyangi Haruno itu. Sasuke tengah dilanda kejenuhan. Jenuh dengan semuanya. Dengan pekerjaannya, dengan aktifitasnya, bahkan harus Sasuke akui, ia agak jenuh terhadap Sakura. Sakura tidak berubah jadi membosankan, begitu pula dengan pekerjaan dan aktifitasnya. Ia hanya merasa sedikit terikat dan lelah dengan kewajiban dan tanggung jawab. Semua pria wajar melakukan ini bukan? Setidaknya, Sasuke sering mendengar ada istilah break dalam suatu hubungan.
Jadi setelah Sasuke mengatar gadisnya pulang dari makan malam hening mereka, tiba-tiba Sakura mengajaknya singgah dulu. Sakura bilang, ada yang ingin di bicarakan. Sasuke dapat menebak perihal yang akan dibicarakan Sakura, namun.. yang membuatnya sedikit kaget, ia tak menebak sebelumnya jalan pikiran Sakura. Dan tinggalah ia tercengang dengan kata-kata yang meluncur dari bibir wanita bermahkota merah jambu itu.
"Aku tak pernah percaya dengan istilah break Sasuke. Aku tidak pernah menyukainya. Tentu saja aku paham mengapa kau butuh rehat," gadis itu tertawa kecil. ".. mungkin kau lelah mencintaiku, eh?" lagi-lagi ia tersenyum. Sasuke agak terperanjat, belum sampai bantahannya tersuarakan, Sakura menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk.
"Sudahlah. Aku hanya bercanda, aku mengerti. Pria tidak terlalu akrab dengan komitmen. Aku sangat paham. Tapi maaf Sasuke, bila kau meminta rehat, lebih baik kita akhiri saja."
"Sakura kau salah paham." garis wajah Sasuke mengeras.
"Bila aku boleh berkata jujur Sasuke,aku agak sakit hati saat kau meminta break. Tapi aku telah memikirkan ini semalaman. Jenuh itu manusiawi, sayang. Aku terima."
"Bukan berarti aku tidak cinta padamu." suara bariton Sasuke terdengar agak kalut, ".. mungkin kau bisa mencoba untuk berubah?"
Bibir Sakura berkedut, "Berubah?"
Sasuke diam. Pria ini mulai menyadari bahwa Sakura mulai salah paham lagi. Lalu Sasuke menggeleng pelan, menyadari kesalahnnya pada bicaranya. Seandainya Sakura sedang tidak emosional, mungkin ia akan mengerti apa yang sebenarnya di maksud Sasuke. Terkutuklah hormon estrogen yang sedang melimpah ruah dalam diri Sakura.
"Jangan kau anggap aku seperti sampah yang bisa kau rubah kapanpun kau bosan Uchiha." sahut Sakura datar dengan sorot mata terluka.
Pria itu kembali menahan segala kecamuk dalam rongga dadanya yang kosong. Ia juga tidak tahu, padahal Sasuke yang awalnya meminta untuk pergi, sekarang saat Sakura bertanda-tanda akan meninggalkannya, ia malah agak sedikit panik. Namun bibirnya terkatup rapat. Tidak tahu harus berkata apalagi.
"Kalau kau sudah tidak suka padaku, kau boleh pergi."
Kepala Sasuke yang tadi menunduk, kini tegak lagi mendengar kalimat terakhir Sakura, "Kau mengusirku?"
Kini ganti Sakura yang bungkam.
Sasuke merasa ada yang meremas sesuatu di dadanya. Sesak. Paru-parunya juga hampir meledak karena ingin marah. "Ah, mungkin memang kau yang mau mengakhiri ini semua, eh?"
"Jangan bicara sembarangan, kau yang pertama membuangku!"
Sasuke terperanggah, "Shit! Jangan kekanak-kanakkan Sakura. Aku tak pernah bilang membuangmu!" bentak lelaki itu dengan suara rendah. Bibirnya terkatup rapat. Seolah menahan mulutnya sendiri untuk tidak mengumpat lebih banyak.
"Tapi aku tahu kau bosan padaku. Bahkan sekarang aku berpikir mungkin kau tidak pernah selama ini aku telah memberikan jiwa ragaku padamu, tapi kau campakkan begitu saja saat kau bosan. Aku merasa.." air mata Sakura menetes ".. aku merasa seperti pelacur untukmu!"
Sasuke menarik napas dalam, cukup sudah. "Setelah semua yang ku lakukan untukmu?"
"Kalau kau sudah tidak suka padaku, kau boleh pergi!" pertahanan Sakura runtuh saat itu juga, ia menangis sesenggukan sambil menelungkupkan kedua telapak tangannya menutupi wajah.
"Baik. Sepertinya kau juga sudah muak denganku, eh? Aku pergi." namun sebelum ia benar-benar pergi, ia membatu di tempatnya lalu menoleh, menatap mata Sakura, " ... terima kasih untuk semuanya."
Blam! Sasuke menutup pintu rumah Sakura dengan keras.
.
Itu terakhir Sasuke bertemu Sakura. Ya, dua minggu yang lalu. Tidak ada pesan singkat sependek apapun dari Sakura sejak saat itu. Sasuke juga. Pria dengan badan tegap itu, terlalu gengsi untuk menarik kata-katanya sendiri, meskipun lewat pesan singkat. Meskipun lelaki itu masih ingin mengetahui kabar Sakura. Men-stalking jaringan sosial dan kontak messenger nya pun sia-sia. Sasuke tahu gadis kurus itu sibuk, men-update personal message atau status jelas bukan prioritasnya.
Maka dari itu, disinilah Sasuke, ogah-ogahan menjalani aktifitasnya. Ketidakberadaan Sakura ternyata bisa menyita waktunya. Dan itu tidak terlalu bagus. Kadang, Sasuke berpikir, semua ini karena dirinya yang egois meminta rehat. Sasuke sadar sekarang, itu amat melukai hati perempuan. Terutama yang sensitif seperti Sakura. Tapi sekali lagi, Sasuke terlalu gengsi untuk sekedar meminta Sakura kembali.
Pria itu memijat pelipisnya. Agak pening hanya dengan memikirkan kelanjutan soal hatinya. Ia agak gelisah juga memikirkan Sakura yang tanpa kabar dan sepertinya tidak membutuhkannya. Apa, wanita itu sudah menemukan penggantinya? Ah, Brengsek. Baru memikirkannya saja, rasanya tangan Sasuke sudah gatal ingin menonjok siapapun yang berani mengambil tempatnya.
Lalu ia kembali menyesap cairan kental kafein itu perlahan sampai tandas. Setidaknya, ia masih menikmati kesendiriannya. Tanpa ada satu pesan pun dengan nada introgasi seperti biasanya. Keseharian pesan dari Sakura. Hey, kita harus tetap melihat semuanya dari segi positif bukan?
Sasuke kembali memandangi jalan, meneliti tiap orang yang berlalu-lalang. Dan, tiba-tiba saja jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Itu Sakura, dengan rambut pink dan mantel abu abunya, itu jelas Sakura sedang menyebrang jalan.
Menuju Konobucks.
.
.
.
To be continue
.
.
.
Hugs and kisses, Ems.
