Chapter One
Cast : Kim Joonmyeon, Zhang Yixing, etc.
Genre : Romance, Drama
Disclaimer : Tokoh-tokoh adalah milik diri mereka sendiri, sedangkan ide untuk Fanfic ini adalah milik otak saya:)
Summary : 'Kalau aku bertemu dengannya lagi, aku bersumpah akan membuat hidupnya menderita!' itu adalah ucapan Yixing ketika dirinya menabrak seseorang yang tidak tahu sopan santun. Ia tahu kesempatannya untuk bertemu dengan orang itu lagi adalah 1 dibanding 1000, tapi pokoknya ia sudah bersumpah. Dan apa yang terjadi kalau tiba-tiba ia bertemu dengan si orang tidak tahu sopan santun itu dengan cara yang tidak terduga? / SuLay. EXO fic.
"Muqin, aku masih muda. Tidak perlu ada acara jodoh-jodohan begini, aku pasti akan menemukan jodohku sendiri suatu saat nanti." ujar Yixing saat dirinya ditarik paksa oleh Ibunya, yang ia panggil Muqin, menuju salon langganan sang Ibu. Ya Tuhan, Yixing kan laki-laki, bukan perempuan. Ia tidak perlu ke salon. Bahkan seumur hidupnya, ia belum pernah menginjakkan kakinya di salon.
"Iya, Muqin tahu kamu masih muda. Tapi, kamu seharusnya tidak memakai istilah itu untuk menjadi alasan sikapmu yang tidak terkontrol itu," Ibunya mengeratkan pegangannya di lengan Yixing. Ia tidak mau anak semata wayangnya itu tiba-tiba melepaskan pegangannya, lalu kabur entah kemana, seperti yang biasa ia lakukan sebelumnya. "Muqin sudah tidak tahan melihat kelakuan kamu yang selalu pergi malam pulang pagi, Xing!"
"Muqin seperti tidak tahu anak muda saja," Yixing memutar bola matanya kesal. "Teman-temanku semuanya seperti itu, dan orangtuanya tidak ada yang keberatan!"
"Itu mereka, bukan kamu, Yixing!" Ibu Yixing menghela nafas. Ia kesal sekali dengan sifat anaknya yang keras kepala. Yixing memang bukan orang yang mudah menyerah. Ia cenderung bertahan di sisi yang ia percayai benar baginya, dan tidak mau menuruti kata orang lain. Ketika ia tahu pilihannya salah, ia hanya bisa mendecakkan lidah dan berkata, 'Aku bukan lelaki sempurna. Tidak mungkin aku tidak melakukan kesalahan'. "Yixing, mau kamu protes sebagaimana pun, Muqin tidak akan mengubah keputusan Muqin. Keputusannya sudah bulat, dan kamu tidak bisa melakukan apapun untuk merubahnya."
"Aku belum mau menikah, Muqin!"
"Sudah Muqin bilang, kamu boleh protes seperti apapun, tapi Muqin tidak akan merubah keputusannya. Sebulan lagi kamu akan menikah, dan hari ini kamu akan menemui calon pendamping hidupmu. Dan tenang, Muqin tahu kamu tidak suka wanita, jadi Muqin sudah mempersiapkan pria tampan untukmu."
Yixing menghela nafasnya. Ia tahu ia tidak akan pernah menang kalau melawan Ibunya. Sudah berkali-kali Ibunya menyuruhnya melakukan sesuatu yang ia tidak sukai, dan mau Yixing protes sebagaimanapun, ia tidak akan pernah menang. Pasti pada akhirnya ia akan melakukan hal yang disuruh oleh Ibunya. Jika Ibunya bilang Yixing itu keras kepala, Ibunya lebih keras kepala lagi.
"Fuqin setuju?" Yixing langsung menyuarakan hal yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Ya, ia penasaran apakah Ayahnya—yang ia panggil Fuqin—setuju dengan keputusan Ibunya ini. Daridulu Yixing memang lebih akur dengan Ayahnya. Akur di sini adalah akur dalam artian lebih tenang dan jarang bertengkar. Sedangkan dengan Ibunya, mereka memang dekat, tapi kebanyakkan diisi dengan pertengkaran.
"Tentu saja dia setuju. Sejak kapan Fuqin bisa menolak." Ibunya tersenyum bangga. Yixing menggeleng-gelengkan kepalanya. Harusnya ia tahu sifat Ayahnya yang memang tidak bisa menolak keinginan Ibunya.
Yixing dan Ibunya berjalan masuk ke salon yang sudah menjadi salon langganan sang Ibu sejak setengah tahun yang lalu. Pemiliknya sudah mengenal baik Ibunya, dan mereka tampak akrab sekali. Oh, pemiliknya wanita, tentu saja.
"Kau Yixing, ya?" Wanita pemilik salon itu tersenyum menatapnya. "Aku Kim Aerin. Aku tahu kau orang China, dan maafkan aku karena aku tidak bisa berbahasa China. Jadi aku harap kita bisa berbicara dengan bahasa Korea."
"Tentu saja, noona," Yixing berkata sambil menyunggingkan senyumnya. Ya, Yixing memang orang China yang tinggal di Korea sejak umurnya 13 tahun karena Ayahnya yang dipindah tugaskan ke Korea Selatan, lebih tepatnya Seoul. "Aku bisa berbahasa Korea dengan fasih kok."
"Baguslah." Aerin tersenyum, lalu ia memegang bahu Yixing dan menggiringnya ke bagian belakang salon. Tempat cuci rambut, pikir Yixing ngeri. Ia tidak pernah membiarkan orang asing menyentuh rambutnya sebelum ini. Ia melirik sang Ibu, dan ia dapat melihat bahwa Ibunya kini tengah duduk di kursi salon, tampaknya ia juga akan menjalani perawatan tertentu. Yixing mendecakkan lidahnya. Bisa-bisanya Ibunya bersenang-senang di atas penderitaannya.
Yixing mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang tersedia. Selama duduk di kursi itu, Yixing harus menuruti semua perintah yang diberikan oleh salah satu karyawan salon tersebut. Harus tiduran, mendongak, dan hal-hal ribet lainnya. Yixing tidak suka. Sama sekali tidak suka. Apalagi karena rambutnya yang berharga itu dipegang-pegang oleh orang lain. Dan cara orang itu mencuci rambutnya tidak ada lembut-lembutnya. Rambutnya serasa mau ditarik dari akarnya.
"Nah, Yixing, kau bisa ikut aku ke bagian utama salon," kata Aerin sambil tersenyum ramah kepadanya. Yixing hanya memaksakan seulas senyum sebelum memaksakan kakinya untuk mengikuti langkah Aerin. Ia benar-benar ingin kabur dari tempat terkutuk ini. "Kudengar hari ini kau akan bertemu dengan calon pendamping hidupmu, pasti kau sedang gugup sekarang."
Gugup? Apanya yang gugup? Yixing mendesah pelan. Dengan terpaksa, ia duduk di salah satu kursi yang terdapat di bagian utama salon. Kursi dengan kaca yang terpampang begitu besar di depannya. Cermin besar. Yang benar saja. Masa aku dipaksa melihat ekspresi-ku sendiri saat disiksa di kursi ini?
"Nyonya Zhang, apa yang harus saya lakukan untuk Yixing?" tanya Aerin pada sosok Ibu Yixing yang kini tengah duduk di sebelah Yixing. Seorang pegawai salon berdiri di belakangnya. Ternyata Ibu Yixing sedang creambath. "Rambutnya dipotong? Atau…?"
"Kalau kalian berani memotong rambutku, kalian akan menyesal," ucap Yixing ketus. Ia sangat suka dengan potongan rambutnya saat ini. Dan ia merasa panjang rambutnya sudah pas dengan keinginannya. "Lebih baik jauhkan tangan kalian dari gunting itu."
"Potong rambutnya," Ibu Yixing berkata dengan nada yakin. "Tidak usah takut. Dia tidak akan melakukan apa-apa selagi berada di bawah pengawasanku."
"Muqin!" Yixing menatap Ibunya dengan pandangan kesal. Ia benar-benar tidak suka ini. Baiklah, Ibunya akan menjodohkannya, tapi masa ia harus menentukan style Yixing juga?
"Potong rambutnya," ulang Ibu Yixing. "Tidak usah terlalu pendek. Tepat di bawah telinga saja. Dan jaga agar model rambutnya sama seperti sekarang." Ibu Yixing menatap Yixing sejenak, "Dan warnai rambutnya. Kupikir warna cokelat akan bagus untuknya."
Yixing berjalan keluar dari salon dengan langkah menghentak. Ia benar-benar tidak suka dengan perubahannya. Seumur hidup ia tidak pernah mewarnai rambut dan, sekarang rambutnya tiba-tiba berubah warna menjadi cokelat. Bukannya ia benci warna cokelat, tapi ia memang benci perubahan. Ia sudah cukup nyaman dengan warna rambut aslinya, dan kini hal itu berubah. Terutama, perubahan ini bukan kehendaknya.
"Muqin, aku mau pulang," ujar Yixing tanpa menatap wajah Ibunya. Ia sedang kesal sekali pada wanita itu sekarang. "Aku duluan."
"Tunggu!" Ibu Yixing langsung menggenggam pergelangan tangan Yixing "Kau belum boleh pergi. Kita masih harus membeli tuxedo untuk nanti malam."
"Muqin bisa memilihnya sendiri. Aku tidak peduli," Yixing menghela nafasnya. Lalu berbalik untuk menatap wajah Ibunya. "Maaf Muqin, tapi aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku tidak mau marah-marah pada Muqin. Muqin tidak usah khawatir, aku pasti datang nanti malam. Aku akan ke rumah kalian jam enam."
"Yixing," suara Ibunya tiba-tiba terdengar lelah. "Kau boleh membenciku karena keputusanku ini, tapi semua itu aku lakukan demi kamu. Aku tahu kamu benci diatur-atur, dan kamu benci ketika seseorang memaksakan kehendaknya padamu. Tapi tolonglah, untuk sekali ini saja, turuti Ibumu tanpa banyak protes, Xing."
"Muqin," Yixing melepaskan genggaman Ibunya pada pergelangan tangannya. "Aku tidak benci Muqin. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku kesal, tentu saja. Tapi aku tidak benci Muqin."
Yixing tahu kalau Ibunya benar-benar sedih saat ini. Terlihat jelas dari kata-katanya. Ia biasanya mengganti kata 'Aku' dengan 'Muqin' waktu berbicara dengan Yixing. Biasanya saat Ibunya menggunakan kata aku pada Yixing, itu tandanya ia sudah sangat sedih atau sedang sangat marah. Dan di situasi ini, ia sedang sangat sedih.
"Baiklah, kau boleh pulang ke apartemenmu, Xing," Ibunya menghela nafas, lalu menepuk pundak Yixing. "Ibu akan mencari tuxedo untukmu. Jangan lupa nanti jam enam."
Ibunya tersenyum sedih sebelum akhirnya pergi meninggalkan Yixing. Yixing merasa bersalah karena telah membuat Ibunya sedih seperti itu. Tapi ia bisa apalagi? Ia sedang kesal. Ia tidak bisa menarik kata-katanya kembali, kan?
Yixing lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Ibunya. Arah itu tidak menuju ke apartemennya. Ia memang belum ingin pulang. Ia masih ingin jalan-jalan. Seharusnya ia menemani Ibunya mencari pakaian untuknya nanti, tapi ia tidak terlalu ingin memikirkan perjodohannya.
Perjodohan. Yixing menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan dijodohkan dengan seseorang. Ia berpikir kalau suatu saat nanti, ia akan bertemu dengan jodohnya, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya. Konyol, memang. Yah, namanya juga anak muda. Tidak tahu bagaimana rumitnya suatu hubungan pernikahan.
Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Yixing tanpa sengaja menabrak orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Karena Yixing yang tidak siap dengan tabrakan itu dan juga kekuatan orang yang ditabraknya itu ternyata lebih besar dari kekuatannya, Yixing langsung jatuh ke trotoar. Oh, benar-benar memalukan.
"Aduh, pantatku," gumam Yixing lirih ketika merasakan sakit yang menimpa pantatnya. Wajahnya merah seperti kepiting rebus saat ini. Ia benar-benar malu karena telah jatuh di trotoar, dimana banyak orang berlalu-lalang.
"Maafkan aku," Yixing dapat melihat tangan terulur ke arahnya. Tanpa berpikir dua kali, Yixing langsung menerima uluran tangan itu dan berdiri dengan cepat. Ketika ia melihat siapa penolongnya, ia dapat melihat sosok pria yang tingginya hanya melebihi Yixing beberapa senti. Wajah pria itu terkesan tenang dan pendiam. "Kau baik-baik saja?"
"Tentu saja aku tidak baik-baik saja," gumam Yixing yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. "Aku tidak apa-apa. Terimakasih sudah membantuku bangun."
"Lain kali hati-hati kalau jalan," Yixing tidak menyangka ucapan sepedas itu akan keluar dari mulut pria ini. "Punya mata, kan?"
Yixing baru saja akan mengeluaran bantahan ketika pria itu mendecakkan lidah lalu pergi melewatinya begitu saja. Sikap pria itu benar-benar tidak sopan. Harusnya ia meminta maaf atau apalah. Yixing tahu tabrakan tadi kesalahannya. Tapi tidak usah sampai begitu, kan? Yixing bersumpah kalau ia bertemu dengan pria itu lain waktu, ia akan membuat pria itu menderita. Yixing memang kejam.
Yixing kembali berjalan menuju apartemennya. Kali ini ia memperhatikan sekelilingnya dengan baik. Ia tidak mau melamun dan menabrak orang lagi. Sudah cukup dengan pengalamannya tadi. Orang tadi adalah orang asing pertama yang ditabraknya. Dan pengalaman pertamanya itu tidak berlalu dengan cukup baik.
Ketika sudah sampai di dalam apartemennya, Yixing langsung menghempaskan tubuhnya di sofa kesayangannya. Sofa empuk yang ia dapat karena se-apartemen dengan sahabatnya, Jongdae. Ya, sofa ini milik Jongdae dan ya, Yixing tinggal dengan sahabatnya. Ia lebih memilih tinggal dengan sahabatnya dibandingkan dengan orangtuanya, padahal rumah mereka tidak jauh-jauh amat dari apartemennya. Alasan yang selalu ia katakan kepada orang-orang yang bertanya mengenai hal itu padanya adalah: 'Ah, aku kan sudah besar. Masa masih tinggal dengan orangtua? Malu, dong.' Ia selalu mengatakan hal itu dengan cengiran besar di wajahnya.
"Yixing, sudah pu—Yixing?!"
Yixing dapat mendengar seruan kaget sahabatnya ketika melihat rambutnya yang berwarna cokelat. Warna rambutnya memang tidak mencolok-mencolok amat, tapi tetap saja orang akan menyadari kalau warna rambutnya berubah. Apalagi Jongdae yang bertemu dengannya hampir setiap hari.
"Hai, Jongdae," Yixing tersenyum dibuat-buat. "Kau harus menyambut rambut baruku. Kita harus adakan pesta syukuran."
"Dari semua warna kau pilih cokelat?" Jongdae menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menyentuh rambut baru Yixing. Kini ia sudah duduk di sebelah sahabatnya itu. "Siapa yang melakukan hal mengerikan ini padamu?"
"Muqin. Siapa lagi?" Jongdae menatap prihatin sahabatnya itu. Ia tahu Yixing tidak suka rambutnya diwarnai. Ia tidak pernah suka dengan perubahan besar di hidupnya, dan cenderung memilih untuk tetap tinggal di zona nyaman. Makanya ia tahu Yixing pasti kesal sekali saat ini. Yixing sangat sayang dengan rambut hitam legamnya. Ia selalu membanggakan hal itu di depan Jongdae sampai ia sendiri bosan mendengarnya. "Oh Jongdae, aku tidak siap untuk malam ini."
Jongdae menghela nafas. Ia bangkit dari duduknya. Ia tidak pernah suka dengan topik ini. Perjodohan Yixing. Ia selalu kabur ke dapur setiap kali Yixing mulai mengungkit hal itu. Kalaupun ia tidak kabur, ia hanya akan membalas dengan 'hm' atau 'oh ya?' atau 'aku mengerti' atau 'aku turut sedih'. Jongdae sendiri tidak tahu alasannya. Tapi yang jelas, ia sangat benci mendengar topik itu.
"Jongdae, mau kemana?" Yixing mengerutkan keningnya heran melihat sahabatnya yang tiba-tiba pergi meninggalkannya tanpa bilang apa-apa. Dan seperti biasa, langkah Jongdae selalu menuju dapur. "Kau mau masak lagi? Yaampun, kau mau masak apalagi? Akhir-akhir ini kau masak terus, padahal bukan waktunya memasak untuk makan siang atau makan malam. Masa kau mau masak banyak untuk merayakan perjodohanku? Jongdae, kau harus turut sedih untukku!"
Jongdae menahan tawanya. Yixing memang orang yang sangat suka berbicara. Banyak orang yang bilang bahwa ia bawel, tapi bagi Jongdae, Yixing sangat lucu ketika sedang dalam mode bawelnya. Jongdae juga menjadi satu-satunya pendengar setia Yixing selain salah satu sahabat Yixing lainnya, Jongin, yang juga merupakan sahabat Jongdae. Hanya Jongdae dan Jongin yang tahan mendengar ocehan Yixing berjam-jam. Bahkan orangtua Yixing sendiri kadang harus menyerah dengan ocehan Yixing yang tidak pernah berhenti kalau ia belum lelah.
"Hei Jongdae, kalau kau mau masak, aku mau pasta," Yixing tiba-tiba sudah berada di sebelah Jongdae. "Aku kangen pasta. Kau tahu kan aku sudah tidak makan pasta selama beberapa minggu? Aku kangen. Masakkan untukku ya, Dae. Please!"
Jongdae tertawa pelan. Ia menganggukan kepalanya. "Aku akan memasakannya untukmu setelah kau pulang nanti. Aku yakin kau akan lapar ketika pulang."
"Kau memang sahabat terbaikku, Dae!" Yixing refleks memeluk Jongdae erat. Jongdae memang selalu menuruti keinginan Yixing selama ia bisa mengabulkannya. Dan karena itulah Yixing jadi manja sekali pada Jongdae. Ia melepaskan pelukanya sebelum menambahkan, "Oh ya, boleh aku minta tolong padamu untuk mengantarkan aku ke rumah orangtuaku? Aku sedang tidak mood naik taksi atau bus. Kau mau kan?"
"Tentu, tentu," Jongdae lagi-lagi menganggukan kepalanya. Ia ikut tersenyum menatap Yixing yang tersenyum girang karena dituruti keinginannya. Jongdae memang tidak pernah bisa menolak. Entah kenapa. Ia selalu ikut bahagia ketika Yixing bahagia, dan sedih ketika Yixing sedih. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakanny terhadap Yixing, dan itu membuat Jongdae bingung.
"Iya, Kkamjong. Aku akan melaporkan padamu setiap detail acara," Yixing saat ini sedang berada di mobil Jongdae sementara Jongdae mengemudikan mobilnya menuju kediaman orangtua Yixing. Yixing juga sedang menelepon Jongin, sahabatnya yang lain. Sahabatnya yang satu itu benar-benar penasaran dengan detail acara perjodohannya. "Kau tidak perlu khawatir. Lebih baik kau khawatirkan Sehun. Aku tahu ia pasti belum pulang, kan? Makanya kau bisa meneleponku lama-lama seperti ini."
Sehun adalah sahabat Jongin sejak kecil, yang tinggal satu apartemen dengan Jongin. Jongin selalu bilang bahwa hubungan mereka tidak lebih dari sahabat, tapi cara Jongin memperlakukan dan menatap Sehun menunjukkan bahwa mereka lebih dari sekedar sahabat. Setidaknya untuk Jongin. Dan Yixing yakin Sehun juga memiliki perasaan yang sama dengan Jongin. Mereka hanya terlalu malu dengan satu sama lain.
"Iya, Jong. Tenang saja. Sudah ya, aku sudah mau sampai. Bye."
Setelah memutus sambungan teleponnya dengan Jongin, Yixing langsung menaruh ponselnya di kotak kecil yang terdapat di mobil Jongdae. Kotak itu sebenarnya Jongdae beli bukan untuk menaruh ponsel, tapi di hari pertama Yixing melihat kotak itu, ia langsung mengklaimnya sebagai tempat penyimpanan ponselnya ketika berada di mobil Jongdae. Dan Jongdae yang tidak bisa menolak keinginan Yixing, hanya dapat menghela nafas dan menganggukan kepalanya.
"Kau tidak mau membawa ponselmu?" Jongdae bertanya ketika Yixing melempar kotak berisi ponselnya itu sembarangan ke kursi belakang mobil Jongdae. Yixing memang sudah terbiasa bersikap semena-mena terhadap barangnya, dan anehnya, barangnya tidak pernah rusak.
"Untuk apa?" Yixing menaikkan alisnya heran. "Aku tidak membutuhkannya malam ini. Aku akan menelepon Jongin besok."
"Siapa tahu kau ingin aku jemput."
"Ah, tidak perlu," Yixing menepuk-nepuk bahu Jongdae. "Aku yakin Fuqin akan mengantarkan aku pulang nanti. Kau juga tidak usah menungguku pulang, Dae."
Jongdae hanya diam. Ia tidak bisa janji ia tidak akan menunggu Yixing pulang. Ia tahu dirinya pasti akan menunggu Yixing pulang. Karena hatinya belum tenang kalau Yixing belum pulang saat malam sudah larut. Apalagi kalau tidak memberi kabar padanya. Lagipula, ia berjanji pada Yixing untuk memasakkannya pasta ketika ia pulang nanti.
"Ah Jongdae, kita sudah sampai," Yixing berkata ketika mereka akhirnya berhenti di depan rumah orangtua Yixing. Ia langsung membuka pintu mobil Jongdae. Sebelum pergi, ia berkata, "Terimakasih sudah mengantarku. Kau memang baik sekali."
"Tidak usah berterimakasih. Itu memang sudah tugasku sebagai sahabat yang baik," Jongdae tersenyum. Ia menepuk-nepuk kepala Yixing. "Semoga sukses."
"Oh, aku meragukannya," Yixing tertawa sebelum menutup pintu mobil Jongdae. Ketika mobil Jongdae akhirnya hilang dari pandangan, Yixing berbalik, lalu membuka pintu pagar rumah orangtuanya. Ia lalu mengetuk pintu, berharap Ibu atau Ayahnya segera membuka pintu.
Ketika pintu akhirnya terbuka, ia dapat melihat Ayahnya berdiri tegak di hadapannya. Ia dapat melihat bahwa Ayahnya sudah siap untuk pergi. "Yixing," Ayahnya membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Yixing masuk. Ketika ia sudah masuk, ia dapat melihat Ibunya yang sudah berdandan rapi, dan ia juga dapat melihat ada tuxedo yang tergantung rapi.
"Yixing, kau sebaiknya cepat-cepat berganti baju. Kita tidak boleh telat," kata sang Ibu ketika ia melihat Yixing memasuki rumah. Tampaknya Ibunya sudah lupa dengan kesedihannya beberapa jam yang lalu. "Xing, aku tidak mau memberi kesan buruk pada calon mertua-mu, oke?"
Yixing menghela nafas. Ia segera mengambil tuxedo yang tergantung itu, lalu berjalan menuju kamarnya dulu, saat ia masih tinggal di rumah kedua orangtuanya. Ia dengan cepat mengganti bajunya yang terlihat santai itu dengan tuxedo hitam yang terlihat mahal. Ia yakin Ibunya tidak ragu-ragu mengeluarkan uang untuk membeli kebutuhannya untuk perjodohan ini. Padahal dulu, Ibunya selalu perhitungan setiap Yixing memintanya untuk membeli sesuatu untuknya.
"Muqin, aku sudah siap," Yixing berkata ketika ia keluar dari kamarnya. "Kita pergi sekarang?"
"Ya, tentu," ujar Ibunya. Ia segera bangkit dari duduknya, lalu menyuruh Ayahnya untuk menyalakan mobil. "Kau sangat tampan, Xing."
"Oh, terimakasih." Yixing tidak pernah terbiasa dengan pujian yang dilontarkan oleh Ibunya. Ibunya sangat jarang memuji penampilannya. Tapi itu bukan karena Ibunya membenci Yixing, Ibunya hanya membenci gaya berpakaian Yixing yang terkesan santai dan tidak rapi. Tapi Yixing tidak pernah mau merubahnya karena ia sudah sangat nyaman dengan gaya berpakaiannya.
Setelah menerima pujian dari Ibunya, Yixing langsung digiring masuk ke dalam mobil sang Ayah. Karena letak restoran tempat perjodohan Yixing cukup dekat dengan rumah orangtuanya, perjalanan tidak memakan waktu lama. Dalam 15 menit, Yixing sudah tiba di restoran tempat acara perjodohannya akan dilangsungkan.
"Pesanan meja atas nama Kim Hyunjae?" Ayahnya langsung mengatakan hal itu ketika seorang pelayan menyapanya. Pelayan itu mengangguk, lalu membawa keluarga Yixing menuju sebuah meja yang terletak di ruang VIP restoran tersebut. Tampaknya calon pendamping hidup Yixing berasal dari keluarga yang kaya.
Yixing dapat melihat bahwa keluarga calon pendampingnya belum datang. Terlihat dari kosongnya kursi yang mengelilingi meja yang telah disiapkan untuk mereka. "Tuan Kim belum datang, dan ia menyampaikan bahwa kalian bisa memesan lebih dulu jika mau."
"Ah, tidak, kami bisa menunggu." sang Ayah berkata. Padahal Yixing sudah sangat kelaparan. Ia belum makan apa-apa sejak pulang dari salon. Jongdae sudah memaksanya makan, tapi ia tidak mau. Waktu itu ia belum lapar.
Beberapa saat menunggu dalam keheningan, Yixing dapat melihat pelayan yang tadi mengantarkannya ke meja ini membawa beberapa orang di belakangnya. Yixing dapat melihat ada tiga orang. Satu pria yang terlihat berwibawa meskipun usianya terlihat sudah lanjut, satu wanita yang terlihat masih cantik meskipun sudah ada tanda-tanda keriput di wajahya, dan…
Tunggu dulu. Kenapa orang yang ditabraknya tadi bisa ada di sini?
- To Be Continued -
Okay, saya kembali dengan Fanfic baru. Maafkan saya kalau di chapter ini banyak sekali moment ChenLay, saya lagi suka sama crack pair itu entah kenapa hu hu/? Tapi tenang aja, cerita ini akan berfokus di hubungan SuLay, kok. Chen cuma jadi bumbu penyedap aja/g.
Oh ya, Muqin itu artinya Ibu kalau di bahasa Indonesia. Fuqin juga artinya Ayah. Semoga mengerti, ya:)
Last, mind to review?
