Half Light

Summary : Penat dengan semua masalah yang dihadapinya, Midorima Shintarou berniat untuk menenangkan diri dengan berlibur. Diluar dugaan, liburan yang seharusnya menyenangkan malah membuat nyawanya hampir melayang.

Disclaimer : I own nothing except the plot :)

Warning : AU. OOC. Rated just in case. Mature Theme but No Lemon. Enjoy reading :)

A/N : gift fic untuk kakakku tersayang, Bellz. Hope you like it :)


Shinjuku, Tokyo

"Kau yakin akan pergi?" Aomine bertanya sekali lagi saat Midorima mengepak barang-barangnya. Pria berkacamata itu baru saja selesai memasukkan beberapa bajunya kedalam koper hitam yang cukup besar. Dan kini tengah mengepak beberapa buku kedalam kardus berukuran kecil yang telah disiapkannya diatas meja.

"Iya" Midorima menjawab singkat. Wajahnya terlihat muram. Dia sedang dirundung masalah yang cukup pelik dalam kariernya sebagai musisi. Midorima Shintarou adalah seorang pianis berbakat yang mendedikasikan hidupnya untuk musik klasik. Terlahir ditengah-tengah keluarga musisi klasik membuat Midorima sangat mencintai piano dan musik klasik sejak masih usia kanak-kanak.

Namun baru-baru ini sebuah masalah muncul. Miracle Orchestra, grup elit orkestra tempat ia bernaung, menginginkan sebuah revolusi dan mengharuskan para musisinya untuk tak sekedar bermain di jalur musik klasik, tapi juga berani mengeksplor kemampuan mereka di jalur musik modern seperti pop, rock dan sebagainya.

Perubahan memang bagus tapi hal itu berbeda bagi Midorima yang berpikiran konservatif dan teguh pada pendiriannya. Bagi Midorima, musik klasik bertahan hingga saat ini karena keberadaan orkestra dan kalau mereka malah memilih untuk banting setir ke jalur musik modern, maka tak pelak lagi, kepunahan musik klasik hanya tinggal menghitung waktu. Karena hal itulah, Midorima dan beberapa orang penting di Miracle Orchestra berseteru panas.

"Berapa lama?" Aomine bertanya lagi seraya ikut membantu membereskan barang-barang Midorima. Dia terlihat mengkhawatirkan Midorima. Pria berkulit gelap itu cukup mengerti kalau sahabatnya itu sedang mengalami masa-masa sulit. Beberapa waktu lalu, Midorima pun sempat berselisih dengan keluarganya.

"Aku tidak tahu. Mungkin agak lama. Aku ingin menenangkan pikiranku" Midorima menghela napas sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot. Aomine hanya mengangguk paham. Dia tak ingin terlalu memaksa Midorima. Berteman cukup lama dengan pria bersurai hijau itu, membuat Aomine cukup mengerti kalau Midorima lebih suka tidak menceritakan masalahnya pada orang lain bahkan kepada sahabatnya sendiri.

Akhirnya mereka berdua telah selesai mengemas barang-barang Midorima. Hanya sebuah koper besar dan dua kardus kecil yang kebanyakan berisi buku. Setelah selesai bersiap-siap, Midorima pun keluar dari apartemennya membawa koper dan tas kecilnya, diikuti Aomine yang membantu membawakan kardus kecilnya. Mereka menaruhnya dibagasi taksi yang sudah siap mengantar Midorima ke stasiun.

"Kabari aku kalau kau sudah tiba disana" kata Aomine seraya melakukan toast dengan Midorima yang memang sudah menjadi kebiasaan mereka.

"Pasti" sahut Midorima lantas masuk kedalam taksi.

xoxoxo

Perfektur Akita

Hari sudah menjelang sore saat Midorima mengendarai mobil yang ia sewa, menyusuri jalan-jalan kecil di pinggir hutan tak jauh dari Danau Tazawa. Dia sengaja memilih tempat yang terpencil, jauh dari keramaian, untuk menenangkan diri. Bukan ingin menghindar dari masalah, tapi dia butuh udara segar agar dia bisa menyelesaikan semua masalah yang akhir-akhir ini menimpanya.

Beberapa menit kemudian, dia tiba di pekarangan sebuah pondok kecil yang berada tak jauh dari pinggir hutan. Midorima lantas memarkir mobilnya di pekarangan yang letaknya tepat disamping pondok itu. Pondok itu merupakan satu-satunya rumah yang berada di jalan itu, terletak tak jauh dari Danau Tazawa dan memiliki pemandangan danau dan hutan yang sangat indah.

Midorima merogoh saku mantelnya mencari sebuah kunci lantas membuka pintu pondok yang terbuat dari kayu yang solid. Dia menyalakan saklar lampu yang berada tak jauh dari pintu masuk, mengamati keadaan sejenak. Pondok itu lumayan besar dan cukup terawat untuk sebuah pondok tak berpenghuni. Pemiliknya sengaja menyewakan pondok itu untuk orang-orang yang ingin berlibur atau mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia.

Suasana diluar pondok pun sangat asri dengan pemandangan indah danau Tazawa, pohon momiji dan pohon sakura yang tumbuh mengelilingi danau itu. Sang pemilik pondok juga menyewakan sebuah perahu motor kecil yang bisa digunakan untuk mengarungi danau dan menikmati kejernihan airnya. Pantas biayanya jadi lebih mahal, batin Midorima saat melihat perahu motor yang tertambat di dermaga kecil yang dibangun khusus oleh pemilik pondok.

Midorima meletakkan kopernya di kamar, mengeluarkan beberapa bajunya dan menatanya di lemari. Pondok itu memiliki dua kamar tidur tapi Midorima memilih kamar utama yang ukurannya lebih besar karena menghadap langsung ke arah danau. Sebelah alisnya terangkat saat matanya menangkap sebuah pijaran cahaya kecil yang muncul dari sebuah bukit di seberang danau. Cahayanya agak redup dan tidak terlalu jelas karena tertutup kabut.

"Mungkin ada rumah lain disana" dia menyimpulkan. Ia memilih tidak ambil pusing soal itu. Pikirannya masih dipenuhi hal-hal lain, kariernya, keluarganya dan istrinya. Midorima pun memilih untuk menyegarkan hati dan pikirannya dengan berendam air panas di bathtube. Setelah mandi dan dengan hanya mengenakan celana piyamanya, Midorima bergegas ke dapur untuk memasak ramen instan sebagai menu makan malamnya. "Ahh! Aku lupa!" katanya saat teringat kalau dia belum mengabari Aomine.

"Aku sudah sampai" Midorima berkata cepat tanpa basa-basi saat Aomine baru saja mengangkat teleponnya pada dering ketiga.

"Yokatta. Bagaimana disana?" tanya Aomine diujung telepon.

"Pemandangannya indah sekali disini. Kau memilih tempat yang tepat"

"Benar kan?! Aku yakin kau pasti suka. Bersenang-senanglah disana"

"Oke. Thanks" Midorima menutup teleponnya. Dia berpikir ingin menghubungi Satsuki juga tapi kemudian mengurungkan niatnya.

Midorima memilih memakan ramennya di kamar sambil menikmati pemandangan danau dimalam hari. Cahaya yang tadi ia lihat mulai terlihat lebih terang saat langit sudah gelap. Cahaya itu agak membuatnya penasaran, karena tadi di kota, beberapa warga disana bilang tidak ada yang tinggal di sekitar pondoknya.

"Tapi sebagian dari mereka juga tidak yakin sih. Mungkin mereka salah dan memang ada yang tinggal disana" pikirnya.

Setelah selesai makan malam, Midorima berniat menyelesaikan beberapa gubahannya pada beberapa karya Bach yang rencananya akan dia mainkan pada konser tunggalnya saat musim gugur nanti. Dia pun mengambil laptopnya dan mengeluarkan buku partitur nya dari dalam tas. Selembar foto terbang keluar dari dalam buku itu. Foto dirinya bersama Satsuki, istrinya yang mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya.

Alasan Midorima pergi yang paling utama adalah karena ia sedang menghadapi masalah yang cukup rumit dengan istrinya. Midorima sangat mencintai wanita cantik bersurai peach itu bahkan memujanya. Dia akan menuruti semua keinginan Satsuki meski kadang berlebihan. Tapi beberapa bulan terakhir ini, Satsuki mulai berubah. Dia mulai sering marah-marah dan cemburu tanpa alasan. Dia menjadi sering keluar rumah tanpa mengabarinya. Dan saat Midorima menegurnya, dia malah balik memarahi Midorima yang menurutnya terlalu ikut campur urusannya.

Parahnya, orangtuanya dan juga orangtua Satsuki malah membela istrinya dan menganggap Midorima lah yang menelantarkan istrinya karena terlalu larut dengan kehidupannya sebagai seorang pianis.

"Mungkin memang aku yang salah" Midorima berkata lirih. Dia agak menyesal sudah mengajukan surat tuntutan cerai pada wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu.

xoxoxo

Keesokan paginya

Midorima membawa kameranya dan bergegas menuju dok kecil disamping pondoknya. Dia akan mengunjungi bukit kecil tempat cahaya itu terlihat kemarin. Hanya memastikan saja, batinnya. Dia pun melepaskan tali pengekang perahu dari tempatnya kemudian mengendarainya menuju bukit itu.

Pemandangan Danau Tazawa dari dekat lebih menakjubkan lagi. Airnya sangat jernih dengan pemandangan beragam ikan yang sedang berenang dibawah permukaan. Pohon momiji pun sedang bermekaran, membuat pemandangan disekitar danau itu pun berubah menjadi berwarna jingga keemasan yang cantik.

Semakin dekat, Midorima bisa melihat sebuah pondok lain di bukit itu. Perkiraannya tepat. Memang ada rumah lain didekat pondoknya. Midorima pun menambatkan perahunya dibawah dok yang terletak tak jauh dari rumah itu.

Dia menyematkan tali pengekang perahunya dengan kuat kemudian berjalan menuju rumah. Rumah itu sedikit lebih besar dari pondoknya. Bukit itu terpisah dari daratan seperti sebuah pulau kecil dan rumah itu menjadi satu-satunya rumah di bukit itu. Bukit itu pun cukup luas, dengan hamparan rerumputan yang luas dan ditumbuhi banyak pepohonan.

Midorima memotret pemandangan disekitar rumah itu beberapa kali sambil berdecak kagum karena keindahan pemandangan disekitarnya. Harusnya aku menyewa pondok yang ini saja, batinnya.

"Ohayougozaimasu " sebuah suara menyapa Midorima dari belakang. Dia agak terkejut ketika menoleh dan melihat seorang wanita yang telah berdiri dibelakangnya.

"O-ohayogozaimasu " jawabnya sambil tertunduk malu karena tertangkap basah sedang memotret rumah seseorang tanpa izin. Midorima mengamati wanita itu dari sudut matanya. Seorang wanita yang mungkin berusia lebih muda darinya. Anenhya, ia memakai gaun panjang era abad Pertengahan Eropa berwarna putih dan berenda sangat unik. Wanita itu juga membentuk gaya rambutnya seperti gaya rambut wanita bangsawan pada jaman itu. "Siapa wanita ini? Kenapa memakai baju seperti itu?" Midorima bertanya-tanya dalam hati.

"Apa yang sedang Anda lakukan disini, Tuan?" wanita itu bertanya dengan bahasa formal.

"Maaf. Saya hanya sedang jalan-jalan disekitar danau dan menemukan tempat ini. Maafkan saya bila mengganggu Anda" Midorima meminta maaf dengan bahasa yang formal juga. Wanita itu tersenyum. Seketika itu pula, Midorima langsung terpesona dengan senyuman wanita itu. Sangat tulus dan menawan. Midorima sedikit kagum karena wanita itu tersenyum seperti itu pada orang asing seperti dirinya.

"Tidak apa-apa. Pemandangan disini memang sangat indah" katanya dengan ramah seraya mengalihkan pandangannya ke arah danau dan menikmati keindahannya.

"Dia cantik sekali" batin Midorima. "Oh Tuhan! Maafkan aku! Tidak seharusnya aku tertarik pada wanita lain" Midorima memarahi dirinya sendiri.

"Ah~ Namaku Midorima Shintarou. Aku dari Tokyo" Midorima memperkenalkan dirinya sambil membungkuk sedikit.

"Namaku Isabelle. Aku tahu namaku aneh untuk nama orang Jepang. Tapi memang

begitulah adanya" wanita itu berkata dengan ramah. Keduanya pun tersenyum. Midorima merasa senang karena wanita itu ternyata orang yang ramah. Mereka pun berjalan-jalan disekitar bukit itu sambil mengobrol. Sikap ramah dan juga rasa keingintahuan Isabelle yang alami membuat Midorima merasa nyaman berada didekatnya meski baru pertama kali bertemu.

"Jadi, apa yang membawamu mengunjungi Danau Tazawa ini, Midorima-san?" tanya Isabelle ketika wanita itu mengajak Midorima masuk ke rumahnya. Mereka duduk di teras depan rumah sambil menikmati pemandangan. Isabelle menyajikan segelas ocha panas dan beberapa kue kering untuk menjamu Midorima.

"Sudah kubilang panggil saja aku Shintarou"

"Hai. Gomen nasai. Maksudku Shintarou" Isabelle meminta maaf. Midorima malah jadi tidak enak membuat Isabelle jadi merasa bersalah seperti itu.

"Aku sedang berlibur disini. Aku menyewa pondok diseberang sana" Midorima menunjuk ke arah pondoknya. Isabelle menoleh ke arah yang ditunjuk pria berkacamat itu.

"Ah~ sou desu ka. Jarang ada orang yang menyewa pondok milik keluarga Takao disaat-saat seperti ini" kata Isabelle ketika melihat pondok yang dimaksud Midorima yang merupakan milik keluarga Takao yang memang untuk disewakan. Midorima mengangguk seraya menyesap ocha nya. Dia memang datang kesini bukan pada musim liburan tapi untuk menenangkan diri.

"Kau sudah lama tinggal disini?" tanya Midorima sambil memandang ke sekeliling. Rumah itu cukup sederhana. Perabotannya terlihat sudah usang, tapi wanita itu sepertinya sangat telaten merawat rumahnya. Meskipun terlihat tua, tapi rumah itu cukup bersih dan nyaman.

"Ya. Sejak aku menikah dengan suamiku. Kami membangun rumah ini sesuai dengan keinginan kami. Rumah ini merupakan rumah impian kami" Isabelle tersenyum saat menceritakannya. Terlihat sekali kalau wanita itu sangat bahagia dengan pernikahannya. Tiba-tiba Midorima merasa iri dengan Isabelle.

"Dimana suamimu sekarang? Aku merasa tidak enak berada disini" Midorima merasa dirinya agak lancang bertamu ke rumah seorang wanita yang sudah bersuami sementara suaminya sedang pergi. Dia tidak ingin ada kesalahpahaman yang mungkin bisa membuat pernikahan Isabelle berantakan. Dia tidak ingin menambah masalahnya lagi.

"Dia sudah meninggal beberapa waktu lalu" Isabelle menjawab sedih. Matanya sedikit berair seperti hendak menangis.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud…"

"Tidak apa-apa" belum sempat Midorima menyelesaikannya, Isabelle memotong kalimatnya. Dia tersenyum sambil menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Midorima jadi merasa iba padanya. "Wanita semuda ini harus menanggung kesedihan yang mendalam karena suaminya meninggal" batin Midorima. Ingin rasanya ia memeluk Isabelle saat ini juga.

"Aku memakai gaun ini setiap pagi untuk mengenang suamiku. Dia sangat senang saat aku mengenakannya. Ini merupakan gaun pengantinku" sekali lagi Isabelle terlihat bahagia saat bercerita tentang suaminya. Dan sekali lagi Midorima merasa iri dan berharap Satsuki bisa seperti Isabelle.

"Kau terlihat cantik saat mengenakan gaun itu" kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Midorima tanpa disadarinya. Dia pun bertingkah kikuk setelahnya. Isabelle tertawa kecil melihat sikap Midorima yang salah tingkah.

"Domoarigatou. Anda juga terlihat tampan" katanya sambil tersenyum. Midorima ikut tersenyum. Entah apa yang sedang terjadi, tapi Midorima selalu merasa terpesona dengan senyuman Isabelle. Seakan senyumannya bisa menghipnotisnya dan menimbulkan sengatan-sengatan aneh disekujur tubuhnya.

"Eh~ terimakasih" Midorima menggaruk belakang kepalanya. Wajahnya agak bersemu merah karena Isabelle memuji dirinya.

"Ah~ sudah sore, aku harus pulang" ujar pria itu ketika melihat arlojinya kemudian dia pun beranjak dari tempatnya. Isabelle mengantar Midorima hingga ke dermaga kecil tempat Midorima menambatkan perahu motornya tadi.

"Terima kasih sudah mengajakku berkeliling. Hari ini aku senang sekali"

"Sama-sama. Anda bisa datang lagi kesini kapan saja. Datang saja kerumahku"

"Aku pasti datang lagi. Terima kasih sekali lagi" Midorima pun menyalakan mesin perahu motornya. Dia melambaikan tangannya pada Isabelle kemudian mengarahkan perahunya kembali ke pondoknya.

xoxoxo

Hari-hari pun berlalu. Hampir setiap hari Midorima mengunjungi Isabelle. Kadang di pagi hari atau setelah tengah hari. Biasanya mereka berjalan-jalan di sekitar bukit, memancing di danau atau mengobrol seharian di teras rumah. Mereka selalu punya bahan obrolan yang menyenangkan. Isabelle sering menceritakan tentang danau Tazawa, legendanya, kebiasaan masyarakat disekitarnya dan lainnya.

" Kau tahu~ ada legenda tentang seorang putri yang menjadi naga di danau ini" suatu hari Isabelle mulai bercerita saat mereka tengah mengobrol di teras belakang rumah sambil menikmati pemandangan pohon momiji yang bersemi indah di sekeliling danau.

"Benarkah?! Seperti apa ceritanya?" tanya Midorima penasaran.

"Dahulu kala, ada seorang putri yang bernama Tatsuko. Dia mendambakan kecantikan yang abadi. Kemudian dia berdoa kepada Buddha dan Buddha mengabulkannya dengan syarat dia harus meminum air yang berada di tengah gunung. Tapi setelah meminumnya ia malah semakin merasa haus dan dirinya pun berubah menjadi naga. Setelah menyesali perbuatannya, ia pun menceburkan diri ke danau Tazawa dan hidup sebagai naga didanau ini"

"Kasihan sekali"

"Aku rasa tidak. Dia terlalu tamak dan Buddha memberikan balasannya. Tidak ada keabadian selain hanya milik Tuhan" kata Isabelle dengan mantap. Midorima terperangah dengan kalimat Isabelle tadi. Sudah lama sekali dia tidak pernah mendengar seseorang berkata seperti itu padanya. Tapi saat ini, didepannya seorang wanita yang baru saja ia kenal mengatakan kalimat yang indah tentang Tuhan.

Giliran Midorima yang kemudian menceritakan tentang tempat tinggalnya di Tokyo dan tentang pekerjaannya. Isabelle tampak tertarik karena dia belum pernah mengunjungi Tokyo. Wanita itu juga kelihatan kagum dengan pekerjaan Midorima sebagai seorang pianis yang menurutnya keren.

"Wah~ aku ingin mengunjungi Tokyo suatu hari nanti" Isabelle terlihat senang saat Midorima menceritakan tentang Tokyo dan segala hiruk pikuknya, khususnya Shinjuku, tempat tinggalnya yang selalu terlihat sibuk siang dan malam.

"Kau harus mengunjunginya kapan-kapan. Aku jamin, kau tidak akan menyesal. Aku akan menemanimu berkeliling nanti" sahut Midorima sambil tersenyum.

"Benarkah? Senang sekali mendengarnya. Aku akan pergi bila sudah siap. Aku masih ingin berada disini, entah sampai kapan" kesenduan kembali terlihat diwajah cantik Isabelle. Dia kembali teringat suaminya. Tanpa sadar, Midorima mengalungkan lengannya kebahu wanita itu dan mengarahkan kepala Isabelle ke dadanya. Wanita itu pun tidak menolak. Dia menyandarkan kepalanya didada Midorima.

Agak lama mereka berdiam dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya Isabelle melepaskan lengan Midorima dari bahunya dengan lembut.

"Maafkan aku" wanita itu tersenyum lirih.

"Tidak. Aku yang harusnya minta maaf karena telah lancang memelukmu" Midorima terlihat menyesal dengan sikapnya tadi. Tak seharusnya ia memeluk seorang wanita asing padahal dirinya masih berstatus suami orang.

"Tidak apa-apa" Isabelle tidak menganggap Midorima telah bersikap lancang. Dia malah merasa lega karena mempunyai sandaran setelah sekian lama. Mereka masih terdiam beberapa saat, tenggelam dengan pikiran masing-masing. Kemudian Midorima membelai pipi wanita itu, membuatnya menoleh ke arah Midorima. Pria itu menatap Isabelle lekat-lekat lantas mencium bibirnya dengan lembut.

Isabelle mendorong pelan Midorima saat pria itu menciumnya, membuat sang pianis merasa semakin bersalah karena melakukan hal konyol dengan menciumnya tanpa izin. Diluar dugaan, Isabelle kemudian mencium Midorima tanpa ragu.

Keduanya berciuman dengan lembut dan hangat tanpa merasa kikuk sedikit pun. Ciuman mereka pun semakin dalam dan panas saat Midorima membimbing Isabelle hingga ke kamar tidur wanita itu. keduanya masih berciuman saat melewati ruang-ruang di rumah Isabelle hingga ke kamarnya. Mereka berbaring ditempat tidur, masih berciuman sambil melepaskan pakaian masing-masing.

"Apa kau yakin dengan hal ini?" tanya Midorima saat melepaskan ciumannya. Mereka berhenti sejenak, napas mereka tak beraturan karena intensitas ciuman yang begitu dalam dan tanpa jeda. Isabelle menatap mata hijau Midorima yang berkilau seperti permata jade. Entah apa yang sudah merasukinya hingga ia tidak keberatan Midorima menyentuhnya dan dirinya telah siap dengan segala resiko yang akan dihadapinya.

"Aku yakin" Isabelle mendesah sambil menggigit bibirnya.

xoxoxo

Keduanya terbangun saat hari sudah malam. Entah sudah berapa jam mereka tidur setelah melakukannya beberapa kali. Isabelle menyandarkan kepalanya didada Midorima. Keduanya berbaring sambil berpelukan. Pakaian mereka bertebaran disekitar tempat tidur. Hanya selimut tebal berwarna putih dengan motif dedaunan yang membalut tubuh mereka.

"Maafkan aku. Seharusnya aku tidak melakukan ini padamu" sekali lagi Midorima merasa bersalah pada Isabelle karena telah menyentuh wanita itu padahal ia adalah pria yang sudah menikah meski sekarang dalam proses bercerai. Tetap saja menurutnya tidak pantas. Dia telah mengkhianati Satsuki dengan meniduri wanita lain. Perbuatannya tak bisa dimaafkan.

"Aku sudah menikah " katanya lagi. Isabelle diam saja tampak tidak terkejut dengan pengakuan Midorima.

"Aku tidak bermaksud menjadikanmu sebagai pelampiasan karena masalahku" Midorima mengelus kepala Isabelle dengan lembut kemudian menciumnya dengan hidung dan bibirnya. Meresapi aroma tubuh wanita itu yang telah mampu membuatnya mabuk kepayang.

"Aku tahu. Tidak apa-apa kok" Isabelle menjawab pelan. Dia menatap Midorima sambil tersenyum, memainkan rambut hijau Midorima dengan jemarinya yang halus. Mengagumi ketampanan pria itu, khususnya matanya.

Isabelle sangat menyukai mata hijau jade yang menatapnya dengan lembut. Dia sangat senang saat Midorima menatapnya seperti itu. Mata yang memancarkan kesedihan dan keputusasaan itu malah semakin membuatnya ingin selalu berada disamping Midorima.

"Tinggalah disini hingga besok pagi" pinta Isabelle sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu lebih dekat, bergelung manja layaknya seekor kucing yang ingin dibelai, membuat keduanya semakin merasakan keintiman mereka.

"Tentu" Midorima mengecup kening wanita itu, beralih ke hidungnya, kemudian pipinya dan mereka pun kembali berciuman dengan bergairah.

"Aaa~ kau mengenal Nakatani-san yang memiliki toko ikan di kota?" tanya Midorima sangat bibir mereka terpaut beberapa senti untuk mengambil napas.

"Ya. Tentu. Kenapa?" Isabelle memandang pria itu sedikit kebingungan karena tiba-tiba menanyakan tentang orang lain.

"Dia mengajak warga kota untuk minum sake bersama besok siang. Kau mau datang? Aku akan menjemputmu nanti"

"Aku akan datang. Kau tidak perlu menjemputku" Isabelle tersenyum kemudian mencium leher Midorima tidak sabaran karena dirinya mulai kembali bergairah.

"Benarkah? Baiklah kalau begitu. Aku tunggu di rumah Nakatani-san besok siang" dengan senang hati Midorima menyambut ciuman wanita cantik itu dan mereka kembali bercengkrama, menikmati masa-masa intim mereka walau hanya sesaat.

xoxoxo

Keesokan harinya.

Midorima kembali memikirkan Isabelle. Dia benar-benar jatuh cinta pada wanita itu. Senyuman manisnya, tutur katanya yang lembut dan sopan, tatapannya yang menyejukkan, dan kecantikannya yang alami. Dirinya bagai dimantrai oleh pesona kecantikan wanita yang baru saja dikenalnya beberapa waktu yang lalu.

"Argh! Tidak seharusnya aku jatuh cinta padanya. Aku sudah menikah" Midorima memaki dirinya sendiri. Dia kesal pada dirinya yang mulai jatuh cinta pada Isabelle padahal ia dan Satsuki belum bercerai. Tapi, berada didekat Isabelle membuatnya merasa hidup kembali. Perasaan yang sudah lama hilang, bahkan sebelum konfliknya didalam rumah tangganya muncul.

Midorima melihat arlojinya. Hampir pukul 11 siang. Dia pun membereskan bukunya dan menyimpannya di laci di samping tempat tidurnya. Dia memasukkan kembali laptopnya di tempatnya, meraih mantelnya kemudian bergegas keluar rumah. Pria itu memandang ke arah rumah Isabelle saat ia berada di doknya. Dia pun berpikir untuk menjemput Isabelle dan pergi ke rumah Tuan Nakatani bersama.

Midorima mengarahkan perahu motornya ke bukit tempat rumah Isabelle. Dahinya berkerut saat mendapati perahu motor Isabelle tidak berada di doknya.

"Mungkin ia sudah pergi duluan" gumamnya kemudian mengubah haluan perahunya menuju kota Semboku. Beberapa warga sudah memenuhi rumah dan pekarangan milik keluarga Nakatani. Ada beberapa bangku panjang dan meja panjang yang berada ditengahnya.

Cuaca siang itu cukup cerah. Midorima menyapa beberapa orang yang berada di sekitarnya. Mereka cukup ramah padanya meski dirinya hanya turis. Bahkan Tuan Nakatani cukup berbaik hati mengundangnya untuk minum sake. Jarang ada orang yang datang kesini pada saat seperti ini, begitu alasan yang dikemukakan sang pemilik toko ikan.

"Midorima-kun, selamat datang " Nyonya Nakatani menyambut Midorima dengan ramah dan mempersilakannya duduk.

"Terima kasih " balas Midorima dengan sopan. Dia duduk agak menjauh dari keramaian warga. Matanya memandang ke sekeliling mencari sosok Isabelle, tapi dia tidak melihat sosok wanita itu dimana pun.

Waktu semakin berlalu. Sudah hampir satu jam, Midorima berada dirumah Tuan Nakatani tapi Isabelle tak kunjung datang. Wajahnya mulai terlihat cemas.

"Midorima-kun, kau sedang menunggu seseorang?" tanya Tuan Nakatani saat ia menghampiri Midorima yang sedang duduk di pojok teras depan yang menghadap danau. Pria berusia enam puluh tahunan itu memperhatikan Midorima yang sejak tadi memisahkan diri dari keramaian warga.

"Hai. Aku sedang menunggu seseorang disini"

"Hontouni?! Siapa? Temanmu?" pria tua itu tampak terkejut.

"Iya. Tapi dia tinggal disini. Mungkin Anda mengenalnya"

"Sejak lahir aku tinggal disini. Aku pasti mengenalnya. Siapa namanya?"

"Isabelle" seketika saat Midorima menyebutkan nama itu, keriuhan warga yang berada disekitarnya mendadak hening. Mereka menoleh kearah Midorima dan memandangnya dengan tatapan aneh, seolah pria bersurai hijau lumut itu baru saja mengatakan kalau dia melihat UFO. Tuan Nakatani pun tampak kaget saat Midorima menyebutkan nama Isabelle.

"Isabelle?" pria tua itu mengulangi nama yang disebutkan Midorima.

"Iya. Anda mengenalnya?" Midorima bersikap agak kikuk lantaran dirinya kini menjadi pusat perhatian karena menyebutkan nama Isabelle. Apa yang salah dengan nama itu? Kenapa mereka melihatku seperti aku ini orang aneh?

"Aku mengenalnya. Begitu pula hampir seluruh warga kota ini. Tapi…" Tuan Nakatani tidak melanjutkan kata-katanya dan malah memandang Midorima dengan tatapan prihatin.

"Tapi apa?"

"Isabelle sudah meninggal 10 tahun yang lalu"

To be continued...


A/N : Re-write dari fanfic saya berjudul Constanta. Terinspirasi dari film suspense Half Light yang dibintangi oleh Demi Moore :) SKS dan masih banyak kekurangan disana-sini, but feel free to critic and review. Thanks :)