Sudah berapa tahun, ya, saya gak nulis di FF?? Yang pasti sudah setahun lebih!!
Maklum, namanya juga anak kelas 3 SMA, kehabisan waktu gara-gara bergulat dengan ujian, ujian, dan ujian!! Karena sekarang udah bye2 ujian dan kebetulan saya ada waktu sebelum UTS yang bakal sama menyengsarakannya dengan ujian kelas 3 kemarin, jadilah saya menulis fict ini.
Well, saya ternilai nekat mem-publish fict ini.
Jangan tanya kenapa saya nekat. Habis mana bisa saya mengontrol imajinasi saya saat secara tak sengaja saya melihat gambar Edward (cewek) yang tampak sangat cantik dengan mawar merah tersemat di rambutnya.
Jadi, maafkan saya kalau fict ini agak di luar logika.
Mungkin banyak yang akan menge-flame fict gaje ini ... tapi siapa peduli? I just wanna unleash my imagination.
Hmm ... "Unleash Your Imagination". Mantra yang hebat, ya? Karenanya sel abu-abu kecil dalam batok kepala saya bergetar, dan akhirnya saya bisa mempersembahkan (cailah, bahasanya ...) fict ini.
Just enjoy this trip.^^
Disclaimer:
Always, Hiromu Arakawa. Kalau saya, bisa dipastikan Edward akan bergender cewek. Dan Roy akan jatuh cinta berkali-kali pada Ed. Sayang banget pengarangnya bukan saya, ya?
Summary:
"Akhir", takkan pernah benar-benar jadi sebuah akhir. Ia akan selalu membawa awal yang baru. Entah itu berarti baik, atau sebaliknya. – RoyfemEd; slight : AlWin, JeanRiza – First Chorus: Not An Ending, Just Another Beginning
Fate Sonata
Chorus 1
Not An Ending, Just Another Beginning
Sometimes life can be burden
Trying to stay step one ahead
Feel the world upon my shoulder each time
I'm standing out on the edge
And my hopes all deserted me
Like they've washed away in the sand
And it's hurting my pride
Trying to survive
But I know that I stand a chance…
("Lay Your Hands" - Simon Webbe - )
Central, seminggu pasca "perang Central", perang dengan para homunculus, tampak sama damainya seperti seminggu sebelum perang. Tak tampak banyak perubahan. Mungkin karena para alchemist yang telah berusaha keras memperbaiki kerusakan sarana dan prasarana yang ada.
Perang tak pernah tak memakan korban.
Para korban yang meninggal telah dimakamkan dengan layak. Yang terluka, baik parah ataupun ringan, dirawat sebaik-baiknya di rumah sakit. Akibatnya, seluruh rumah sakit di Central penuh dengan korban perang.
Pemerintah segera bertindak agar tidak terjadi vacuum of power alias kekosongan kekuasaan. Kekuasaan pemerintahan dikembalikan lagi ke lembaga yang seharusnya, parlemen. Dan militer dikembalikan lagi ke tugasnya semula sebagai lembaga pertahanan dan keamanan negara.
Tapi, lagi-lagi, selalu ada perkecualian.
Tak semuanya kembali seperti semula.
Tirai satin biru kamar itu melambai lembut. Angin berputar perlahan di ruangan itu, mempermainkan rambut pirang sepunggung seseorang yang duduk di atas ranjang kamar rumah sakit itu.
Di depannya tampak seorang pria, tampak amat gagah dengan seragam militer Amestris biru tuanya. Wajahnya tampan, rambut hitam cepaknya tampak agak berantakan. Mungkin karena ia tak sempat mengurusnya. Bola matanya sehitam langit di malam tanpa purnama. Bagaikan onix. Sayang, sekarang mata itu tak memancarkan kilaunya yang seindah biasanya. Lebih sayangnya lagi, mata kirinya kini tertutup eye patch hitam. Bahkan orang bodoh pun bisa menebak bahwa mata kirinya terluka karena perang Central sehingga dia harus memakai eye patch.
Pria itu, tak lain tak bukan, adalah Flame Alchemist, pahlawan Amestris di perang Ishvall dan perang Central. Ya, Kolonel Roy Mustang yang kini naik pangkat menjadi Mayor Jenderal karena jasa-jasanya dalam dan sebelum perang Central.
Roy duduk di kursi di sebelah ranjang. Ruangan itu sunyi. Roy pun bingung bagaimana harus memecah kesunyian itu sekarang. Dia tak mau karena salah bicara, nanti dia malah akan melukai hati sosok gadis berambut pirang yang memakai baju rumah sakit berwarna biru muda di depannya itu. Karena ia tahu kenyataan telah dengan hebat dan tanpa perasaan menghantam sosok itu. Lagi. Meski ia akhirnya mendapat kembali apa yang dikejarnya selama ini. Tapi pengorbanannya kali ini… entahlah. Roy tak tahu apakah itu cukup setimpal, cukup ekuivalen atau tidak.
Terkadang, equivalent trade memang tak se-ekuivalen namanya.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanyanya, jauh lebih lembut dari biasanya
"Kembali ke Liesenburgh. Kakiku memang sudah kembali, tapi lenganku… aku tak bisa terus hanya berlengan satu dan membiarkanmu terus mengejekku kan, Kolonel sial?" ujarnya, tetap ketus seperti biasa.
Roy tersenyum tipis, bersyukur sifatnya, lebih tepatnya sifat sarkastiknya, tak berubah meski secara fisik dia berubah. Berubah drastis. Ya, karena kali ini dia tak sekedar kehilangan lengan atau kaki.
Pada kenyataannya, lengannya malah kembali. Dia juga berhasil mengembalikan adiknya ke tubuhnya semula. Hanya saja…
TOKTOKTOK.
Mereka berdua menoleh.
"Nona, saatnya pemeriksaan." ujar suster, menemani dokter yang tampaknya amat profesional , sopan.
Sang dokter mengangguk sopan pada mereka berdua. Terutama pada elit militer berambut hitam di hadapannya itu. Dia tahu pasti siapa orang itu. Apalagi setelah seminggu ini, setiap hari, ia melihatnya menjenguk pasiennya.
Roy mengerti. Sekarang saatnya untuk pergi. Ia memakai mantel hitamnya yang disampirkannya di sandaran kursinya.
"Sepertinya aku harus pergi sekarang." ujarnya sambil bangkit dari duduknya.
Sosok berambut pirang dan bermata emas itu menyeringai.
"Bagus. Aku tak perlu mengusirmu."
Roy tersenyum. Dia beranjak keluar ruangan.
"Aku cukup tahu diri," Roy memutar kenop pintu dan menambahkan sebelum ia melangkah keluar ruangan, "Kau tahu itu kan, Nona Fullmetal?"
Si rambut pirang hanya tersenyum sinis.
"Sayang ini rumah sakit. Kalau tidak, sudah kupastikan kau babak belur dihajar tembok yang kutransmutasi."
"Berarti aku benar-benar beruntung." ujarnya sebelum menutup pintu.
BLAM.
Roy tersenyum saat samar-samar mendengar Edward mengumpatnya dari balik dinding. Dalam hati ia kasihan pada suster dan dokter yang terpaksa harus mendengarkan umpatan-umpatan Edward.
Ia mempercepat langkahnya menyusuri koridor rumah sakit itu. Dia harus segera kembali ke kantor sebelum jam makan siang berakhir. Yah, beginilah nasib pegawai teladan di saat tak ada cukup pegawai untuk dipekerjakan. Dan itu, lagi-lagi, dampak dari perang Central.
Dia berbelok ke kanan di tikungan, menuju tangga, dan hampir saja menabrak dua orang yang berjalan berlawanan arah dengannya.
"Woo…"
Untung Roy punya keseimbangan yang bagus. Ada untungnya juga dia dulu sempat ditempatkan di Briggs sebelum ditempatkan di East City, dan akhirnya dimutasi ke Central.
"Ah, maaf… ," pemuda berambut pirang cepak yang hampir ditabraknya mendongak padanya, dan terkejut, "Kolonel?"
"Oh, hai, Alphonse. Hai juga, Nona Rockbell." sapanya setelah berhasil berdiri tegak lagi.
Dia mengulurkan tangannya pada Al.
"Menjenguk kakak?" tanya Al, sambil menyalami Roy setelah berhasil meredakan keterkejutannya karena hampir menabrak Roy.
"Ya." jawabnya seraya gantian menyalami Winry.
"Cukup, Winry, Pak Mustang." ujar gadis itu seraya menyambut uluran tangannya dan tersenyum manis padanya.
"Rasanya aku jadi bertambah tua kalau kau memanggilku begitu," ujarnya, sambil tersenyum kecut, menyadari dua bulan lagi umurnya sudah kepala tiga, "Kalian baru saja makan siang, ya?"
"Yah... kakak memaksaku dan Winry makan siang atau dia akan menendang kami keluar kamarnya." jawab Al jujur.
Roy mengangguk paham, "Aku bisa membayangkan dia melakukannya."
"Kondisinya makin membaik. Sepertinya dia bisa keluar dari rumah sakit beberapa hari lagi." tambahnya kemudian.
"Ya, kakak punya daya tahan tubuh yang bagus. Dia selalu sembuh lebih cepat daripada orang lain." ujar Al mengiyakan.
"Selalu." gumam Roy, teringat bagaimana dulu Ed hanya butuh satu tahun untuk rehabilitasi automailnya, teringat bagaimana Ed selalu keluar rumah sakit lebih cepat dari perkiraan dokter setiap kali dia harus masuk rumah sakit karena aksi-aksinya yang ternilai 'agak' brutal.
"Ups, kurasa aku harus segera pergi, atau Hawkeye akan menempelkan pistolnya di dahiku nanti." ujar Roy, setelah melihat jam peraknya, jam lambang alchemist negaranya.
"Anda sudah bekerja kembali?" tanya Winry, terkejut. Dia tahu Roy seorang pemalas. Paling anti dengan paperwork, dan selalu berusaha menghindari pekerjaan tiap kali ada kesempatan.
"Tak ada cukup personil sehingga kami bisa libur dan bersantai dalam setidaknya dua minggu ini, Winry." jelas Roy.
Timnya sudah bekerja keras kali ini. Meskipun semuanya masih dalam tahap penyembuhan karena luka-luka yang mereka derita, semuanya sudah kembali bekerja. Riza Hawkeye yang terluka paling parah pun sudah kembali bekerja. Dan siap menembakkan pistolnya ke kepala Roy jika dia tidak segera tiba di kantornya dalam 30 menit.
" Aku permisi dulu," Roy kembali menyalami mereka berdua, " Beritahu aku tentang perkembangan kesehatannya. Jadi aku bisa langsung mempekerjakannya begitu dia sembuh nanti."
"Kakak pasti menghajar Anda jika mendengarnya," ujar Al sambil tersenyum, "Lagipula saya juga bisa membantu."
"Kau sudah cukup banyak membantu kami minggu ini, Alphonse. Biarkan kakakmu melakukan sisanya, atau dia akan mengamuk karena dianggap tidak berguna dan tidak diberi pekerjaan sama sekali." kata Roy menanggapi Al.
"Kedengarannya masuk akal." ujar Winry, tahu pasti Ed memang mungkin melakukannya.
Roy tersenyum mendengarnya.
"Sampai jumpa, Alphonse, Winry." ujarnya sebelum berlalu dari hadapan mereka.
Bersambung…
Bagaimana?
Cukup memuaskan?
Bikin penasaran?
Tunggu kelanjutannya, ya. (Kalau saya sanggup meneruskannya… )
- See, Shizuka? Akhirnya kupublish juga fict ini. Dan maaf, kalau akhirnya fict ini tidak jadi fict yaoi seperti yang kau harapkan… Aku belum mutlak jadi fujoshi, tahu!! Masih stadium 1 belum stadium 7!! -
Please, read and review.
Luv,
she
