Nuna! Nuna!
[Kutukan Cokelat]
Chanyeol/Baekhyun
GS!
Summary:
Awalnya, hidup Baekhyun biasa-biasa saja. Seorang anak SMA dengan otak rata-rata, dibully cowok taksirannya, dan hidup begitu-begitu saja. Tidak ada yang istimewa. Sampai satu ketika ia bertemu seorang anak gendut yang menghabiskan seluruh persediaan cokelat yang ia punya, dan terbangun esok paginya dengan seorang pria bertelanjang dada di sisinya. Wait, what?!
Prolog
Tes. Tes.
Aku mendongak ke atas. Setetes air yang hangat mengenai hidungku. Hujan. Angin semilir, bergemeresik di telingaku, meniup helai rambutku. Tapi anehnya, udara sore ini tidak dingin. Udaranya hangat, sangat malah.
"Baekhyun aku...," tahu-tahu dia telah berdiri di hadapanku. Jemari panjangnya mengangkat daguku, dengan lembut membawa tatapan kami agar bertemu. Dia, pria yang kusukai sejak pertama kali aku melihatnya, lebih dari dua tahun yang lalu. Pangeran berkuda-putihku. Memandangnya, tatapanku tidak bisa untuk tidak melembut. "Aku menyukaimu."
Lalu wajahnya mendekat. Aku menahan napas. Angin berhembus lebih kuat, entah mengapa, semakin kuat, semakin kuat. Bunyinya berisik. Ribut. Lalu...
"Awas!"
Sebuah pohon jatuh menimpaku.
Aku tersentak. Berkeringat dingin saat memandang langit-langit berwarna abu-abu gelap dengan tempelan bintang-bintang glow-in-the-dark yang sebagian telah mengelupas. Mereka hampir tidak terliha karena cahaya matahari yang menelusup lewat celah-celah ventilasi dan kaca jendela, menembus gorden tipis berwarna biru muda yang baru kubeli dua minggu sangat terik... aku mungkin terlambat ke sekolah.
Tapi, ada sesuatu yang aneh. Yang membuatku membeku saat akan beranjak. Angin hangat itu... masih meniupi telingaku, bersama suara dengkur pelan. Kemudian baru menyadarinya, aku merasakan tubuh bagian bawahku terkunci. Sesuatu menindihku.
Detik itu juga mataku melebar. Kantukku tiba-tiba saja menghilang atas kesadaran itu. Dengan takut, ragu, dan gugup bercampur menjadi satu, aku berbalik. Dan menemukan seorang pria di sisiku. Pria yang tidak kukenal. Pria dewasa bertubuh kekar yang tidak memakai baju.
Ya Tuhan.
"AAAAAAARRRGGGGHHHH!"
.
.
.
Hana
Gadis menawan itu bernama Byun Baekhyun.
Dia sempurna. Cantik dan manis sekaligus. Ia dengan mudahnya bersinar seperti terik matahari di hari minggu, mencederai mata kaum Adam untuk terus menatapnya tanpa kedip dan menyakiti tatapan para wanita yang hanya bisa memandangnya iri. Tidak hanya itu, dia juga pintar, semua guru memujanya berkat kejeniusan otaknya yang tidak terduga-duga. Soal apapun, bagaimanapun peliknya, ia pasti dapat menjawabnya. Dan dia bersekolah di sekolah berkelas internasional, fasilitas penyejuk dan penghangat ruangan yang lengkap, perabotan kelas berkualitas, guru terbaik dan bijaksana, dan teman-teman sekelas yang memiliki otak di atas rata-rata, meski... tidak ada yang dapat menjangkau level Baekhyun. Tidak apa, mereka semua cukup menyenangkan. Apalagi saat bel tanda pelajaran telah berakhir berbunyi anggun, anak laki-laki akan berlomba-lomba memunguti buku-buku Baekhyun, memasukkannya ke dalam tas yang selalu berganti tiap harinya menyesuaikan dengan warna sepatu dan mood. Sementara anak-anak perempuan yang cukup berakal akan berusaha bersikap semanis mungkin agar menjadi temannya. Terakhir, di depan sekolah, mobil mewah sudah menanti untuk menjemputnya, setiap harinya. Juga tidak pernah sama; Mercedez untuk hari Senin, Audy hari Selasa, Rabu ia lebih menyukai Ferrari dan seterusnya.
Benar-benar sempurna.
"Byun Baekhyun!"
"Baekhyun~a!"
"Baekhyun, aku mencintaimu!"
Ya, mereka memujanya separuh itu, seperti artis idola. Dan Baekhyun menikmatinya. Meski bagaimanapun...
"Byun Baekhyun?!"
"YAH! BYUN BAEKHYUN! BANGUN KAU!"
Gadis itu tersentak seketika. Ia mengelap liur yang mengumpul di sudut mulutnya, kemudian menatap sekitar dengan nanar dan kebingungan sebelum cepat-cepat duduk tegak sambil menatap lurus dan putus asa ke depan. Rasa kantuknya menguap sudah, begitu pun semua rancangan kehidupan lain yang ia mimpikan. Sekarang, Pak Jung, guru paling galak yang dimiliki sekolahnya, dan sialnya juga merupakan wali kelasnya, menatapnya begitu tajam seperti silet. Baekhyun merasa tercabik-cabik.
"Y-ya, Seonsaeng-nim?"
Pak Jung, pria tua itu, tampak hampir menghembuskan asap dari telinga dan kedua lubang hidungnya. "Sebutkan sifat-sifat logaritma!"
"Hm... Hm... itu..."
Sial. Ia benar-benar berada di dunia yang jauh berbeda saat guru matematika garang itu menjelaskan di depan papan tulis.
"Pffttt..." Beberapa orang mulai tidak bisa menahan tawa, membuat Baekhyun semakin panik. Panik artinya tidak bisa berpikir. Tidak bisa berpikir artinya mempermalukan diri lebih jauh, dan ia hampir menangis karenanya.
Mati! Mati! Mati! Benar-benar memalukan.
Sifat logaritma? Ia tahu logaritma, setidaknya namanya dan bentuknya yang rumit, berpangkat-pangkat dan seringnya menggunakan banyak pembagian. Tapi, sifatnya? Rasa-rasanya ia tidak tahu. Jangankan sifatnya, rumus dasarnya saja ia masih belum paham. Apa yang dapat diharapkan memangnya, dari seorang biasa-biasa saja seperti dirinya? Ia bukannya bodoh, tentu saja. Hanya... dia gadis rata-rata, kecerdasan berada pada kisaran rata-rata, dan kemalasan belajar yang cukup rendah turut memberikan kontribusi pada peringkatnya yang juga rata-rata.
Pak Jung berdeham lagi, siap meledak. Namun hari itu, Baekhyun boleh disebut beruntung, bel tanda pulang yang berbunyi keras menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Baekhyun nyengir kuda sementara Pak Jung harus menelan kembali semua omelannya, para murid sudah mulai berkemas dan riuh berkicau, memberikannya peringatan untuk lebih baik cepat pergi saja sebelum darah tingginya naik lagi.
Baekhyun tengah memasukkan buku-bukunya (termasuk komik-komik yang ia selundupkan di dalam buku-buku pelajaran) ke dalam tas saat Kim Jongdae, atau ia lebih suka dipanggil Kim Day, menggebrak meja Baekhyun di belakangnya dengan tas. Wajahnya, dengan mengherankan selalu mengantuk setiap habis makan siang tapi tampak begitu bersemangat begitu bel pulang dibunyikan.
"Pulang sekolah, mau nongkrong di kafe baru yang di ujung jalan itu tidak? Katanya yang punya kafe ganteng."
Tidak segera menerima jawaban dari Baekhyun, maupun gadis yang duduk di samping kanannya, Kyungsoo, Day mengeluarkan jurus andalannya.
"YAH! Jawab aku! Mau, tidak?!" Ya. Jurus andalan a.k.a berteriak merengek yang segera dibalas Kyungsoo dengan tatap memperingatkan.
"Aku ada les sehabis ini."
"Kau itu Kyungsoo. Kau itu kan sudah pintar, selalu masuk peringkat lima besar! Kenapa harus belajar lagi, sih?!"
"Kalian itu yang kenapa?" Kali ini, sambil mendesah dan menggeleng prihatin, gadis berambut pendek itu menatap Baekhyun dan Day bergantian. "Kita ini kan sudah masuk tahun ketiga! Perlu belajar mati-matian. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian masuk universitas. Kalian tidak mau lulus ke universitas favorit, memangnya?"
Day mencibir. "Aku asal diterima di universitas saja cukup. Kalau tidak, aku akan bekerja saja."
"Benar! Benar!" Baekhyun dengan cepat menyetujui. Hal yang, tentu saja, membuat urat-urat di kening Kyungsoo bermunculan. Ingin rasanya ia menggetok kepala kedua orang itu dan menyadarkan mereka.
"Terserah kalian sajalah. Aku sibuk."
"Dia itu serius sekali," Day memutar bolamata selepas kepergian Kyungsoo, merasa keheranan sendiri kenapa sifat yang bertolak belakang seperti mereka bisa bersahabat baik. Kemudian, perhatiannya beralih pada Baekhyun, yang sedari tadi sibuk menonton. "Hey Baekhyun, kau mau pergi?"
"Hmm bagaimana, ya?"
Ada banyak pertimbangan. Salah satunya adalah karena sekarang akhir bulan dan uang jajannya telah benar-benar menipis. Tidak seperti anak-anak lain seusianya kebanyakan, Baekhyun tidak tinggal bersama orang tuanya, tidak dapat meminta tambahan uang jajan seenaknya.
"Oh lihat saja nanti, Dae. Aku... agak sibuk."
Sibuk dalam artian aku sudah sangat bahagia memikirkan kata 'pulang', Baekhyun melengkapi dalam hati. Ia sudah lelah seharian ini yang dipenuhi dengan pelajaran-pelajaran memusingkan, jelas kasur adalah godaan besar. Dan yang paling penting, kasur tipis nan keras di rumahnya gratis untuk direbahi.
Namun sepertinya ia harus menunda niatnya dan menyingkirkan kasur sejenak dari kepalanya. Semua rasa kantuknya menguap tepat ketika ia berjalan melewati deretan meja bersama Day, tubuh gadis itu nyaris jatuh ke depan dalam posisi tidak elit sama sekali. Beruntung, Baekhyun berhasil menyeimbangkan diri. Gadis itu menoleh ke samping, meskipun tahu ia tidak perlu repot-repot melakukannya, ia sudah tahu siapa pemilik kaki yang menjegal langkahnya barusan.
Taehyung tersenyum menyebalkan di kursinya. Joo Taehyung. Anak itu cukup sering menindasnya. Anak yang... awalnya Baekhyun berpikir dia cukup oke, dia tampan, cukup pintar, lumayan kaya, dan absolutely populer. Jenis pria yang diidolakan banyak wanita, termasuk dirinya.
Baekhyun ingat, pertama melihatnya adalah saat pidato penerimaan murid baru, Taehyung mewakili murid laki-laki, dan yang menjadi wakil adalah murid dengan nilai tes masuk terbaik: Taehyung adalah murid yang dianugerahi otak cerdas. Kemudian saat mereka tidak sengaja bertabrakan di depan ruang kelas di hari yang sama, untuk pertama kalinya, Baekhyun merasakan jantungnya berdebar. Lalu, ketika seseorang menyenggol Baekhyun hingga hilang keseimbangan, seseorang mencengkeram lengannya, menahannya agar tidak jatuh. Dan orang itu adalah Taehyung. Saat itu, Baekhyun memutuskan, bahwa ia menyukainya. Ia menyukai pria itu. Ia menyukai Taehyung. Detik itu juga memutuskan demikian dan mulai sering berkhayal tentangnya. Semua itu berubah saat cowok itu mulai mengganggunya dengan cara-cara tidak menyenangkan. Di balik topeng manis wajah rupawannya, tersimpan seorang anak pemberontak, tukang bolos dan tukang bully.
Ternyata... Taehyung itu bukan pangeran berkuda putihnya. Meski kadang... ia masih suka mengkhayalkannya.
"Sudah mau pulang, Baekhyun-ssi? Cepat sekali. Mau pulang bersama?" tanya Taehyung. Itu pertanyaan yang sungguh indah, seandainya Taehyung tidak memasang senyum jahat seperti sekarang.
Baekhyun tahu ajakan pulang bersama itu bukannya pulang bersama seperti berjalan beriringan sampai pintu gerbang sambil mengobrol, melainkan pulang bersama yang seperti... ia tinggal dengan Taehyung, lalu Taehyung dan teman-temannya membullynya habis-habisan. No Way.
"Uh, tidak, terimakasih, aku harus pergi!."
Belum sempat ia mengambil langkah kedua menjauh, seseorang telah memegangi pergelangan tangannya. Satu dari sekian orang-orang bodoh yang rela menjadi pengikut Taehyung, Baekhyun menebak dan menoleh segera. Si kulit pucat, kali ini.
"Bos belum selesai bicara, kau tahu?" ujarnya dengan ekspresi datar.
"Bukankah tidak sopan pergi begitu saja saat orang lain sedang bicara?" Yang lain menimpali. Yang paling tinggi di antara semuanya, bahkan lebih daripada Taehyung, tubuhnya menjulang hingga jambulnya selalu menyentuh kisi-kisi atas pintu setiap ia lewat.
Baekhyun menghela napas yang ia sabar-sabarkan dan menghadap Taehyung kembali. Ia lelah dan lapar dan tidak menginginkan cobaan lain lagi.
"Apa maumu?"
"Kasar sekali," Taehyung tersenyum di satu sudut bibir. Meletakkan telapak tangannya di udara, ia tidak perlu menunggu lama hingga seseorang, Woo-Yoo, si putih pucat, menaruh sebuah buku di tangannya.
Ia selanjutnya memberikan buku itu pada Baekhyun.
"Ini PR-ku. Selesaikan. Akan kuambil besok pagi."
"Tapi aku—"
Sebelum Baekhyun dapat menyelesaikan kalimatnya, pria itu telah pergi di ikuti kelompoknya. Tidak ada tapi-tapi, kira-kira seperti itu pesan yang ia tinggalkan. Baekhyun menghembuskan satu lagi napas keras. Kenapa harus dirinya? Ia bahkan bukan murid yang pintar.
Taehyung adalah salah satu roller coaster kecil baginya, disamping guru-guru galak atau tugas yang terlalu sulit, membuatnya tidak begitu nyaman ketika berada di sekolah, tapi yaaa... bagaimanapun, semuanya akan kembali normal—dan monoton—begitu ia pulang.
Ia ingin pulang.
.
.
Sudah larut ketika ia menyusuri gang-gang sempit menuju rumah. Salahnya, yang tergoda bujuk rayu Day untuk pergi ke kafe baru dekat sekolah itu, yang ternyata luar biasa mengecewakan. Ganteng darimananya? Mungkin lima puluh tahun lalu dia memang ganteng. Sekarang, hanya seorang paman-paman.
Di salah satu gang yang paling sepi, ia mendengar keributan. Yah, memang sudah biasa. Di jam seperti ini, tempat itu sudah sangat sepi dan biasanya akan rawan kejahatan atau para preman. Kali ini adalah anak-anak bengal dari SMA khusus pria di daerah yang sama, Baekhyun mengenali seragamnya.
Gadis itu merinding. Sama sekali tidak ingin terlibat masalah dengan anak-anak SMA yang terkenal sering tawuran itu. Mereka ada segerombolan, setidaknya terdiri dari lima atau enam orang, dan sepertinya sedang sibuk pada sesuatu yang menempel di tembok. Ataukah itu seseorang?
Jangan terlibat. Jangan terlibat. Rapalnya dalam hati, berdoa sungguh-sungguh agar tak seorang pun menyadari kehadirannya. Dengan langkah tanpa suara, ia secepat mungkin melewati jalan itu. Berhasil. Hampir. Seandainya saja ia tidak sengaja menguping dan seketika terpaku di tempat.
Suara menangis terdengar. Dari sudut mata, Baekhyun menemukan seorang anak yang terluka. Demi Tuhan ia sudah terluka dan preman itu masih saja menendang tangannya yang menutupi wajah.
Ia tidak ingin terlibat. Ia seharusnya tidak terlibat. Ia menggigit bibir dan berusaha mengabaikan semua itu.
Sia-sia saja.
Gadis itu berbalik, lalu bersandar pada tiang lampu jalan dan mengeluarkan ponsel.
"Appa!" sapanya riang, terlalu riang untuk sebuah ponsel yang tidak tersambung kemanapun. Ia mengeraskan suara agar sejelas-jelas terdengar hingga ke seberang sana, pada para preman sekolah itu.
"Appa aku sudah di sini. Kau akan menjemputku sekarang, kan? ... Aku ada di gang yang dekat supermarket itu! ... Ah, Appa sedang bertugas? Kasian sekali Appa, pasti lelah sekali jadi Kepala .Si," sampai di situ, dengan pengucapan setiap kata yang terlalu jelas, Baekhyun mengintip reaksi anak-anak itu.
Mereka menegang di tempat, saling berbisik. Baekhyun hampir tersenyum.
"Oh, jadi kau akan datang bersama anak buahmu? Tapi Appa, mereka kan ada banyak sekali~ dan mereka suka menembak orang sembarangan. Salah sedikit saja langsung ditembak!"
Oke, terdengar kerusuhan kecil di sana. Sepertinya ini akan berhasil.
"APA?! Jadi Appa sudah ada di sini?! Oh, kau akan ada di sini dalam DUA menit?! Baiklah, baiklah. Aku menunggu!"
'Dua menit, katanya, kau dengar itu?'
'Dua menit! Asdfghjkl.'
Ribut-ribut. Lalu, salah seorang dari mereka berlari pergi dan segera diikuti oleh yang lain. Baekhyun menghembuskan napas lega.
"Dasar preman bodoh," umpatnya pelan seraya menyeka keringat dingin di telapak tangannya pada rok seragam. Ia hampir tidak percaya trik tadi akan berhasil dan nyaris terkencing di tempat memikirkan kemungkinan terburuk.
Untunglah, semua telah berlalu.
Sambil mengeratkan tas ransel pada bahunya, ia melanjutkan langkah dan berdoa semoga badung-badung itu tidak kembali.
Satu langkah. Dua langkah. Awalnya, semuanya baik-baik saja.
Tujuh langkah. Delapan langkah. Rasanya, ada sesuatu yang salah.
Dua belas. Tiga belas. Baekhyun tiba-tiba berbalik, memicingkan mata pada tiang lampu di belakangnya. Tidak ada apa-apa. Ia melanjutkan perjalanan.
Sembilan belas. Dua puluh. Ada suara berisik di belakangnya. Baekhyun terhenti. Seketika, ia merasakan tubuhnya merinding dan otaknya mulai bekerja menyusun kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Dua puluh satu. Gadis itu memelankan langkah dan menajamkan telinga, mendengarkan dengan seksama. Ada suara langkah yang diseret.
Dua puluh dua. Dua puluh tiga... Ia menurunkan tas punggungnya dan mencengkeramnya kuat-kuat. Di ayunan langkah yang ke-dua puluh empat, ia berbalik seketika dan melayangkan tas itu kuat-kuat secara membabi buta. Ia tersentak dan menghentikan gerakannya serta merta begitu menyadari siapa yang telah mengikutinya.
Sepasang mata besar yang jernih dan tak berdosa, dengan bibir yang terluka sobek.
Anak itu menatapya seperti anak anjing terbuang. "N-nuna..."
.
.
"Tahan sedikit, ya?"
Baekhyun menempelkan kapas yang telah diberi obat merah pada ujung bibir yang sobek, membuat anak itu meringis untuk kali yang kesekian.
"Sedikit lagi, ya. Pintar~"
Baekhyun mengacak rambut anak itu dan mengamatinya baik-baik. Ia berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun, tingginya sebahu Baekhyun, cukup pendek untuk mengingat Baekhyun sudah termasuk dalam golongan manusia pendek, matanya besar, pipinya penuh, dengan tubuh yang agak berisi. Lebih dari itu, caranya menatap yang seperti anak anjing tersebut mengubah keputusan Baekhyun untuk meninggalkannya sendirian. Ia membawa anak itu pulang! Dan ia sendiri bahkan belum bisa mempercayainya. Bagaimana dia akan mengurus anak ini sementara mengurus diri sendiri saja sulit?
"Siapa namamu?"
"Chan... Panggil saja Chanyeol."
"Chanyeol?" Baekhyun mengangguk-angguk. "Namamu cukup unik. Aku Byun Baekhyun, tapi kau bisa memanggilku nuna saja."
"Oke, N-nuna?"
"Dimana rumahmu? Sekarang aku perlu mengantarmu pulang."
Anak itu mendongak demi menatap Baekhyun sekilas, ada takut di matanya. Ia terus mempermainkan kedua jari telunjuknya sambil terus menatap entah lantai entah kakinya sendiri. Merasa tidak mendapat jawaban, Baekhyun memiringkan kepala dan menatap anak itu lebih intens.
"Kau tahu alamat rumahmu?"
Anak itu menggeleng tidak percaya diri. "Aku... tidak ingat," ujarnya, hanya mengintip Baekhyun dengan sudut matanya.
"Bagaimana dengan nomor telpon rumah atau orang tuamu?"
Sekali lagi, anak itu menggeleng. "Mereka... sudah tidak ada. Kecelakaan. Dua bulan lalu."
Sesaat, Baekhyun tercekat hingga tidak bisa berkata apa-apa. Ia menepuk pelan punggung Chanyeol pelan sambil menggumamkan ungkapan turut berduka begitu melihat kesedihan yang begitu jelas di matanya.
"Lalu... kau tinggal dengan siapa? Apa kau punya kakek atau nenek?"
Lagi, anak itu menggeleng. Mata besarnya berkaca-kaca ketika ia menunduk memandangi lantai Kesunyian kemudian mengambil alih, selanjutnya. Baekhyun jelas merasa tidak enak untuk bertanya lebih lanjut.
Sekali, ia menepuk kepala anak itu pelan. "Baiklah. Kau tidak usah sedih, okay? Kau bisa tinggal di sini sementara waktu," ujarnya sambil beranjak menuju kulkas.
Sejak kedua orang tuanya berpisah, Baekhyun mengikuti sang Ibu yang menikah lagi tidak lama kemudian dan harus mengikuti suami barunya ke Busan. Gadis itu memilih tinggal di Seoul sendirian, menyelesaikan tahun terakhir pendidikannya di SMA. Karena terpisah dari ibunya, sekarang Baekhyun bebas menyimpan cokelat sebanyak yang bisa ia beli. Ia sudah jatuh cinta dengan cokelat sejak balita, dan karena cokelat merusak gigi-giginya, Baekhyun sudah dilarang memakan terlalu banyak cokelat oleh ibunya. Untunglah, ibu sekarang tidak di sini. Baekhyun hanya perlu membersihkan semua cokelat itu jika ibunya memberitahu bahwa ia akan berkunjung. Sekarang, Baekhyun mengambil dua bungkus cokelat batang dan menyerahkan salah satunya pada anak itu.
"Makan ini. Kau akan merasa lebih baik," ujarnya manis.
Dengan ragu, akhirnya anak itu mengambilnya, namun kemudian hanya menatap hampa pada cokelat itu.
"Kenapa? Kau tidak mau makan? Ini cokelat paling enak yang pernah ada, loh!"
Byun Baekhyun bicara dengan mulutnya yang penuh cokelat. Channie memperhatikannya beberapa waktu, melihat bagaimana gadis berwajah imut itu menikmati cokelatnya, membuat seolah-olah cokelat itu memang sangat enak hingga air liur Chanyeol hampir menetes. Dengan membuang semua keraguan, berikut pesan almarhum ibunya untuk menjauhi cokelat apapun bentuknya, anak itu akhirnya menggigit batang cokelatnya.
"Enak!" komentarnya, tersenyum pada Baekhyun sebelum mengambil gigitan berikutnya.
"Kau mau lagi? Nuna masih punya banyak!"
Selanjutnya, bocah itu menghabiskan cokelatnya, kemudian batangan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Hingga akhirnya jam menunjukkan waktu tengah malam, Baekhyun baru selesai membereskan belasan bungkus cokelat yang telah ia makan bersama anak itu. Astagaaaa! Ia makan tanpa berpikir, tidak terasa hingga menghabiskan cokelat sebanyak itu. Mungkin, besok ia tidak bisa sekolah karena dilanda sakit gigi, atau pergi ke sekolah dengan pipi tambah berisi. Astaga, itu buruk.
"Kau juga sangat menyukai cokelat, ya?" gumam Baekhyun, melihat mulut anak itu yang belepotan cokelat sampai pipi, bahkan hingga menodai bajunya. Anak itu hanya tersenyum sampai menampakkan gigi-giginya yang sekarang semuanya tertutup cokelat, mengundang tawa kecil Baekhyun.
"Tunggu di sini. Sepertinya aku punya pakaian ganti untukmu."
Segera setelah menyelesaikan ucapannya, Baekhyun melesat ke kamar tidur dan keluar dengan satu stel piyama berwana pink baby.
"Ini piyamaku waktu masih SMP, sekarang agak terlalu kecil. Tapi kurasa ini pas untukmu. Warnanya... tidak masalah, kan?"
Anak itu mengangguk, sekarang dengan antusias. "Ya, terimakasih, Nuna!"
"Anak pintar!" Baekhyun mengacak rambutnya. "Sekarang lepas pakaianmu. Aku akan mencucinya."
Tanpa ragu, Baekhyun kemudian membantu anak itu melepaskan bajunya. Hanya anak laki-laki, tidak masalah. Dia juga dulu sering membantu memandikan adik laki-lakinya.
"Ah, tanda apa ini?" tunjuk Baekhyun.
Anak itu berputar sedikit untuk melihat apa yang gadis itu maksud, ia segera mengerti. Ada sebuah tanda gelap berbentuk hampir seperti bulan sabit di bagian atas pantatnya.
"Itu tanda lahir."
"Oh. Kau punya yang seperti itu, ya."
"Nuna, kenapa kau repot-repot memperhatikan pantatku? Kau itu mesum, ya?!"
"Apa?! YAH" Segera, pertanyaan terlampau polos itu berbalas getokan di kepala Chan, yang meringis tidak mengerti.
"Aku tidak seperti itu! Ini," Baekhyun melempar piyamanya, "kau pakai sendiri bisa, kan? Aku akan mencuci pakaian kotormu dulu."
Dengan begitu ia beranjak ke mesim cuci yang berimpitan dengan kamar mandi. Ruangan itu sangat sempit untuk bisa disebut rumah. Hanya ada satu kamar tidur kecil, satu kamar mandi, dan sebuah ruangan yang merangkap ruang tamu, ruang santai, ruang belajar, dan dapur sekaligus, terbukti dengan adanya kulkas kecil dan kompor kecil di sudut ruangan, yang biasanya terpakai hanya untuk memasak ramyun instan.
Ketika Baekhyun selesai dengan pakaian itu (ia akan menjemur besok saja sebelum sekolah), ia melihat anak itu sudah selesai berpakaian dan menggosok gigi.
"Nuna, aku mengantuk," ia menemukan Channie duduk di ruang tengah sambil memeluk lutut dan mata yang antara terbuka dan tidak.
"Oh, memang sudah larut. Ayo tidur."
Mereka berdua memasuki kamar tidur berukuran 3 kali 2 meter. Kamar yang cukup untuk Baekhyun sendiri, untuk satu kasur tipis dan lemari serta meja belajar kecil di sudut. Baekhyun mengambil kasur, dua bantal dan selimut tebal dari dalam lemari lalu menatanya rapi di salah satu sudut. Ia sendiri beranjak ke sudut dimana meja belajarnya berada.
"Kau tidur saja dulu di sana. Aku hanya punya satu kamar dan satu tempat tidur, jadi kita harus berbagi," katanya lalu berusaha fokus kembali pada buku-buku di hadapannya. Taehyung berjanji akan mengambil pekerjaan rumah ini besok pagi, kan? Dan Baekhyun hanya tidak ingin terlibat dalam masalah lanjutan.
Tapi, anak itu tidak beranjak kemana-mana. Hanya beridri canggung di depan pintu, lebih canggung lagi dengan piyama pink bermotif beruang di badannya. Baekhyun sadar itu dan dia menoleh.
"Kenapa lagi?"
"Lampunya... aku tidak bisa tidur dalam keadaan terang."
"Baiklah." Sedikit kesal sebenarnya, namun Baekhyun memaksakan diri bangun dan mematikan lampu, untuknya sendiri ia menyalakan lampu meja.
Bocah itu menyelinap ke balik selimut, beberapa lama Baekhyun berhasil menulis esai yang bukan miliknya, berpikir bahwa anak itu telah tertidur sebelum akhirnya ia mendengar suara pergerakan lagi di belakangnya.
"Nuna?"
"Hm?" sahut Baekhyun tanpa menoleh. Ia harus cepat menyelesaika tugas ini dan tidur. Atau tidak akan ada kesempatan kedua.
"Aku tidak bisa tidur jika tidak dipeluk."
Seketika, pulpen Baekhyun berhenti menulis. Gadis itu menoleh ke belakang dengan alis berkedut.
"Kau ingin aku memelukmu?"
"Ya!" anak itu mengangguk antusias.
"Woah, kau ini manja sekali, ya." Kali ini, ada senyum di ujung kalimatnya. Ia hanya... tidak bisa melihat wajah polos itu.
Baekhyun menutup bukunya dan membereskan pulpen. Mungkin ia masih akan sempat bangun pagi besok dan berangkat sepagi mungkin agar masih bisa menyalin jawaban Kyungsoo untuk PR-nya sendiri, brilian! Lagipula ia sudah terlalu mengantuk untuk memaksakan diri menyelsaikan semuanya. Ia akhirnya berbaring di sisi anak itu dan menyelinap ke bawah selimut yang sama. Perlahan, meskipun canggung, ia melingkarkan lengannya mengalungi pundak Chanyeol, dan menepuk-nepuknya. Benar-benar... empuk, dan hangat. Sudah lama dia tidak tidur tanpa memeluk sesuatu yang hangat, atau seseorang.
"Tidur yang nyenyak, Channie~"
.
.
Bunyi alarm yang memekakkan telinga akhirnya berhasil mengembalikan kesadaran Baekhyun. Masih dengan mata terpejam, tangannya meraba-raba meja nakas dan berhasil mendapatkan sumber gangguan tersebut. Ia berencana mematikan alarm hanya untuk melanjutkan kembali tidurnya. Lima menit lagi. Atau... sepuluh menit.
Ia bergelung kembali di tempat tidurnya, merasakan kehangatan yang terlalu menggoda untuk ditinggalkan. Juga mimpinya tentang Kim Taehyung, yang terlalu mengimitasi sosok pangeran di dunia yang tidak nyata.
Tapi... tunggu!
Gadis itu menarik kesadarannya kembali dan memaksakan diri membuka mata. Ada angin yang terus berhembus di dekat telinganya, dan sesuatu yang berat menindihnya.
Dengan susah payah akhirnya Baekhyun mampu membuat matanya terbuka separuh, ia melirik apa yang ada di dadanya dan butuh waktu hingga ia terkesiap, mata melotot lebar, dan secara instant, seluruh rohnya berkumpul. Ada sebuah lengan kokoh memeluknya, lengan telanjang yang besar, sangat besar dengan bisep yang menonjol. Jelas itu bukan lengan miliknya, ia bahkan tidak pernah ke gym. Itu lengan seorang lengan laki-laki dewasa. Tidak hanya itu, sebuah kaki yang sama kokohnya mengunci kedua kakinya. Dan ada dengkur halus menggelitik telinganya. Seseorang (dan dipastikan itu laki-laki) sedang bernapas di lehernya! Baekhyun bergidik.
"AAAARRGGHHHH!"
.
.
.
A/N: Hi! Jika ada yang baru menemukan FF ini, selamat datang dan semoga suka. Pembaca lama, ada banyak perubahan ya. FF ini ganti judul, dan ganti dari yaoi jadi. Ada yang kecewa, pasti. Tapi ini sudah aku pikirin matang-matang. Jadi mohon pengertian dan dukungannya.
Kritik boleh, tapi tetap sampaikan dengan sopan ya. Terimakasih.
