.
.
.
CHAPTER ONE
A Cliche Matchmaking
.
.
.
Seorang pemuda berparas terlalu tampan yang memiliki senyum yang bisa memamerkan seluruh gigi yang dimilikinya dan tinggi yang tak kalah mengesankannya hingga hampir mengalahkan tinggi tiang jemuran milik ibu kalian itu tengah berjalan dalam kegelapan. Dia berjalan dengan kaki yang menjijit agar suara yang dihasilkan tidak membuat isi dari ruangan itu curiga.
Indera penglihatannya tampak gelisah memerhatikan keadaan sekitar yang benar-benar gelap dan bersyukur karena Tuhan masih membiarkannya hidup kali ini, lagipula ini sudah larut—hampir menunjukkan pukul sebelas—maka orang-orang di rumahnya ini sudah terlelap semua.
TEK
Bunyi saklar lampu yang diketik itu bagaikan sebuah bom yang sengaja dilempar tepat di depan wajah tampannya itu. Semua lampu yang terdapat di rumah ini menyala seketika. Pemuda tampan itu sedikit menyipirkan mata besarnya untuk menyesuaikan cahaya yang berbondong-bondong memaksa retinanya untuk segera menyesuaikan keadaan. Satu bunyi saja sudah terasa bom untuknya, ditambah lagi dua orang paruh baya di depannya saat ini menambah keterkejutannya.
"Bagus sekali, Park Chanyeol." Suara tepuk tangan dari pemilik suara bass—sang ayah—itu bagaikan panggilan malaikat maut untuknya. Dia ketahuan untuk kesekian kalinya.
"Ah, Ayah, kau belum tidur?" tanya Chanyeol, si pemuda yang sedang diinterogasi oleh kedua orang tuanya ini, dengan terbata-bata dan mencoba untuk tersenyum, meskipun sulit. Hei, dia sedang dalam masalah saat ini, bagaimana mungkin dia bisa tersenyum selebar kuda dengan keadaan seperti itu.
"Matamu masih bagus untuk menanyakan hal bodoh semacam itu,'kan?" sarkas sang ayah yang tentu saja tidak sedang bermain-main. Chanyeol berpikir untuk ke depannya, dia akan mengajari ayahnya itu bagaimana cara untuk berbasa-basi.
"Maafkan aku, Ayah,: lirih Chanyeol sembari menundukan wajah tampannya, merasa bersalah kepada kedua orang tuanya itu.
"Dari mana saja kau? Sudah berapa kali kau pulang selarut ini?!" sergah Tuan Park melemparkan segala pertanyaan ke wajah sang anak.
"Itu... aku tadi... hm..." Chanyeol kehilangan kata-katanya. Seluruh rancangan kata-kata yang sudah dikumpulkannya selama perjalanan pulang tadi tiba-tiba saja sirna begitu saja seperti angin yang membawa debu. Pemuda tampan itu mwnggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Giginya bergemelatuk, menggambarkan seberapa besar kegugupannya saat ini.
"Kau tadi?"
Tuan Park terus mendesak Chanyeol untuk melanjutkan kata-katanya. Chanyeol menghela napasnya, dia membuang muka karena tidak berani menatap wajah kecewa kedua orang tuanya itu, terutama sang ibu yang sedari tadi hanya diam saja sembari memperhatikan percakapannya dengan sang ayah.
"Itu... aku ada tugas kelompok, Ayah!" Dia memilih alasan klise yang sebenarnya tidak masuk akal untuk dijadikan alasan pulang selarut ini. Untuk apa mengerjakan tugas di jam tidur, apalagi tugas kelompok.
"Tugas kelompok atau kau mabuk-mabukan di bar?"
Interogasi sang ayah makin berlanjut. Meskipun, Tuan Park tidak mencium aroma alkohol dari mulut Chanyeol tetapi tentu saja aroma dari tubuh Chanyeol jelas-jelas bau alkohol. Mengerti maksud dari pemikiran Tuan Park? Jika iya, baguslah!
"Tentu saja tidak!"—untuk bagian mabuk-mabukannya.
"Pada awalnya, ayah ragu untuk mengatakan hal ini kepadamu tetapi saat melihat tingkahmu yang semakin menjadi, ayah dan ibumu tidak tahan lagi. Kau harus ada yang mengatur dan dapat membuatmu tunduk. Mungkin, kau akan menolak ini tetapi ayah dan ibu melakukannya demi kebaikanmu sendiri!" Baiklah, ayahnya saat ini tengah berbicara tak jelas dan berputar. Chanyeol bukanlah anak ber-IQ tinggi, jadi dia tidak tahu ke mana arah pembicaraan sang ayah.
"Aku tidak mengerti! Jangan berkelit, Ayah!" Chanyeol hampir frustasi melihat sang ayah yang belum kunjung menyambung perkataannya. Karena melihat sang suami terlihat berat unruk menyampaikan hal tersebut, sang ibu pun akhirnya turun tangan dan perlahan mendekati Chanyeol, lalu mengajak sang anak untuk duduk di sofa agar suasana tidak semakin menegangkan.
"Hei, siapa yang kau katakan berkelit, hah?!" Chanyeol melupakan bahwa ayahnya itu tidak suka dikomentari terlebih oleh anaknya sendiri. Dia bisa marah besar, melebihi marahnya saat ini.
"Chanyeol, dengarkan ibu. Seharusnya, ibu dan ayah tidak berjanji pada keluarga mereka dulunya untuk menyatukan kalian, tetapi ibu sudah melihat dia dan ekspektasi ibu padanya begitu besar untuk membuatmu patuh, disiplin, dan tidak berandalan seperti ini." Kini sang ibu yang berbicara ngawur tanpa mengatakan inti dari semua yang dikatakannya.
Di dalam situasi seperti ini, Chanyeol harus menahan dirinya agar tidak menyela dan membiarkan sang ibu berbicara hingga selesai.
"Dia cantik, Chanyeol." Oke, sekarang IQ jongkok Chanyeol dapat menangkap pembicaraan kedua orang tuanya. Walaupun hanya dengan kata 'cantik' dari ibunya.
Sudah dipastikan, itu adalah perjodohan, hal klise yang membosankan.
"Dia luar biasa cerdas, keturunan ayah dan ibu bisa diperbaiki dengan kecerdasannya." Tuan Park menyela. Chanyeol sedikit tersinggung dengan perkataan sang ayah. Dia anak satu-satunya dan dia sadar bahwa otaknya yang seharusnya sujud, malah jongkok.
"Dia bisa hamil." Oh ayolah, apa pasal hamil juga perlu diungkit untuk saat ini? Kedua orang tuanya itu harus tahu bahwa dia masih bersekolah jika mereka menginginkan anak dari Chanyeol sekarang.
"Untuk postur tubuhmu yang seperti raksasa ini, dia sepertinya akan sangat nyaman untuk dipeluk olehmu." Kedetailan sang ayah benar-benar membuatnya geleng kepala. Ayahnya itu jika sudah memperhatikan seseorang, dia akan sangat jeli bahkan untuk hal-hal remeh seperti ini.
"Terserah apapun itu, kenalkan saja aku padanya. Ayah sendiri tahu bahwa aku tidak boleh menolak apapun yang ayah dan ibu berikan."
"Akhirnya, kau mengerti juga bagaimana cara berterima kasih." Bola mata Chanyeol berotasi malas.
"Baiklah, kapan aku bisa bertemu dengan gadis itu?" Kedua orang tuanya itu saling melempar pandangan. Chanyeol yang sudah tersenyum kembali berwajah datar, namun penuh kehororan. Sepertinya, sebentar lagi dia akan mendapati sebuah kabar yang tak baik.
"Kau harus tahu satu hal, Chanyeol."
"Apa?"
"Yang harus kau temui nantinya adalah seseorang yang memiliki jenis kelamin yang sama sepertimu." Sudah Chanyeol duga dan tepat sekali dengan ekspektasinya barusan. Dia hanya bisa tersenyum pasrahm sebenarnya senyuman yang hampir saja berganti dengan tangisan.
"Kau tidak harus segera menikahinya, Chanyeol. Kami tahu bahwa kalian juga perlu pendekatan. Kami tidak mau ketika kalian menikah nanti, tidak ada cinta, melainkan kebencian di antara kalian," kata Nyonya Park yang berniat unruk menghibur Chanyeol yang sepertinya tidak ada efek apapun padanya.
Tidak ada gadis...
Tidak ada gunung...
Bagaimana bisa kedua orang tuanya setega itu padanya. Chanyeol melihat kedua tapak tangannya dengan nanar, jemarinya melakukan pergerakan menguncup dan mengembang seperti sedang memegang sesuatu tak kasat mata.
"Kalian tega sekali padaku," cicit Chanyeol yang seakan tak mempunyai tenaga lagi untuk menyampaikan pendapatnya. Sang ibu juga tidak tahu harus berkata apalagi agar anak mereka itu dapat mengerti keadaan mereka juga.
"Kami sudah berjanji pada kedua orang tuanya sebelum kalian ada di dunia ini mau anak yang keluar itu perempuan atau laki-laki. Namun, jika kau mengkhawatirkan tentang keturunan, sudah dikatakan oleh ayahmu tadi bahwa dia bisa hamil dan menghasilkan darah dagingmu sendiri," kata Nyonya Park yang masih tetap menyemangati Chanyeol yang masih saja murung.
"Mau dia bisa hamil atau tidak, tetap saja dia laki-laki, Bu!" tukas Chnyeol sambil mengusap wajahnya kasar.
"Demi kebaikan kita, Chanyeol. Kau juga tahu kalau perusahaan ayahmu sedang memerlukan suntikan dana, hanya ayah dari calonmu itu yang mampu menyuntik dana besar yang diperlukan oleh perusahaan kita."
Pada akhirnya, dia tidak bisa menolak. Keputusan orang tuanya itu absolut, jika mereka bertanya pendapat pada Chanyeol, itu hanya untuk berbasa-basi ala mereka saja.
Chanyeol masih terdiam, pikirannya melenceng dan memikirkan bagaimana hidup bersama seorang laki-laki yang nantinya akan menjadi suaminya. Tidak bisa dibayangkan olehnya.
"Jika kau tetap tidak menyukainya, kau bisa menceraikannya, tetapi ketika kau berhasil membuatnya mengandung darahmu, cukup sampai di situ saja." Chanyeol menghela napas, perkataan ayahnya itu entah mengapa terdengar kejam sekali di telinganya.
"Oke, sekarang katakan siapa pemuda yang dimaksud oleh kalian?"
Lagi, kedua orang tuanya itu saling berpandangan. Chanyeol sendiri tidak mengerti dengan maksud arti netra kedua orang tuanya itu. Lalu tak lama kemudian senyuman terpatri di bibir ayah dan ibunya.
Pertanda baik atau buruk kah ini? Entahlah, IQ Chanyeol tetap tidak bisa menangkap sinyalnya.
"Kau akan tahu nanti."
-o0o-
Chanyeol tdak bisa tidur malam ini, pasahal matanya sudah minta dikatup saat ini. Tetapi, bayang-bayang penasaran tentang laki-laki yang akan dijodohkan dengannya mengalahkan rasa kantuknya.
Dia berupaya untuk menutup matanya dan segera tidur, tetapi rasa penasaran yang semakin naik ke ubun-ubunnya tidak bisa membuatnya tenang sama sekali, bahkan jantungnya ikut berdetak tak sesuai irama seharusnya.
Siapa dia?
Siapa dia?
Siapa dia?
Tak ada lagi yang ada dipikirannya selain pertanyaan-pertanyaan di atas.
-o0o-
Karena Chanyeol kurang tidur, dia pun jatuh tertidur, tetapi waktu tidurnya tidak banyak karena dia tidur tepat dua jam sebelum sekolah menutup pagarnya.
Seakan baru saja memejamkan mata, Chanyeol dikejutkan dengan segelas air yang jatuh dari langit, mengenai tepat di wajahnya. Tanpa mengulet ataupun memeriksa jam weker di nakas, Chanyeol langsung mendudukan dirinya seraya berteriak.
Untunglah, Chanyeol tahu dahulu siapa yang menyiram wajah tampannya sebelum mulutnya mengeluarkan umpatan. Tentu saja yang berani menyiraminya adalah ayahnya sendiri. Hampir saja seluruh air tersebut masuk ke hidungnya kalau saja dia tidak langsung sadar tadi. Sekali lagi, ayahnya itu memang suka hal yang berbau ekstrem.
"Ayah, tidak bisakah kau membangunkanku dengan sedikit berperikemanusiaan?"
"Masih untung ayahmu ini hanya menyiramimu saja! Apa kau tidak melihat sudah jam berapa ini?" Chanyeol sontak teringat kalau hari ini dia masih harus masuk sekolah.
"Yah, setengah jam lagi bel sekolah akan berbunyi. Bagaimana kalau aku mengirim surat izin saja?" tanya Chanyeol dengan nada yang dibuat-buat supaya sang ayah luluh dan mengizinkannya.
"Boleh—" Chanyeol tersenyum begitu lebar, "—jika kau ingin semua kartu kreditmu ayah blokir."
Senyum indah Chanyeol sirna begitu saja. Dengan langkah sembrono, Chanyeol meninggalkan sang ayah ke kamar mandi. Tuan Park yang melihat kelakuan sang anak yang masih saja kekanakan padahal umurnya sudah hampir delapan belas tahun hanya bisa menggelengkan kepalanya tersenyum maklum.
-o0o-
Chanyeol datang tepat waktu, kali ini dia bisa bernapas lega. Andaikan saja, dia telat lima detik saja, bisa-bisa Pak Kim, gurunya yang terkenal dengan kedisiplinan yang tinggi itu akan membuatnya menyikat lantai toilet sekolah.
Namun, sayang seribu sayang, dia memang bisa meloloskan diri dari gerbang iblis, tetapi dia telat memasuki kelas. Itu berarti, dia tidak bisa meloloskan diri dari gerbang setan.
Kelas yang dihuni sebanyak 40 siswa yang di dalamnya termasuk dirinya dan seorang ketua kelas yang bernama Byun Baekhyun.
Byun Baekhyun. Angan pernah sekalipun untuk membuatnya marah jika tidak ingin namamu masuk ke dalam blacklist seumur hidupnya. Ketika kau sudah masuk ke kategori tersebut, siap-siap saja sepanjang ketika kau masih bersekolah di sekolah yang sama dengannya, kau akan mendapatkan teriakan dan makian darinya, meskipun hanya karena tidak mengikat tali sepatu. Sadis, bukan?
Chanyeol hanya bisa berharap agar orang tuanya tidak pernah memilihkan dirinya seorang suami yang sifatnya seperti Baekhyun. Dia bisa mati berdiri. Lihat saja, baru berdiri di depannya sekarang ini saja rasanya Chanyeol ingin segera melompat dari lantai dua sekolahnya ini.
"Kau terlambat, Park Chanyeol!"
"Chanyeol merutuki dirinya sendiri. Selama hampir tiga tahun ini, dia selalu menghindari Baekhyun untuk segala macam masalah, bahkan untuk berbicara saja Chanyeol tak memiliki banyak keberanan. Dan, sekarang seluruh usahanya utnuk tidak berurusan dengan Baekhyun selama ini berakhir dengan sia-sia
"Engh... guru juga belum datang, Baek. Jadi, aku tidak sepenuhnya terlambat," bela Chanyeol untuk dirinya sendiri. Sedetik kemudian, Chanyeol menyesali pembelaan dirinya itu. Bisa saja setelah itu dia akan mendapati kibaran bendera perang dari Baekhyun.
"Kau dengar sendiri bahwa bel masuk kelas sudah berbunyi satu menit yang lalu, bukan?" tanya Baekhyun tetap mempertahankan nada tak bersahabatnya. Chanyeol mendesah kesal, hampir saja dia ingin berteriak tepat du depan wajah Baekhyun kalau saja dia tidak mengingat seberapa kejam pemuda berperawakan pendek itu.
"Tolonglah, Baek. Aku hanya terlambat selama satu menit saja." Chanyeol memberikan pengertian kepada Baekhyun supaya sang ketua kelas itu melepaskannya untuk kali ini saja.
"Untuk sekarang, satu menit bagimu memang tidak ada apa-apanya tetapi ketika kau memerlukannya, kau akan merasa bahwa satu menit itu begitu berharga untukmu." Tak terbantah, itu semua adalah fakta. Chanyeol tahu tetapi untuk saat ini bisakah dia berpura-pura tidak tahu? Berbicara di depan kelas seperti ini sungguh membuatnya tidak nyaman, terlebih yang menjadi lawan percakapannya saat ini adalah seorang ketua kelas kelewat perfeksionis.
"Aku tahu apa yang kau maksud, Baekhyun, tetapi aku setidaknya biarkan aku masuk dahulu."
"Tidak bisa!"
Chanyeol menoleh ke belakang saat mendengar suara ketukan sol sepatu yang menyentuh lantai. Itu Pak Song, guru sejarahnya yang terlihat kalem tetapi memiliki temperamental yang buruk. Chanyeol tidak peduli lagi dengan seruan sang ketua kelas, dia memilih untuk menyerobot masuk ke kelas. Namun, tangannya tanpa sadar juga menarik pergelangan tangan Baekhyun, bahkan membimbing pemuda manis itu untuk duduk di bangkunya sendiri, barulah dia berlari ke bangkunya yang persis berada di belakang bangku Baekhyun.
"Aku bersumpah akan mengatakan bahwa kau terlambat kepada Pak Song!" ujar Baekhyun yang kesal karena Chanyeol bersikap kasar dan tak sopan kepadanya tadi.
"Maafkan aku, Baek. Kali ini saja, tolong maafkan aku, lagipula ini kali pertamanya aku terlambat masuk kelas dengan rentang waktu satu menit saja," pinta Chanyeol dengan nada memohon. Dia tidak pernah memohon semelas ini kepada siapapun, bahka dengan kepada kedua orang tuanya.
"Ketika kau sudah melakukan sesuatu hal sekali dan kau berpikir tidak apa-apa, kau akan mengulanginya!" Chanyeol mengusap wajahnya kasar, ini bahkan lebih membuat kepalanya terasa pecah daripada tahu bahwa kedua orang tuanya menjodohkannya dengan seorang laki-laki.
"Aku tahu dengan segala kesadaranku, maka dari itu—" Kalimat Chanyeol terputus karena Pak Song sudah terlebih dahulu menginjak ke dalam kelas mereka ini.
"Selamat pagi, Anak-anak!" salam Pak Song untuk memulai pelajaran hari ini, sementara tangannya sibuk mengelurkan buku dari tas kerjanya.
"Selamat pagi, Pak!" sahut anak-anak lainnya sebagai bentuk hormat mereka kepada sang guru.
"Byun Baekhyun," suara Pak Song memanggil sang ketua kelas. Satu hal yang akan ditanyakannya setelah memastikan seluruh murid di kelasnya masuk semua adalah...
"Apa tadi ada yang terlambat?"
Seluruh isi kelas terdiam, mereka tahu bahwa Chanyeol satu-satunya murid yang terlambat hari ini. Tetapi mereka hanya bisa menunggu jawaban dari Baekhyun yang biasanya hanya akan mengatakan hal yang sebenarnya.
Baekhyun terdiam cukup lama. Karena dikira tidak mendengarkan pertanyaan tersebut, Pak Song mengulang kembali pertanyaannya. Pemuda dengan netra bagaikan sabit itu memejam sebentar, lalu menghela napas bertanya.
"Tidak ada, Pak!"
Satu jawaban yang begitu mengejutkan warga kelas. Janganan satu kelas, Chanyeol yang sedari tadi sudah siap dilempari segala macam sumpah-serapah dari Pak Song juga merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
TBC
Hai kalian, ini republish dari wattpad, ya... karena wattpad akhir-akhir ini sering bermasalah, jadi aku berencana akan publish di sini kalau di wattpad belum bisa update cerita, tapi di wattpad aku juga bakalan update kok...
REVIEWNYA KUTUNGGU YA!
