A/N : Sebuah request fic dari aicchan yang keluar mendadak gara-gara saya baca "In Butler Eyes" buatan kakak satu itu. Melihat ada plot-hole bessaaaaarrr (sebenernya gak gede-gede amat, tapi buat penggemar Remus macem saya, itu geeeeddeeee baaaannggeeettt), muncullah ide bikin spin-off ini. Tenang. Saya udah minta izin sama yang punya cerita asli buat setting dan karakter dan yang lain-lainnya dari fanfic beliau buat saya obrak-abrik. Malah Kak Ai-nya yang ngotot saya bikin ini... O.o
Disclaimer : Karakter pastinya masih kepunyaan Tante nomer satu seluruh jagat raya: JK Rowling. Setting adalah Inggris era Victorian dan ini berhubungan dengan fanfic "In Butler Eyes" buatan Aicchan. Jadi, biar gak bingung, silakan cek dulu fic yang itu. Hohoho.
Warning : YAOI! YAOI! YAOI! Adegan non-con yang dideskripsikan! Rated M for reason, jadi yang masih di bawah umur dan gak mau baca adegan non-con alias rape, mending cabut sekarang.
Pairing : Jembrengin sekarang aja, lah. Tom Riddle/Remus Lupin. Sirius Black/Remus Lupin. James Potter/Lily Potter.
Sebuah kereta kuda berwarna cokelat tua dengan dua kuda cokelat di depannya berhenti dengan sabar di depan sebuah town house di daerah elit Kensington. Sang kusir membetulkan sejenak topinya dan kembali berdiri tegap di samping pagar besi, mempersiapkan diri menyambut kedatangan tuannya. Dari suara-suara di dalam rumah, sepertinya orang yang akan ia antarkan sudah siap untuk berangkat. Benar saja. Beberapa detik kemudian, pintu utama town house terbuka dan seorang pemuda manis bersurai madu berjalan keluar.
Melihat kedatangan tuannya, sang kusir membungkuk penuh hormat dan membukakan pintu baginya. Tas cokelat berisi peralatan anggar milik sang Tuan Muda diletakkan oleh sang kusir di belakang kereta kuda. Ia harus sangat hati-hati dengan barang yang ada di dalam tas itu, mengingat betapa tinggi harga peralatan anggar di dalamnya. Bisa-bisa, gajinya sebagai kusir kuda dipotong selama setahun kalau ia merusah isi tas itu.
Sang Tuan Muda melongok keluar dari dalam kereta kuda dan mencari-cari si kusir. Ia melirik jam saku yang tersangkut pada saku jasnya dan berkata, "Bisa kita pergi sekarang? Aku tak suka membuat muridku menunggu."
"Ah! Baik, Tuan! Segera!" sahut sang kusir cepat-cepat. Dengan segera, ia bergerak ke kursi kemudi dan menggerakkan kereta kuda menuju tujuannya.
Remus Lupin kembali ke tempat duduknya dan mendesah pelan. Sudah menjadi kebiasaannya untuk datang setengah jam lebih awal dari waktu latihan anggar. Sebagai guru yang baik, ia tak mau membuat muridnya menunggu lama.
Mata cokelat sang fencer sempat menangkap sosok ayahnya, Baron Lupin, berlari keluar dengan tergesa-gesa. Ia seperti hendak memanggil putranya, tapi tak jadi dan kembali masuk ke dalam rumah. Melihat kejadian itu, Remus menaikan satu alis matanya, bingung. Mungkin, nanti malam ia harus menanyakannya pada sang Ayah. Untuk sementara ini, Remus mau berkonsentrasi pada pakaian apa yang harus ia pakai nanti malam.
Ya. Nanti malam, keluarga Black akan mengadakan ball party di kediaman mereka dan Remus harus berpikir keras untuk mencari pakaian terbaik ke pesta itu. Tentu ia tidak mau tampil buruk di depan kekasihnya yang setelah sekian lama berada di India. Ia ingin memberikan kesan baik kepada keluarga Black, mengingat sebuah pengumuman penting yang akan diumumkan kekasihnya perihal hubungan keduanya.
Mengingat surat cinta yang dilayangkan oleh Sirius Black—putra tertua keluarga Black—kepadanya sekitar sebulan yang lalu membuat kedua pipi Remus bersemu merah. Ia menunduk dan memandangi tangan kanannya. Di sana, sebuah cincin dengan mata rubi melingkar di jari manisnya. Remus masih ingat bagaimana Sirius menjelaskan kepadanya bahwa batu yang melekat di cincin emas tersebut ia temukan sendiri di India. Senyum merekah di bibir Remus ketika ia mengingat isi surat tersebut yang ternyata adalah lamaran tak langsung dari kekasihnya itu.
Remus menarik napas panjang dan memandang keluar. Rupanya hiruk-pikuk kota London mulai berkurang. Hijaunya pepohonan dan hamparan rumput mulai mendominasi pemandangan, sementara bangunan batu mulai menipis keberadaannya. Sebentar lagi, ia akan sampai. Sebentar lagi, ia bisa pulang dan bersiap-siap untuk pesta nanti malam di kediaman keluarga Black, mendampingi kekasihnya, sebeluh mereka berdua mengumumkan pertunangan mereka.
Pertunangan... Satu langkah lebih dekat menuju pernikahan.
Bayangan mengenai hidup perkawinan membuat wajah Remus merona merah. Dia menggeleng-geleng keras, berusaha menghilangkan bayangan menyenangkan hidup satu atap dengan Sirius. Satu ranjangnya dengannya.
Satu ranjang...
Oke, Remus harus benar-benar menghentikan pikiran-pikirannya mengenai hidup bersama Sirius, terutama yang berkaitan dengan kegiatan seksual yang akan mereka lewati bersama. Pikiran tak konsentrasi seperti ini bisa membuat hari mengajarnya tidak fokus. Tidak fokus, berarti ia tidak menjadi pengajar yang benar. Dan pengajar yang tak benar bukanlah Remus. Berikan gelar itu pada orang lain. Misalnya pada Dolores Umbbridge. Si guru tata krama itu katanya diusir dari rumah keluarga Granger karena bersikap tak sopan dan terlalu kasar.
Remus sedikit tersentak saat kereta kudanya berhenti. Rupanya, ia sudah sampai pada tujuannya. Di luar, pagar tinggi dari besi tempat bercat hitam tampak menjulang. Tanaman rambat menghiasi tembok batu yang mengitari pekarangan luas dan terawat manor tersebut. Di sana, di balik sebuah air mancur besar yang bergemericik tenang, berdirilah kediamanan keluarga Malfoy.
Dalam beberapa detik, kereta sudah berhenti di depan pintu masuk manor. Pintu kereta segera dibukakan sesaat setelahnya dan sang kusir menyerahkan tas berisi peralatan anggar milik majikannya. "Saya akan menjemput Anda satu setengah jam lagi. Have a nice day, Sir." Dan kereta kuda pun bergerak menjauhi Remus, keluar dari pekarangan hijau kediaman Malfoy.
Sang fencer mendesah pelan dan mengangkat tasnya. Tak ada waktu untuk berlama-lama. Ia mengecek jam sakunya dan tersenyum kecil. Bagus. Ia lebih cepat setengah jam dari seharusnya. Kalau begini, ia bisa bersiap-siap lebih cepat dan kemungkinan besar mengajar Draco lebih cepat juga. Itu berarti, ia bisa punya waktu ekstra mempersiapkan diri untuk pesta di keluarga Black nanti malam. Mengingat tentang pesta dan pertemuan kembali dengan kekasihnya setelah sekian lama tak bertemu membuat senyum di bibir Remus merekah lebar.
"Oke. Sekarang saatnya mengajar, Remus. Pikirkan tentang Sirius nanti saja." gumam Remus pelan pada dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri dan mengetuk pintu kayu manor sebanyak tiga kali.
Tak perlu menunggu lama, double doors itu terbuka dan seorang butler berpakaian hitam muncul dari balik pintu. Ia membungkuk dalam penuh hormat pada sang fencer. "Selamat siang, Mr. Lupin. Anda... datang lebih cepat hari ini." sapa sang butler, Severus Snape, sedikit kebingungan.
"Ya. Sepertinya aku terlalu bersemangat untuk mengajar hari ini." Remus tertawa pelan. "Um... Aku tidak mengganggu kegiatan Draco, kan? Maksudku, ia tidak akan keberatan kalau pelajaran anggar dimulai sekarang?" tanya Remus, ragu.
Severus tampak sedikit enggan dan tak enak dengan sang fencer. "Um... Sebetulnya, Sir, saya sudah menghubungi kediaman Anda di London untuk memberitakan kalau pelajaran anggar hari ini dibatalkan, mengingat Master Draco harus mempersiapkan diri untuk ball party keluarga Black nanti malam. Apa... Pesannya tidak sampai?" tanya Severus, ragu.
"Oh!" Remus mengerjap-ngerjap, terkejut dengan berita ini. Mungkin, itu sebabnya Ayahnya, John Lupin, sampai lari keluar town house untuk mengejarnya. Sayang, Remus sudah terlanjur pergi jauh. "Sepertinya sampai, tapi sayang aku sudah terlanjur meninggalkan rumah."
Severus menatap Remus penuh rasa bersalah. Kalau sudah seperti ini, Severus berada pada dua pilihan yang tak menyenangkan: meminta Remus untuk pulang atau mengizinkan Remus mengajar Draco. Dua-duanya sama-sama melanggar kode etiknya sebagai butler. Yang pertama, mengusir tamu yang sudah jauh-jauh datang sungguh sangat tidak sopan, sementara yang kedua itu berarti ia melanggar perintah sang Master.
Oh, Severus sangat benci berada di persimpangan seperti ini.
"Baiklah, kalau begitu. Biar aku pulang saja sekarang." kata Remus sambil tersenyum.
"Anda yakin, Sir? Tapi, kereta jemputan Anda—"
"Oh, aku masih bisa jalan kaki, kok." balas Remus sambil mengibas-ngibaskan tangannya enteng. "Kebetulan, cuaca hari ini sedang bagus. Sudah lama aku tidak jalan-jalan seperti ini. Lumayan, meregangkan sedikit kaki-kaki pemalasku." sambungnya, diiringi tawa kecil.
"Sir, saya merasa sangat tidak enak. Biarkan saya siapkan satu kereta kuda untuk mengantar Anda." ucap Severus pelan. Ia sudah bersiap-siap untuk kembali ke dalam rumah dan memerintahkan kusir kuda keluarga Malfoy untuk mengantar sang fencer pulang.
"Sungguh, tidak usah, Severus. Aku masih punya kaki untuk berjalan. Tapi, terima kasih untuk tawarannya." ucap Remus sambil tersenyum. Ia lalu berbalik dan meninggalkan Malfoy Manor. Menunggu Severus untuk mempersiapkan kereta kuda lagi malah membuat waktunya terbuang, padahal Remus ingin segera pulang dan... Oh, entah sudah berapa kali ia berpikir untuk mempersiapkan diri untuk ball party.
Remus mendongak dan menatap langit biru yang cerah di atasnya dan tersenyum. Satu kalimat mengalir keluar dari mulut sang fencer. Kalimat yang ingin ia sampaikan kepada sang kekasih saat mereka berdua bertemu nanti:
"I miss you, Sirius."
"Harry Potter" by JK Rowling
"In Butler Eyes" by aicchan
"The Death of The All Romance" by are. key. take. tour
Remus mengusap peluh yang menetes dari pelipisnya. Sapu tangan putih miliknya yang semula kering sekarang sudah basah kuyup oleh keringat. Jas hitam yang Remus kenakan juga sudah ia sampirkan di pundak, terlalu panas untuk dikenakan di bawah terik matahari seperti ini.
Oke. Berjalan kaki dari Malfoy Manor sampai rumahnya adalah ide terbodoh sepanjang masa yang pernah Remus pikirikan. Apalagi sekarang cuacanya panas sekali seperti sekarang. Ini namanya bunuh diri pelan-pelan.
"Maafkan aku, Sirius, kalau nanti malam aku tidak datang..." gumam Remus putus asa dan menatap sedih kakinya yang menjerit minta diistirahatkan. "Karena aku pasti akan terlalu kelelahan setelah ini..."
Remus menjerit pelan saat sebuah kereta kuda berwarna hitam menepi, tepat di sampingnya. Bukan sekedar menepi, tapi juga menghalangi jalan Remus. Baru saja ia membuka mulut untuk protes, pintu kereta kuda terbuka dan seseorang—orang yang sangat dikenal Remus dan paling ia jauhi—melongokkan kepala dari balik pintu. Sebuah senyum kecil tersungging di bibir tipisnya—satu senyum sinis dan penuh kemenangan.
Remus menyipitkan matanya, tak senang. "... Riddle..." bisiknya tak senang. "... Apa yang kau lakukan di sini? Dan untuk apa kau menghalangi jalanku? Aku mau pulang."
Duke Tom Riddle. Pria tampan, karismatik, dan berkuasa. Meskipun ia tampak sempurna dari segi penampilan dan gelar, apa yang ada di dalam hatinya sama sekali tidak sempurna. Ia orang terjahat yang pernah Remus tak ada seorang pun yang akan percaya apabila Remus mengatakannya, tapi sang fencer sudah merasakan sendiri betapa kejamnya pria yang berdiri di depannya. Buktinya adalah kejadian itu...
Mengingat kejadian waktu itu membuat Remus bergidik.
Kuda hitam yang menarik kereta kuda mendengus tajam ke arah Remus dan menderap sangar, membuat sang fencer mundur, kaget. Gerakan terkejut Remus malah membuat Riddle tertawa pelan dan turun dari kereta. "Aku hanya ingin berjalan-jalan di jalan London. Lagipula, hari ini cuacanya bagus. Bukan begitu, Remus?" gumam Riddle pelan dan menyentuh pipi Remus.
Jijik, Remus menepis tangan Riddle dan mendorong sang Duke menjauh darinya. Mata cokelat Remus menatap tak senang ke arah Riddle yang masih berdiri dengan angkuhnya. "Aku mau pulang." geram Remus. Kedua tangannya mengepal erat, siap untuk digunakan seandainya Riddle memutuskan untuk bermain kasar.
Riddle mendesah pelan dan menggeleng. "Aku tahu kau mau pulang, Remus. Makanya, aku menepi dan menawarimu tumpangan, kan?" Kembali senyum menyebalkan itu tersungging di wajah tampan sang Duke. "Tak baik bagi pemuda semanis dirimu berkeliaran di jalanan London yang ganas seorang diri tanpa perlindungan."
Remus mendengus, mengejek. Yang benar saja. Bualan seperti itu sudah tidak mempan lagi untuk membujuk sang fencer. Sejak kejadian itu, Remus sudah tidak mau mempercayai tiap kata yang terlontar dari mulut orang licik seperti Riddle.
"Kau serius ingin aku mempercayaimu lagi setelah apa yang terjadi? Mimpi, kau!" desis Remus penuh kebencian. "Dan jangan sentuh aku!" jerit Remus, kembali menepis tangan Riddle yang mencoba membelai pipi lembut si pemuda bersurai madu.
Riddle merengut sedikit dan menarik mundur tangannya. Ekspersinya tampak tersakiti karena tindakan kasar Remus. Sayang, Remus tahu kalau itu hanyalah topeng belaka. "Kau menyakiti perasaanku, Remus. Aku dulu serius memanggilmu ke tempatku untuk mengajari keponakanku, lho."
Itulah awal dari kebencian mendalam Remus pada Riddle.
Seandainya Tom Riddle tidak pernah berada di Malfoy Manor waktu itu, kejadian buruk yang terus menghantui Remus tidak akan terjadi.
Dan yang jelas, Remus tidak perlu berurusan dengan Riddle...
Pertemuan pertama mereka terjadi tidak terlalu lama. Mungkin, sekitar tiga bulan yang lalu. Remus ingat betul karena ia baru saja mengajarkan Draco untuk melakukan parry—sebuah gerakan menangkis serangan dalam anggar. Kebetulan, Tom Riddle juga berada di Malfoy Manor sebagai tamu Lucius.
FLASHBACK
"Siapa dia, Lucius?" tanya Riddle sambil menunjuk seorang pemuda berambut cokelat terang yang tertawa. Pakaian serba putih khas pemain anggar membalut tubuh langsing sang pemuda. "Apa dia guru anggar Draco yang pernah kau ceritakan beberapa hari lalu?"
Lucius Malfoy mendongak dari cangkir tehnya dan melihat pria yang dimaksud Riddle. "Ah, ya. Dia guru anggar Draco. Namanya Remus Lupin. Dia putra tunggal Baron Lupin. Kenapa memangnya?"
Riddle tidak segera menjawab pertanyaan Lucius. Ia malah termenung memperhatikan tiap gerakan Remus; mulai dari gerakan seperti menghindar sampai gerakan sederhana seperti mengusap peluh. Tak satupun dari gerakan Remus luput dari mata biru sang Duke. "Aku... tertarik untuk menggunakan jasanya. Kau tahu, kan, kalau keponakanku, Gellert, sudah lama ingin bisa memainkan anggar. Sayang, kakakku belum bisa menemukan pengajar yang tepat. Mungkin..." Sang Duke mendongak, menatap Lucius dan tersenyum. "Kau tidak keberatan kalau aku menemuinya setelah latihan Draco, kan?"
Lucius mengernyitkan keningnya, ragu. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang tak aneh dengan ekspresi Riddle saat mengamati Remus. Seperti...
Seperti singa yang siap menerkam mangsanya...
Sang Marquess menggeleng pelan. Tak baik berpikir buruk tentang rekannya, apalagi ia seorang Duke. Tak mungkin seorang Duke terhormat seperti Riddle menganggap Remus sebagai... mangsa atau apapun itu. Ia hanya ingin mencari guru yang tepat bagi keponakannya. "Severus, katakan kepada Remus untuk datang kemari setelah mengajar. Ada seseorang yang ingin kupertemukan dengannya."
"Yes, My Lord." sahut Severus Snape sang butler sambil membungkuk penuh hormat. Ia kemudian berjalan keluar dari ruang kerja majikannya dan berjalan menuju ruang latihan anggar.
Tak perlu menunggu waktu lama sampai akhirnya Severus kembali dengan Remus mengekor di belakangnya. Pakaian serba putih yang semula dikenakan sang fencer sudah berganti menjadi kemeja putih bersih dan celana hitam. Rambut berwarna madu milik Remus masih sedikit basah karena basuhan air sesaat sebelum berjalan menuju ruang kerja Lucius.
"Anda memanggil saya, Sir?" tanya Remus sopan. Seulas senyum tersungging di bibir merahnya.
"Ya. Sebetulnya, ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu, Remus." ucap Lucius santai. "Remus, beliau adalah Tom Riddle, Duke of Hamburg. Dia sempat melihat kau melatih Draco dan tertarik untuk memintamu mengajarkan keponakannya."
Remus tersenyum sambil menjabat tangan Riddle. "Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda, My Lord Duke. Dan saya merasa tersanjung Anda menaruh minat pada cara pengajaran saya."
Tawa renyah terdengar keluar dari mulut sang Duke sebelum membalas, "Siapapun pasti akan tertarik pada gerakan luwesmu dalam memainkan anggar, Mr. Lupin. Begitu indah dan tertata. Aku merasa seperti tidak melihat gerakan anggar saja."
"Anda terlalu memujiku, Sir." gumam Remus pelan sambil tersenyum.
"Mungkin, kita bisa membicarakan ini lebih jauh di kediamanku. Kau tidak ada acara lain hari ini, kan?" Pertanyaan Riddle dengan segera dibalas dengan pernyataan setuju seorang Remus Lupin. "Lucius, kalau tidak keberatan, kita lanjutkan pembicaraan kita di lain hari."
Lucius mengangguk setuju dan ikut mengantarkan dua tamunya ke pintu depan. Lagi, perasaan aneh menyelimutinya saat melihat Riddle membimbing Remus menaiki kereta kuda sang Duke. Kali ini, mulutnya ingin sekali menahan tutor muridnya itu untuk berhenti, jangan ikut Riddle dan pulang saja.
Sayang, kereta kuda itu terlanjur pergi meninggalkan manor.
Riddle Manor adalah hunian yang jauh—jauh—lebih besar dan megah dari Malfoy Manor. Wajar saja. Mengingat jabatan Tom Riddle sebagai Duke tentu membuat keluarga ini dibanjiri oleh kekuasaan dan harta yang melimpah.
Remus berjalan masuk mengikuti Tom Riddle ke dalam ruang kerjanya. Ia tak menyadari kalau sang Duke mengunci pintu di balik punggungnya dan memasukkan kuncinya ke dalam saku celananya. Mereka berdua hanya bertukar senyum sebelum duduk di sebuah armchair mewah berbahan kulit. "Jadi... Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"
"Bagaimana kalau membicarakan tentang dirimu?"
"Umm... Anda ingin tahu prestasi yang sudah saya capai selama ini?"
"Tidak. Aku tidak perlu tahu itu." balas Riddle diiringi senyum kecil. Sebuah senyuman yang sukses membuat Remus bergidik. Ada sesuatu yang aneh dan tersembunyi mengenai senyuman itu. Dan entah kenapa, Remus tak ingin mengetahuinya. Ia malah ingin segera keluar dari ruangan itu.
Keluar. Sekarang.
"Jadi, apa yang—"
"Kau tahu, Remus," potong Riddle. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan pelan memutari Remus. "Kalau aku bisa menawarkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih tinggi—jauh lebih tinggi—dari bayaran yang ditawarkan oleh siapapun di seluruh dataran Inggris."
Remus hanya terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres dengan pertemuan ini. Ditambah lagi dengan ucapan Riddle yang terasa sangat aneh di telinga Remus. Apa orang ini berusaha untuk pamer harta dan kekuasaan di depan Remus? Apa dia ingin tahu bahwa bekerja pada keluarga Riddle akan memperoleh nama besar dan disegani? Tak perlu diberitahu seperti itu juga Remus sudah tahu seberapa terhormat orang-orang yang bekerja di bawah keluarga Riddle.
"Apa maksud—"
Kalimat itu tak pernah selesai meluncur dari mulut Remus dan tertahan di tenggorokannya. Ia terlalu kaget untuk bisa melanjutkan perkataannya ketika jemari tangan Riddle menelusup masuk melalui sela pakaian Remus dan meraba kulit putih di baliknya. Bulu kuduknya meremang saat merasakan desah napas Riddle di telinga kirinya.
"Maksudku, daripada kau mengajar anggar seperti itu, lebih baik kau layani saja aku. Berapapun bayaran yang kau inginkan, sebut saja. Pasti akan kubayar."
Remus menepis tangan dan mendorong tubuh Riddle menjauh. Ia lalu berdiri dari sofa dengan wajah merah padam dan mata menatap penuh benci ke arah Riddle. "Sembarangan kau!" jeritnya. "Memangnya kau pikir aku ini pelacur yang bisa kau pungut seenaknya di jalan? Kau pikir aku mau kau sentuh hanya demi sejumlah uang? Biarpun kau seorang Duke dan berkuasa, aku tak sudi kau perlakukan seperti ini! Aku juga punya harga diri dan martabat!"
Kesal, Remus mengambil tasnya dan berjalan dengan cepat menuju pintu ruang kerja. Ia tarik pegangannya, tapi pintu tak kunjung terbuka. Bingung sekaligus panik, Remus kembali mencoba membuka pintu—kali ini dengan tenaga lebih—tapi tetap saja pintu itu tidak mau terbuka. Ini berarti...
Tawa licik terdengar dari balik punggung Remus. Sebuah tawa mengerikan yang keluar dari mulut sang Duke. Dengan mata birunya, ia mengawasi Remus seperti singa mengawasi mangsanya. "Kau pikir aku dengan bodohnya akan membiarkan pintu itu terbuka? Heh. Ternyata kau tidak sepintar yang kukira." ejeknya. Ia terus berjalan mendekati Remus.
"Buka pintunya. Aku mau pulang." geram Remus kesal. Jantungnya mulai berdetak kencang dan keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.
"Kau baru boleh pulang setelah aku selesai denganmu, Remus." bisik Riddle. Pria berambut hitam itu terus berjalan mendekat, membuat Remus semakin mundur dan memepetkan diri pada daun pintu.
Sebelum Remus sempat lari, Riddle langsung menyambar pergelangan tangan Remus. Dengan kasar, ia menarik Remus yang menjerit minta tolong menjauh dari pintu. Ia kemudian melemparkan tubuh kurus Remus ke atas sofa kulit hitam dan segera menindihnya, menutup jalan keluar Remus. Tak peduli dengan dorongan dari kedua tangan Remus, Riddle mulai membuka satu per satu kancing kemeja Remus dan merasakan lembutnya kulit putih pucat di baliknya. Riddle membungkuk dan menghirup dalam-dalam wangi rambut madu Remus dan mengerang pelan penuh nikmat.
"Mm~ Kau manis sekali, Remus." bisiknya sensual sebelum menjilati daun telinga Remus dan memberikan kecupan-kecupan lembut di sekujur rahang sang fencer.
"Menjauh dariku!" bentak Remus. Ia berusaha mendorong Riddle, tapi tenaganya tak cukup kuat mengalahkan pria yang lebih tua itu. "Kenapa kau lakukan ini padaku..." desis Remus putus asa. Air mata mulai menggenang di kedua mata cokelatnya ketika ia menyadari bahwa semua tindakannya percuma. Ia tak bisa menghindar dari Riddle.
"Karena kau menarik perhatianku." sahut Riddle pelan, masih sibuk menciumi Remus. Sekarang, titik fokusnya adalah leher jenjang sang pemuda bersurai madu. Ia menciumi, menjilati, dan kadang menggigiti leher sang fencer sampai merah. "Aku tak pernah melihat laki-laki semanis dirimu. Aku tidak bohong saat aku bilang bahwa aku tertarik dengan gerakan anggarmu. Kau begitu anggun dan mempesona dalam balutan putih, Remus. Kau tampak terlalu suci dan bahagia.
"Makanya, aku ingin mencicipi dan menodai kesucian itu."
Remus menjerit saat kedua tangan Riddle mulai bergerak melucuti celananya. Panik, sang pemuda bersurai madu berusaha menepis kedua tangan itu dengan sekuat tenaga. Ia tak mau disentuh oleh orang lain selain Sirius.
Hanya Sirius yang boleh menyentuhnya.
Sirius, yang sekarang sedang berada di negeri timur di seberang lautan.
Mengingat tentang Sirius memberikan dorongan tenaga bagi Remus. Ia sudah berjanji akan terus menunggu kekasihnya itu dan ia sendiri yang berjanji akan sanggup menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan dirinya dimanfaatkan seperti ini oleh orang lain.
Ia tak mau, tak rela.
"Minggir!" seru Remus. Ia mendorong Riddle sekuat tenaga dan berhasil menjatuhkan sang Duke dari atas sofa. Tak menunggu lagi, Remus segera berlari menuju pintu besar yang menjadi penghalang antara dirinya dengan kebebasan di luar sana dan mulai menggedornya kuat-kuat. "Hei! Tolong aku! Seseorang tolong aku!"
"Percuma, Remus." gumam Riddle sambil terkikik pelan. Sang Duke berjalan ke arah mangsanya dengan seringai buas terpasang di wajah tampannya. "Kalaupun ada yang mendengar jeritan minta tolongmu, tak akan ada yang berani menentangku. Tak ada yang bisa menyelamatkanmu, Remus."
Mata Remus membelalak ngeri. Ingin ia mengatakan 'tidak mungkin' keras-keras, tapi ia sendri tahu kalau yang dikatakan Riddle itu benar. Pria yang berdiri di depannya ini adalah Duke dan sekarang mereka berada di rumahnya –daerah kekuasaannya. Semua orang selain Riddle dan keluarganya adalah bawahan dan pesuruh. Mana berani orang rendahan seperti mereka mengusik kegiatan sang atasan? Bisa-bisa, hukum pancung yang jadi imbalannya. Dan dilihat dari sikap percaya diri Riddle, sepertinya hanya ia seorang yang berada di rumah besar ini, tak ada anggota keluarga yang lainnya.
Itu berarti, Remus harus pasrah untuk diperkosa...
Menggigit bibir bawahnya, Remus kembali memutar tubuhnya dan menggedor pintu semakin kencang. Ia tidak mau menyerah. Demi Sirius, ia tak mau menyerah. Biarpun tenggorokannya harus berdarah dan sakit, ia tak peduli.
Remus harus keluar dari ruangan terkutuk ini.
Jerit pelan keluar dari mulut Remus saat kedua tangannya digenggam erat oleh Riddle. Jeritan pelan yang semula keluar karena terkejut mendadak berubah menjadi jerit panjang kesakitan ketika Riddle memintir tangannya ke belakang punggung, menghentikan gedoran pintu bersuara bising yang dilakukan oleh Remus. Dengan sigap, Riddle menarik lepas dasinya dan mengikat pergelangan tangan Remus.
"Apa yang kau lakukan!" jerit Remus, panik saat kedua tangannya tak dapat digerakkan. "Lepaskan aku!"
Bukannya balasan lembut seperti sebelumnya, kali ini Riddle meraih segenggam rambut cokelat Remus dan menariknya sebelum menghantamkan wajah Remus ke daun pintu yang kasar. Suara benturan yang cukup mengerikan menggema di ruang kerja sang Duke, diikuti oleh jerit kesakitan Remus.
"Aku sudah bosan bersikap baik padamu, Remus." desis Riddle di telinga kiri Remus. Ia mempererat genggamannya, membuat Remus mengerang kesakitan. "Kalau kau lebih suka bermain kasar, baiklah."
Detik berikutnya, tangan kanan Riddle menarik paksa celana Remus. Ia tak peduli kalau ia sudah merusak kain mahal itu. Ia bahkan tidak peduli saat Remus menjerit tertahan menahan tangis. Riddle sudah tak peduli kalau pemuda di depannya itu sekarang sudah menangis dengan air mata bercucuran. Kalimat-kalimat memohon dan penolakan terlontar dari mulut pemuda manis tersebut, diselingi oleh isak tangis.
Tapi, Riddle tidak peduli.
Ia tak peduli seberapa keras Remus menangis, seberapa keras Remus menjerit, dan seberapa berat beban moral yang akan Remus tanggung nantinya.
Riddle tidak peduli.
Satu hal yang ia pedulikan.
Dengan geraman mengerikan, Riddle melepaskan celananya, mempertunjukkan kejantanannya yang sudah menegang, mengeras. Kedua mata Remus membelalak lebar dan memberontak semakin liar saat merasakan kejantanan Riddle menggesek kulitnya. Sayang, tangan dan berat tubuh Riddle sukses mengunci tubuh kurusnya, mengeliminasi semua jalan keluar.
"Siapkan dirimu, Remus." bisik Riddle pelan sebelum mengarahkan dirinya ke dalam rektum Remus. Tanpa persiapan, Riddle langsung membenamkan dirinya seutuhnya di dalam Remus. Tindakannya ini memancing teriakan kesakitan yang begitu nyaring dari Remus. Justru bagi sang Duke of Hamburg, suara jeritan dan geliat tubuh Remus yang memberontak malah meningkatkan gairahnya.
Riddle menggerakkan pinggangnya maju dan mundur, menarik keluar seluruh kejantanannya sebelum membenamkannya lebih dalam lagi dari sebelumnya. Tiap gesekan membuat Remus menjerit kesakitan dan darah mengalir pelan dari selangkangan si pemuda berambut madu.
Darah, yang telah membasahi liang sang fencer.
"Ayo, Remus." bisik Riddle sedikit terengah-engah. Ia masih sibuk menghantam rektum Remus, menunggu kilmaksnya tercapai. "Menjeritlah lebih kencang lagi. Bagiku, jeritanmu itu malah membuatku semakin bersemangat." Dijlatnya daun telinga Remus, sementara tangannya sibuk menelusuri lekuk tubuh pasangannya.
Remus menggigit bibir bawahnya, berusaha sebisa mungkin untuk tidak memberikan apa yang diinginkan Riddle.
Tidak mau. Ia tidak mau memberikan kepuasan yang lebih.
Remus sudah terpaksa memberikan tubuhnya.
Jangan harap Riddle akan mendapatkan lebih dari itu.
Sayangnya, Riddle mempunyai kuasa penuh atas tubuh Remus sekarang. Tahu kalau Remus berusaha sebisa mungkin untuk menahan jeritannya, Riddle mengambil inisiatif sendiri untuk membuat Remus menjerit. Maka, ia merunduk dan menggigit—keras—pada pundak Remus.
Dan itu berhasil.
Jerit kesakitan Remus memenuhi ruang kerja Riddle. Sang fender memberontak keras, berusaha melepaskan Riddle darinya. Isak tangisnya semakin menjadi.
Seiring dengan jerit dan isak tangis Remus, Riddle menggerakkan pinggangnya semakin buas. Sedikit lagi. Sang Duke sudah merasakan klimaksnya semakin dekat. Sedikit lagi. Sedikit lagi.
Remus merasakan tubuh Riddle menegang. Detik berikutnya, cairan hangat mengalir menuruni pahanya, bergabung dengan darahnya sendiri yang masih membasahi selangkangan Remus. Kedua cairan menetes, menodai lantai pualam di mana Remus berpijak.
Selesai sudah semuanya.
Yang tersisa sekarang hanya rasa malu yang harus ditanggung Remus.
END OF FLASHBACK
Remus mendorong tubuh Riddle, geram dengan kilas balik yang kembali membayangi. "Minggir, kau. Aku tidak butuh bantuanmu, brengsek!" geram Remus. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata. Menjatuhkan setitik saja air mata hanya akan membuat Riddle gembira.
Tawa renyah meluncur keluar dari mulut Riddle. Sang Duke menatap sosok Remus yang masih berdiri—sedikit gemetar—di depannya. Satu senyuman mengejek tersungging di bibirnya. Matanya kemudian terpaku pada satu cincin emas bermata rubi yang melingkari jari manis Remus.
"Ternyata rumor kalau kau dan putra sulung Black itu benar." ucap Riddle sambil menahan tawa. "Dan kalian berdua pasti ingin mengumumkan pertunangan kalian pada ball party kali ini, kan?"
"Bukan urusanmu!" bentak Remus. Ia tak suka saat orang lain—apalagi yang dia benci seperti Riddle—mau tahu urusan pribadinya. Dunia percintaannya dengan Sirius bukanlah konsumsi umum. Itu sebabnya tak semua orang tahu tentang hubungan mereka berdua. Hanya segelintir orang yang tahu. Dengan pertunangan kali ini, keduanya ingin mengatakan pada khalayak ramai bahwa mereka berdua saling memiliki dan saling mencintai.
"Ya. Aku mengerti kalau itu bukan urusanku, tentu. Hanya saja..." Riddle melirik Remus dan terkekeh pelan, mengejek. "Aku tak yakin Orion ataupun Walburga mau menerima pelacur sepertimu sebagai menantu mereka. Kau, sebagai bagian dalam keluarga Black."
Mata Remus membelalak lebar saat mendengar ucapan Riddle. Sejak kejadian pemerkosaanya, Remus tidak sedikitpun pernah membicarakannya dengan orang lain. Ia hanya menghindari Riddle sebisanya. Sayang, ada kalanya Remus terpaksa bertemu dengan Riddle dan pertemuan mereka selalu berakhir dengan Remus terkapar pasrah di atas tempat tidur—kadang sofa dan meja kerja—milik sang Duke dalam keadaan polos tak berpakaian.
Dan kalau Remus mau jujur, itu masih berlanjut hingga sekarang. Setiap kali ia bertemu dengan Riddle, ia pasti akan berakhir di rumah Riddle, digunakan sebagai pemuas nafsu sang Duke belaka.
Pelacur...
Mungkin ya.
Ucapan Riddle membuat Remus termenung. Matanya membelalak horor ketika menyadari kenyataan yang terpampang di depannya. Tidak mungkin ia bertunangan dengan Sirius mengingat masa lalunya yang seperti ini. Jangankan bertunangan. Ia bahkan tak yakin ayahnya sendiri masih mau mengakuinya sebagai anak.
Membayangkan itu semua membuat wajah Remus pucat pasi.
Riddle mendengus pelan. Ia tersenyum sebelum meraih dagu Remus, mendongakkannya. "Mungkin, kita bisa bermain-main lain kali. Lagipula, kau harus mempersiapkan diri untuk ball party nanti malam, kan?" ucapnya sinis. Dengan kasar, ia mendorong tubuh Remus ke tembok bata di belakang sang fencer dan menciumnya. Bukan satu ciuman penuh kasih sayang dan kelembutan, melainkan murni nafsu.
Remus mendorong tubuh sang Duke menjauh dengan napas yang terengah-engah. "... Pergi, kau..." bisiknya lemah. Kepalanya menunduk dalam, tak mau bertatap muka dengan Riddle. Ia tak ingin memperlihatkan matanya yang memerah dengan air mata mengalir menuruni pipinya. "... Aku tak mau melihat wajahmu lagi."
Riddle menyunggingkan senyum sinis dan membalik badannya. Ia kembali menaiki kereta kudanya dan memerintahkan sang kusir untuk pergi. Sebelum kereta kuda bergerak, Riddle membuka jendelanya dan berkata, "Ingat satu hal, Remus. Kau milikku."
Remus menatap kepergian kereta kuda hitam itu dengan perasaan campur aduk. Sedih, kecewa, malu, dan masih banyak perasaan lainnya yang bergejolak, membuat perut Remus mual. Memori-memori tentang setiap pertemuannya dengan Riddle memenuhi ingatannya sampai sesak, membauat kepalanya pusing setengah mati. Belum lagi rasa bersalahnya pada Sirius karena tak bisa menjaga dirinya selama kekasih tercintanya berada di India. Hanya kekasih yang tak baik yang bisa diam begitu saja dipergunakan seenaknya oleh pria lain. Disentuh pada bagian-bagian yang paling intim...
Remus menyenderkan tubuhnya yang gemetar ke tembok batu di belakangnya dan terduduk lemas. Air mata membasahi kedua pipinya dan isak tangis terdengar dari mulutnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengusap air mata dari wajahnya, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Sedikit goyah, Remus berdiri dari posisi duduknya dan memulai perjalanannya lagi.
Ia ingin pulang. Ia ingin segera berada di dalam kamarnya, aman dari dunia luar.
Di tengah perjalanannya, Remus melepas cincin emas yang melingkari jari manisnya dan memasukkan cincin tersebut ke dalam saku celana. Ia akan kirimkan cincin lamaran itu kembali pada Sirius setelah kembali ke rumah. Ia sudah memutuskan untuk menghentikan hubungan ini secara sepihak, tak peduli pendapat orang lain, termasuk Sirius. Demi kebaikan Sirius serta nama baik keluarga Black dan keluarganya sendiri, Remus memutuskan untuk menghentikan saja hubungan mereka, sekarang. Sebelum rahasia tabunya terbongkar.
Ia tak pantas untuk mendampingi sang putra sulung keluarga Black.
Pelacur sepertinya tak pantas untuk putra bangsawan.
To Be Continued
A/N : Jadi... ini dia bagian pertama dari twoshot saya. Kenapa saya kalo bikin spin-off selalu jatohnya twoshot, sih... Kak Aicchan! Semoga ini memuaskan! Maaf, kalo adegan raepnya abalita super 2011. Nantikan chapter berikutnya, yaaa~ XD Tapi, saya mau ngelarin chapter La Cosa sama spin-off Godfather lagi #kaburdariamukmassa
Apa ada yang mau review? :3
