Title : Another

Author's twitter : kjk_partini

Summary : Kadang kita lupa, bahwa untuk melihat diri kita, jalan terbaik adalah melalui mata orang lain. FF EXO dengan tokoh utama Do Kyungsoo. All pair in here!

========== Another ViZu SHaXo © April 2014 ==========

Pagi yang sepi di Jalan Hongdae. Dengan sepatu olahraga berwarna silver, ia melangkah dengan santai menyusuri depan toko baju di jalan tersebut. Rambut hitamnya tersisir dengan rapih menutupi sebagian keningnya, menambah kesan polos padanya. Sebuah ransel berwarna coklat bertengger di punggungnya, menjadi ciri khas bahwa ia masih seorang pelajar. Ia berhenti di depan toko tersebut. Memandang ke dalam toko seperti sedang mencari seseorang atau... sesuatu?

"Permisi, apa yang kau lakukan disitu?" tanya seorang penjaga toko yang memergoki kegiatan pelajar itu.

"Ah, maafkan saya. Saya hanya kebetulan lewat," ucap pelajar itu canggung. Kemudian dengan perasaan menyesal, ia berlalu dari tempat itu.

Suatu hari ia terlihat sedang sibuk mengenakan seragam bela diri. Atasan dan bawahan berwarna putih disertai sabuk hitam di perutnya. Ia terus menunduk ketika melakukan itu. Sesekali menghela nafas karena ia berpikir bahwa seharusnya ia tidak melakukan itu. Setelah usai, ia keluar dari ruang ganti dan masuk ke ruangan dengan empat matras persegi yang diletakkan di tengahnya. Di sana telah berdiri seorang pria paruh baya yang telah menunggunya.

"Kau terlihat tampan kalau memakai itu, nak. Sekarang ayo kalahkan aku!" ucap pria itu sambil menyiapkan kuda-kuda.

"Ayah, aku tidak ingin melakukan ini."

"Jangan mengeluh seperti perempuan ! Kau anakku, jadi kau harus bisa bela diri. Sekarang ayo kita mulai !"

Ayah dan anak itu akhirnya saling berhadapan di atas matras. Sang ayah memberikan tatapan tajam seolah yang ada di depannya benar-benar musuhnya. Ia melupakan sejenak bahwa anak itu darah dagingnya sendiri. Sedangkan sang anak meyakinkan dirinya kalau ia bisa. Kemudian sang ayah mulai memegang kedua lengan sang anak, menariknya dengan kuat dan melemparkan tubuh yang lebih kecil itu ke atas matras.

"Ugh," pekik anak itu.

"Kau benar-benar lemah. Sekali lagi !"

"Ne?" mata anak itu membulat. Kemudian dengan terpaksa ia bangkit dan berhadapan dengan ayahnya. Satu jam berlalu dan kejadian sang anak di jatuhkan ke atas matras terus terulang. Kini mereka bermandikan keringat. Sang anak bangkit kembali dengan sisa tenaganya. Ia meringis menahan sakit pada tubuhnya yang dibanting berkali-kali.

"Cukup!"

Sebuah suara yang lembut menghentikan kegiatan ayah dan anak tersebut. Mereka menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri dengan berkacak pinggang. Meski cantik, seorang perempuan yang sedang marah akan tetap terlihat tidak bersahabat. Wanita itu berjalan menghampiri sang ayah dan memukul kepalanya.

Puk!

"Akh!" pekik sang ayah. Kemudian ia memandangi wanita itu sangat dalam.

"Kenapa? Ada belek di mataku?" sungut wanita itu. "Aku tahu kalau kau akan menyiksa anak kita. Jadi aku datang untuk menghentikanmu!"

"Sayang, aku tidak menyiksanya. Aku mengajarinya cara bertarung antar pria," sang ayah menjelaskan dengan penuh pengertian.

"Tidak menyiksa apanya? Kau menghajarnya satu jam penuh tanpa istirahat ! Kau mau membunuhnya, hah?"

"Bagaimana kau tahu?"

"Apa? Bagaimana kau tahu kau bilang? Aku ini punya kemampuan cenayang! Sudah sana, kalian berdua cepat ganti baju dan pulang! SEKARANG !" teriak wanita itu.

"Ne," balas sang ayah dan anak bersamaan. Namun ekspresi yang tercetak di masing-masing wajah mereka berbeda.

"Terima kasih atas kunjungannya."

Di sebuah kafe di Jalan Hongdae. Beberapa pelanggan mengantri di depan kasir dan sebagian memesan minuman. Anak itu tersenyum kepada seorang pelanggan yang baru saja membayar minumannya. Kemudian ia beranjak melayani pelanggan yang lain dengan ramah. Selalu bertanya 'Ada yang ingin Anda pesan?' kepada mereka dan melayani dengan cekatan adalah tugasnya selama bekerja paruh waktu di kafe tersebut. Ia menuang beberapa es batu ke dalam gelas, lalu cairan berwarna biru dan mengaduknya hingga merata. Setelah siap, ia menghapus keringat di pelipisnya sebentar lalu mengantarkan pesanan tersebut ke meja pelanggan. Begitu seterusnya seminggu terakhir itu.

"Aku pulang!" teriaknya ketika masuk rumah. Ia membungkuk melepas sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu. Lalu melangkah masuk rumah dan di sambut oleh raut wajah khawatir ibunya. "Ibu, aku pulang~"

"Sudah seminggu, kan?" tanya ibunya.

"Huft," anak itu menunduk lesu. Tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari ibunya. Ibunya bisa melihat masa depan.

"Menurutmu apa yang kau lakukan itu benar?" Kecuali satu. Ibunya tak bisa melihat isi hatinya.

"Ibu, aku melakukan ini untukmu," ucap anak itu pelan. "Aku ingin membelikan ibu sesuatu di hari ulang tahunmu."

"Tidak usah. Ibu sudah punya segalanya," Benar. Ibunya mempunyai segalanya setelah menikah dengan ayahnya. Anak itu mendengus. "Berhenti bekerja paruh waktu di sana! Jangan membuat ibu mencemaskanmu." Tapi meski sifat ibunya seperti itu, ia tetap bersyukur memiliki ibu yang perhatian dan menyayanginya.

"Baiklah," ucap anak itu sambil tersenyum ceria ke arah ibunya. Namun diam-diam ia mengambil ancang-ancang. "Tapi aku berhenti setelah mendapat uangku dulu! Anyeong~" Kemudian anak itu berlari kencang ke kamarnya.

"Yak! Kyungsoo-ya! Aish, anak itu!" gerutu ibunya.

Do Kyungsoo adalah anak dari seorang ayah yang jago bela diri judo dan ibunya punya kemampuan untuk meramal masa depan, lebih tepatnya kemampuan seorang cenayang. Unik ya? Memang. Ia mewarisi sedikit kemampuan ibu, tapi sama sekali tak ada bakat dalam seni bela diri. Justru ia ini cenderung seperti anak yang lemah. Satu-satunya alasannya karena ia penakut.

Kyungsoo menghapus keringat di pelipisnya. Sudah akhir bulan dan ia akan mendapat upah pertamanya setelah bekerja selama sebulan di kafe. Ia melepas celemek coklat yang melekat di tubuh rampingnya, melipatnya dengan rapih dan meletakkannya di tempat semula.

"Kyungsoo-ya!" panggil seseorang.

Kyungsoo cepat-cepat berbalik dan membungkuk, "Ah, anyeonghaseo."

"Kau yakin setelah ini langsung keluar?"

"Eum," Kyungsoo mengangguk. "Iya, Kris-hyung. Aku bekerja paruh waktu untuk membelikan ibu hadiah. Jadi setelah menerima upah, aku tidak akan bekerja disini lagi. Ibu akan sangat marah kalau aku melanjutkan ini. Lagipula aku masih kelas tiga SMP."

"Tentu. Ibumu sangat menyeramkan," canda Kris.

"Huuu, bukankah ibumu sama saja?"

"Iya sih, hehe. Ini upahmu !" Kris menyodorkan sebuah amplop dan Kyungsoo menerimanya dengan semangat.

"Thanks, hyung~ Kau daebak! Apa ada bonusnya?" Kyungsoo tersenyum polos, memamerkan deretan gigi putihnya.

"Hitung saja sendiri," Kris terkekeh. Kemudian ia mengacak-acak rambut Kyungsoo. "Belajar yang rajin ya! Sebentar lagi kau ujian dan harus melanjutkan sekolah. Aku akan pindah sebentar lagi."

"Jinjja? Pindah kemana hyung? Kenapa mendadak? Hyung kan satu-satunya teman dekatku disini. Kalau hyung pindah aku bagaimana? Kalau aku lulus SMA dan ingin bekerja di kafe hyung lagi tapi ternyata sudah tidak ada disini bagaimana nantinya? Hyung kenapa pindah? Wae? Wae? Wae?"

"Aigo, Kyungsoo-ya! Kau berlebihan. Kakekku sakit, jadi aku harus kembali ke Beijing."

"Oh, geurae. Pergilah! Kudo'akan semoga kakekmu cepat sembuh," Kyungsoo tersenyum polos. "Tapi setelah kakekmu sembuh, kau kembali ke sini lagi kan, hyung?"

Kris terdiam. Antara ingin menjawab iya atau tidak. Ia sebenarnya ingin kembali ke Seoul lagi. Tapi ayahnya menyuruhnya mengambil alih perusahaannya di China. Mungkin tidak akan sempat ke Seoul lagi. "Akan ku usahakan," pada akhirnya Kris tersenyum. Dan berharap semoga ia benar-benar bisa menemui remaja polos nan ceria itu lagi.

Usai percakapan yang tak bisa dibilang singkat, akhirnya Kyungsoo pamit pulang. Ia telah berhenti bekerja dengan mengantongi amplop hasil jerih payahnya sendiri selama sebulan. Ia berjalan riang menyusuri Jalan Hongdae dan berhenti di depan pintu sebuah toko baju yang ia lihat sebulan yang lalu.

"Selamat datang!" ujar penjaga toko ketika ia masuk.

Kyungsoo berkeliling di dalam toko. Melihat-lihat baju, celana, tas, topi, sweater dan aksesoris. Ia menyentuh benda-benda tersebut, membandingkan kualitas yang satu dengan yang lainnya. Bukan untuk membelinya, tetapi sekedar menambah sense fashionnya. Kemudian diantara jajaran pakaian di sudut toko, ia mengambil sebuah syal berwarna krem yang bahannya halus. Bisa dipastikan bahwa yang memakainya akan merasa hangat dan nyaman. 'Kurasa, aku akan membelikan ini saja untuk umma,' batin Kyungsoo. Setelah membayarnya di depan kasir, ia bergegas pulang karena hari sudah gelap.

"Aku pulang!" seru Kyungsoo ceria. Ia diam-diam meletakkan sebuah kotak ke atas lemari buku bacaan, kemudian kembali bersikap tenang seolah-olah ia memang baru datang. Ia melihat ayahnya sedang menonton tv di ruang keluarga. "Ayah, kau pulang cepat."

"Pekerjaan ayah selesai lebih cepat. Kau cepat mandi dan ganti baju sana!" ucap ayahnya tanpa mengalihkan pandangannya dari siaran berita perampokan di tv.

"Ne."

Kyungsoo hendak melangkah tetapi ia terhenti. "Ibu selamat ulang ta—" Dan ia tak bisa melanjutkan ucapannya karena ada yang ganjil. Ibunya tergesa-gesa menghampiri ayahnya. Pasti ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Sayang, cepat tutup semua jalan masuk ke dalam rumah! Akan ada perampok!" ucap ibunya panik.

"Hah? Perampok?" tanya ayahnya disusul dengan tindakan cepatnya berlari mengelilingi rumah untuk menutup pintu dan jendela serta menguncinya. Keringat menetes menuruni pelipisnya. Ayah Kyungsoo kembali ke ruang keluarga dengan napas yang pendek-pendek.

"Sudah semuanya?" tanya ibu.

"Ya, hosh hosh."

"Ibu, ada apa?" tanya Kyungsoo yang mulai panik.

"Kyungsoo! Kau bersembunyilah di samping lemari buku bacaan!" perintah ibunya. Dan kemudian ibunya kembali menatap ayah, "Kau benar-benar sudah menutup semuanya dan menguncinya kan?"

Ayah Kyungsoo tampak mengingat-ingat. Dia membutuhkan waktu satu menit dan tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Celaka! Pintu belakang lupa belum ku kunci!"

Brak! Terdengar kegaduhan dari pintu belakang. Semua anggota keluarga yang ada di rumah tersebut membelalakkan matanya dan jantung mereka berpacu dengan cepat. "Kyungsoo! Cepat bersembunyi !" teriak ibu Kyungsoo. Dan anak itu berlari dengan patuh ke samping lemari tempat buku-buku bacaan di letakkan. Lemari tersebut cukup besar untuk menyembunyikan seseorang.

Ayah Kyungsoo mematikan tv dan bergegas memeriksa keadaan ruangan di belakang. Sementara ibunya memandang punggung suaminya dengan khawatir. Saat ayah Kyungsoo sampai di ruang belakang, ia memergoki beberapa orang bertopeng masuk membawa senjata api. Pria paruh baya itu segera mengambil siasat dengan menendang senjata api di genggaman perampok itu hingga terlempar jauh. Lalu menghantamkan kepalan tangannya ke arah para perampok. Terjadi baku hantam tinjuan disana. Kyungsoo yang penakut mulai cemas dan badannya bergetar. Tubuhnya merosot bersandar pada sisi lemari buku bacaan dan memeluk lututnya dengan kencang.

Dor!

"Kyaaaaa!"

Kyungsoo mendongak. Air mata membasahi pipinya. 'Tidak!' teriaknya dalam hati. Ia bergegas bangkit dan menghiraukan kenyataan bahwa ia sedang bersembunyi. Ia berlari ke ruang belakang dan berhenti di depan pintu. Ia melongok ke dalam dan matanya membulat ketika melihat ayahnya terkapar bersimbah darah. Kakinya lemas seketika. Ia hanya bisa berdiri kaku di balik pintu. Mengintip ibunya yang terduduk di samping tubuh ayahnya sambil meraung-raung keras.

Sementara itu, beberapa perampok mulai menggeledah rumah. Sedangkan salah satunya mengawasi orang tua Kyungsoo sambil menggenggam pistol ditangannya. Kyungsoo kembali bersembunyi di tempat lain saat para perampok masuk lebih dalam ke dalam rumah. Saat itu ia bingung harus berbuat apa. Disatu sisi ia ingin menghajar perampok-perampok itu, tapi disisi lain ia sangat takut.

Tiba-tiba ibunya berdiri dengan memegang sebuah pisau di tangan yang entah didapat dari mana. Lalu wanita paruh baya itu berteriak,"Kau telah membunuh orang yang paling berharga untukku. Mati kau !" Ibunya mengarahkan pisau itu pada perampok yang memegang pistol. Namun, sebuah peluru lebih dulu menembus tubuh ibunya dan membuat ibunya jatuh di depan mata Kyungsoo. Seketika itu juga anak laki-laki itu berteriak memanggil ibunya hingga membuat para perampok itu mengetahui keberadaannya. 'Bodoh!' umpatnya dalam hati ketika menyadari kesalahannya. Dalam kepanikan ia mencoba lari dari sana. Tapi, mereka menangkap Kyungsoo lebih dulu dan memukulnya dengan benda keras yang membuat kesadarannya hilang.

"Tuan Muda, apa Anda sudah mendengar bahwa rumah Tuan Muda Kyungsoo kemarin dirampok?" tanya seorang pelayan berusia hampir setengah abad kepada seorang pria tinggi.

"Apa? Aku belum dengar. Apa yang terjadi? Bagimana keadaan Kyungsoo?" tanya pria tinggi itu khawatir.

"Dia terluka. Sekarang Tuan Muda Kyungsoo sedang dirawat di rumah sakit," ucap pelayan itu. "Tapi Tuan.."

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu yang lain?" tanya pria tinggi itu makin khawatir.

"Orang tua Tuan Muda Kyungsoo meninggal. Mereka tertembak dan kehilangan banyak darah."

Tiba-tiba pria tinggi itu mengambil jaketnya dan berjalan tergesa keluar ruangannya. Ia begitu khawatir sampai mengabaikan seruan pelayannya bahwa sebentar lagi ayah pria tinggi itu akan tiba di Seoul. Ia keluar dari rumahnya dan menghentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas. Pikirannya sedang kacau hingga melupakan bahwa ia memiliki mobil sendiri.

Di belahan bumi yang lain.

Di Jepang, Kota Narita.

"Hyung! Coba lihat ini ! Ada berita heboh kalau rumah dari keluarga kaya di Korea di rampok," ujar Chen sambil membaca artikel di tabletnya dengan serius. Kakinya ia angkat ke atas sofa pemilik rumah dengan seenaknya. Serasa rumah itu miliknya sendiri.

"Siapa?" tanya seorang pria berwajah angelic yang sedang mencuci piring di dapur. Mereka baru saja selesai makan siang.

"Emm... Sebuah perampokan terjadi di Jalan xxx No. 11 di daerah pemukiman Seoul. Kejadian tersebut merenggut nyawa suami istri keluarga Do dan anak mereka berhasil selamat meski mendapat luka. Harta benda yang raib—"

"Tunggu sebentar!" teriak pria berwajah angelic itu dari dapur. Ia segera menyudahi cuci piringnya dan menghampiri temannya yang berada di ruang tamu. "Kau bilang keluarga Do?"

"Ya. Wae?" tanya Chen. Ia heran melihat tingkah hyungnya yang tiba-tiba berubah khawatir. Hyungnya itu berlari ke kamar dan kembali dengan menekan-nekan layar handphonenya. "Suho-hyung, wae?"

"Keluarga Do itu teman keluargaku dulu. Sebelum semuanya menjadi seperti sekarang."

"Apa yang sedang kau lakukan sekarang?" tanya Chen penasaran.

"Menghubungi seseorang," jawab Suho pendek.

Sebuah taksi berhenti di depan Rumah Sakit Seoul. Setelah membayar biaya taksi, seorang pria tinggi keluar dari sana. Langkah kakinya lebar-lebar memasuki rumah sakit tersebut. Tak ada yang dipikirkannya selain satu nama. Do Kyungsoo. Ia berhenti begitu sampai di depan meja informasi.

"Dimana kamar Do Kyungsoo?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Di lantai tiga nomor 46, Tuan."

Pria tinggi itu kembali berlari mencari keberadaan lift. Setelah menemukannya, ia menekan tombol di samping pintu lift supaya cepat terbuka. Tetapi pintu itu tak kunjung membuka. Ia tidak bisa bersabar dalam keadaan seperti itu. Ia menoleh ke sekitar dan menemukan pintu tangga darurat. Ia membuka pintu itu dan menaiki tangga dua-dua sekaligus tanpa khawatir akan terjatuh. Karena kakinya panjang. Pintu lantai tiga sudah di hadapannya setelah menaiki tangga beberapa menit. Ia membukanya dan berhasil menemukan letak kamar nomor 46 beberapa waktu kemudian.

Cklek. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah sebuah ranjang dengan seorang pria mungil terbaring di atasnya. Seketika itu juga hatinya sakit dan sedih. Membayangkan bagaimana perasaannya jika seandainya ia menjadi sosok mungil itu. Ia berdiri di samping ranjang Kyungsoo. Meneliti tiap inchi tubuh Kyungsoo dan ia rasa bahkan seminggu pun ia tak akan bisa tersenyum setelah melihat itu semua. Kyungsoo terbaring lemah. Perban membalut kepalanya, infus menancap di lengan kirinya, dan di pipinya terdapat sisa-sisa air mata yang masih membekas.

Selama beberapa jam ia duduk di samping ranjang Kyungsoo. Menggenggam tangan itu dan berbisik lirih supaya pria mungil itu cepat bangun. 'Kyungsoo-ya, hyung disini. Cepatlah bangun~' batin pria tinggi itu.

"Ugh," lenguh pria mungil itu. Seperti keajaiban. Tuhan telah mendengar do'anya. Kyungsoo perlahan membuka matanya. Ia menoleh untuk melihat pria tinggi yang duduk di samping ranjangnya. Menungguinya. "Kris-hyung?"

"Kyungsoo-ya, kau sudah sadar?" hati pria tinggi itu seketika terasa lega. Melihat orang yang kau khawatirkan tersadar dari tidurnya benar-benar melegakan.

"Hyung? Nae appa, nae umma eodiga?"

Kris terdiam. Wajahnya nampak sedih dan Kyungsoo tahu artinya itu. Dadanya terasa terhimpit mengetahui kenyataan bahwa orang tuanya benar-benar tak selamat. "Jadi itu benar-benar terjadi ya," lanjutnya.

"Kyungsoo-ya," Kris hendak memeluk Kyungsoo, karena tiba-tiba pria mungil itu menunduk.

"Nan gwenchana," namun kemudian Kyungsoo mendongak memandang Kris dan berwajah ceria. "Jangan khawatir, hyung. Waktu akan membuatku melupakan semua ini."

Kris tersenyum, "Itu baru namanya Do Kyungsoo yang ku kenal. Hyung akan membantumu."

"Hyung?" suara Kyungsoo terdengar lemah.

"Ya?"

"Bisa kau belikan aku bubble tea? Aku ingin minum bubble tea. Aku haus."

"Geurae, hyung akan membeli bubble tea untukmu. Tunggu sebentar ya! Hyung pergi dulu!" Blam! Dan pintu kamar nomor 46 itu tertutup kembali.

Setelah Kris pergi, kamar itu kembali hening. Kyungsoo bangun dan turun dari ranjang setengah memaksakan diri. Ia mengambil botol cairan infusnya dari tempatnya dan membawanya keluar ruangan. Tanpa alas kaki ia menyusuri koridor rumah sakit. Lalu masuk ke dalam lift dan menekan tombol paling atas. Masih dalam keheningan karena ia sedari tadi mengunci rapat mulutnya, ia keluar dari lift setelah bunyi 'ding'. Namun langkahnya masih panjang. Kyungsoo menaiki anak tangga ke atap. Dan ketika sampai di depan sebuah pintu, tangannya bergetar. Ia membukanya dan kilauan sinar matahari menyambutnya.

Atap rumah sakit itu tidak sepenuhnya kosong. Ada banyak seprei rumah sakit yang di jemur disana, mereka melambai-lambai di terpa angin musim semi yang hampir berakhir. Kyungsoo mengangkat lengannya di atas kepala, melindungi matanya dari sinar terik matahari. Lalu ia berjalan melewati jemuran seprei-seprei itu ke tepi atap. Kemudian lengannya ia turunkan dan ia memandang ke bawah, ke halaman rumah sakit di lantai dasar.

Tes! Sebutir air jatuh dari suatu tempat. Kyungsoo tiba-tiba melepas infus yang melekat di lengan kirinya. Ia meringis menahan perih dari bekas suntikan disana. "Maaf," lirihnya. "Maafkan aku," dan bahunya bergetar. Bulir-bulir air mengalir dipipinya. Kyungsoo menangis. "Appa, umma, mianhamnida."

Botol infus jatuh dari genggaman Kyungsoo. Ia merangkak naik ke pagar pembatas yang terbuat dari tembok. Ia berdiri disana, memejamkan mata, lalu merentangkan tangan seolah-olah menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum ia menyesal. Kemudian Kyungsoo kembali membuka mata, melihat ke bawah. "Kenapa kalau dari sini kelihatan tinggi sekali?" tanyanya pada angin. Namun hal berikutnya yang mengembang di wajahnya adalah senyum miris, "Tapi tak apa, aku pasti bisa pergi semakin cepat. Anyeong..."

Tap tap tap!

"KYUNGSOO ! ANDWAE !"

"Terima kasih atas kunjungannya."

"Ne."

Kris keluar dari sebuah kedai dengan membawa kantong plastik berisi dua gelas bubble tea. Ia melihat jam tangannya sekilas. Baru beberapa menit ia keluar, tapi ia sudah merasa khawatir pada Kyungsoo. Kris melangkah menyusuri jalan satu blok ke arah rumah sakit. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, tapi Kris tidak terlalu memperhatikan. Bahkan saat ada dua orang berpakaian serba hitam mengikutinya, ia tidak menyadarinya.

Drrrrt! Tiba-tiba benda persegi di saku jaketnya bergetar. Kris mengambilnya dan melihat nama yang tertampil di layar. Ia sempat berdecak sebelum mengangkatnya.

"Ada apa?" jawab Kris tanpa basa-basi.

"Tuan Besar sudah tiba di Korea. Anda harus pulang sekarang, Tuan Muda."

"Aku tidak bisa. Sudah ya!"

"Chakkaman! Tuan Besar sepertinya sudah menyuruh beberapa orang mengikuti Anda. Sebaiknya Anda hati-hati, Tuan Muda."

"Mwo?" Kris terkejut. Ia berbalik dan benar saja. Ia melihat dua orang berbaju hitam suruhan ayahnya pura-pura melihat tanaman dan pohon di pinggir jalan. Membuat Kris mendengus akibat kebodohan orang-orang tersebut. "Baiklah, terimakasih Tuan Jo. Kabari aku kalau ayah tiba di rumah."

"Baik, Tuan Muda," jawab Tuan Jo di seberang line.

Kris memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaket. Lalu ia menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Kris sedang melakukan pemanasan. Sedangkan dua orang yang mengikutinya merasa heran dengan tingkah anak majikannya tersebut. Namun tiba-tiba rasa heran mereka digantikan oleh kepanikan.

"Phaboya, anyeong...! Hahaha," Kris berlari sambil tertawa. Meninggalkan dua orang yang sedang kesal.

"Sial..! Anak itu memergoki kita lagi," pekik salah seorang yang mengikuti Kris.

Kris berlari dengan kencang ke arah rumah sakit. Ia baru berhenti ketika sampai di halaman rumah sakit. Napasnya pendek-pendek, jadi ia mengatur napasnya dulu sebelum masuk ke dalam rumah sakit.

Drrrrrt! "Oh, kamchagiya!" pekik Kris karena terkejut mendengar bunyi ponselnya sendiri. "Mengagetkanku saja," gerutunya. Kris melihat layar ponselnya, tetapi hanya nomor tak di kenal yang muncul.

"Yeoboseyo?," sapa Kris ragu.

"Kris, ini aku."

"Oh, Suho. Ada apa?" tanya Kris. Pria tinggi itu memutuskan untuk berdiam diri di halaman rumah sakit dulu untuk menerima telepon dari temannya.

"Bagaimana keadaan Kyungsoo? Apa dia baik-baik saja sekarang? Aku baru saja mendengar beritanya tadi. Aku khawatir."

"Kyungsoo baik-baik saja. Ia terluka tapi kurasa ia akan cepat pulih. Kau tahu, Kyungsoo ternyata benar-benar kuat. Aku takut dia akan depresi karena kehilangan orang tuanya. Tapi ternyata dia tetap bisa tersenyum," jelas Kris semangat.

"Emmm... Kris."

"Ya?"

"Kyungsoo tidak sekuat itu. Apa kau bersamanya sekarang?"

"Apa maksudmu? Tidak, aku tidak bersamanya. Memangnya kenapa?" tanya Kris.

"Kris cepat cari Kyungsoo!" teriak Suho di seberang line, membuat Kris harus menjauhkan benda persegi tersebut dari telinganya.

"Mworago? Kenapa kau berteriak? Ish," kesal Kris sambil mendongak ke atas.

"Kyungsoo bisa melakukan tindakan diluar nalar kita kalau kau membiarkannya sendiri sekarang!"

"Yak! Jangan teriak-teriak! Kyungsoo tidak mung—" ucapan Kris terhenti karena ia melihat sesuatu di atap rumah sakit.

"Kris? Yeoboseo? Kris? Kenapa kau berhenti bicara? Halo, Kris?" panik Suho.

"Suho! K-Kyungsoo mau bunuh diri ! Nanti aku hubungi lagi !" pip! Dan sambungan telepon tersebut langsung terputus.

Kris masuk ke dalam rumah sakit dengan tergesa-gesa. Ia sangat cemas. 'Jangan melompat. Aku mohon jangan melompat, Kyungsoo!' teriak Kris dalam hati. Ia naik ke dalam lift dan memencet tombol teratas dengan kalap. Ding! Kris langsung keluar begitu pintu lift terbuka. Ia kembali berlari menaiki tangga yang merupakan satu-satunya jalan ke atap, tempat Kyungsoo berada.

Tap tap tap!

"KYUNGSOO ! ANDWAE !"

Bruk!

"Kyungsoo-ya... Kyungsoo-ya... hiks. KYUNGSOO!"

===== To Be Continued =====

Nb : Hai, yeorobeun! Ini ff debut saya sebagai author ff Exo, sebelumnya saya dikenal sebagai Shinari Akiko, penulis ff dari fandom SHINee, Boyfriend, dan anime Naruto di facebook. Salam kenal ya! Mohon review nya untuk kelanjutan ff ini. Kamsahamnida! ^^