Orang bilang, estetika suatu pertunjukan tak lantas dinilai berdasar dari kemewahan panggung atau lengkapnya properti semata. Justru, kunci utama tertanam dalam telapak para pelakon; mereka yang diberkati bakat, serta mereka yang bertekad seteguh baja.

Dalam pantulan netranya terbentang panggung monokrom yang luas nan megah, dengan kilat silau obsidian yang seolah menantang temaram lilin chandelier penghias plafon.

Ketika kesepuluh pedansanya mulai melangkah centil di ubin hitam putih dengan tempo lembut, lalu mendadak saja lonjakkan jantung siapapun yang menontonnya, ia rasa kedua bibirnya takkan dapat terkatup tanpa paksa. Bagaimana tidak, bila alam sadarmu diroketkan langsung dari suasana sunyi bar menuju taman fantasi yang gegap gempita, lumerkan nelangsa menjadi riuh tawa yang membahana. Buatnya rasa bagai narapidana yang terkunci rapat dalam jeruji nada.

Dan siapa pernah bilang bahwa cuma itu penyebab semuanya begitu tergila-gila? Salah total. Sepuluh pedansa lihai yang mereka kagumi tak lebih dari sekedar alat belaka. Masing-masingnya cuma seonggok marionet bisu, bilasaja benang-benang merah biru tak segera mengontrolnya untuk memikat hati massa. Dan tentu saja, kemahiran dalang menjadi penentunya.

Gerai yang lebih nyala dari api, iris yang lebih murni dari madu, tenor yang lebih lembut dari bisikan seorang ayah. Keelokannya terbingkai secara fantastik oleh rahang yang tegas, di mana anak-anak sungai mengalir damai membasahi tulang pipi hingga ujung rambutnya—buatnya percaya bahwa ternyata memang ada persona yang sungguh mempesona.

Dan hei, lihat betapa lincahnya! Ia sendiri paham betul, butuh kegigihan tinggi serta kesabaran lebih untuk kuasai skenario yang dicipta begitu rinci. Fakta bahwa 'sesulit apapun, senyum takkan sedikitpun luput dari paras tampannya' merupakan bonus tersendiri.

Hati siapa tidak terpikat, kutanya?

.

"Op. 25 dari Pablo Sarasate, Carmen Fantasy." Sayup-sayup sang pianis berbisik sebelum mencabut jari terakhir, pertanda waktunya menanggalkan selimut warna-warni yang sempat ia suguhkan kepada para pendengar. Senyuman puas usai tampil tanpa satupun nada sumbang terukir begitu jelas pada wajahnya yang kini sedikit berpeluh.

"Terima kasih banyak atas perhatian anda."

"Kau terengah-engah lagi, Karma." Sambil bertepuk tangan, Yuuma menghampiri kawannya yang masih mematung di depan sebuah piano hitam legam. "Apa kau sebegitu cemasnya? Ragu-ragu... tidak yakin dapat memainkannya dengan lancar, misalnya?"

"Jangan bercanda, Yuuma." Karma tertawa kering seraya membalik posisi duduknya. "Tidak ada partitur yang tidak dapat kumainkan dengan sempurna. Persentase keberhasilan: seratus persen. Hanya saja... Kau takkan sukses merenggut nafas para penonton apabila kau sendiri tidak merasakannya, bukan? Kurasa sudah berulang kali aku berkata seperti itu."

Yuuma mendengus singkat. "Ya, aku setuju denganmu. Bagaimana, apakah segelas wine cukup untuk membayar mimpi singkat yang barusan kau berikan, tuan?" tanyanya sebelum beranjak menuju dapur.

"Seperti biasa saja..." pianis bersurai merah itu mengangkat bahu, gestur yang sudah Yuuma hapal di luar kepala. "Meja nomor dua belas, nol derajat di bayangan tirai jendela utara. Tolong, ya."

Karena bagi Yuuma pribadi, Karma adalah kawan sekaligus lelaki yang istimewa. Sudah sejak lama ia menanam bayang-bayang Karma jauh di lubuk hatinya, dan tak sekalipun ia berubah pikiran—Karma tetaplah pribadi yang istimewa untuknya. Dialah Hamelin, namun dengan serentet tuts dwiwarna. Iblis yang selembut malaikat. Malaikat yang sekejam iblis. Kristal yang sekuat baja. Setangkas Holmes, sejahil robin, pula seromantis mawar.

Namun sayang, bila sudah disinggung masalah asmara, ia selalu saja salah tingkah. Siapa sangka Karma adalah orang yang kolot, yang langsung kaku saat menghadapi perkara romansa rapuh a la remaja? Sepanjang waktu, Karma terus bergumul di antara kecanduannya, keingintahuannya terhadap dunia serta ambisinya meraih cita-cita.

Apa itu sebabnya? Yuuma tidak mau ambil pusing. Namun tetap saja, ia keheranan mengapa selama ini Karma dapat bergaul akrab dengan ilmu teknologi, padahal cara pikir otaknya sedemikian lanjut dan kuno.

"Lidahmu masih lidah bocah ya, tidak berubah sama sekali." Sempat terdengar kekeh geli lolos dari bibir Yuuma, sebelum meletakkan pesanan sobatnya yang terkemas rapi di piring porselen.

"Hmm... tidak juga. Kebetulan aku menyukai masakan andalanmu, Sweet Banana Cake. Bisa membuatku ketagihan seperti ini, mungkin saja ini candu jenis terbaru?"

"Jangan berkata yang tidak-tidak, Karma. Tapi... terima kasih atas pujiannya."

"Aku serius, Yuuma." tambah Karma meyakinkan, kontra dengan tawanya yang tak henti-hentinya mengusik telinga. "Aku masih ingat bagaimana kau selalu memanggangkanku kue ini acapkali aku murung atau bertengkar dengan Ryou-kun. Atau bagaimana Rio-chan selalu mencuri cicip adonan buatanmu, lalu pucuk kembarmu itu langsung bergoyang-goyang jengkel."

Mendengar itu, Yuuma menelengkan kepala—mulai mengingat-ingat kejadian dari masa lalu. Yah, tidak salah untuk mengiyakan ajakan bernostalgia. Benaknya mudah sekali terbujuk untuk kembali memutar ulang kepingan memori dari bertahun-tahun silam.

Ya, misalnya...


.fantasick


.

.

.

"Tidak ada yang selamat. Semuanya hangus menjadi abu."

Keputusan final. Orang dewasa di manapun tidak ada bedanya, selalu egois dan seenaknya saja. Padahal bocah mungil itu masih berdiam di sana, dan tak seorangpun sudi mencarinya.

Yah, wajar saja. Bila dipikir, apa profit yang bisa diraih dari mengorek reruntuhan yang sudah diyakini tak lagi ada penghuninya? Toh bukan reruntuhan bekas zaman praaksara yang bernilai tinggi, jadi mestikah mereka peduli?

Sekedar gubuk reyot keluarga miskin yang bertindak ceroboh saat menyalakan kompor kayu bakar, membakar habis wanita sakit-sakitan bersama sang buah hati yang nekat membuat masakan sehat demi ibunya yang malang. Padahal sudah menjadi omelan umum: 'anak kecil dilarang main api!', dan inilah hukuman atas pelanggarannya—ia rasa.

Akibatnya? Kobaran hebat. Gampang ditebak reaksi para tetangga: sibuk menyelamatkan harta benda mereka yang tak seberapa sebelum tersulut api yang menyebar ke mana-mana.

"Daripada sakit-sakitan, Isogai-san pasti akan lebih bahagia jika mati saja."

Itulah yang mereka ucapkan. Ringan tanpa beban.

Yuuma kecil mulai melangkah tanpa destinasi yang pasti. Ia bagai kapal yang kehilangan mercusuar, pasrah membiarkan setitik kejora menuntunnya. Kaki lemasnya menyusuri selokan, pusat keburukan dari penjuru kota berkerumun. Warna langit sejauh mata memandang terbatasi oleh garis pemisah udara kota dan rumah-rumah tinggi. Asap keruh menggantung jahat pada cakrawala, berdesakan keluar dari cerobong-cerobong besi yang berjulangan membalap kayu-kayu di sekitarnya. Entahlah, ia tak lagi ingat apa yang buatnya mampu bertahan hidup dengan napas tersengal di dasar neraka dunia itu. Trauma masa lalu ditambah aktivitas kotornya sehari-hari memicu amnesia, mungkin saja.

"Hei, kau sendirian? Kau bertahan hidup sendirian? Kau tidak kesepian?"

Sampai momentum yang tak disangka akan tiba menjadi sebagian kecil kalimat dari diari hidupnya. Sampai dua bola tembaga sejenak alihkan netranya dari monokrom dunia. Memandang mukanya yang ceking oleh kepincangan waktu. Membelai helai eboninya yang keruh macam upik abu.

"Padahal bila kau mati, kau tidak perlu bersusahpayah."

Merah, kembali mengingatkannya akan nyala api di hari itu.

"Itu yang sering orang dewasa katakan, 'kan? Tapi aku tidak setuju, jadi kita sependapat!" Anak itu memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi, sebelum memaut erat tubuh kurus Yuuma dalam dekapan. Membungkus Yuuma dengan coat putih perbekalannya, kemudian menggandeng telapak mungil itu pergi dari sana.

"Menurutmu, mengapa manusia disebut makhluk sosial? Karena kau tidak sendirian! Ayo ikut denganku, lalu kita ubah dunia."

...

"Yuuma... namaku, Yuuma." Merasa belum cukup akrab, Yuuma berbisik grogi. Sepasang antena di kepalanya meliuk rendah, takut akan kemungkinan kawan barunya tidak menyukainya. Namun di luar dugaan negatif yang sedari tadi mencengkram otaknya, kawan barunya itu justru mengerling penuh binar, seolah tengah meresapi dongeng seru atau menonton atraksi menarik.

"Rasanya cocok, sangat manis! Apa itu nama pemberian orang tuamu? Atau kau karang sendiri?"

"A-aku baru tahu kalau nama bisa dikarang sendiri..."

"Eh, apa aneh? Habisnya, aku mengarang sendiri namaku! Akabane Karma. 'Aka' dari warna rambutku, dan 'hane' dari keinginanku terbang bebas menelusur dunia. 'Karma'... Muncul begitu saja, habis keren sih." Kawan barunya—Karma—membusungkan dada penuh bangga. Mendengar jawaban polosnya, Yuuma tak kuasa membendung tawa.

"Seleramu aneh juga."

"Jangan begitu, aku menyukainya! Aku juga suka namamu, Yuuma. Nama yang bagus..." Lagi, senyum melintang mengangkat pipinya, kini diiringi sorot mata yang seteduh bayangan.

"Semangat! Tidak jauh lagi, kok! Aku yakin teman-teman di panti akan senang hati menerimamu untuk tinggal bersama mereka!"


.fantasick


.

.

.

.

Tangan-tangan waktu mencipta bayangan lurus, memotong sinar redup lilin penerang sepasang pemuda yang tengah duduk mengapitnya. Suasana bar begitu senyap; dalam sekejap tempat persinggahan ramai itu berubah lengang usai diputarnya papan 'buka' di gerendel pintu. Menyisakan dua pemuda yang nampak enggan pulang ke ranjang empuk masing-masing.

Yuuma dan Karma.

Malam itu pemilik bar memutuskan untuk tutup lebih awal, jadi keduanya memiliki waktu luang untuk sedikit saja berbincang.

"Yuuma, bagaimana kalau kau berhenti minum?" usul Karma cemas kala mendapati wajah sahabatnya matang sempurna, terpanggang oleh temperatur tinggi dari wine dingin penyejuk kerongkongannya. "Bukannya aku keberatan untuk mentraktirmu lebih dari ini, tapi tidakkah kau kasihan dengan tubuhmu? Hei, pucuk kembar."

"Akhir-akhir ini kau jarang mampir, aku jadi kesepian..." Yuuma membalas dengan rajuk, sembari menidurkan kepala di atas tangannya yang bersilang. Jari-jari manjanya belum berhenti menggelayuti kelingking Karma.

"Kau takkan mengerti, Karma... Apa pekerjaanmu lebih penting dariku? Lihat saja, kapalanmu semakin mengeras begini."

"Hei, bar ini tidak boleh memonopoliku. Aku pianis yang ingin terbang bebas, lain dikurung di dalam sangkar. Dan yah, aku ini 'kan detektif-paruh-waktu juga, dan akhir-akhir ini sedang banyak kasus sulit. Habis polisi tidak mampu memecahkannya." protes Karma seraya mengacak gemas surai eboni lawan bicaranya. Kedua alisnya naik dan ia menyeringai gaya.

"Lagipula, belum sebanding dengan kesepianku ketika mendadak saja kau diadopsi oleh keluarga kaya."

"Tidak ada hubungannya! Lagipula, aku sudah terlanjur diusir dari rumah itu... Siapa juga yang butuh nama keluarga terpandang! Tidak penting! Tidak ada artinya!" Bukannya reda, rajukan Yuuma malah semakin diamplifikasi saja. Memang solusi satu-satunya cuma untuk mencabut masalah dari akar: botol wine dalam jangkauan tangannya.

"Anak nakal harus diberhentikan paksa!" Karma mendesak, namun di sela kalimatnya terselingi tawa jahil. "Umurmu baru dua puluh dua, jangan membuat dirimu berkesan kepala empat ke atas dengan minum-minum seperti ini."

"Karmaaa~" Bagaikan anak kucing, Yuuma mengeong manja (Karma pun berpikir kalau Yuuma mirip sekali dengan hewan manis itu). Meminta kembali cairan kemerahan dalam genggaman sahabatnya. "Karasuma-sensei—hik—dulu sering bilang, 'kan... Kalau Karma yang paling bandel dan urakan, hik. Karma tak berhak mengataiku nakal!"

"Yuuma yang sekarang sudah berani membalas, heh?" tantang Karma, dengan nada naik-turun yang menjengkelkan. Mungkin asyik juga bermain-main sedikit dengan teman masa kecilnya itu, setelah sekian lama. Tidak salah, 'kan?

"Kalau Karma—hik—berjanji akan datang setiap hari, kau boleh mengambilnya!"

"Tu—Yuuma!"

BRUK!

Menggelayut terlalu lengket pada leher Karma—alhasil keseimbangan Yuuma runtuh seluruhnya, apalagi ia tengah mabuk cukup berat. Dua torso saling bertimpangan di lantai beku bar, sementara api padam dan batang lilin menggelinding entah ke mana.

Aish, Karma merasa bodoh sekali. Harusnya ia terlebih dahulu memprediksi, bahwa tantangannya mungkin akan berakibat seperti ini. Ia ceroboh. Ia terlalu naif.

"Ck, itu sakit! Yuuma, kau tidak ap—"

Manik delimanya refleks membelalak, saat kembang-kempis paru-parunya terjeda begitu saja.

"...Yuuma... suka Karma..."

.

.

.

.

next : case 002

.


FANTASICK : case 001

Assassination Classroom © Matsui Yusei

Akabane Karma x Isogai Yuuma
many pair(s) hint, maybe?

Romance - Crime/Drama
Inspired by "Carmen" Opera


a/n

udah kesekian kalinya ngetik di notepad terus diketik ulang di warnet www apalagi lagi pulkam begini... rasanya waha (?)
niatnya pingin buat #KaruIsoWeeeeeK, tapi lihat nanti deh kalau sempat diselesaikan tepat waktunya. well bahkan di sini prompt-prompt WeeeeeK dimasukkin seenak jidat kiyoha wwww, mayan banyak prompt yang dimasukin walo dosisnya so mini /? tebak prompt apa yang bakal jadi prompt utama www
akhir-akhir ini juga seneng sama opera Carmen, walau fic ini ngga berdasarkan opera itu banget sih :')

kritik saran diharapkan untuk mempercantiq (?) chap selanjutnya (:3/ berharap ampas satu ini bisa impruv :')))) #krai

thank you for reading this ampas fic. kebanyakan isinya hedkenen www, maaf kalo bikin eneg /? atau malah migrain /?

kiyoha