Sejujurnya Lenn sendiri belum yakin apakah cerita ini layak di publish, namun ide itu bisa datang ke siapa saja—dan Lenn tidak ingin ide ini merasa rugi karena sudah datang pada Lenn. Jadi…dicoba aja dulu, hehe :D

GS and GSD are not mine.

OCs are inspired from Legend Of Mana—sort of.

And, of coure, LoM is not mine.

Title : Qlavistier

Rate : T (bisa berubah sesuai pergerakan alur dan mood author)

Chara : isn't that obvious?

Pairing: isn't that obvious (too)?

Theme : Fantasy

Prolog

The Unexpected Trip

Cagalli Hibiki melempar pandangan mencela kepada kembarannya, yang tengah duduk di seberangnya seraya menatap keluar jendela, melamun. Entah sudah berapa kali ia mendapatinya melamun seperti ini. Saudara kembarnya memang lebih suka merenung dalam diam, namun Cagalli tahu betul perbedaan pandangan seseorang yang tengah merenung dan tengah melamun. Dan saat ini, pandangan saudara kembarnya terlihat…kosong.

Seperti orang melamun.

Sebenarnya ini bukan kali pertama kembarannya melamun seperti itu. Sejak sebulan terakhir, ia acap kali menangkap basah pemuda berambut coklat tersebut terdiam dengan pandangan kosong. Dan ketika ditanya, kembarannya hanya menggeleng kepala, menyunggingkan senyum kecil, dan sesekali diiringi kata-kata, "Tidak apa-apa, Cagalli. Aku baik-baik saja,"

Cagalli mengerang; tidak perlu harus menjadi saudara kembarnya untuk menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan Kira Hibiki. Bahkan ayah mereka, Ulen Hibiki, yang biasanya cuek bebek dengan kondisi anaknya pun bertanya-tanya.

"Biasanya Kira akan mengomel saat aku meminjam kalkulator kesayangannya." gumam Ulen saat—secara kebetulan—hanya ada Cagalli dan Ulen di ruang makan. "Ada apa dengan anak itu?"

Cagalli mendongak dari buku novel di hadapannya, menatap Ulen dengan pandangan bingung. Bukan bingung karena mendengar perkataan Ulen, tapi bingung karena mendengar ayahnya mengajaknya ngobrol. Terlebih lagi yang dibicarakan juga bukan tentang pekerjaan ayahnya atau kegiatan sekolahnya. "Hah?"

Ulen melempar pandangan serupa pada Cagalli. "Kenapa?"

"Tidak biasanya ayah tertarik pada Kira," gumam Cagalli pelan, berusaha terlihat cuek.

Alis kanan Ulen terangkat. "Hati-hati nak; aku bisa saja menganggap serius kata-katamu barusan," ujar Ulen dingin.

Cagalli hanya mengangguk singkat, "Maaf, ayah,"

Keheningan kembali melanda ruang makan sebelum akhirnya Cagalli menyahut, masih menatap novel di meja. "Aku juga tidak tahu. Sudah dua minggu ia bersikap aneh begitu,"

Ulen tidak menyahut, masih berkutat dengan kertas-kertas di hadapannya.

Cagalli mendesah. Sepertinya aku terlalu berharap; ayah memang tidak akan bisa bersikap seperti ayah pada umumnya…

"Dua minggu lagi,"

Cagalli mendongak, memandang Ulen dengan pandangan bingung. "Apa?"

"Dua minggu lagi," Ulen mendongak, menatap anak perempuannya penuh arti. "Setelah kalian berdua mendapat kursi di Universtitas Hodo, pergilah ke kota X. Kurasa kalian berdua sudah cukup dewasa untuk pergi keluar kota sendiri. Kalau ternyata setelah dari sana Kira masih tetap seperti itu, mungkin Via perlu membawanya ke psikolog," Ia beranjak berdiri, merapikan kertas-kertas di meja.

Cagalli tak bisa menyembunyikan senyum lebar di bibirnya. Ia yakin ayahnya tahu bahwa kemungkinan si kembar diterima di salah satu universitas paling bergengsi di negeri ini sangat besar, mengingat keduanya punya record sebagai anak teladan dan cerdas dalam bidang mereka masing-masing. Kenyataan bahwa ayahnya memang mengkhawatirkan Kira—dan bahkan mengizinkan mereka berdua pergi berlibur—tak ayal membuatnya tersentuh…

Sampai kemudian ia mendengar Ulen menggumam, "Ah, mungkin aku akan mengajak Via ke Paris…atau ke London. Mungkin masih sempat kalau pesan tiket pesawat sekarang…"

Cagalli mendesah. Menyuruh anak-anaknya pergi berlibur agar bisa berduaan dengan istrinya di luar negeri; hanya ayahnya yang bisa punya jalan pikiran seperti itu.

Perjalanan ke kota X masih cukup lama dan berdiam diri seperti ini membuatnya bosan. Ia beranjak berdiri, memandang sekelilingnya. Sebuah kompartemen kecil, dengan dua kursi panjang yang saling berhadapan, sebuah jendela kaca besar, rak besi di sisi atas yang memuat dua tas berukuran besar.

Di seberangnya, Kira Hibiki masih melamun. Rambut coklat pendek yang sepertinya tak pernah terlihat rapi, kulit kuning langsat, dan sepasang mata ungu terang berbingkai bulu mata lentik. Di usia 18 tahun, perbedaan antara keduanya sudah mulai terlihat jelas. Tulang pipi Kira terlihat semakin jelas, membuatnya tak lagi terlihat seperti seorang baby face, dan ditambah dengan pertambahan tinggi beberapa belas senti, Kira Hibiki tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Kalau pun ada yang tidak berubah darinya, mungkin adalah sorot mata Kira yang cenderung terlihat…sayu. Orang yang kali pertama berjumpa dengannya pasti akan menganggap Kira sedang bersedih atau seorang pemurung.

Sementara Kira tumbuh menjadi pemuda tampan, ia sendiri tak yakin apa dirinya juga tumbuh…sebagus kembarannya itu. Ia selalu beranggapan gadis cantik adalah mereka dengan rambut panjang yang indah, kulit semulus marmer, suara lembut nan merdu, dan…yah, seperti sosok putri kerajaan dalam dongeng yang diceritakan ibunya sewaktu kecil. Ia merasa dirinya lebih mirip pelayan istana ketimbang putri—tidak, bahkan pelayan istana pun mungkin lebih cantik daripada dirinya. Mereka pasti juga punya rambut panjang atau setidaknya suara lembut nan merdu.

Tidak, bukan berarti ia tidak puas dengan apa yang ia miliki saat ini atau ingin menjadi seperti sosok putri dalam dongeng. Hanya saja—

"Kau melamun," suara familier membuat Cagalli berpaling.

"Hm?" Cagalli mengerjap sesaat, memandang kembarannya yang tersenyum geli.

"Seorang Cagalli melamun," gumam Kira, suaranya menyiratkan perpaduan antara rasa geli dan heran. "Waw,"

Cagalli berdecak kesal. Lihat siapa yang bicara; orang yang (justru) sudah sebulan terakhir hobi melamun. Namun sebelum Cagalli bisa membalas, Kira kembali menyahut. "Aku bercanda," ia memasang senyum tipis—yang biasanya berhasil meluluhkan para penggemarnya—seraya mengalihkan pandangan ke jendela di sampingnya.

Cagalli memang bukan salah satu penggemar Kira, namun bukan berarti senyuman Kira tadi tidak berimbas apapun padanya. "Dasar aneh," gumam Cagalli seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Keheningan kembali melanda kompartemen si kembar. Cagalli sudah hampir tertidur ketika terdengar suara Kira menyahut, "Kalau seandainya kau terjebak seorang diri di tempat asing," entah kenapa suaranya terdengar serius di telinga Cagalli. "Tanpa handphone atau apapun yang kau miliki," Kira berpaling ke arah Cagalli, ekspresinya menyiratkan keingintahuan, "Apa yang akan kau lakukan?"

"Hah?" Cagalli menggelengkan kepala, berusaha mengusir rasa kantuknya agar dapat mendengar pertanyaan Kira dengan jelas. "Kira, coba ulangi lagi pertanyaan—"

"Apa yang kau lakukan kalau kau terjebak di dunia asing, Cagalli?" sela Kira, menyunggingkan senyum geli, melihat reaksi Cagalli tadi. "Kalau kau masih bingung juga, coba bayangkan kau menjadi tokoh utama dari game RPG fantasi yang biasanya kumainkan—"

Cagalli hanya bisa melongo. Rupanya pendengarannya tidak menipunya—Kira memang menanyakan hal aneh nan absurd pada dirinya. Semakin lama Kira semakin aneh saja; siapa orang yang berada di seberangnya ini dan di mana Kira Hibiki yang ia kenal?

Namun, harus ia akui, pertanyaan Kira barusan cukup...menantang. Terjebak seorang diri di tempat asing, hm? Cagalli menoleh ke samping, memandangi pemandangan dari balik kaca jendela. Karena tidak ada handphone, mungkin aku akan mencari telepon umum. Tapi Kira bilang aku tidak punya apapun, lalu mau bayar telepon pakai apa? Nah, lagipula maksud Kira kan tempat asing seperti di game yang ia mainkan; tidak mungkin ada telepon di dunia fantasi—eh, bukannya Harry Potter pun punya telepon?

"Jadi?" suara Kira membuat Cagalli berpaling. "Apa yang akan kau lakukan?"

Membayangkan seolah aku menjadi tokoh utama di RPG fantasi…

"Aku akan berpetualang," ujar Cagalli, merentangkan tangannya. Ketika ia melihat Kira yang—entah kenapa—terlihat cemas, ia buru-buru melanjutkan, "Berpetualang mencari jalan pulang, maksudku." Sekarang ia menangkupkan tangannya di dada, memasang wajah jahil. "Aku khawatir adik kecilku akan terus menangis kalau aku tidak segera pulang,"

"Adik kecil?" dahi Kira berkerut. "Cagalli, bukannya kita sudah menuntaskan masalah ini? Ibu pun bilang kalau aku yang lahir lebih dulu kan?"

Cagalli menjulurkan lidah; dalam hati merasa senang karena Kira tak lagi melamun atau terlihat cemas seperti tadi. , "Semua orang juga tahu kalau pada kelahiran anak kembar, yang lahir duluan itu adalah si adik."

Kira sudah hendak membalas, namun akhirnya ia hanya menggelengkan kepala, seraya bergumam sesuatu tentang perdebatan konyol. Di sisi lain, Cagalli sedang mempertimbangkan apakah ini waktu yang tepat untuk kembali bertanya pada Kira terkait "hobi" barunya. Ia bosan mendengar jawaban yang sama nan tidak bermutu, membuatnya berusaha menahan diri selama beberapa hari untuk tidak bertanya pada Kira dan berharap cepat atau lambat Kira mau membuka diri.

Tanpa sadar Cagalli berdecak kesal. Sejak kapan kata menahan diri ada di kamus hidupnya?

"Kira, ada yang mau kutanyakan—"

Tiba-tiba, pintu kompartemen bergeser, memperlihatkan sosok anak perempuan berambut coklat ikal panjang, dengan jubah hijau yang menutupi tubuhnya. Cagalli spontan berdiri. "Ada yang bisa kubantu?"

Namun anak itu tidak menjawab. Ia memandang Cagalli dan Kira bergantian, kemudian menyunggingkan senyum tipis.

Cagalli sudah hendak menyahut ketika tiba-tiba Kira beranjak maju, menghalangi Cagalli. "Cagalli, mundur."

"A-apa yang kau—"

Namun tiba-tiba anak perempuan di hadapan mereka mengarahkan telunjuk kanannya ke depan seraya bergumam pelan dalam bahasa yang tidak mereka pahami. Ketika Cagalli melihat sinar hitam keluar dari telunjuk anak itu, reflek ia mencengkram lengan Kira. "Kira, apa yang anak ini—"

Dan kemudian mendadak semuanya menjadi gelap…