-DISCLAIMER-

Based on Mahabharata Star Plus version. Penulis hanya menulis ulang, mengembangkan, sedikit memanipulasi, dan menambahkan hasil pemikiran DAN imajinasi penulis ke dalam cerita yang sudah ada. Fanfic ini dibuat hanya untuk hiburan dan kepuasan pribadi penulis semata, dan tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun.


Apa yang kau cari di dunia ini, anakku?

Sejujurnya, keindahan dirimu terlalu suci untuk sebuah dunia yang mulai menampakkan kegelapannya.

Dirimu yang masih serentan kapas putih yang lembut membuat angin yang berhembus pun nampak bersalah.

Tidak ada yang perlu kau cari di sini...

Tetapi...

Dengan sangat menyesal, kau tidak bisa begitu saja melupakan tujuan kelahiranmu, anakku.

Meski ini terlalu berat, bahkan bagi seorang Ksatria terkuat sekalipun, kau akan menanggung semua harapan manusia.

Air memang akan menjadi keruh jika tercampur dengan lumpur.

Namun air juga bisa menghapus kotoran, dan membersihkan semua noda.

Itulah dirimu, yang sesuci air sungai Gangga, air yang menyejukan setiap insan dari dahaga dunia, yang bisa menyegarkan dan menenteramkan jiwa-jiwa yang lelah.

Hidupmu diberkati, anakku.

Bahkan semua Dewa pun menghormatimu.

Dewi Gangga memberikan setetes air sucinya ke dalam jiwamu,

Dewa Agni mengobarkan api kebenarannya di dalam hatimu,

Dewa Surya memberikan cahayanya ke dalam kehidupanmu,

Dan jangan lupakan orang tuamu sendiri, yang memberikan berkat terbesarnya pada dirimu.

Langkahmu akan semakin berat setiap harinya, nak.

Kau pun akan mendapatkan banyak kesulitan.

Bahkan ketidak adilan bisa saja menimpa dirimu yang bersih dan suci.

Ingatlah bahwa cahaya dari lilin yang menyala akan lebih jelas terlihat di dalam kegelapan.

Pada akhirnya api yang membara akan membakar habis kayu yang kuat.

Dan bahkan air pun bisa membuat lekukan pada batu yang keras.

Kehidupan tidak pernah sama, namun di setiap kehidupan, hal yang sama pasti terjadi seiring berjalannya siklus kehidupan.

Teruslah berjalan di jalanmu, walau dunia sudah banyak berubah. Karena di setiap langkahmu, akan selalu ada yang mendampingimu, menjagamu, dan melindungimu

Gemakan nyanyian indahmu

Hingga kau membawa kejayaan dan ketenteraman ke dalam dunia ini

Karena untuk itulah kau hidup.

-MAIDEN of SERENITY-

Langit cerah kala itu menaungi bumi Arya yang indah. Sang Surya bersinar dengan terik, menghangatkan setiap jiwa yang sunyi di dalam raga yang berjalan kaku di atas permukaan tanah. Kicauan burung yang bertengger di atas dahan pohon membentuk sebuah melodi indah yang memanjakan telinga pendengarnya. Bagaimanapun juga, hari ini adalah hari yang indah.

Seorang gadis menari-nari kecil di tengah hamparan padang bunga berwarna kuning yang terhampar luas sejauh mata memandang. Paras cantiknya memancarkan cahaya yang mampu menyaingi sinar Dewa Surya yang setiap hari menerangi bumi. Sambil memetik satu, dua, hingga tiga tangkai bunga, ia bersenandung dengan suaranya yang lembut dan merdu. Sesekali angin yang berhembus mengibarkan kain sari berwarna biru laut dengan corak indah yang ia kenakan, dan juga rambut hitam indahnya yang panjang. Namun, sekencang apapun angin berhembus, semenyebalkan apapun lebah-lebah berdengung di dekat telinganya, ia menikmati harinya yang, sekali lagi, menakjubkan.

"Tuan Putri!" Seorang gadis -pelayan, yang kira-kira berusia lima tahun lebih tua dari dirinya, berlari menuju Sang Putri yang, masih, dengan asyik bersenandung riang di hadapan ribuan bunga yang menari tertiup angin.

"Tuan Putri Ridhima!" Seru gadis itu, sekali lagi.

Akhirnya, Ridhima menengok ke arah dimana gadis pelayan itu muncul. Dengan napas terengah-engah, gadis pelayan itu berdiri di hadapan Ridhima.

"Pelan-pelan saja, Gehna!" Ujar Ridhima. "Ada apa?"

"Ayahmu... Mencarimu..." Jawab Gehna, dengan napas yang masih tersengal-sengal.

Sebuah senyuman kecil tersungging di bibir mungil Ridhima yang berwarna merah muda. Namun, secepatnya, ia menghapus senyuman itu. Ia membalikkan tubuhnya, membelakangi Gehna, dan kembali menyibukkan diri dengan kuntum-kuntum bunga yang berada di hadapannya. "Aku tahu ayah masih sibuk. Biarkan saja." Ujar Ridhima.

"Tapi Tuan Putri..."

Ridhima berbalik, kembali menghadap Gehna, dan memandangnya aneh. Tatapan itu lagi, pikir Gehna.

"Sudahlah, kau temani saja aku di sini." Ucap Ridhima dengan senyuman yang penuh dengan kepercayaan terhadap seorang teman.

Gehna menghela napasnya. Ia tahu bahwa dirinya sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali mengikuti keinginannya.

Gehna menyusun karangan bunga yang dipetik Ridhima ke dalam keranjang anyaman rotan berwarna coklat terang. Tidak banyak bunga yang bisa dipetik oleh Ridhima. Mengambil sesuatu dari alam tentu saja boleh, namun jika dilakukan secara berlebihan itu sama saja dengan pengrusakan. Setidaknya itulah yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya. Memang hamparan padang bunga ini masih menyimpan jutaan keindahan, dan tidak akan habis atau rusak begitu saja, tetapi jauh lebih baik jika kita menjaga keindahan itu di tempat yang semestinya.

Gehna tersenyum kecil melihat Ridhima yang tergoyahkan angin. Badannya yang kecil terhuyung ke kanan dan ke kiri, dimabukkan oleh irama angin yang menyejukkan. Gehna sangat mengenal Ridhima. Ia sudah bersama dengannya sejak Sang Putri berusia lima tahun. Melihatnya sebahagia ini, seperti biasanya, tentu membuat hatinya menjadi tenteram.

Angin yang kencang kembali berhembus. Kain sari Ridhima kembali berkibar, dan rambutnya menjadi acak-acakan. Tiupan angin kali ini benar-benar kencang, membawa selendang sutra berwarna senada milik Ridhima terbang jauh ke atas langit.

"Ah, selendangku!" Ridhima berlari mengejar selendangnya yang terbang ke arah selatan. Ia mengulurkan tangannya, mencoba meraih selendangnya, namun tak berhasil. Ia mulai menggerutu, menyalahkan angin yang mulai menyebalkan.

Selendang itu, akhirnya, mendarat di wajah seorang pria yang berdiri sekitar tiga meter di hadapan Ridhima yang terengah-engah.

Pria itu mengambil selendang Ridhima yang bersarang di wajahnya dengan tangannya yang kuat, namun penuh dengan kelembutan. Wajah tampan berseri nan lembut mulai terlihat ketika ia menyibakkan kain sutra halus itu, menunjukkan sebuah senyuman yang menawan. Mahkota emas berhiaskan bulu merak nampak bersinar diterpa cahaya matahari yang hangat. Dhoti kuning yang membalut bagian bawah tubuhnya pun seolah memancarkan sinar yang terang. Seluruh tubuh pria itu bercahaya. Selalu terlihat seperti itu.

Ridhima tersenyum lebar melihat pria yang muncul di hadapannya itu. Pria itu membalas senyum Ridhima dengan hangat, sembari mengangkat sebelah alisnya dan menggeleng perlahan.

"Ayah!?" Gumam Ridhima.

Di belakang sana, Gehna yang melihat kedua ayah-anak itu menepuk dahinya. Astaga! Ini salahku karena tidak bisa membawa pulang Tuan Putri. Akhirnya Basudewa Krishna datang sendiri untuk menjemputnya.

Ridhima berjalan menghampiri Krishna. "Ayah!"

Krishna mengulurkan tangannya, lalu memencet hidung mungil Ridhima yang mancung, membuatnya mengerang kesakitan.

"Aw! Apa yang ayah lakukan?"

"Dasar nakal! Kemana saja kau? Kenapa kau tidak segera menemui ayah, Hah? Bukankah ayah sudah menyuruh Gehna untuk menjemputmu?" Timpal Krishna, menekuk bibirnya dan mengerutkan dahi, seolah ia benar-benar memarahi putrinya itu.

"Habisnya... Sepanjang hari ayah sibuk dengan Paman Balarama, dan terus bersama Kak Abhimanyu." Giliran Ridhima yang menekuk bibirnya, menggerutu.

Krishna tersenyum. Ia membelai rambut Ridhima yang halus dengan penuh kasih sayang. "Maafkan ayah."

Ridhima kembali tersenyum. Mana mungkin ia bisa semarah itu pada ayahnya hanya karena hal sesepele itu? Ia sudah berusia hampir empat belas tahun. Sudah waktunya ia belajar bersikap dewasa.

Ridhima mengulurkan tangannya, mencoba meraih selendang miliknya dari tangan sang ayah. Namun, dengan cepat tangan Krishna bergerak ke atas, menjauhkan selendang itu dari jangkauan Ridhima.

"Sekarang apa lagi?" Keluh Ridhima, kembali terlihat kesal.

Krishna tersenyum. "Kau pikir ayah akan memberikannya begitu saja, setelah selendangmu ini menghantam wajah ayah?"

Ridhima memutar bola matanya. Oh, ayolah! Kenapa ayahnya itu sangat usil?

Melihat wajah lembut Krishna yang tersenyum kikuk dengan sebelah alisnya yang terangkat membuat Ridhima tidak bisa menahan tawanya yang renyah.

"Oh, ayah ini..."

Krishna merangkul Ridhima, membawanya ke dalam pelukannya yang hangat. Ridhima pun seolah sudah melupakan selendangnya dan terjatuh ke dalam dekapan ayahnya yang menentramkan hatinya.

Krishna melepaskan pelukannya perlahan. "Nah, sekarang biarkan ayahmu ini menghukum Gehna yang tidak mengerjakan tugasnya dengan baik." Krishna melirik Gehna yang terpaku di belakang Ridhima. Keduanya saling beradu pandang, membuat Gehna terpaksa bersembunyi di balik keranjang bunga yang, tentu saja, tidak bisa menyamarkan tubuhnya yang lebih besar.

Ridhima menengok Gehna di belakangnya. "Jangan hukum Gehna!" Serunya pada Krishna. "Aku sendiri yang menolak pergi dan malah menyuruhnya untuk menemaniku. Jika ada yang harus dihukum, itu adalah aku."

Krishna kembali tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan mencubit pipi Ridhima dengan lembut. "Kau selalu saja membuatku senang. Sudahlah, tidak ada yang harus dihukum di sini. Ayo, kita pulang."

Gehna yang mendengar percakapan itu tersenyum kecil. Setelah Krishna mengisyaratkannya untuk pergi, ia bergegas membawa keranjang bunga Ridhima dan berjalan menyusul Basudewa Krishna dan anak gadisnya.

~ooo0ooo0ooo~

Ridhima, gadis cantik dan manis itu adalah putri bungsu, dan satu-satunya putri Basudewa Krishna. Ia terlahir dari rahim Ratu Rukmini dan merupakan anak kesebelas yang dilahirkannya. Ramalan menyebutkan bahwa setelah istri-istri Krishna melahirkan masing-masing sepuluh orang putra, Ratu Rukmini akan melahirkan anak kesebelasnya yang berjenis kelamin perempuan, yang menjadi penutup dari keturunan Yadawa di generasinya. Dan setelah semua saudaranya lahir ke dunia, Ridhima pun terlahir dengan kondisi yang sangat lemah.

Walaupun ia terlahir lemah, namun ia tumbuh menjadi seorang putri yang cantik dan periang. Matanya yang bulat kecoklatan, kulitnya yang putih dan halus, dagunya yang runcing dan hidungnya yang mancung, serta senyumannya yang indah membuat semua raja di wilayah Arya melamar Putri Ridhima untuk anak-anaknya. Namun, Basudewa Krishna selalu tersenyum dan menolak semua pinangan itu, dengan berbagai alasan yang cukup nyeleneh.

Ya, Basudewa Krishna sangat menyayangi putrinya itu melebihi apapun di dunia ini. Karena selain statusnya yang merupakan seorang putri kebanggaan Yadawa, ada satu hal yang membuat Basudewa Krishna begitu menjaga putrinya itu...

Kereta kuda berwarna putih itu berhenti di halaman istana Dwaraka. Kedua pasangan ayah-anak itu turun dari kereta, dan Ridhima berlari kecil menuju istana megah yang indah tempatnya tinggal itu. Namun, sebelum Ridhima menjajaki tangga menuju pintu masuk istana, Krishna menggenggam tangan Ridhima, menahannya untuk masuk seolah ia tak ingin putrinya, sekali lagi, meninggalkan dan mengabaikannya.

"Kau mau kemana?" Tanya Krishna.

"Tentu saja masuk ke dalam."

Krishna mengangkat sebelah alisnya. Ia melepaskan genggamannya, lalu menaruh tangannya di pinggang. "Kau tidak boleh masuk! Memangnya kau pikir kenapa ayah memanggilmu hingga akhirnya menjemputmu secara paksa?"

Ridhima kecil memutar bola matanya. Kali ini apa lagi yang akan ayahnya lakukan? Ia memandang ke atas langit, seolah meminta jawaban dari para Dewa. Namun sepertinya, para Dewa pun tidak mengetahui rencana ayahnya itu. Ya, tidak pernah ada yang tahu semua rencana Basudewa Krishna, selain dirinya sendiri.

Melihat putrinya yang cemberut di tengah kebingungannya, Krishna melepas tawanya yang ringan. Ia pun mencubit pipi Ridhima dengan lembut. "Ayah hanya ingin kau bertemu dengan seseorang."

Ridhima kini terlihat lebih antusias. "Seseorang? Siapa? Apakah itu paman Arjuna yang ayah ceritakan akan segera datang dari pengasingannya?"

Krishna tersenyum. "Nanti kau akan tahu."

Mau tak mau, kaki kecil Ridhima mulai bergerak, berjalan mengikuti Krishna. Dia sendiri tidak tahu kemana ayahnya akan membawanya pergi.

Desiran pasir pantai mulai terlihat sejauh mata memandang, seiring dengan deburan ombak yang sedikit demi sedikit menyentuh kaki Basudewa Krishna yang berjalan di tepian pantai, seolah meminta berkat dan do'a dari Dia yang menerangi seluruh daerah Arya dengan cahayanya. Sementara sang putri, ia mulai memainkan air laut dengan kaki kecilnya yang menari riang dengan diiringi irama laut yang harmonis.

"Ayah, sebenarnya kita mau kemana?" Tanya Ridhima, mulai gusar, walaupun sepertinya ia terlihat menikmati suasana di pantai Dwaraka yang indah ini.

Krishna tersenyum. "Bukankah ayah sudah bilang? Ayah ingin kau bertemu dengan seseorang."

"Tapi siapa? Lalu apa yang akan kita lakukan setelahnya? Tidak. Apa yang harus kulakukan?"

Krishna menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan memandang putrinya yang polos itu. Ia tertawa, lalu mencubit pipinya dengan lembut. "Dasar, kau ini cerewet sekali! Sabarlah sedikit."

Krishna dan Ridhima kembali berjalan, hingga akhirnya mereka tiba tepat di titik tengah pantai. Tiga orang lelaki gagah dengan seorang lelaki tua berjanggut cukup tebal berdiri di sana, jelas untuk menunggu sesuatu, atau mungkin seseorang. Tatapan mereka langsung tertuju pada kedua ayah-beranak yang datang menghampiri mereka, begitu sang Krishna memecah penantian mereka dengan salam sapanya yang hangat.

"Salam, Pangeran Duryodhana, Pangeran Dursasana, Raja Angga Karna, dan... salam, Raja Gandhara." Ucap Krishna.

"Salam, Basudewa Krishna." Balas Pangeran Duryodhana, diikuti oleh yang lainnya.

"Kenapa kau lama sekali, Basudewa Krishna? Apa yang menghambatmu untuk bertemu dengan kami?" Tanya Raja Gandhara, Paman Sangkuni.

Krishna tersenyum nakal. "Ah, maafkan aku. Putriku memaksaku untuk bermain dengannya. Jadi, aku terpaksa menemaninya terlebih dahulu. Dan, aku malah keasyikan bermain dengannya." Krishna menatap Ridhima yang bersembunyi di balik punggungnya, lalu mengelus rambutnya secara perlahan.

Ridhima, sekali lagi, memutar bola matanya. Bibir mungilnya menekuk kecut. Oh, ayahnya ini...

"Ah, iya," ucap Krishna. "Perkenalkan, ini putri bungsuku, Ridhima."

Ridhima menatap kermpat orang di hadapannya dari balik tubuh tegap ayahnya. Ia tahu, ia tidak menyukai mereka. Seperti seekor anak kucing yang ketakutan, ia tidak bisa keluar begitu saja dari tempat persembunyiannya.

"Ridhima, beri salam kepada mereka. Mereka juga adalah keluargamu." Ucap Krishna, memaksa Ridhima keluar dari balik tubuhnya.

Ridhima pun menunjukkan dirinya, sebisa mungkin tersenyum manis pada tamu ayahnya ini, seperti ia tersenyum pada semua orang. Ia pun menyentuh masing-masing kaki orang-orang dari Hastinapura itu.

"Maafkan putriku ini. Dia memang anak yang pemalu."

"Kau memiliki putri yang sangat cantik dan manis, Basudewa." Ujar Duryodhana.

"Ya. Kau pasti sangat bangga dan menyayanginya, kan?" Timpal Paman Sangkuni.

"Ahahaha... Kau benar, Paman." Jawab Krishna.

Ridhima melihat ayahnya begitu akrab dengan keempat orang itu. Namun, entah kenapa, Ridhima merasa tidak enak, terutama pada lelaki gagah dengan wajah menyeramkan yang berdiri di tengah, dan lelaki tua yang menutup sebelah matanya saat ia memuji dirinya dan ayahnya tadi.

Senyumannya, perlahan menghilang

Aku tidak suka mereka...