.
.
APAPUN BISA TERJADI
.
.
Chapter 1
.
-::-::-
"Kita harus bicara."
Ying menoleh, mengalihkan perhatiannya dari jurnal ilmiah yang dipegangnya dan tersenyum pada pemuda yang berdiri di ambang pintu ruang tamu. "Halo juga." ucapnya. Ia memperhatikan ekspresi serius pada wajah kekasihnya itu, senyumnya perlahan menghilang. "Baiklah, ada apa."
"Aku... sudah kupikirkan," pemuda itu mendesah dan berjalan ke dalam ruang tamu. Tangannya tenggelam di saku jaketnya, ia berjalan pelan seraya menatap sayu pada seisi ruang tamu apartemen yang sangat familiar baginya. "Tak ada cara lain untuk mengatakan ini." Ia duduk di sofa, di samping Ying, ada jarak di antara mereka.
Ying memerhatikan nada suara pemuda itu dan memiringkan kepalanya ke samping, jantungnya berdetak cepat. Hal ini pasti tak baik. Ia menggigit bibir sebelum mengambil napas dalam-dalam dan menatap pemuda itu langsung di matanya. Ia kehilangan sesuatu di dalam mata itu. Ia tidak bisa mengendalikan tangannya. Jurnal ilmiahnya jatuh ke lantai begitu saja.
"Apa?" Ying akhirnya berbisik, tak mempercayai suaranya pada saat ini.
"Kupikir kita harus... putus."
Ying berkedip sekali. Hatinya menjadi begitu tak menentu, ia merasa telinganya berdengung. Ia berkedip lagi. Bagian belakang matanya mulai memanas. Ia mengambil napas dan udara terasa membakar bagian belakang tenggorokan seperti ada duri yang berjalan ke paru-parunya.
Sebuah isakan tak terduga keluar dari bibir Ying. Fang bergerak mendekatinya, mengulurkan tangannya ke wajah gadis itu, namun sayangnya gadis itu menggeleng keras dan menarik dirinya ke belakang, ekspresi keputusasaan terlintas di wajah Fang. Ying mengatupkan kedua tangan di depan bibirnya dan memejamkan matanya.
"Aku hanya—"
"Kumohon tidak," ucap Ying pelan, air mata mengalir di pipinya saat kedua matanya terbuka, menatap intens pada diri Fang. "Tidak." Ia menempatkan sikunya di pahanya dan menjatuhkan kepalanya ke kedua tangannya.
.
.
Ying tak tahu berapa lama mereka sudah duduk di sana, tapi ia benar-benar haus. Ini masuk akal karena ia sudah menangis diam-diam dan hanya duduk di sana menatap layar kosong di depan sofa. Satu-satunya hal yang ia mengerti dalam situasi ini adalah: dia dehidrasi. Segalanya di ruangan itu terasa buram dan ia membenci hal itu. Ia benci tak mengerti apapun. Tak tahu alasan di balik ini.
"Kenapa," ucap Ying dengan suara serak, matanya masih terfokus pada kedua tangannya yang saling meremas di pangkuannya.
"Karir kita baru saja di mulai. Aku tak ingin menjadi penghalangmu jika di sana ada kesempatan untukmu."
"Maksudmu kau tak ingin aku menjadi penghalangmu." nada suara Ying meninggi. Ia bisa merasakan itu di lidahnya, dan rasa sakit itu bertambah ketika mata Fang berkedip gelap dan ekspresi pemuda itu berubah sedih. Tapi Ying tak peduli. Dirinya lebih terluka daripada pemuda itu.
"Aku tak ingin kita merasa seperti menghalangi satu sama lain. Aku tak ingin saat kita bangun suatu hari nanti dan membenci satu sama lain hanya karena kesempatan kita telah hilang. Aku tak ingin merasa terbebani saat mengetahui bahwa kau tidak dalam kondisi terbaikmu karena—"
"Kau merasa hubungan kita adalah beban bagimu?"
Ini bukan apa yang Fang maksudkan. Mereka berdua tahu itu. Sudah jelas bahwa pemuda itu telah berpikir banyak tentang hal ini. Untuk sesaat. Ying marah karena Fang berpikiran seperti itu dan telah berbohong padanya tentang hal ini entah berapa lama.
Mereka masih muda; mereka punya jalan hidup yang panjang di depan mereka. Kata-kata pemuda itu terasa sangat pahit dalam benak Ying dan ia benci pernah berpikir jauh tentang hubungan mereka. Seharusnya ia sudah paham tentang ini. Bagaimana bisa ia begitu bodoh? Fang pasti akan mengutamakan karirnya. Ia tahu kemana hubungan ini akan pergi. Ia merasa begitu egois dan mementingkan diri sendiri karena telah berpikir bahwa dirinya adalah pengecualian untuk Fang? Bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh.
Fang adalah seorang ahli bedah otak. Dan Ying adalah ahli bedah jantung. Otak dan jantung. Saling melengkapi, bukan.
"Ying, aku..."
"Tidak." ucap Ying dengan suara gemetar dan ia memalingkan wajahnya. Mendengar namanya keluar dari bibir Fang membuat semua perasaan negatifnya mereda, tapi menatap wajah pemuda itu hanya akan membuatnya menangis. "Aku mengerti." Ia ingin mengatakan pada pemuda itu betapa ia membenci pemuda itu, tapi itu bohong. Dan memikirkan hal itu hanya membuatnya merasa lebih buruk. Ia ingin muntah. "Aku mengerti."
"Baby."
Hati Ying terasa berat dan rasa sakit itu terus mencoba untuk tetap menguasai hatinya saat apa yang telah Fang lakukan padanya. Air mata pun kembali mengalir di pipinya.
"Kita masih bisa—"
"Kumohon," Ying memohon pelan. Lima tahun. Mereka bersama selama lima tahun. Ia tak akan bisa menatap pemuda itu lagi jika nantinya ia tak bisa berjalan dan mencium pemuda itu atau mengatakan betapa ia mencintai pemuda itu kapan saja yang ia inginkan. Karena ia selalu ingin melakukan itu. Ia sangat mencintai pemuda itu, dan berpikir bahwa ia takkan bisa menatap pemuda itu setelah malam ini membuat ia ingin menahan pemuda itu, menyentuhnya, merasakannya.
"Aku-aku minta maaf," Fang tergagap, Ying bisa mendengar suara pemuda itu goyah. "Tawaran pekerjaan ini benar-benar bisa menempatkan namaku dan penelitianku di luar Asia."
Ying menoleh, cukup untuk melihat tangan pemuda itu mengepal, dan keinginan untuk muntah beberapa detik lalu menghilang, tergantikan dengan keinginan untuk menyentuh pemuda itu. Fang menyakiti dirinya sendiri; Ying bisa melihat tangan pemuda itu mengepal hingga memutih.
Tanpa berpikir panjang dan ragu-ragu, Ying mengulurkan tangannya dan menempatkannya pada kepalan tangan Fang, semua perasaan itu berangsur-angsur tenang. Fang bergerak untuk mengubah tangannya agar berada di atas tangan gadis itu, tapi Ying menariknya sebelum telapak tangan mereka bisa menyentuh. "Tidak. Aku mengerti." Ying akan memuji dirinya sendiri karena bisa menjadi dewasa untuk hal ini seandainya ia tidak merasa ini begitu mengerikan. Ia ingin membuang semua ini, berteriak, dan memukul pemuda itu. Ia memeluk tubuhnya sendirinya dan pikirannya terasa berkabut, ia sedikit bisa berpikir jernih ketika ia berkonsentrasi pada karir mereka. "Kau punya masa depanmu untuk dipikirkan—begitu pun aku. Kita hidup untuk menyelamatkan dan menyembuhkan orang-orang di luar sana."
Ying berjengit ketika Fang meraihnya dan mengusap lembut sudut bibirnya dengan ibu jari sebelum tangan kekar itu meluncur ke sisi lehernya. Ying berpikir akan menarik diri lagi tapi rasanya ini begitu nyaman, sekaligus membuatnya sakit di waktu yang bersamaan, apa ini akan menambah lukanya lagi?
"Hei," gumam Fang, begitu lembut hingga tubuh gadis di hadapannya kini tampak rileks dan menikmati sentuhan tangannya di pipi gadis itu. "Apapun bisa terjadi, kan?"
Ying tak bisa membenci dan melawan perasaannya untuk Fang, jadi dia memaksa tersenyum ke arah pemuda itu dan mengangguk.
Apapun bisa terjadi.
Itu motto dalam hidup Ying. Kau tak bisa menjadi ahli bedah dan memiliki kuasa untuk menyeimbangkan garis yang sangat tipis antara hidup dan mati di tanganmu tanpa ada kekuatan yang lebih tinggi yang bisa kita percaya untuk membantu mengatasi rasa sakit dan masalah. Semuanya kembali kepada Tuhan; ia percaya kekuatan tertinggi itu ada pada alam semesta.
Kata-kata Fang memberi Ying sebuah harapan. Mungkin suatu hari nanti, ketika mereka telah mencapai mimpi mereka, mereka akan bertemu satu sama lain. Berpikir seperti itu, cukup untuk memperlambat air mata Ying yang ingin tumpah dan sedikit membuatnya meringkuk lebih dekat pada pemuda itu.
"Kita biarkan nasib yang memutuskan, dan kita akan mencoba lagi seandainya kita merasa benar." Fang mengangguk mantap, menempelkan dahi mereka dan menutup matanya. Ying melihat bibir pemuda itu terkatup rapat seolah menahan sesuatu, dan untuk pertama kalinya di malam ini, ia juga melihat kerutan di sekitar mata pemuda itu. Membuat dia terlihat lebih tua. Lelah. Tersiksa.
Ying meraih kerah jaket yang dipakai Fang dan mencengkramnya erat-erat ketika terlintas di pikirannya bahwa ini adalah terakhir kalinya ia diizinkan untuk menyentuh pemuda itu seperti ini. Pikirannya melayang pada saat terakhir kali ia mencium pemuda itu, terakhir kali ia mengatakan bahwa ia mencintai pemuda itu. Dan semua itu terjadi kemarin. Pemuda itu datang menemuinya di hari yang kebetulan keduanya sama-sama sedang libur dan mereka memutuskan untuk pergi ke taman, mereka berbaring di rumput dan berbicara tentang pasien terakhir yang pemuda itu tangani. Saat itu, Fang meluapkan kekesalannya karena selalu sulit untuk menghubungi Ying, ia sungguh merasa kehilangan. Pemuda itu berguling hingga berada di atas gadisnya, dan ia mengatakan betapa ia mencintai gadisnya itu sebelum bibirnya menari di wajah sang gadis. Ia juga mengatakan bahwa ia tak bisa kehilangan gadisnya seperti itu, setelah berucap demikian, ia mencium gadisnya itu dengan penuh perasaan.
Mengingat memori yang mereka lewati kemarin, membuat Ying semakin tak rela. Ying mengubah duduknya menjadi berada di pangkuan Fang, menyembunyikan wajahnya di lekuk leher pemuda itu, menghirup kuat-kuat wangi tubuh pemuda itu. Fang dan otak bodohnya telah salah berasumsi bahwa mereka tidak bisa melewati ini.; Ying percaya bahwa mereka bisa. Fang membuatnya menjadi kuat; Fang membuatnya ingin menjadi lebih baik. Persetan untuk omong kosong yang mengatakan tidak, karena nyatanya Fang bisa melakukan semua itu. Tapi Ying tak ingin memaksa jika Fang meragukan kebersamaan mereka; jika pemuda itu tak percaya bahwa mereka lebih kuat bersama-sama. Fang salah dan bodoh. Tapi ia tetap mencintai pemuda itu.
Fang memeluk Ying lebih erat, mengubur hidungnya di setiap helaian rambut gadis itu, satu tangannya mengusap lembut rambut gadis itu sementara tangannya yang lain membuai punggung gadis itu.
.
.
Waktu terlewati begitu cepat dan Ying mulai hanyut ketika ia merasakan pergerakan di sekitarnya, dan ia merasa seperti mengambang karena Fang dengan mudah mengangkat tubuhnya dan membawanya ke tempat tidur. Ketika Fang menempatkannya di tempat tidur, ia berpikir bahwa pemuda itu akan ikut berbaring di sisinya, tapi ketika ia merasakan Fang menjauh, ia mengeluarkan protes pelan dan mencoba meraih lengan Fang putus asa. "Jangan pergi."
Ying bisa melihat Fang menoleh padanya lalu menatap ke pintu dan kemudian kembali menatap ke arahnya sejenak sebelum berbaring di sampingnya. Ying berbisik sedih, "Aku mencintaimu." Ia bertanya-tanya apakah Fang masih mencintainya atau tidak.
Fang menggeser kepalanya lebih dekat, kedua mata Ying terpaku menatap bibir pemuda itu yang sedikit terbuka. Tak mampu menahan, Ying bergerak mendekat sampai bibirnya menyentuh bibir pemuda itu, berlama-lama menempelkan bibirnya di sana tanpa berniat untuk melumat ataupun sekedar menggerakkannya selama beberapa saat sebelum ia menarik diri. Ying menggigit bibir ketika melihat kedua mata Fang tertutup.
Terdapat lipatan di antara alis Fang saat pemuda itu mengerutkan kening, dan Ying senantiasa memperhatikannya. Kedua mata Fang terbuka tiba-tiba dan kemudian tanpa peringatan bibirnya menekan bibir Ying. Ciuman mereka kasar dan terburu-buru, tangan mereka saling meraih satu sama lain dengan putus asa. Wajah Ying terasa terbakar dan bibirnya terasa bengkak karena ciuman itu, tapi itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup, sehingga ia meraih bagian belakang kepala Fang dan mencium pemuda itu lebih dalam.
Ying terengah-engah saat Fang melepas ciumannya. "Baby, kau membuat ini lebih sulit dari yang sudah direncanakan. Kita... kita tidak bisa seperti ini." Suara Fang goyah di kata terakhir, dan ia dengan lembut memberikan ciuman di kening Ying sebelum membawa gadis itu ke dalam pelukannya dan menempatkan kepala gadis itu di dadanya, lebih tepatnya di jantungnya.
Ying meringkuk lebih dekat pada Fang, ia jatuh tertidur diiringi suara detak stabil dari dada Fang dan jari-jari pemuda itu yang membelai lembut rambutnya, ia bermimpi mendapat ciuman ringan dari pemuda itu di bibirnya, dan bisikan sedih, "Aku juga mencintaimu." Dengan enggan, Fang bergeser pelan dan beranjak dari sana, lalu ia berjalan keluar dari apartemen gadis itu.
.
.
To be Continued
.
.
Well, gimana? Mungkin ini cuma jadi tiga chapter doang kok ke depannya, gak panjang-panjang.
Minat ninggalin review? ^_^
Thanks before!
