Severus mendengar suara seorang lelaki hendak muntah. Mungkin ayahnya. Siapa lagi? Severus yakin ayahnya baru saja bangun dari tidurnya setelah semalam sebelumnya bertengkar dengan ibunya dalam keadaan mabuk berat. Bocah laki-laki berkemeja kumal itu terduduk di pojok ruangan selama beberapa saat. Terdengar derap langkah terseret di luar pintu kamarnya, suaranya semakin keras dan Severus menatap pintu dari balik rambut hitam berminyaknya yang sedikit menutupi matanya dengan was-was. Kenop pintunya tidak dibuka dan langkah kaki terseret itu tak terdengar lagi setelah ada suara derit pintu membuka dan kemudian menutup. Severus melangkah menuju pintu, perutnya terasa bergejolak. Dia sungguh tidak ingin bertemu siapapun, tidak ayahnya tidak pula ibunya.

Severus menuruni tangga tanpa suara, diintipnya ruang tamu sesampainya ia di pintu. Tidak terlihat ada orang di sofa dan iapun bergegas keluar dari rumahnya, berjalan sepanjang kompleks kumuh tempatnya tinggal. Severus berjalan di trotoar berwarna kelabu, melewati lampu jalan yang rusak sambil memandangi sepatunya yang kebesaran dan usang. Beberapa lampu jalan berkelap-kelip saat Severus melewatinya, iapun mempercepat langkahnya dan menjauhi lampu-lampu jalanan tersebut.

Severus menatap rerumputan menari bersamaan dengan berhembusnya angin, terdengar tawa dari ujung taman. Severus yang tidak pernah mendengar tawa di rumahnya untuk pertama kali mendengarnya. Baginya, suara tawa itu terdengar menyenangkan. Ia berjalan mendekati sumber suara, ingin mendengar tawa itu lebih jelas dan lebih keras. Dilihatnya seorang anak perempuan berambut merah panjang duduk di ayunan sambil tertawa. Ayunan yang dinaikinya makin tinggi dan kemudian anak itu melayang turun dari ayunannya. Rambut merahnya berpendar di bawah matahari. Dia juga penyihir! Severus membatin senang.

"Lily, jangan lakukan itu. Mummy melarangmu melakukannya!" Severus agak kaget mendengar suara anak perempuan lain yang kelihatannya lebih tua, pada awalnya ia tidak menyadari keberadaan anak itu.

"Tapi ini menyenangkan Tuney. Sangat menyenangkan!" Anak perempuan yang dipanggil Lily itu berbicara sambil tersenyum.

"Ayo kita pulang!"

Kedua anak perempuan itu beranjak pergi, namun tanpa disangka Lily menoleh ke arah Severus yang masih bersembunyi di dalam semak. Matanya mengangkap mata Lily yang hijau cemerlang, ia sendiri merasa tertangkap. Apakah anak perempuan itu tahu? Rona merah menghampiri pipi Severus yang biasanya pucat, iapun mengalihkan pandangannya. Lily kini sudah berbalik dan berjalan pulang, berdampingan dengan anak yang disebut Tuney. Severus merasa kecewa tak bisa mengamatinya lebih lama. Beberapa detik setelah kedua anak perempuan itu menghilang di balik bukit, Severus keluar dari persembunyiannya, menatap arah anak perempuan berambut merah menyala dan bermata hijau itu pulang.

Ia sudah merindukan suara tawa anak perempuan itu.