Moshi-moshi…
Saya mampir lagi, nih. Kayaknya bakalan cukup lama, karena ini fict –if we can said that- cukup panjang. Multichap.
Ehehe.
Oya, saya agak ragu, nih. Karena ini fict bisa dibilang semua tokohnya OC, kecuali Netherlands yang asal saya namai Willem van Damme ('Willem' karena itu Belanda banget, dan 'van Damme' karena saya udah bingung kasih nama, n yang request fict ini muncul dengan ngasih ide nama itu), apakah cerita ini termasuk fict atau gak. Yaah… lemme know by clicking the blue link under this story. ^^
Ayo, yang request fict, mbak silan-haye dan partner-in-crime saya, mbak sorarin , mana reviewnya?
Gak banyak bacot lagi, deh. Baca, ya, minna… ^^
Disclaimer :
Personifikasi Netherland dan Hetalia punya saya! *digampar wajan Hungary*
Iya… T^T
Hetalia Axis powers dan semua karakter di dalamnya itu punya Hidekazu Himaruya-sensei.
Summary :
Haruskah aku membunuhmu dengan tarian yang kupersembahkan untukmu?
WARNING : OOC, err, ada beberapa-coret- banyak OC, pencomotan peristiwa bersejarah, menghadirkan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah, data terkait dunia tari Jawa yang kurang akurat, and many more. Nethxfem!Indo.
Berdasarkan fakta sejarah bahwa perang Diponegoro merupakan perang full-force terbesar di Indonesia selama pendudukan Belanda yang menerapkan segala macam strategi pertempuran modern (termasuk taktik perang terbuka/ open war dan perang gerilya/ guerilla war yang dilaksanakan melalui hit and run dan penghadangan juga berbagai taktik espionase dan manipulasi informasi). Perang yang disebut juga Perang Jawa ini berlangsung hampir di seluruh wilayah di Pulau Jawa dengan jumlah total pasukan terlibat lebih dari 150.000 orang dan total korban jiwa lebih dari 200.000 orang.
0—0—0—0—0—0—0—0—0—0
Aku bukan Sinta yang begitu saja mencintai Rama.
Aku Sinta yang memilih Rahwana.
Yang memilih menyembunyikan diri dari dunia
dalam istana terselubung api
yang kusulut sendiri…
Yogyakarta, 1829
Suara gending Jawa terdengar semayup diiringi celoteh anak-anak, derap langkah kecil berirama, juga samar suara seorang wanita meneriakkan hitungan sebagai patokan langkah bocah-bocah itu melenggokkan badan.
"Ji, ro, lu, pat, ji, ro, lu, pat. Ayo, aja guneman wae. Nduk, sampur kuwi dienggo mbeksan, dudu kanggo dolanan.(1)"
Sang wanita dengan penuh semangat, juga kesabaran ekstra, tentu saja, meneriakkan berbagai instruksi tanpa jemu. Bibir merah jambunya tersenyum, mata coklat jatinya dipenuhi binar semangat. Tak peduli perang sedang berkecamuk di luar sana. Dan kemungkinan sebentar lagi dia akan ikut diberangkatkan ke garis belakang, jauh dari desing senapan dan denting pedang ataupun bayonet beradu dengan keris, tombak dan bambu runcing. Ke panggung-panggung di mana para meneer(2) dan sepeleton pasukannya tengah lengah beristirahat. Menarikan molek tubuhnya sekaligus menyerap berbagai informasi yang akan membantu kawan-kawan prianya berperang di garis depan.
Berperan ganda sebagai penghibur sekaligus pembawa maut.
"Mbak Laras, Ginah kuwi-!(3)"
"Ora aku! Painem ndhisik, Mbak-!(4)"
Wanita, atau lebih tepatnya gadis yang baru berumur 17 tahun itu geleng-geleng kepala, 'Bocah-bocah ini sebenarnya niat belajar menari atau tidak, sih?'
"NDUK LARAS~!(5)"
Panggilan dari mbok pelayannya itu membuat gadis berambut hitam ikal sepunggung itu menoleh.
"Wis wektune, Nduk!(6)"
Laras, sang Arumdalu, menghela nafas. Tampaknya ini saatnya ia menarikan maut lagi.
SINTA TANPA RAMA
Babak Pertama
Laras, penari panggilan, ledhek, ronggeng, terserah orang yang memanggilnya menyebut apa, adalah sosok penari-non-keraton paling terkenal seantero pesisir selatan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebut saja nama Laras atau Arumdalu (Arumdalu adalah julukan yang disematkan pada Laras, berarti bunga sedap malam, karena tiap kali naik panggung dan menari atau menembang, takkan ada yang tak bisa melepaskan pandangan darinya, persis bunga sedap malam yang membuat orang berhenti sejenak di perjalanan karena wanginya) dan semua orang di willayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan bisa menyebutkan ciri-cirinya. Tujuh belas tahun, masih muda, lihai menari, dan yang pasti, luar biasa cantik.
Rambut hitam legamnya ikal, jatuh tergerai mencapai pinggangnya. Tatap mata coklat sewarna jatinya tajam, menantang setiap orang yang menatapnya. Kulitnya kuning langsat tanpa noda. Lekuk tubuhnya tanpa cela. Menggoda setiap bibir untuk bersiul dan setiap tangan gatal ingin menjamah. Sayang, Laras bukan ledhek gampangan. Dia tidak mau menyerahkan keperawanannya segampang ledhek lain. Dia menari di atas panggung, di tengah kumpulan pria itu untuk menarikan hidupnya, mengambil setiap apa yang mereka ambil dari kawan-kawannya, rakyatnya. Informasi tentang jumlah ransum, letak gudang makanan, di mana persenjataan disembunyikan, sampai posisi pasukan dan jumlah telik sandi beredar. Bukan untuk menjadi penghangat ranjang para meneer yang menghujaninya dengan hadiah untuk menarik perhatiannya.
Samar dendang tembang yang familiar di telinganya membuatnya mendongak dari kegiatannya mengoleskan boreh(7) ke tubuhnya sebagai persiapan pentas nanti malam. Sepertinya Ki Gatot, pengawal yang disiagakan Kanjeng Putri(8) untuk menjaganya, sedang menembang untuk mengusir kebosanan lagi.
.
Poma kaki padha dipuneling.
Ing pitutur ing ong.
Sira uga satriya arane.
Kudu anteng jatmika ing budhi.
Ruruh sarta wasis, samubarangipun...
.
Mijil.
Tembang macapat yang membangkitkan kenangannya.
Meletakkan lepek(9) tempatnya mencairkan boreh tadi, Laras mengedarkan pandangan ke pelataran gubuk bambunya.
.
Hujan masih rinai di luar sana
.
.
Seorang pemuda berusia 19 tahun dengan rambut sewarna mentari pagi duduk di beranda rumahnya, memandang ke kejauhan dengan senyum melintas bibirnya. Mata hijaunya melembut saat mendapati sosok seorang gadis kecil, berumur tak lebih dari 8 tahun, dengan kemben jarit kelabunya berlari menembus hujan dengan daun pisang memayungi kepala. Gadis itu berlari ke arahnya dan berhenti tepat di depannya.
"Kenapa hujan-hujanan, Laras?"
"Ndoro(10) Willem!"
Celoteh riang gadis itu mendapati sosoknya membuat sang pemuda tersenyum.
"Ndoro sudah pulang dari Batavia?"
Pemuda itu mengangguk demi menatap binar ceria di mata sewarna jati itu, sepenuhnya berharap itu disebabkan oleh kepulangannya kembali ke Ngayogyakarta sini.
"Pulang belajar mbeksan?"
Sang gadis kecil mengangguk semangat sebelum berjalan ke tepi beranda dan memeras air hujan yang mengkuyupkan rambut sepinggangnya. Sang pemuda geleng-geleng kepala, berseru,
"MBOK MI!"
Sang gadis tercekat. Waduh, bisa gawat ini. Mbok-nya itu pasti marah. Harusnya dia masuk ke rumah lewat pintu belakang. Seperti para babu lainnya. Bukannya lewat pintu depan layaknya para ndoro berkulit putih yang mereka layani dan tamu-tamunya. Belum lagi lumpur yang terbawa kaki telanjangnya sudah mengotori lantai.
Oh, benar saja. Meski sikap mbok Mitun itu sembah kawula(11), ngapurancang(12) dengan kepala tertunduk ke lantai, tak berani menatap mata majikan, dia masih sempat menangkap mata mbok-nya itu mendelik memperingatkannya. Sang gadis sudah yakin dia akan dihukum tidak mendapat jatah makan malam hari ini.
"Tolong bawakan handuk, buatkan wedang jahe hangat dan... bawakan juga poffertjes!"
Sang gadis mengernyitkan dahi. Wedang jahe hangat dan poffertjes, dia bisa mengerti. Sekarang amat dingin, meski tuan mudanya itu tak suka jahe, siapa tahu dia sedang ingin meminumnya untuk menghangatkan badan sambil mengudap poffertjes yang ia tahu pasti sangat disukai pemuda asal Belanda itu. Tapi handuk? Kenapa tuan mudanya itu membutuhkan handuk?
"Inggih, Ndoro.(13)"
Wanita paruh baya bertubuh gempal itu mengangguk takzim sebelum mendelik tajam ke arah putri angkatnya.
"Ayo, Nduk, mlebu. Lewat mburi, yo.(14)"
Ucapan mbok Mitun lembut,halus namun tajam, menusuk. Betapa sang mbok merupakan kontradiksi hidup.
Sang gadis menunduk dalam-dalam. Rambut hitam legam ikalnya yang tergerai, jatuh menutupi wajahnya.
"Biar Laras di sini saja, Mbok. Aku masih ingin bicara dengannya."
Sang gadis sontak tersentak. Mendongak menatap sang pemuda yang jauh lebih tinggi darinya. Sang mbok mengangguk takzim, lantas mundur dan bergegas memenuhi permintaan tuan mudanya itu. Sang pemuda tersenyum, menyadari kebingungan di wajah gadis itu. Sang mbok datang dengan seorang babu wanita lain tak lama kemudian. Wedang jahe panas dalam poci porselen cantik, lengkap dengan cangkirnya, juga poffertjes yang tampak menggoda di atas piring porselen. Semua tersaji rapi di atas nampan dan diletakkan mbok dengan rapi di atas meja. Sementara babu yang lain menyerahkan handuk katun lembut pada Willem. Melambaikan tangannya, Willem mengisyaratkan agar dua pembantunya itu menyingkir. Keduanya pamit setelah membungkuk hormat.
Melihat semuanya dengan penasaran, Laras beranjak takut-takut saat Willem menyuruhnya mendekat. Memang majikannya yang satu itu yang telah memperjuangkan haknya belajar menari pada tuan besar yang tak lain adalah Residen untuk kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dan sudah bukan rahasia bahwa ia menyayangi tuan mudanya itu. Tapi tetap saja...
.
PLUK.
Sebentuk kain tebal lembut jatuh di atas kepalanya, diikuti gosokan perlahan mengeringkan rambutnya. Laras mendongak. Senyum dan tatapan lembut Willem menyambutnya.
"Kau bisa sakit kalau hujan-hujanan begitu."
Laras tersenyum, menikmati perlakuan istimewa dari Willem. Sejak awal Willem selalu mengistimewakan Laras di atas babu yang lain. Dia diperbolehkan belajar menari, dia diajari menulis dan membaca diam-diam oleh Willem, dia juga yang sering dipanggil Willem untuk menemaninya di waktu luangnya. Dia akan mengisahkan Ramayana dan dongeng yang mbok ceritakan untuknya tiap malam pada Willem, menarikan apa yang ia pelajari tiap harinya di sanggar, juga menembangkan berbagai tembang. Tembang dolanan, macapat...
Ya, bagi Laras, keberadaan Willem juga istimewa.
"Nah, bagaimana kalau sambil menunggu rambut dan bajumu kering, kau menemaniku minum wedang jahe, makan poffertjes, dan menceritakan tentang apa yang kau pelajari di sanggar hari ini juga melanjutkan kisah Ramayana yang dulu?"
Laras mengangguk semangat, senyum tersungging di bibirnya. Sebelum dia mulai berceloteh, berkisah dan menembang.
.
Bapa Pocung, dudu watu dudu gunung..
.
Laras bersenandung. Perlahan mengikuti tembang yang sudah berganti judul.
Pocung.
Tembang yang ceria. Dan mengandung teka-teki. Menyenangkan sekali menembang untuknya dulu dan tertawa mendengar dia salah menebak.
Willem...
Laras menggelengkan kepalanya. Cinta pertamanya adalah seorang Belanda dan kini ia menjadi telik sandi yang menghancurkan pasukan kompeni itu dengan lenggok tubuhnya.
Senyum tersungging di bibir berbenges(15)merah Laras, senyum buatan yang memukau setiap mata. Pantulan dirinya dalam cermin yang dihadiahkan seorang komandan Belanda, yang entah dia sudah lupa namanya, tampak sempurna. Laras tampak menawan, dengan dandanan lengkap, dodod(16) hijau cerah, sampur sutra kuning berbenang emas, cundhuk menthul (17) emas, juga serangkaian melati yang tersemat di gelung bokor(18)-nya.
"Nduk Laras?"
Laras menoleh. Mbok Minah, pelayan yang diperintah Kanjeng Putri untuk menemaninya, berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ada apa, Mbok?"
.
Sang mbok menggigit bibir.
.
"Kyai Maja..."
Laras mengernyitkan dahi. Kyai itu salah satu pemimpin pasukan Kanjeng. Pria baik yang terlalu lembut untuk berada di garis depan pertempuran.
"... mangkat(19)..."
0—0—0—0—0—0—0—0—0—0
Dia menyukai segala hal tentang seni. Sangat. Dia bisa memainkan biola dan harmonika, paling suka menikmati musik dan lukisan, juga sedikit banyak memahami wayang, gamelan dan tembang Jawa walau dia kelahiran Den Haag, Koninjkirk der Nederlanden di Eropa sana. Terima kasih kepada gadis kecilnya yang mengajarinya dulu. Yang dengan cerianya berceloteh tentang kisah Ramayana dan menembang macapat dengan merdu.
Namun melihat pasukannya, Peleton Artileri V, tertawa, menenggak tuak dan bir, dan menggoda para ledhek membuatnya mual. Karena itu atau karena dia sudah terlalu banyak menenggak bir dan menghisap tembakau bercampur ganja dari pipanya.
Ledhek-ledhek itu dipanggil khusus untuk menghibur pasukan mereka yang baru saja berhasil membunuh Kyai Maja. Salah satu pemimpin spiritual pasukan Pangeran Diponegoro. Sebagai pemimpin pasukan yang berhasil menembak buruan, tentu saja dia dielu-elukan. Namun dia tak suka keramaian begini. Selepas melakukan penghadangan atau berperang di garis depan, dengan kata lain mempertaruhkan nyawa, ia lebih suka menyendiri. Sendirian dalam baraknya, dengan pipa kesayangannya, racikan tembakau pilihan dan sedikit ganja, setumpuk perkamen bertulis alfabet dan huruf Jawa dalam goresan tangan seorang anak kecil dan sebuah potret : dirinya dan seorang gadis kecil pribumi dengan rambut digelung berhias rangkaian melati.
Laras...
Dia merindukan gadis kecilnya. Yang manis, yang cantik, yang polos, yang selalu bersemangat, yang lihai menari, yang pandai menyenandungkan macapat, yang selalu mempercayainya apapun yang terjadi. Yang tanpa sengaja sudah ia khianati harapannya dengan kepulangannya, atau lebih tepatnya kepergiannya ke Belanda. Yang telah terpisah darinya, tanpa ia ketahui rimbanya, selama 5 tahun ini.
Satu-satunya alasan kenapa dia mati-matian menolak perjodohannya di negara asalnya sana dan memilih masuk kemiliteran. Satu-satunya alasan kenapa dia bersikeras kembali ke Hindia Belanda, ke Ngayogyakarta secepatnya.
"Yoo! Kapten Willem! Goedenacht(20)!"
Tepukan keras di punggung Willem van Damme membuat pria itu menegakkan punggungnya, menatap tajam siapa yang barusan meremukkan punggungnya.
Lars Anderson, ajudannya, ahli senjata api paling mumpuni di pasukannya, penyelidik handal yang memiliki naluri setajam anjing pelacak, sekaligus sobat karibnya.
Sang sobat nyengir, mata biru langitnya menyipit sekilas, meletakkan gelas bambu berisi tuak di meja di depan sang komandan dan duduk, "Bukannya kau suka seni, eh, Will? Kenapa malah duduk di pojokan begini?"
Willem melengos, menunjuk ke panggung sana, di mana dua orang ledhek sedang menari, dikerubungi empat orang anggota pasukan mereka yang pribumi, "Ini prostitusi, bukan seni."
Pemuda berambut pirang tembaga itu menghela nafas. Sahabatnya itu tajam seperti biasa. Tajam, sinis, dingin dan fokus pada tujuan. Pecinta seni yang lurus, selalu tenang menghadapi pertempuran, brilian menyusun strategi penyerangan dan tak pernah bisa dikacaukan oleh wanita. Jujur saja, Lars terkejut saat mendengar sahabatnya itu menolak perjodohan yang diatur sang ayah yang notabene mantan Residen Ngayogyakarta itu. Calonnya putri seorang Lord, demi Tuhan. Dan dia bersikeras menolak. Tak peduli sang ayah mengancam akan menghapus namanya dari silsilah keluarga. Dia malah memilih masuk militer, menyusul Lars yang sudah duluan masuk. Menyebalkannya, ia menjadi komandan hanya dalam tempo 5 tahun, melampaui Lars yang sampai detik ini masih wakil komandan. Meski banyak orang yang menggosipkan dia bisa mencapainya karena nama sang ayah, Lars tahu benar itu semua karena kemampuan Willem sendiri.
Semua anggota pasukan mereka tahu bahwa Willem seorang komandan yang memperhatikan pasukannya. Dia hafal nama tiap anggota pasukannya yang berjumlah 50 orang, tahu asal daerah dan bahkan hafal nama anggota keluarga dan kondisi keluarga pasukannya. Willem dekat dengan pasukannya tapi tak ada pasukannya yang cukup dekat dengannya untuk mengetahui alasan kenapa Willem tak pernah mau ikut berpesta pasca tiap perang yang mereka menangkan.
Selama setahun terakhir dia memimpin pasukannya, baru sekali ini dia mau diseret keluar dari baraknya. Terima kasih pada Lars yang mengancam akan membeberkan aib masa kecil Willem jika Willem tidak mau ikut merayakan kemenangan besar pasukan mereka kali ini, yang bahkan membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadiahkan puluhan keping emas kepada pasukan mereka.
"Kau tahu, kelakuanmu itu menguatkan rumor yang beredar di antara pasukan..."
Willem yang meneguk birnya, mengernyitkan dahi,
"...bahwa kau itu pecinta sesama jenis dan aku adalah kekasihmu."
dan menyemburkan birnya sedetik kemudian.
Untungnya refleks Lars cukup bagus untuk menghindari semburan bir dadakan itu.
"Apa-apaan itu?"
"Willem van Damme, kau menolak pertunangan dengan putri seorang Lord, memilih masuk militer dan tidak pernah tergoda sekalipun oleh puluhan perempuan yang menyodorkan tubuh mereka padamu. Tidak heran semua orang berpikir kau impoten atau memang tak berminat pada wanita, dengan kata lain, pecinta sesama jenis. Dan kau sadar tidak, kalau satu-satunya orang yang bisa berbicara denganmu selama lebih dari 30 menit dalam pasukan ini cuma aku?"
Ekspresi dingin yang selama ini terpampang di wajah Willem retak. Mulutnya ternganga sebelum dengan tampang seolah gila membenamkan wajah ke telapak tangannya.
Pria berambut pirang mentari itu mendesah, "Itu gosip terburuk yang pernah kudengar."
Lars tertawa renyah, menenggak tuaknya, "Rumor memang kejam, Kawan," tak peduli pria berambut pirang mentari di sebelahnya itu mendelik tajam padanya dari sela-sela jemarinya.
Masih terkekeh, Lars menatap ke arah panggung yang mendadak ramai. Tanpa perlu menajamkan matanya, dia bisa melihat ada tambahan tiga ledhek di atas panggung. Barangkali baru saja dijemput untuk memeriahkan suasana.
"Sugeng ndalu, Kangmas(21)," sebentuk suara halus mendadak bergema di pendapa seorang kepala desa yang pasukan mereka sulap jadi tempat pesta itu.
Lars menajamkan mata, mencari sosok empunya suara. Jujur saja, meski cukup paham bahasa Melayu, dia tak begitu mengerti bahasa Jawa. Willem satu-satunya orang Belanda yang paham bahasa Jawa di pasukan mereka. Satu-satunya alasan dia tertarik dan mencoba menjulurkan lehernya untuk mengetahui siapa yang datang hanyalah suara itu. Lembut. Halus.
Dan entah kenapa, Willem juga bereaksi. Apalagi ketika tidak seperti yang lain, ledhek itu mulai menembang. Willem yang hanya keluar beringasnya waktu bertempur mendadak menyambar lengan salah seorang pasukan pribumi yang kebetulan berada di dekatnya.
"Sapa kuwi?(22)"
Nah, dengan nada suara sekasar itu, tak heran jika pihak yang ditanyai gemetaran ketika harus menjawab bukan?
"S-sinten?(23)"
"Ledhek yang sedang menembang Dhandanggula."
Lars mengangkat sebelah alisnya. Willem tahu judul lagu yang sedang dinyanyikan ledhek itu?
"A-Arumdalu, Meneer."
Arumdalu. Bunga sedap malam.
Kata itu memicu kenangan yang mendadak mewujud dalam kepala Willem.
.
.
Dia suka sekali mendengar gadis kecil itu menembang. Apalagi sekarang tembang yang dikuasainya makin beragam. Tak hanya tembang dolanan macam Semut Ireng, atau tembang macapat seperti Pocung dan Kinanthi. Namun mulai beranjak ke Megatruh yang memelas pun Dhandanggula yang mengisahkan asmara.
Dan harus Willem akui, gadis kecil yang ia sayangi itu makin hari makin menawan.
Lihat saja pipinya yang merona, bibirnya yang penuh dan merah delima, ikal rambut hitamnya yang tergerai jatuh ke pinggang, juga mata jatinya yang tak hentinya memerangkap tatap mata zamrudnya.
Tuhan, salah apa dirinya hingga harus jatuh cinta pada bidadari kecil itu?
Ya, walau tak pernah ia ucapkan, Willem mulai memendam rasa pada babunya yang satu itu. Satu-satunya babu yang ia ijinkan belajar menari dan menembang, yang ia ajari baca tulis alfabet dan ia haruskan menemaninya ke manapun ia pergi selama berada di rumah. Satu-satunya babu yang membuatnya harus berucap kebohongan ketika mengatakan bahwa ia sudah menganggap babunya itu layaknya adik sendiri.
Bah. Adik apaan. Willem bukan penganut aliran incest. Dia juga bukannya menyukai anak kecil. Tapi gadis yang satu ini, yang terkadang menampakkan kedewasaan di usianya yang baru 10 tahun itu telah memerangkap hatinya tanpa ia sadari. Persetan jika umur gadis itu separuh umurnya dan gadis itu bukan keturunan ningrat Kerajaan Belanda yang rencananya akan ditunangkan dengannya.
Entah apa yang membuat Willem tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Tariannya? Senandungnya? Gelak tawanya? Atau cemberut bibirnya kala kesal?
"Ndoro mendengarkan kata-kataku tidak?"
Seperti sekarang.
"Eh?"
Sejak kapan Laras berhenti menembang Dhandanggula?
Gadis kecil itu cemberut, "Ndoro memang tidak mendengarkanku."
"Het spijt me(24), Laras. Tadi ada yang kupikirkan."
Argh. Kenapa juga senyum majikannya ini begini sakti? Sampai-sampai kekesalan Laras langsung lenyap demi melihat senyum itu melengkung demi dirinya.
"Memang kau bertanya apa?"
"Ki Bambang dan Mbok Mi disuruh Ndoro Putri menanami kebum belakang. Akan ada banyak sekali bunga yang ditanam. Melati, kamboja, mawar. Macam-macam. Kami juga akan menanam bunga yang Ndoro suka. Bunga apa yang Ndoro sukai?"
Sejujurnya, Willem ingin menjawab pertanyaan itu dengan nama si penanya. Tapi itu akan terlalu frontal juga gombal. Bisa-bisa Laras dipaksa menjauhinya jika perasaannya itu ketahuan. Tidak. Tidak.
"Tulip."
"Tulip?"
Laras menelengkan kepalanya. Manis.
Willem tersenyum, "Ya. Bunga kebanggaan Koninjkirk der Nederlander. Kerajaan kita. Cantik sekali. Bentuknya seperti gaun terbalik. Kelopaknya lembut dan warnanya beragam. Sayang, bunga itu tak bisa ditanam di sini."
Laras menyeletuk, "Kenapa tidak?"
"Karena tidak ada bibitnya, Laras."
"Kita bisa coba menanamnya di sini."
Gadis itu berkeras.
"Tentu, tapi akan makan waktu berbulan-bulan untuk mengirimkan bibit bunga itu dari Amsterdam," Willem menggelengkan kepalanya, "Tetap saja tidak bisa,Laras."
Laras merengut.
"Kalau begitu, ada yang lain? Yang bisa kami temukan bibitnya dan tanam di kebun?"
Willem terpekur sejenak.
"Ndoro?"
Willem menatap lurus mata Laras.
"Bagaimana kalau bunga sedap malam?"
"Bunga sedap malam? Arumdalu?"
Willem mengangguk.
"Ya. Arumdalu. Bunga itu sangat harum di kala petang. Dan juga cantik dipandang mata di kala terang. Bunga yang keindahannya bisa dinikmati kapanpun juga. Bunga yang tepat untuk ditanam di taman bukan?"
Bunga kedua setelah melati yang mengingatkanku tentangmu, tambah Willem dalam hati.
Laras tersenyum lebar. Kalau bunga sedap malam, dia bisa dengan mudah menemukan bibitnya di hutan sana. Semudah menemukan daun pisang untuk dijadikan bungkus bothok buatan Mbok Mi.
"Kalau begitu, besok aku akan mencari bibitnya di alas(25) sana. Ndoro tinggal menunggu bunganya mekar bulan depan."
Willem mengangguk, tersenyum lembut, demi menanggapi senyum cerah gadis pribumi yang duduk di sebelahnya itu.
.
.
Pria berambut pirang tembaga di sebelah Willem itu menepuk bahu sang sobat yang mendadak membeku di tempat.
"Will? Willem? Dunia nyata memanggil..."
Ketika mata sang sobat kembali fokus dan menoleh sebagai respon atas panggilannya, Lars mendengus.
"Katakan padaku apa yang barusan terjadi ."
Willem tersenyum separuh.
"Hanya kilasan masa lalu."
Sayangnya tak ada gerakan yang bisa terlewat tanpa tertangkap mata sang penembak jitu itu. Tatap mata tak fokus itu, gestur resah tak kentara itu. Betapapun Willem pandai menampakkan pokerface andalannya, Lars tahu telah terjadi sesuatu.
"Hanya, eh?"
Senyum tipis. Lagi. Dan fokus mata zamrud itu kembali ke atas panggung. Ke sosok yang membuat seisi pendapa hening demi menyimak senandungnya.
Lars memicingkan matanya. Dia mencium sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang dirahasiakan seseorang yang ia klaim sebagai sahabat. Yang mungkin merupakan alasan terbesar sang sahabat mati-matian masuk militer dan meminta ditempatkan di Indonesia, ke tengah Perang Jawa yang sudah menguras kas kerajaan mereka. Alasan yang lima tahun ini tak pernah bisa ia korek dari pria berambut pirang mentari itu betapapun ia penasaran setengah mati dibuatnya. Dan ternyata sekarang ia mendapat sekelumit petunjuk?
Katakan halo pada Lars Anderson, sang penyelidik andalan Peleton Artileri V.
0—0—0—0—0—0—0—0—0—0
Laras tak pernah menyangka. Sama sekali. Kalau hal ini akan terjadi secepat ini. Begitu saja. Tanpa ia bisa duga sebelumnya.
Lima tahun ini, tak sekalipun dia melupakan pria itu. Pria Belanda cinta pertamanya. Majikannya dulu. Yang membuatnya memilih nama Arumdalu sebagai nama panggung. Yang membuatnya berjanji akan terus menari apapun yang terjadi. Yang berjanji akan kembali padanya. Lima tahun lalu.
Padahal dia sudah berusaha melupakannya. Padahal ia sudah mencurahkan kehidupannya, tubuhnya, nyawanya demi kemenangan pasukan tanah tempatnya berpijak, sebagai telik sandi suami Kanjeng Putri yang memungutnya selepas kepergian sang pemuda kembali ke Belanda dan ibu angkatnya meninggal dunia. Padahal dia sudah mulai bisa memijak kenyataan dan mengusir angan-angan bahwa pria itu akan kembali.
Tapi kenapa?
"Laras..."
Sementara pria itu memeluk erat tubuhnya dan aroma tembakau, ganja dan bir bercampur jadi satu menguar dari tubuh pria berambut pirang mentari itu, menghantam indra penciumannya, beragam pertanyaan melintas otaknya.
Bagaimana pria bermata zamrud itu bisa ada di sini? Kenapa dia bisa diseret keluar pendopo setelah selesai menembang, ke dalam rumah yang asal dimasuki pria itu setelah mengusir dua pasang pasukan pribumi dan ledhek keluar, dan berada dalam pelukan tubuh pria itu? Bukannya dia dinikahkan dengan putri bangsawan di Eropa sana? Kenapa dia bisa mengenalinya? Padahal dia sudah begini berubah. Apalagi dalam dandanan lengkapnya sebagai ledhek seperti sekarang ini. Demi sang Hyang Widhi, apa yang sebenarnya terjadi?
Pria itu membenamkan wajahnya di bahu sang gadis yang kini lima tahun lebih tua, lebih dewasa, dari sejak terakhir kali mereka bertemu. Kehangatan tubuh yang ia dekap, wangi keringat dan melati yang menyerbu hidungnya. Ini bukan ilusi.
"Aku menemukanmu."
Bisikan pria itu di sisi telinganya membuat bulu kuduknya meremang. Kokoh lengan yang memeluknya, aroma bir, ganja dan tembakau dari mulutnya. Ini bukan sekedar angan-angannya.
"Aku menemukanmu, mijn liefde(26)..."
Perlahan, sepasang lengan kuning langsat mulai merayap naik ke punggung pria Belanda tanpa disadari pemiliknya, membalas pelukan yang sudah ia nantikan lima tahun ini.
Tak peduli pada posisinya sebagai telik sandi. Tak peduli pada kenyataan bahwa kini keduanya berada pada dua kubu yang berseberangan. Tak peduli pada apa yang mungkin terjadi esok hari.
.
Sementara itu, dua pasang mata dari arah berbeda mengamati adegan pertemuan kembali itu tanpa mereka sadari.
Sepasang mata sebiru langit memperhatikan mereka dari sela pintu rumah dengan tatapan mata penuh spekulasi dan cengiran serta rasa ingin tahu membuncah di matanya.
Sepasang mata coklat mengawasi dengan tatap penuh selidik, awas dan bibir terkatup rapat dari sela jendela di sebelah barat rumah, bersiap melaporkan segala yang ia lihat pada Kanjeng Putri dan atasannya langsung yang tak bukan tangan kanan Kanjeng Pangeran(27).
Bersambung...
1) Tu, wa, ga, pat. Tu, wa, ga, pat. Ayo, jangan mengobrol terus. Nduk, selendang itu dipakai menari bukan untuk bermain.
2) Tuan.
3) Mbak Laras! Ginah, tuh~!
4) Bukan aku! Painem duluan, Mbak!
5) Nak Laras~!
6) Sudah waktunya, Nak.
7) Semacam lulur untuk 'menguningkan' kulit. Wanita Jawa dulu dianggap cantik jika berkulit kuning.
8) Nyonya Besar; Mistress.
9) Semacam piring kecil dari tanah liat.
10) Tuan.
11) Tunduk bawahan.
12) Posisi tangan saling genggam di depan pusar. Posisi yang dianggap sopan dalam adat tata krama Jawa.
13) Iya, Tuan. (Bahasa Jawa Krama Inggil)
14) Ayo, nak, masuk. Lewat belakang, ya.
15) Semacam gincu (lipstik).
16) Kain yang digunakan kemben.
17) Tusuk konde dengan hiasan yang bergoyang-goyang di atas kepala saat pemakainya bergerak.
18) Sanggul yang berbentuk seperti mangkuk.
19) Gugur.
20) Selamat malam.
21) Selamat malam, Kangmas. (Bahasa Jawa Krama Inggil)
22) Siapa itu?
23) S-siapa? (Bahasa Jawa Krama Inggil)
24) Maafkan aku.
25) Hutan.
26) My dear; kasihku.
27) Tuanku Pangeran.
Ahaha… kebanyakan footnote, ya? Maklum, bertebaran istilah tari dan bahasa Jawa di sini. Chapter berikutnya –kalau dibolehin publish- saya usahain jumlah istilahnya berkurang, ya…
Read and review, ya! ^^
Luv,
sherry
