Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: fantasy, OOC, typos, alur cepat, dll
Dont like dont read!
AN: ini sebenarnya fic untuk event NaruSaku. Tapi terlalu panjang. Jadi yah... aku jadikan two-shot biasa :)
terinspirasi dari Beauty and the Beast, Snow White, dan Frozen. Semua ini dari Disney :)
Enjoy!
Chapter 1
.
.
.
.
.
"Kutukan itu akan lepas dari dirimu jika salju yang menyeliputi Konoha meleleh.
Satu-satunya cara untuk membuat salju meleleh adalah rasa cinta.
Jika ada orang yang membalas cintamu, badai salju akan berhenti dan musim semi akan kembali ke Konoha.
Sampai saat itu tiba, kau tetap akan menjadi monster.
Selama-lamanya."
Dengan tawa menggelegar, sang penyihir berjubah putih lenyap dari hadapannya. Naruto hanya terpaku, menatap ruangan yang sekarang kosong itu.
Mimpi. Ini mimpi.
Dia baru saja membuka matanya, hendak ke toilet dan di depannya sudah ada… penyihir? Penyihir itu berjampi-jampi dan sebelum Naruto sempat menjawab, penyihir itu sudah menghilang.
"Dia penyihir? Tidak mungkin. Dia tidak tertawa cekikikan sambil terbang dengan sapu lidi." Naruto tertawa. "Selain itu… aku tidak pernah berbuat sesuatu yang jahat, tidak seperti pangeran-pangeran yang lain. Lagipula mengutukku jadi monster? Ini bukan dongeng." Sang pangeran dari kerajaan Konoha itu berjalan ke arah toilet di pojok kamarnya. Dia berjalan melewati cermin. Sesaat, matanya bertemu dengan bayangan di cermin.
Di detik berikutnya, jeritan sang pangeran nyaris membangunkan semua penghuni kerajaan.
xxx
Jaman dahulu kala, di tanah yang jauh sekali, berdirilah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja tersebut masih muda, namun berhasil menghentikan perang dan membawa kedamaian di seluruh Konoha. Minato Namikaze namanya. Sang raja hidup bahagia, dengan berkat dan kasih sayang dari semua rakyatnya. Kebahagian di Konoha seakan-akan menyebar di kerajaan itu sendiri, membuat tanah dan lahan menjadi subur.
Namun, meski dilimpahi kekayaan dan kasih sayang, sang raja merasa bahwa ada sesuatu yang kurang. Dia menginginkan keluarga. Meski ramai wanita yang mencintainya, Minato Namikaze tidak merasakan apa pun terhadap mereka.
Suatu hari, ketika sang raja sedang berjalan-jalan di hutan bersama pengawalnya, dia menemukan rubah. Rubah tersebut berbulu merah. Sang raja terpikat pada rubah mungil itu. Dia meraih sang rubah, membawanya ke kerajaan.
Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa sang rubah bisa menjelma sebagai wanita berambut merah yang mempesona. Di tatapan pertama, sang raja langsung jatuh cinta pada wanita itu dan melamarnya.
Dan tentu saja, wanita rubah itu adalah satu-satunya wanita yang tidak takhluk pada wajah tampan sang raja. Raja tersebut butuh waktu nyaris setahun untuk meluluhkan hati sang rubah. Wanita rubah itu bernama Kushina. Dia mencintai sang raja, namun ragu untuk menikah dengannya. Hal itu karena Kushina adalah wanita yang sudah menjadi wadah dari monster yang mematikan. Jika wanita itu melahirkan anak, maka segel itu akan lepas dan sang monster akan menyerang kerajaan.
Dilanda kesedihan, Minato dan Kushina tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun tak lama kemudian, datanglah seorang penyihir bernama Madara. Beliau mengenakan jubah putih, memasang senyuman lebar di wajahnya. Dia menawarkan sesuatu untuk sepasang kekasih itu.
'Akan kuambil monster itu dari tubuhmu. Kau akan selamat dan menjadi manusia biasa. Kalian bisa menikah dan hidup bahagia untuk selama-lamanya. Tapi salju yang dingin dibutuhkan untuk membekukan monster itu. Aku akan menciptakan semua salju itu. Selama sembulan bulan, salju akan muncul di Konoha dan membekukan monster itu. Setelah sang ratu berhasil melahirkan dengan selamat dan siap untuk menjadi wadah lagi, aku akan mengembalikan monster itu di tubuhmu. Di saat yang sama, salju itu akan menghilang dari kerajaan Konoha dan kesuburan Konoha akan kembali.
Setelah banyak pertimbangan bersama para tetua, sang raja akhirnya setuju. Mau bagaimana pun, penerus sangat dibutuhkan dan sang raja menolak untuk menikah dengan wanita mana pun selain Kushina.
Kushina berjanji setelah dia melahirkan penerus, dia siap untuk menjadi wadah bagi sang monster lagi. Dengan begitu, kesuburan tanah Konoha akan kembali.
Namun, sang penyihir berpendapat lain. Dia sangat menyukai salju. Rasa dingin itu dia butuhkan untuk membuat kulitnya tetap awet muda. Setelah menikmati rasa dingin yang berlimpahan, dia menjadi serakah. Dia tidak ingin mengembalikan kyuubi karena hal itu berarti dia harus melelehkan salju yang dibuatnya. Maka, dia meracuni Kushina setelah wanita itu melahirkan sang penerus. Sang ratu tidak pernah membuka matanya dan tidak bisa menjadi wadah monster. Wanita itu tidak pernah bangun sampai sekarang. Sang raja jatuh di dalam depresi. Tanah Konoha dilanda musim salju yang panjang.
Sejak ratu Konoha tertidur panjang, tidak ada siapa pun yang bisa menjadi wadah kyuubi. Tidak ada seorang pun, kecuali...
"Tunggu! Jadi… aku mewarisi kekuatan Ibu. Aku mempunyai roh yang kuat sehingga aku bisa menahan monster itu di dalam tubuhku? Dan jika aku menjadi wadah sang monster… salju akan meleleh dan tanah Konoha bisa kembali subur?!"
"Tepat sekali."
"Tapi si penyihir itu bilang kalau dia akan melelehkan salju kalau ada yang membalas cintaku!"
Para tertua terdiam, menatap satu sama lain dengan tatapan depresi. Sang raja membekap wajahnya, menatap anak kandungnya dengan tatapan putus asa.
"Kita ditipu."
"APA?! Lalu, bagaimana denganku?! Aku setuju menjadi wadah karena dengan begitu aku bisa menyelamatkan Konoha! Aku bisa membawa kembali kesuburan! Tapi apa-apaan ini?!" Naruto Namikaze menjerit, menatap bayangannya untuk kesekian kalinya. "Aku sudah bukan manusia!"
Di depannya, terpantul bayangan seorang… seekor monster. Naruto masih mengenakan jubahnya. Dia masih mengenakan mahkotanya. Namun, telinganya sudah digantikan oleh telinga merah panjang. Sepasang mata itu tidak lagi berwarna biru, melainkan merah darah. Garis-garis kumis yang tebal muncul di wajahnya, membuat wajahnya terlihat seakan-akan baru saja disayat. Wajahnya yang mulus itu diselimuti bulu kemerah-merahan yang tipis. Tubuhnya menjadi dua kali lebih besar, taring mencuat dari mulutnya. Kuku-kuku tajam menghiasi jari-jarinya.
"Aku bukan menjadi wadah monster lagi, Ayah." Naruto menatap ayahnya dengan tatapan ngeri. "Akulah monsternya."
xxx
Naruto sudah muak. Muak dengan taring yang mencuat, membuatnya sulit berbicara. Muak dengan tubuhnya yang besar, membuat lantai bergetar setiap kali dia berjalan. Muak dengan para tetua yang terburu-buru lari menjauhinya.
Dia muak dengan semua tatapan 'kau-monster' itu.
Bahkan, ayahnya sendiri menatapnya dengan tatapan merana.
Dalam hitungan hari, Naruto memutuskan meninggalkan kamarnya dan menetap di ruangan bawah tanah di mana sinar matahari tidak bisa masuk. Dia tahu bahwa itu ruangan khusus untuk para penjahat, namun dia tidak peduli. Di ruangan yang sangat gelap dan dingin itu, tidak ada yang melihat sosoknya. Dia tidak keberatan hidup di dalam kegelapan dan kedinginan. Mata monsternya itu bisa melihat dengan jelas. Bulunya membuatnya hangat. Naruto tersenyum lebar, mengabaikan taring yang mencuat itu. Dia akan mencoba untuk tetap positif dan ceria. Namun, setiap kali seseorang masuk untuk menaruh makanan di ruangan Naruto, orang itu akan bertemu dengan sepasang mata berwarna merah darah di kegelapan. Di detik berikutnya, jeritan kembali terdengar.
Dalam hitungan minggu, rumor tentang monster yang menghuni penjara mulai tersebar di seluruh kerajaan.
Dalam hitungan bulan, rumor bahwa pangeran Naruto Namikaze tewas dimakan monster sudah tersebar di seluruh Konoha. Monster tersebut dengan serakah menghabiskan tubuh pangeran yang baik hati itu. Monster itu juga yang memakan jiwa sang ratu 19 tahun yang lalu sehingga sang ratu tidak pernah lagi membuka matanya. Entah bagaimana, semua rakyat yakin bahwa monster itu juga yang membawa salju yang tidak pernah meleleh.
Naruto mencoba untuk ceria.
Dia benar-benar mencoba untuk tetap menjadi dirinya sendiri.
Namun, setelah menerima semua lemparan batu, cacian dan jeritan ketakutan dari pengawal dan pelayan, keceriaan Naruto hilang sepenuhnya.
Dia bukan lagi pangeran baik hati yang membagikan makanan pada rakyat.
Dia bukan lagi pangeran yang suka bermain dengan anak-anak desa.
Dia bukan lagi pangeran yang dicintai rakyat.
Dia monster.
xxx
"Naruto. Di setiap masalah selalu ada solusi." Minato berbisik pelan. Dia menggenggam lilin, menatap putranya di remang-remang. "Dan kalimatku itu masih berlaku sampai sekarang. Pasti ada solusi di masalah ini."
Naruto tidak menjawab. Mata merahnya menatap ayahnya dengan tajam. Dia bisa melihat kerutan di wajah Minato. Kerutan itu bertambah. Rambut ayahnya memutih.
"Apa yang kau lihat dariku?" Suaranya dalam dan serak. Naruto tertawa pelan ketika mendengar suaranya yang sudah lama tidak dikeluarkan itu. Tawa Naruto bergema di ruangan, membuat Minato mengernyitkan dahi. "Ayahanda. Oh raja Konoha. Apa yang kau lihat dariku?" Mata merah itu mendelik tajam. Naruto tidak buta di kegelapan itu. Matanya semakin tajam. Dia bisa melihat bayangannya sendiri dari mata ayahnya.
Dalam setahun ini, sosoknya berubah banyak.
Taringnya semakin mencuat. Kukunya memanjang, tidak terawat. Tubuhnya diselimuti bulu merah. Rambutnya yang pirang itu sudah berubah menjadi merah darah, menyatu dengan bulu di tubuhnya.
Minato tidak menjawab. Dia menarik napas dalam-dalam, menatap monster di depannya dengan tajam. "Kau Naruto. Kau putraku. Dan kau akan selalu menjadi putra yang sangat kusayangi."
Naruto tidak menjawab. Matanya masih menatap Minato. Dia tidak menemukan tatapan kesakitan dan prihatin itu lagi.
Untuk pertama kalinya, ayahnya melihatnya sebagai Naruto lagi.
"Dadaku terasa sesak. Mataku terasa pedih." Naruto berbisik pelan. "Ternyata, aku masih Naruto yang suka menangis, meski tubuhku begini." Dia tertawa kaku, suaranya bergetar.
"Naruto… ini semua salah…"
"Tidak. Ini salah si penyihir itu." Naruto menjawab langsung.
"Kita bisa memperbaiki ini. Kita cukup menemukan orang yang mau mencintaimu." Minato terseyum lebar. "Kau ingat Hinata? Putri kerajaan sebelah yang seumuran denganmu? Dia sudah tergila-gila padamu sejak dulu. Kita undang dia. Kita jelaskan situasinya dan aku yakin dia pasti mau mengerti. Dia sangat baik dan…" Ucapan Minato terputus ketika mendengar tawa Naruto yang menggelegar.
"Hinata? Aku ingat. Dia selalu pingsan ketika melihatku. Aku masih normal pada waktu itu. Kira-kira bagaimana reaksinya ketika melihatku sekarang?"
"Naruto. Kita harus coba dulu…"
"Aku suka Hinata." Naruto memotong lagi. "Dia baik. Aku sangat menyukainya. Dia memasak untukku. Masakannya enak. Dia memberiku obat salep ketika aku terjatuh."
"Lalu, apa lagi yang harus kita tunggu? Ayo sekarang…"
"Aku tidak mencintainya." Ucapan Naruto membungkam Minato. "Kutukan ini hanya akan lepas jika ada orang yang membalas cintaku. Aku yakin kau mengerti perasaanku. Kau menantang para tetua gila-gilaan ketika mereka memaksamu menikahi wanita lain."
Minato tidak bisa berkata apa-apa, menatap putranya dengan putus asa. Naruto meringis, menunjukkan taringnya yang tajam. "Selain itu… ada hal lebih penting yang ingin kubicarakan."
"Naruto. Tidak ada yang lebih penting dari…"
"Pendengaranku super tajam. Dan aku bisa mendengar ucapan para pengawal di luar sana. Dalam waktu beberapa bulan, akan ada kudeta."
Minato terpaku.
"Mereka menduga kalau sang raja sudah gila karena kepergian istrinya. Dia membuat kontrak dengan monster supaya monster itu tetap melestarikan tubuh istrinya dengan cara membuat Konoha ini terselimuti dengan salju."
Mata Minato memancarkan kemarahan. "Ap…"
"Tentu saja tidak benar. Ibu masih hidup. Hanya saja tidak bisa bangun. Dan kau tidak membuat kontrak dengan siapa pun, kau ditipu penyihir. Monster itu adalah aku. Tapi siapa yang percaya dengan cerita itu? Toh Ibu sudah tidak pernah bangun sejak aku bayi. Itu sudah berapa lama? Sembilan belas tahun? Dua puluh tahun? Tentu saja rakyat mengira bahwa sang ratu sudah tewas." Naruto mendengus. "Intinya. Sebelum kudeta, akan ada mata-mata disini. Kita tidak tahu siapa. Mereka akan mengeledah seluruh isi istana untuk mencari monster itu. Jika monster itu tidak ditemukan, maka kudeta tidak akan terjadi."
Minato tidak bisa berkata apa-apa. Dia menatap putranya. Dan kali ini, sorot mata kepedihan itu kembali muncul.
"Aku harus pergi." Naruto berbisik pelan.
"Naruto… aku…"
"Aku mencintai kerajaan ini, tidak peduli seburuk apa mereka memperlakukanku. Aku mencintai Konoha." Naruto menatap Minato. "Aku mencintaimu, Ayah. Aku tidak bisa kehilanganmu juga." Lelaki itu memejamkan mata, membayangkan Kushina yang tidak pernah bangun.
Air mata meluncur dari sudut mata Minato. Untuk pertama kalinya sejak setahun ini, Naruto kembali memanggilnya 'Ayah'. "Naruto… kau tidak bisa keluar sana… apa yang akan terjadi kalau ada yang menemukanmu…"
"Ayah, kau selalu bilang kalau kau akan mementingkan Konoha. Kau tahu kalau jika ada kudeta, keharmonisan Konoha akan hancur." Naruto meringis. "Kau tahu kalau keputusanku ini benar."
Minato menghapus air mata dari wajahnya. "Kapan? Kapan kau akan…"
"Dua malam dari sekarang… bulan akan menghilang. Gerhana matahari. Pada saat itu aku akan melenyapkan diri."
"Setidaknya… bisakah kau bilang padaku kemana kau akan…"
"Tidak. Aku tidak bisa bilang." Naruto langsung menjawab. Tepatnya, aku tidak tahu kemana aku akan pergi dengan tubuh seperti ini. "Ayah, sebelum aku pergi, aku ada permintaan."
"Sebutkan. Akan kuberi padamu."
Naruto hanya punya beberapa permintaan. Beberapa koin emas, jubah panjang yang menutupi semua tubuhnya, dan dia meminta supaya ayahnya mengadakan pesta di istana di malam gerhana matahari.
Pada pesta itu, semua penghuni kerajaan berhura-hura, menikmati arak dan daging. Minato duduk di kursinya, ikut tertawa bersama rakyatnya. Ketika tarian dimulai, semua mata terpaku pada tarian itu. Pada saat itu, Minato menundukkan kepala, membekap wajahnya dengan tangan bergetar. Air mata merembas keluar dari jari-jarinya.
Di tengah hura-hura itu, seberkas cahaya merah melewati mereka tanpa mereka sadari. Naruto berlari dengan kecepatan kilat, keluar dari penjara bawah tanah. Sebelum dia keluar dari kerajaan, dia melompat masuk ke dalam menara kerajaan, menatap tubuh Ibunya yang terbaring di ranjang, terselimut kain satin. Dia bisa mendengar napas ibunya. Dia bisa melihat dada ibunya yang naik turun.
Ibunya masih hidup.
Senyum Naruto mengembang setiap kali dia sadar bahwa ibunya masih hidup, meski sekarang dia sedang tertidur lelap.
"Aku pergi dulu, Ibu." Naruto berbisik pelan. Dia mengulurkan tangan, hendak menggenggam tangan Kushina. Namun, Naruto menarik tangannya ketika melihat kuku-kukunya yang runcing dan panjang. "Aku menyayangimu dan Ayah. Dan aku janji kalau aku akan kembali. Pasti."
xxx
Naruto sadar bahwa dia bisa berlari lebih cepat dari cheetah, mempunyai mata lebih tajam dari elang dan pendengaran yang jauh lebih peka dari… apa pun. Intinya, dia jauh lebih superior dari makhluk mana pun. Aku akan mencoba mengendus bau penyihir itu dan membunuhnya. Naruto berpikir ketika dia sampai di hutan. Dia tidak tahu apakah itu berarti dia bisa melelehkan semua salju ini. Tapi, yang pasti, dia harus mencoba dulu. Dia tidak keberatan menjadi pembunuh. Toh, dia sudah menjadi monster. Tidak ada yang bisa membunuh penyihir itu kecuali dirinya.
Lelaki itu berjalan tanpa arah di hutan, sesekali mengayunkan tinjunya untuk memecahkan es di danau, menangkap beberapa ikan. Naruto berhenti berburu ikan ketika merasakan kehadiran seekor beruang. Binatang itu berhenti di depannya, mengendus Naruto. Naruto meringis, melempar ikan ke arah beruang itu. "Kau bingung ya? Ukuranku sama denganmu tapi aku memakai jubah manusia. Jangan khawatir. Selama kau tidak menerkamku atau menyerangku, kita bisa berteman."
Beruang itu duduk semakin dekat dengan Naruto, membuat lelaki itu bingung. Mau bagaimana pun, ada bau manusia yang menempel padanya. Kenapa beruang ini tidak menyerangnya? Atau setidaknya kabur? Mata Naruto terpaku pada perban yang menempel di kaki beruang itu.
Perban? Ada manusia yang merawat beruang ini?
"Kuma! Kuma! Kau di mana?"
Naruto tersentak, langsung meninggalkan semua ikannya dan melompat ke arah pohon terbesar. Dari puncak pohon, dia mengamati. Manusia? Di pedalaman hutan? Sang pangeran tidak habis pikir.
"Ah, Kuma! Di sini kau!"
Mata lancip Naruto melebar ketika dia melihat manusia yang mendekati beruang itu tanpa ragu. Sang beruang mendekati manusia itu, mengendus manusia itu.
"Iya. Iya. Aku bau gosong. Maaf, kue buatanku gagal." Wanita tersebut mengenakan jubah tebal, Naruto tidak bisa melihat wajahnya. "Eh… ada ikan bakar? Siapa yang membuat ini? Jangan bilang kau membakar semua ikan ini dan menghadiahkannya padaku?" Wanita itu tertawa.
Beruang bernama Kuma itu hanya mengusapkan hidungnya di jubah sang wanita.
"Tentu saja bukan kau. Pasti milik pemburu-pemburu sialan itu. Seenaknya menyakiti kalian semua hanya karena makanan berkurang saja. Raja sudah berusaha mendapatkan semua makanan meski Konoha diserang musim salju yang panjang tapi mereka memburu kalian seenaknya." Wanita itu menggeram. "Ayo, pergi. Ikuti dokter Sakura ini!" Wanita itu membuka tudung jubahnya, tersenyum lebar, menggaruk kepala si beruang.
Naruto tidak bisa berkata-kata. Matanya melekat pada wajah sang wanita. Wanita itu berambut pink pendek, mata hijaunya bersinar-sinar. Matanya tidak sedikit pun menunjukkan sorot ketakutan. Beruang di samping wanita itu mendengkur pelan, mengusapkan moncongnya di wajah sang wanita.
Jatung Naruto serasa mau meledak. Mulut Naruto terbuka lebar, matanya mengikuti punggung wanita yang berjalan pergi itu.
Namanya… Sakura?
"Aku… sepertinya aku jatuh cinta." Naruto berbisik pelan, tidak percaya dengan ucapannya sendiri.
TBC
AN: ini two-shots. Jadi di chapter berikutnya sudah tamat. :)
hope you like this one!
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
