Raceme
Naruto — Masashi Kishimoto
Raceme — Zuihara Ame
Sasufem!Naru
awas ranjau typo, OOC-ness, dan lain sebagainya
~selamat membaca~
.
.
Chapter 1: Recluse
Lilin di atas wadah yang menempel di dinding bergerak-gerak karena tiupan angin dari ventilasi udara. Petir menyambar di langit-langit. Air mata langit turun dengan derasnya. Langit hitam legam seperti mulut gua besar tiada berdasar. Desiran angin yang menyentuh kulit—yang sebenarnya sudah tua—sama sekali tidak bisa mengalahkan dingin kulitnya sendiri. Untuk yang kesekian kalinya ia melihat jam dinding tua di dinding yang bercat kusam.
"Tidak salah lagi. DASAR BODOH!" Suara pukulan keras terdengar menggema di rumah tua, besar dan gelap. Namun suara itu teredam oleh petir di luar.
Detakan jarum detik kembali berputar menjadi hitungan jam. Pukul dua dini hari lewat lima menit orang yang ditunggu-tunggunya belum kunjung pulang. Beberapa kali juga ia memasang telinganya, barangkali orang itu mengetuk pintu atau suara langkah kaki. Setidaknya itu pikirannya.
Hanya beberapa lilin yang masih bertahan. Lilin-lilin lain sudah hancur menjadi sasaran ketidaksabarannya. Ruangan itu menjadi semakin gelap.
Sambaran petir sudah berhenti. Hujan juga sudah mereda. Ia masih menunggu di bawah jam dinding tua itu. Tak lama kemudian, suara pintu besar derderit. Terlihat sosok kurus masuk dengan mengenakan mantel lusuh yang basah kuyub. Goresan-goresan di kulit karamelnya menimbulkan darah. Napasnya terengah-engah, badannya gemetaran. Dengan cepat sosok yang menunggu sedari tadi muncul dihadapannya. Tiba-tiba dengan satu tendangan meluncur di pipi yang memiliki tanda lahir. Dengan tendangan kuat itu ia tergolek mencium lantai kayu dan meneteskan darah dari sudut bibir dan salah satu lubang hidung. Tangannya yang basah dan bercampur dengan tanah mengusap darah itu kemudian tersenyum kecut. Ia kembali berdiri.
"Tendang aku lagi!" Katanya sambil berteriak.
Satu pukulan mendarat di perutnya. Ia tumbang.
"Naruto! Apa kau tidak tahu berterima kasih?!" Sol sepatu berhasil bertabrakan dengan perut wanita berambut pirang itu. Berkali-kali. "Berani-beraninya kau berteriak kepadaku!" Teriaknya di depan wajah Naruto. Ia mendendang lagi perut Naruto hingga Naruto bergeser tiga meter dari tempat sembelumnya. Merasa puas dengan itu dia meninggalkan Naruto. Saat sepatunya akan melangkah ke anak tangga, Naruto bersuara.
"Terserah kau apakan aku. Bahkan jika sampai aku matipun aku rela. Asal jangan kau hancurkan keluargaku. " Katanya mantap walaupun dengan menahan rasa sakit. Naruto berusaha berdiri tetapi ia sudah terlalu lemah.
"Cih! Dasar wanita bodoh!." Sasuke berbalik badan dan menghampiri Naruto. Ia mengangkat tubuh Naruto dan membawa ke kamar Naruto.
.
.
Jam tua berdentang. Dentangan yang kedua belas menunjukan pukul tiga dini hari. Naruto sudah tidur—setidaknya itu yang dilihat Sasuke—setelah para pelayan rumah tadi membersihkan luka, mengobati dan membersihkan diri Naruto. Sasuke masih berdiri dekat jendela kamar Naruto menghadap remulan yang bersinar setelah tertutup hujan dan awan. Dengan sesekali matanya melihat Naruto yang tidur.
Ia menghampiri Naruto. Jari tangan kanannya mendekat pada kepala Naruto, tapi dia ragu. Akhirnya ia tarik kembali jemarinya.
"Maaf." Bisiknya di telinga kiri Naruto. Dengan perhalan menggigit leher Naruto dan menghisap darahnya. Setelah dua teguk darah, ia kembali berdiri.
Suatu saat kau akan mengerti, Naruto.
Kemudian ia meninggalkan kamar Naruto, menutup pintu kamar dengan perlahan.
Sepeninggal Sasuke dari kamar itu, Naruto membuka matanya bersama dengan air mata yang menetes. Ia memegangi dadanya. Terasa sakit sekali. Denyutan disitu lebih sakit daripada denyutan akibat gigitan Sasuke yang ada di leher Naruto.
Rasanya sesak sekali. Dan ini juga memusingkan. Kepalanya seakan ingin pecah, hatinya berteriak-teriak. Seolah-olah hati itu disayat oleh garpu-garpu yang berkarat.
"Sudahlah, hentikan!" Teriaknya yang dipendam dalam tangisan. "Aku benar-benar tidak kuat!" Lagi.
Tapi bagaimanapun dia berteriak, dia memang sudah digariskan untuk tetap bertahan. Melawan segala sesuatu yang benar-benar membuatnya ingin lenyap dari dunia ini. Ini semua salah siapa?
Ibu, Ayah, Kakak, tunggu sebentar lagi.
.
.
Ruangan itu tetap gelap meskipun matahari sudah muncul. Naruto membuka matanya perlahan. Ia sedikit merintih karena perutnya yang masih terasa sakit. Menyibak selimut tebal berwarna putih tulang kemudian duduk dari tidurnya. Saat kepalanya menoleh pada meja samping tempat tidur, disana sudah tersedia roti dan susu. Naruto mengembuskan napas berat, kemudian dibukanyalah penutup gelas susu dan diteguk tidak banyak. Susu itu hampir dingin, berarti dia sudah tidak bangun seperti biasanya. Tangannya meraih roti, dan memakannya.
Setelah selesai sarapan, Naruto meninggalkan ruangan itu masih menggunakan piyama tidurnya. Ah, sejak tiga bulan yang lalu, semenjak bencana datang. Dengan bekas gigitan di leher, perlakuan keras, dicekoki darah, dipukul, ditendang, namun anehnya, para pelayan di rumah itu melayani Naruto dengan baik. Itu semua membuat dia frustasi dan membuat dia berpikir bahwa dia dilayani pelayan untuk disiksa oleh tuan pelayan itu sendiri. Kadangkala, ia malah menyakiti tubuhnya sendiri karena merasa jijik dengan itu semua. Seakan-akan, sentuhan dari pelayan-pelayan dan perlakuan Sasuke ditiap sentimeter kulitnya adalah parasit-parasit yang menggerogoti secara perlahan-lahan hingga masuk dalam perasaanya. Meskipun begitu, ia harus tetap menahan semuanya. Ini semua demi orang-orang yang ia sayangi.
Tangannya mengepal kuat, bibir bawahnya digigit sekejap. Dengan perlahan dia berjalan menyusuri lorong hingga ia sampai di depan pintu sebuah kamar yang luas. Disana, seseorang sedang duduk di kursi yang berlapis beludru warna merah hati mengahadap jendela. Sudah tau dengan kedatangan Naruto, seseorang itu mengangkat satu jari lalu menggerakkan jarinya sebagai isyarat agar Naruto datang padanya. Naruto menghela napas, dia bersiap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kakinya melangkah menuju orang itu. Ketika sampai di sisi kanan kursi, satu detik berikutnya posisi Naruto sudah pindah. Kini ia sedang duduk di kursi itu dimana ia di bawah orang yang kini tengah menyeringai dengan tatapan lapar.
Sekali lagi, Naruto harus menahan rasa sakit. Ia hanya yakin, suatu saat ia akan bisa keluar dari cengkraman vampir buas ini.
"Itadakimasu." Selanjutnya, gigi taring tajam menancap pada leher Naruto sebelah kanan. Naruto sedikit merintih. Dia merasakan darahnya mengalir masuk dalam rongga mulut, hingga darah yang megalir keluar akibat sesapan itu juga terasa. Darah yang disesap itu seakan tak mau pergi dari tubuh Naruto hingga menimbulkan rasa sakit yang seperti ini. Hampir sepuluh tegukan yang orang itu rasakan, dan tubuh Naruto juga perlahan-lahan mulai lemas.
Semula yang ia berpegangan pada kedua bantalan kursi, sekarang pegangannya kendur. Namun, Naruto masih bisa berbicara.
"Su-sudah cukup Sa-Sa-Sasuke." Bersamaan dengan nama Sasuke yang diucapkan, Sasuke menyudahi kegiatannya.
"Lihat, sekarang kau tidak bisa melakukan apapun." Sasuke mengusap darah di sisi-sisi bibirnya dengan jempol dan mengoleskan darah itu pada bibir Naruto.
"Kau memang cantik, dan enak." Sasuke mendengus penuh kemenangan.
"Diam kau, Sasuke." Tukas Naruto dengan lemah.
"Ya, aku akan diam," Sasuke mendongakkan dagu Naruto dengan jempolnya, "untuk sementara. Dan ku persilakan kau untuk mencari kebenarannya. Kebenaran yang membuat dirimu menjadi seperti ini." Sasuke membuang muka Naruto dengan sedikit kasar.
Hati Naruto mencelos. "Ya, aku akan menemukannya. Ketika aku menemukannya akan kupastikan bahwa kalianlah bangsa vampir yang bersalah. Akan kupastikan itu!"
"Hmm.. begitu.." Sasuke turun dari posisinya kemudian ia memandang jendela. "Kalaupun kau sudah memastikan, kupersilakan kau berteriak semaumu!"
"Kami manusia tidak bersalah! Keluargaku tidak bersalah! Sekalipun aku melihat orang-orang yang kusayangi, darah mereka, jeritan mereka, itu semua karena kalian!" Naruto berkata sambil berteriak dengan tenaga yang ia miliki sekarang. Suaranya juga parau. "Setiap air mataku, akan kupastikan kalian menerima hukumannya! Karena mereka juga menyayangiku!" Satu tetes air mata turun.
"Wah wah.. Tuan Putri memang selalu ingin melindungi rakyatnya. Ketika rakyat menangis, kau juga menangis. Ketika mereka tertawa, maka kau akan tertawa juga? Atau keluargamu akan tertawa juga? Sudahlah, anggap saja ini rumahmu."
"Sudah cukup dengan ocehanmu itu, Vampir! Kalian bangsa vampir Uchiha memang kejam!"
"Memangnya berapa umurmu hingga kau berani untuk menghentikan ocehanku? Dan tahu apa kau tentang bangsa Uchiha? Hm? " Sasuke berjalan ke samping kursi. Jari-jari tangan kanannya mencengkeram kedua pipi Naruto. "Lihatlah lurus ke depan. Tirai itu, kaca itu, pohon yang tumbuh disana, angin yang berhembus, bahkan daun yang jatuh, mereka tidak akan peduli denganmu. Mereka menutupi suaramu, menutupi tangisanmu, menutupi teriakanmu. Jadi, berteriaklah, menangislah, orang-orang bodoh disana tidak akan mendengarkanmu."
Dengan menatap lurus, Naruto menahan sakit cengkraman. Air matanya kembali menetes. Kedua tangannya mengepal. Hatinya terasa terbakar. Ingin ia menuding Sasuke dengan jari telunjuknya, berteriak bahwa ini semua sudah jelas adalah kesalahan bangsa vampir, namun tubuhnya menolak.
"Terus saja cari kebenaranyan, Naruto." Sasuke melepaskan cengkramannya dari pipi Naruto, sekejap kemudian dia mencium dan menjilat darah yang ada pada bibir Naruto. "Kau manis." Detik berikutnya, Sasuke sudah tidak lagi di ruangan itu.
Sepi. Dingin. Naruto merengkuh lututnya dan menangis deras dalam kesendirian. Rambut pirang panjangnya yang terurai menutupi wajah dan tubuhnya. Tidak ada orang yang menepuk punggung dan memelukknya dengan hangat. Tidak ada orang yang mengelus surai pirangnya dengan lembut. Tidak ada orang yang memberikan cerita-cerita hangat, tidak ada canda tawa.
Hanyalah ruangan kosong dengan sedikit cahaya dari luar, biar-binar lilin, hawa dingin. Bergelung dengan bagian-bagian dirinya yang perlahan-lahan retak. Apakah retakan-retakan itu bisa kembali utuh seperti sedia kala? Hatinya terus bertanya-tanya. Orang-orang terkasihnya jauh dalam genggamannya. Adakah caranya untuk kembali? Ketika bencana ini belum datang, ketika darah-darah berlum berceceran, ingin rasanya ia mengembalikan waktu itu. Apakah bisa?
Kini, suara sesenggukannya menemaninya. Air mata asin mengusap tangannya, rasa sakit menggerogotinya.
Ibu, Ayah, Kakak, tunggu sebentar lagi.
"Permisi, Nona."
Naruto segera menghapus air matanya dan menoleh ke suara yang ada di belakangnya. "Ada apa?"
"Tuan menyuruh kami mengantar Nona ke kamar Anda." Ucap salah satu pelayan itu.
"Baiklah." Angguk Naruto tanpa harapan.
Dengan segera, kedua pelayan itu membantu Naruto berjalan.
"Aku bisa jalan sendiri. Kalian di belakangku saja."
"Baik, Nona." Kedua pelayan itu mengangguk.
Di ruangan lain, Sasuke berdiri menghadap sebuah kotak kecil diatas meja. Kedua tangannya mengepal. Di dalam dadanya sakit, sesak sekali rasanya. Ingin rasanya ia mengutuk dirinya sendiri atas ucapan yang telah ia lontarkan. Ia sudah muak.
Andai saja kau mengerti.
BERSAMBUNG
Hai, semua~
Ini adalah fic pertama saya yang menurut saya memiliki 'dalam yang berat' (?)
Ah iya apalah itu. Wkwkwkwkw. xD
Tiba-tiba saja saya ingin membuat fanfic dengan unsur-unsur yang ada kerajaan sama vampirnya gituu~
Semoga saja dan saya sangat berharap besar kalau fanfic ini nantinya bisa selesai dengan baik dan memuaskan (bagi saya)/apaan sih?
Dan ini adalah fic pertama Sasufem!Naru yang saya buat. Semoga kalian suka, ya.. ^^
Bagaimanakah kelanjutannya?
Ingin tahu?
Lihat saja nanti! ^^
