Disclaimer: Saya tahu kalau seluruh karakter Naruto adalah milik Masashi Kishimoto

Chara : Shikamaru N & Ino Y

Warning : OOC, typo, banyak kesalahan penulisan EYD, ide cerita yang pas-pasan, terlebih lagi alurnya membingungungkan, cerita membosankan, cerita nggak nyambung dan masih banyak lainnya.

Summer: kalaupun kau tidak dapat mendengarkan suaraku aku rela, asalkan aku bisa memeluk bayanganmu setiap saat. Meski kau tidak bisa membaca fikiranku aku, tak apa akan ku tulisan dikepaku terlihat jelas olehmu. /chap 1/mind to review./bad summer.

scream

Mataku agak perih membaca berlembar lembar laporan sedari tadi. Jariku memindahkan kertas yang telah kubaca ke urutan paling bawah. Sekali lagi, kupastikan data data yang ku baca benar. Kuperpendek jarak manakala penglihatanku agak memudar.

Suara derapan kakiku hampir tak terdengar sama sekali. Koridor rumah sakit terlalu ramai untuk sekedar membuat bunyi dari sepatuku. Suara roda tak pernah luput dai pandanganku. Bisa dipastikan gedung ini jauh lebih ramai dari pada toko toko pinggir jalan.

Kakiku terus berjalan menuju ruanganku. Meski mataku tidak fokus terhadap jalan tapi, aku bisa berjalan tanpa menabrak satu orang pun. Buktinya dari tadi aku berjalan dari ruang rawat inap pasien sampai sekarang, jalanku lurus lurus saja.

Sedikit ku benahi tatanan kacamataku yang sempat turun beberapa milimeter. Terasa lebih nyaman. Aku menyesal, harusnya tadi aku memakai lensa mata. Lebih mudah dan praktis, dibandingkan harus susah susah membenahi posisi kacamataku setiap kali turun, dan itu sangat merepotkan.

"Ino..." Panggilan untukku. Seseorang dari belakangku menepuk pundakku. tangannya beranjak dari pundakku, dia mengalungkannya dileherku. Seakan mempunyai indra ke-enam, tak perlu melihat pun aku sudah tahu siapa orangnya. Aku sangat hafal sekali dengan bau parfum-nya. Bahkan dari jarak sertus meter.

"Hm." Gumamku. Kurasa dia tahu aku sedang sibuk jadi, aku tak perlu berkata panjang lebar.

"Serius amat sih, sayang." Katanya manja. Posisi tanganya agak meregang dan turun dari pundakku, mensejajarkan tubuhnya kesampingku. Sehingga kami bisa berjalan beriringan.

Dia agak terlihat aneh dari biasanya. Err agak kurang waras. Tapi, dilihat dari riwayat hidupnya bisa kupastikan kejiwaannya pasti waras. Jika dites pasti dia sehat seratus persen.

"Apa?" tanyaku to the point. Kali ini ku beri atensiku padanya. Memberikan sebuah senyuman hambar padanya.

"Emm apa ya?" berpura pura berfikir dahulu. "Apa hayo?" dan hasilnya dia malah mengajukan pertanyaan balik padaku.

"Apa hayo?" tanyaku berbalik lagi. Ini seperti pengulan yang tak pernah berakhir. Kuberikan senyumku kembali tapi, kali ini senyum yang berbeda dari sebelumnya. Senyum yang lebih nakal "apa sih?" rasa penasaranku akhirnya keluar juga.

"Tebak." Dia membalas senyumanku dengan senyuman serupa denganku.

"Apa ya? Coba untuk jawaban kau menang taruhan dengan Karin?"

Jawabannya gelengan kepala kuperoleh.

"Ada discount besar di mall ?"

"A...a...a...a..." Kembali jawabanku salah.

"Yang ini pasti benar, kau menang undian berhadiah?"

"Salah."

"Ini kenapa kita malah main tebak tebakan sih?." Sungutku.

"Sore ini aku jalan dengan pacarku, kalau kau mau ikut dengan senang hati kami akan mengajakmu, hitung hitung buat ajang kamu cari jodoh ya kan?" Sial memangnya aku ini tak laku apa? Aku bisa cari jodohku sendiri tahu. Dan lagi pasti semua laki laki yang akan dikenalkan padaku aneh bin ajaib.

"Dan aku jadi obat nyamuk kalian? Terimakasih." Aku membuka ruangan kerjaku, mempersilahkan temanku masuk terlebih dahulu, kupegang kenop pintu dan menutupnya pelan.

"Hah kau bakal melewatkan hal menyenangkan malam ini."

"Itu lebih baik dari pada harus jadi manekin gratisan disana." Aku duduk, kembali membuka berkas berkas yang belum kubaca secara keseluruhan. Sahabatku mengikuti jejakku, duduk dikursi tepat didepanku.

"Padahal aku ingin kau ikut, kuharap nanti kau berubah fikiran."

Tersenyum singkat dan berkata "Semoga harapanmu mu terkabul."

Punggungku terasa kurang nyaman, ku sandarkan pada sandaran kursi kerjaku. Mencari posisi duduk senyaman mungkin. Kadang, kulirik sebentar sahabatku yang juga sudah mempunyai kesibukan baru, memainkan ponselnya. Beberapa kali dia memamerkan rentetan giginya.

"Ino?" kurasa dia sudah selesai dengan acara rapat dengan ponselnya.

"Hm?" kujawab singkat.

"Ino?"

"Hm?"

"Sesibuk itukah kau?" tanyanya ketus "bisa kau memperhatikanku?" dia agak kesal denganku. Sedari tadi aku hanya memberikan tanggapan singkat tanpa memberi atensi pada sahabatku.

"Ya?..." kataku, masih dengan membaca laporan medis "maaf Sakura, aku agak bingung dengan laporan pasien yang baru masuk kemarin, jadi aku masih mempelajari laporan laporan sebelum sebelumnya..." jelasku panjang lebar, kutaruh sebetar kertas kertasku diatas meja "kenapa?" kini kuberikan pandangan penuh padanya.

"Tapi kan shift mu kan sudah habis dari dua puluh menit yang lalu."

"Nanggung Sakura sayang, ada apa?"

"Sebenarnya sih tidak ada" dia tertawa nakal, padahal aku sudah memberi apa maunya tapi ternyata dia malah membicarakan hal yang sama sekali tidak penting "Naruto sudah menunggu aku pergi dulu ya." Beranjak dari duduknya dan mencium kedua pipiku singkat.

"Kau tidak mandi dulu?" tanyaku persis sebelum dia menutup pintu ruanganku. Sempat sempatnya menanyakan hal aneh padanya.

"Nanti aku pulang sebentar sayang, oke aku pergi dulu..." dia berbicara sambil menutup pintu ruanganku. Aku tersenyum singkat. Pintu yang semula tertutup tiba tiba terbuka kembali "oh ya? Semoga do'a yang tadi benar benar terjadi." Setelah itu sosok Sakura sudah tidak terlihat lagi oleh mataku.

Aku kembali memamerkan rentetan gigiku. Menggeleng pelan, kurasa aku harus bersyukur mempunyai teman seaneh dia.

Kurasa aku sudah terlalu lama diruangan ini. Ku lihat sekilas jam dinding. Pukul delapan lebih lima menit. Aku harus pulang jika tidak ingin mendengar ibu mengomel semalaman. Bisa mendadak pecah gendang telingaku dibuatnya. Belum lagi ceramah tambahan dari sang suami dari ibu ku. Akan jadi malam yang panjang untukku.

Aku mulai membereskan barang bawaanku. Menyambar tasku pelan tas selempangku. Kulampirkan jas putih ku ke atas tas selempang dipundak kananku. Dan begegas pulang ke kediaman nyamanku. Membayangkan sampai ke rumah, mandi, lalu minum cokelat panas. Mendengarkan lagu klasik kesukaanku sampai aku tertidur. Rasanya hidup ini terlalu mudah dijalani.

Oke hari ini aku tidak membawa mobil, lebih parah lagi tidak ada tumpangan yang bisa kutumpangi lagi. Harusnya sore ini aku pulang dengan Sakura, tapi dia malah bersenang senang dengan kekasih tercintanya.

Masih satu menit sebelum busku pergi. Beruntung begitu sampai dihalte, bus belum pergi. Menaiki beberapa anak tangga tak masalah bagiku, bangku paling belakang menjadi pilihan terakhirku, tidak...tidak...bukan pilihan tapi memang yang kosong ya hanya satu bangku itu.

"Tadaima..." aku setengah berteriak. Kulepas flatshoes ku, mengambil sandal khusus dipakai didalam rumah. Berjalan mencari penghuni rumah yan tak lain merupakan orang tua ku sendiri.

"Okaeri..." jawab ibuku, muncul dari arah dapur, sendok sayur masih dibawanya dari dapur "pulang larut lagi?" tanyanya.

Kulirik arloji ditanganku "hari ini aku pulang tiga menit empat puluh enam detik lebih awal dari kemarin bu." Kuberikan alasan irrasional pada ibuku. Berniat membuatnya lebih tenang untuk beberapa kedipan mata. Bukan berarti juga jika aku memberi beberapa alasan logis ibuku akan menerima dan berhenti menganggapku anak kecil.

"Cepat mandi dan turun, makan malam sudah siap." Dan itu kata kata terakhir yang kudengar sebelum debaman pintu kamarku berbunyi lumayan keras.

Kulempar tasku diatas tempat tidur, Menyambar handuk di tempatnya. Debaman pintu lagi lagi tak bisa terelakan.

Keran kamar mandi kubiarkan menyala keras, bak mandi yang semula kosong kubuat penuh dengan air hangat, menuangkan sedikit sabun cair ke bak mandi. Sempurna gelembung gelembung sabun sudah menutup air secara keseluruhan.

Kulepas pakaianku satu per satu, kubuang kearah belakang tubuhku. Pakaian ku tercecer disamping bak mandi. Aku tak ingin membasahi rambut pirangku, jadi buat cepol satu tinggi tinggi.

Terakhir, menceburkan diri ke bak mandi. Ahh rasanya nyaman sekali. Semua rasa lelahku seakan tertelan air. Sedikit menenggelamkan diri kebawah hingga kepalaku saja yang terlihat sekarang. Kupasang earphone ku, kebetulan tadi pagi aku lupa mengembalikan nya lagi. Alunan musik membuat kepala-ku menggeleng ke kanan dan kiri. Seakan diriku terhipnotis.

Kaki-ku sibuk memainkan air. Menggerakkan kebawah dan atas, membuat beberapa debit air keluar dari tempatnya. Kutiup gelembung gelembung dari tanganku. Dalam sekejap kamar mandiku menjelma menjadi taman gelembung.

Jadi teringat masa lalu. Sepertinya baru kemarin aku masuk sekolah dasar, dan sekarang aku sudah menjadi dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit terkemuka di Tokyo. Secara tak sadar bibirku mengulum senyum. Kuharap sampai setengah jam kedepan tidak ada yang mengusik-ku dari kenyamanan ini.

"Ino cepat, ayahmu sudah menunggu dibawah." Ucap ibuku mengetuk pintu kamar mandi. Kupelankan suara musik yang kuputar. Aku terbangun dari dunia imajinaiku. Lamunanku seolah kabur, lari terbirit birit dikejar anjing penjaga, memangnya imanjinasi maling apa? Akhir setelah dua puluh menit do'a ku panjatkan, do'a-ku tidak terkabul. Salah sendiri sih, kenapa berdo'a dikamar mandi?

"Ayah dan ibu duluan saja, nanti aku nyusul." Tak mau terusik lama lama ku suruh saja kedua orangtua ku makan duluan. Hitung hitung memberikan sedikit waktu mereka berdua. Alasan.

"Kami sudah menunggumu tiga puluh menit Ino, cepatlah sedikit."

"Iya..."

"Sedang apasih ku didalam? Lama sekali?" kulihat kenop pintu kamar mandiku bergerak. Ku ucapkan terimakasih pada rasa penasaran yang membelenggu ibuku, akhirnya ibuk ku membuka pintu kamar mandi. Benar juga, tadi aku lupa mengunci pintu, sial "ya tuhan... dari tadi kau sedang apa? Mandi sambil membaca mendengarkan musik eh?" rasanya masih nggak rela acara mandi cantikku diusik.

"ahh ibu..." rengekku. Ibuku merampas earphone dari telingaku. Tanganku berusaha mengambil kembali benda yang menjadi hak-ku tapi alhasil gagal. Ibu-ku menaruhnya di washtaufel tak jauh dari bak mandiku.

"Sudah berapakali ibu bilang, kalau mandi jangan lama lama, ini sudah malam Ino..." Aku keluar dari bak mandi, dengan handuk ditangannya ibu mengelap seluruh tubuhku yang masih basah. Seperti anak kecil, aku menurut apa yang diperintahkan ibu, saat ia menyuruh berputar aku berputar, saat ia menyuruhku mengangkat tangan aku mengangkat tangan, begitu terus sampai tubuhku kering "kau kan sudah dewasa kenapa kelakuanmu masih seperti anak kecil?"

"Emm, kenapa ya? Ibu juga sih memperlakukanku sepertia anak kecil." Aku balik menyalahkan ibuku. Tak mau jadi tersangka sendiri.

Terakhir, ibu-ku membungkus tubuhku dengan handuk. Kami keluar dari kamar mandi. Kukira ibuku akan keluar dan turun kebawah, membiarkan-ku mengenakan pakaianku sendiri, tapi semua diluar dugaan, ia malah membuka lemariku membolak balikan pakaianku.

Bukannya mencegah dan menyuruhnya pergi, aku malah duduk anteng tepi ranjang-ku melihat baju-ku yang malang karena diobrak abrik ibu. "ini dia..." ucap ibu-ku, tangannya mengeluarkan baju terusan berwarna cokelat muda tanpa lengan. Halo, bukannya ini sudah malam dan harusnya aku memakai piama? "ini, cepat ganti bajumu." Kupakai baju pilihannya meski sedikit bingung, tapi tak apalah sudah lama aku tak merasakan jadi anak kecil seperti ini lagi. Mendapat perhatian ibu-ku seperti ini hal langka. Menurutku.

Baju terusan cokelat selutut kini telah melekat ditubuhku. Kududukan diriku dimeja riasku. Seolah mengerti, ibu melepas cepol rambut hasil karyaku, menyisir rambutku perlahan "kenapa kau begitu seperti anak kecil."

Aku terus diam, memperhatikan bangannya dari pantulan cermin "harusnya kau bersikap lebih dewasa..." ucapnya lagi "apa kau tidak malu dengan tubuhmu? Kau sudah besar, tapi tingkahmu masih seperti anak kecil?" masih dengan posisi yang sama menyisir rambutku ibuku berceloteh "kita turun, kurasa ayahmu sudah lama sekali menunggu." Kusambar ponselku terlebih dahulu sebelum kami turun keruang makan.

Sudah kuduga pasti ayah akan tertidur. Jika dihitung hitung, ayah sudah menunggu sekitar hampir satu jam.

"Kukira aku akan mati kelaparan karena menunggu para wanita melakukan ritual mereka." kata ayahku.

"Salahkan Ino dia mandi sambil bertapa." Timpal ibu-ku, menyalahkan-ku.

"Kenapa aku disalahkan harusnya kalian duluan saja." Aku membela diriku yang sudah jelas jelas salah. Mendudukan diri di kursi, kulihat sekilas raut muka orang tua ku secara bergantian.

Lucu. Walau mereka sudah dewasa tapi, terkadang tingkah mereka layaknya anak ABG. Meski pun begitu aku menyukainya. Terkadang, orang dewasa tidak sedewasa usia mereka

Tidak ada yang lebih membahagikan didunia ini selain menikmati makan malam bersama keluarga.

Kusuap nasi beserta lauknya dengan rakus. Aku lebih mirip dari gelandangan tidak makan seminggu dibanding makan malam.

"Kau ini... seperti orang yang tidak makan selama seminggu hime." Tuh kan baru saja kukatakan, ayahku langsung menceramahiku. Terkadang aku bingung apa orang dirumah ini bisa membaca fikiranku? Oh aku tahu, mungkin hukum ikatan batin berlaku disini. Ini seperti lelucon bagiku, ikatan batin? Tidak ada kata ikatan batin di kamusku. Aku terlalu naif untuk memikirkan sesuatu yang berbau mitos.

"Aku kelaparan ayah..." sudah diajarkan kalau berbicara telan dulu makanan dalam mulutmu, tapi aku tak mengindahkan kata kata tersebut. Jangan sampai ayah berceramah lagi tentang hal ini. Kuharap aku bisa bernafas lega untuk permohonanku kali ini.

Ponselku berdering keras, seluruh komponen diatas meja bergetar. Ayah dan ibu memandangku kesal, mata mereka seolah mengisyaratkan angkat telefonmu atau enyah dari meja makan ini.

Kulihat si penelfon dengan nama kontak Sakura, paling dia hanya akan pamer kemesraan padaku, jadi ku putuskan untuk mereject telfon darinya. Biar dia rasakan gimana rasanya ditinggal teman saat dia membutuhkan.

Lagi lagi suara deringan ponselku mengganggu acara makan malamku. Kau bertanya, apakah aku mendapat delikan dari orang tuaku? Jawabannya pasti. Sekali lagi ku reject telfon darinya. Begitu berulang sampai tiga kali.

"Angkat telfonnya Ino, berisik." Ayahku menghentikan makannya sejenak menyuruhku mengangkat telfon. Kuangkat telfon dengan berat hati.

"Halo..." ucapku tidak ikhlas.

"Kenapa kau reject telfonku?" ucapnya marah marah. Sonta, kujauhkan ponsel dari telingaku sejauh mungkin dari indra pendengaranku. Aku tak mau pergi ke poli THT hanya karena suara teriakan Sakura yang begitu keras, membuat telingaku tuli.

"Keadaan memaksaku." Ucapku cuek. Secara, aku sedang enak enak makan, tiba tiba seseorang menelfonku beberapa kali, bisa ditebak topik yang pasti ia bicarakan adalah hal yang tak ingin kudengar.

"Ini penting... cepat kesini, teman Naruto hari ini menikah dan buket bunga yang mereka pesan rusak karena kecelakaan kecil, jadi cepat kesini dan bawa sebuket bunga oke, nanti aku kirim alamatnya lewat e-mail." Bukannya tadi mereka berniat jalan jalan? Tapi kenapa malah jadi ke acara pernikahan? Ini aneh. Jadi mereka merubah jadwal kencan mereka dari di mall ke acara pernikahan?

"Kok bisa? Bukannya tadi kau berencana ke mall?"

"Naruto lupa ada acara malam ini, jadi cepat kesini. Lima belas menit lagi acara dimulai." Sudah kuduga, harusnya pasangan ini mendapat penghargaan 'pasangan ter-pelupa seluruh Jepang'.

"Ckk, iya cerewet."

"Sakura kenapa? Apa yang terjadi? Dia baik baik saja kan?" ucap ibu khawatir. Perasaan kalau aku yang terkena masalah ibu tidak akan sepanik ini. Sebenarnya siapa sih anaknya? Aku atau Sakura?

"Dia digigit anjing." Kurasa lucu juga jika aku mengerjai ibuku sekali kali.

Kualat nanti kau Ino.

"Apa? Dia nggak apa apa kan? Nggak ada yang luka kan? Apanya yang digigit?" ckk padahal waktu aku dikejar anjing saja, ibu ku malah tertawa melihatku, tapi kenapa Sakura yang digigit anjing, dia malah sekhawatir itu? Aku ragu apa aku ini anak pungut? Apa aku tertukar dengan Sakura saat bayi? Tapi, tidak mungkin secara, aku sangat mirip dengan ayahku dan Sakura juga sangat mirip dengan kedua orang tuanya.

"Kok Sakura bisa digigit anjing, memangnya dia ngapain sampai ada kejadian begitu?" ini lagi, ayah ikut ikutan, padahal sudah bagus bagus dia hanya mendengar. Eh tapi, kalau mereka sampai se-khawatir itu berarti mereka percaya aktingku dong? Wah harusnya aku ikut main film di hollywood pasti aku akan sangat terkenal.

"Sakura digigit anjing tapi, bohong hahaha." Ucapku sambil mencium masing masing pipi ibu. Dan seketika aku lari dari jangkauan ibu, mengamankan telingaku dari tangan ibuku.

"Ino..." teriak ayah dan ibuku bersamaan. Aku terkikik melihat raut wajah orang tuaku.

Ku ambil sebentar tas selempangku dikamar. Mampir sebentar ke toko bunga tak akan memakan waktu lama, mungkin sekitar lima menit. Dan setelah kuhitung hitung perjalanan menuju alamat yang diberikan Sakura waktu memakan kurang lebih tujuh menit, jadi waktunya akan pas.

Merangkai bunga untuk pernikahan bukan hal baru lagi dalam hidupku. Dari umur lima tahun aku diajarkan merangkai bunga harusnya aku sudah fasih mengerjakan ini. Toko bunga milik keluargaku ini sudah berdiri dari generasi ke generasi dan sekarang aku menjadi penerus generasi ke enam belas. Bangunan mungil ini sangat bersejarah bagi keluargaku.

Ternyata tidak meggunakan mobilku sendiri rasanya kurang begitu nyaman. Mobil ayahku kenapa terasa tidak nyaman? Padahal dulu aku sering menggunakan mobil ini sebelum aku membeli mobilku sendiri.

Yap tinggal memarkirkan mobilku diparkiran dan menyerahkan bunga pada mempelai wanita. Aku sedikit terkesima, pasti yang punya pesta ini adalah orang terpandang sampai sampai dipintu gerbang saja ada banyak sekali penjaga. Beruntung Sakura sudah memberitahu penjaga agar aku diizinkan masuk. Tidak lucukan kalau aku tidak bisa masuk gara gara tidak punya undangan.

Kutulis e-mail pada Sakura, mengatakan dimana sekarang posisinya. Jika aku menunggu balasan pesanku pasti akan buang buang waktu, kuputuskan untuk masuk kedalam gedung terlebih dahulu mungkin sedikit berusaha mencari akan lebih membantu, dari pada berdiam diri seperti orang tolol.

Aku sedikit kagum dengan dekorasi pernikahan ini, hampir seluruh dekorasi diselimuti warna silver dan gold, bunga tulip tampak elegan menghiasi setiap sisi ruangan. Panggung didepan sana nampak megah dan unik. Aku tahu, jika aku mendiskripsikan ruang digedung ini pasti akan menghabiskan berlembar lembar kertas.

"Ino, mana bunganya?" ucap Sakura dari tangga sebelah kanan. Dua tangga disisi kanan dan kiri membuat kesan manis pada gedung.

"Oh...ini." aku baru tersadar dari lamunanku. Kuberikan sebuket bunga mawar merah pada Sakura.

"Emm Sakura, siapa yang menikah?" tanyaku, sebab aku tidak tahu sama sekali siapa yang akan melangsungkan pernikahan.

Belum ada jawaban dari pertanyaanku. Aku mengikuti Sakura, berjalan menaiki anak tangga. Tidak bisa disebut berjalan sih, lebih tepatnya jalan setengah lari.

Tepat diatas terdapat banyak kamar. Aku melihat mempelai wanita, dia sangat cantik dengan balutan gaun putih salju yang ia kenakan. Nampak seperti putri kerajaan yang akan segera melangsungkan acara pernikahan.

"Ino kenalin dia mempelai wanita." Aku cukup pintar untuk tahu kalau dia memang pengantin wanitanya. Yang ingin aku tahu bukan itu tapi namanya.

"Kenalkan aku Yamanaka Ino." Ku-ulurkan tangan agar dia bisa menjabat tanganku.

"Aku Hyuga Hinata salam kenal, emm terima kasih sudah bersedia membantuku nona Yamanaka."

"Panggil Ino saja?" ucapku mencoba menjadikan suasana menjadi tidak seformal sebelumnya.

Kutaruh kunci mobilku dimeja rias sebentar. Melihat Sakura berbicara pada hinata dengan akrab, mereka seperti menganggapku tidak ada. Memang aku ini manekin apa? Sampai sampai aku dicuekkin begini?

"Acara akan dimulai tiga menit lagi." Ucap Naruto. Tiba tiba ia muncul dari balik pintu, nadanya setengah beteriak lagi.

"Ino, aku duluan ya aku kan pengapit mempelai wanita." Apa? Sejak kapan tamu yang kelupaan diundang tiba-tiba menjadi maid dadakan? Ajaib.

Aku menuruni tangga sendirian. Sendirian, aku benar benar seperti orang tolol yang tersesat ditengah kota, bukan, bukan, bukan ditengah kota tapi, dipesta orang. Bahkan aku sendiri tidak tahu ini acara pernikahan siapa. Oke, aku sudah terlanjur diundang, meski tanpa undangan jadi aku harus menikmati acara ini. Menghargai sedikit yang punya pesta.

Sepertinya acara sudah dimulai. Aku duduk dikursi paling belakang dan paling pojok. Mengingat aku bukan siapa siapa di acara ini, tahi diri sedikitlah. Ku perhatikan sedikit meski tak fokus, pengapit mempelai wanita diisi oleh Sakura, lalu seseorang yang lebih mirip dengan Hinata, dan satu lagi diisi wanita berkaca mata dengan rambut merah menyala.

Pengapit pria diisi Naruto, lalu lelaki dengan dandanan aneh, maksudku tatanan rambutnya yang lebih mirip buah nanas, dan terakhir diisi oleh lelaki berambut pantat ayam.

Dan setelah pengapit wanita terakhir melewatiku aku sudah tidak lagi memperhatikan jalannya acara, ibuku dari tadi terus mengirimiku pesan tentang keberadaanku. Kubalas 'sebentar lagi aku pulang', padahal aku sendiri tak tahu kapan aara ini akan berakhir. Kegiatan selanjutnya jangan ditanya, aku malah asyik berkirim pesan pada salah seorang temanku.

Semua orang terlihat menikmati pesta, kecuali diriku tentunya. Sudah lebih dari satu jam aku tenggelam diduniaku sendiri, pasti sekarang agenda acara sudah berganti. Beberapa orang tampak berbicara dengan si-empunya pesta.

Aku berniat untuk memberi selamat pada pengantin, pasalnya tadi aku lupa memberikan selamat. Aku berjalan mendekati kedua mempelai. Kupasang senyum termanisku pada mereka.

Kuberi Hinata pelukan singkatku "selamat menempuh hidup baru" ucapku singkat.

"Terimakasih Ino-san." Balasnya.

Ku lihat semua pengapit sekarang berkumpul disekitar pengantin, kecuali dua orang sirambut nanas dan pasangannya.

"Ah iya aku lupa kenalkan ini Yamanaka Ino, dia yang tadi menolong kita soal bunga." seolah mengerti, Hinata memperkenalkan ku pada masing masing temannya.

"Yamanaka Ino." Ucapku singkat.

"Ino-san ini suamiku Uchiha Say." Suami Hinata ini kenapa sih murah senyum banget. Kubalas dengan kata "hai."

"Yang ini sudah kenalkan? Uzumaki Naruto?" jelaslah secara dia kan pacar sahabatku "yang mirip dengan Sai dia kembaran Sai, Uchiha Sasuke sekaligus pacar Uzumaki Karin. " kuberikan lagi senyum manisku. Lama lama pegal juga tersenyum.

"Salam kenal ucapku."

"Dan yang terakhir..." Sai mencoba membantu istrinya memperkenalkan teman temannya "dia dimana?" Sai mencoba mencari seseorang "ah itu dia, dia yang sedang duduk bersama wanita dibarisan kursi kedua..." Sai menunjukkan seseorang dibelakangku, aku menoleh, demi mendapati seseorang yang ditunjuk Sai "yang perempuan Hanabi adik Hinata dan yang laki laki dia Nara Shikamaru." Akhirnya masa perkenalan selesai juga.

"Oh ya nona Yamanaka, terimakasih atas bantuanmu, itu sangat membantu kami." Ucap suami Hinata dengan senyum anehnya lagi.

"Tak masalah."

"Maaf Ino-san kami harus menemui tamu yang lain, sekali lagi terimakasih, dan semoga kau menikmati pestanya."

"Terimakasih." Lagi lagi aku seperti orang tolol yang tersesat dikeramaian kota.

"Ada apa Ino?" ucap Sakura sedikit mengagetkanku.

"Tidak ada, eh iya Sakura nanti pulannya bareng ya? Soalnya aku bilang sama ibu kalau aku pergi sama kamu, jadi kau harus bertanggung jawab." Tuntutku.

"Iya bawel..." Ucap Sakura mencubit pipiku gemas.

"Auu." Ucapku kesal, kuusap pipiku yang memerah.

Kulihat beberapa orang keluar dari pintu. Satu per satu tamu undangan membubarkan diri dari pesta.

"eh iya kapan kau akan pulang? Ini sudah sepi nih." Tanyaku, tanganku memainkan gelas berisi soda bercampur es batu.

Mataku menyapu seluruh ruangan gedung, tersisa beberapa orang saja disini, hanya tinggal sepasang manusia yang beberapa jam lalu resmi menjadi suami istri dan teman teman akrab mereka. Mungkin.

"Aku menunggu mereka selesai." Sakura menunjuk sekumpulan orang dan didalamnya terdapat kekasihnya.

"Jam dua belas ya?" aku menghela nafas melihat tanganku ternyata sudah tengah malam "semoga ayah dan ibu sudah tidur."

Hampir tiga jam aku berada disini, tak jelas pula tujuanku. Ini konyol sekali, ingin rasanya aku menampar pipiku berkali kali. Bangun dari mimpi dan pergi mandi. Untuk kesekian kalinya aku menghela nafas, kutumpukan berat badanku pada tembok dibelakangku. Teman yang membawaku kesini sekarang malah ikut ikutan berkumpul dengan sekumpulan orang asing yang sama sekali tak kukenal. Mataku memerah karena ngantik. Ditambah lagi besok aku dapat jadwal pagi dirumah sakit, mampuslah aku tidak tidur semalaman.

Fokusku masih pada gelas, telapak tanganku basah karena embun dari es batu. Kuputar kekanan, jika aku bosan beralih kuputar kearah kiri. Begitu terus seterusnya. Bunyi dari gecetan gelas dan es batu menjadi pusat perhatianku sekarang ini.

"Kau nggak pulang?"

"Ha?" aku kaget, perasaan tadi masih ada sekitar duapuluh-an orang di ruangan ini, dan sekarang tinggal hanya aku, Sakura, dan Naruto "mana yang lain?" tanyaku bingung.

"Sudah membubarkan diri sejak beberapa menit yang lalu" ucap Naruto, berjalan mendekatiku dan Sakura. Benarkah, kenapa aku tidak melihat? Padahal aku hanya berdiri seratus meter dari arah mereka berdiri, harusnya aku melihat mereka pergi kan?

"Kau ini melamun ya?" apa iya? Aku tadi hanya tidak melihat, bukan berarti melamun kan?

Aku berjalan dibelakang mereka. Berbelok kearah meja, untuk menaruh gelas. Kuambil langkah agak setengah lari, karena mereka sudah meninggalku keluar.

"Lama" eh Sakura menunggu malah mengataiku lama, adakah rasa kesetiakawanannya padaku sedikit saja? Menunggu beberapa detik tak akan membuat kepalanya ditumbuhi jamur.

Kubuka tasku, mencari kunci mobilku. Kuobrak abrik seluruh isi tasku demi mendapatkan alat ajab itu. Ku keluarkan seluruh isinya, mungkin terselip diantara barang barangku yang lain. Nihil. Sudah kucari hingga kedalam dompetku tapi hasilnya nol. Bahkan sudah ku periksa hingga dua kali.

"Ada apa pig." Sakura turun dari mobil Naruto, berjalan menghampiriku memastikan keadaan baik baik saja.

"Kunci mobil ku hilang." Ucapku panik.

"Kok bisa? Tadi kau taruh dimana?" Sakura ikut ikutaan panik.

"Tadi kuta..." ah iya aku lupa tadi aku menaruh dimeja rias dilantai dua gedung ini "ruh dimeja rias, aku ambil dulu ya?" kuambil langkah seribu menuju lantai dua.

Saat aku sudah berada ditengah tengah tangga tiba tiba lampunya mati. Ini kenapa lagi, bukannya ini gedung besar? Harusnya daya listrik yang dipasang untuk gedung besarkan? Tidak mungkin sekering digedung turun kan?

Oh iya aku lupa, gedung ini kan besar pasti ada sistem keaman dan tentunya waktu kapan listrik mati pastinya juga sudah diatur. Tapi kan Sakura dan Naruto ada diluar, harusnya mereka bilang pada petugas untuk jangan mematikan listrik terlebih dahulu. Oh, jangan bilang sistem matinya listrik juga diatur secara otomatis.

Kucari ponsel ditasku mungkin Sakura bisa membantuku. Kutekan nomor ponselnya, soal ini aku sudah hafal diluar kepala. Aku benci menunggu beberapa saat, menunggu si penerima telfon menjawab telfonku.

"Sakura kenapa lampunya mati?"

"Listrik di gedung ini memang sudah otomatis, lebih baik cepat cari kontakmu sebelum pintu juga tertutup secara otomatis, dua puluh menit lagi pintu akan tertutup. " Kufikir dia akan datang menemaniku, ternyata dia seenaknya menyuruhku cepat, dia fikir gampang apa mencari kunci ditempat gelap?

"Ckk jangan cuma menyuruh lebih baik kau ikut membantu." Bisa bisanya dia tega meninggalkanku setelah menjebakku ditempat ini.

"Oke, aku bantu do'a, jadi cepat." Sakura memutuskan sambungan telfonnya. Memangnya siapa yang menelfon sih, kenapa dia yang memutuskan? Dasar tidak sopan.

Hah, mau bagaimana lagi sekarang yang bisa kulakukan hanya berjalan dengan penerangan seadaanya. Sumber cahaya dari ponselku sangat tidak membantu pasalnya, jarak pandang hanya tiga puluh senti sari tempat pijakanku, terlebih aku juga kurang mengenal medan gedung ini.

Oke ini sudah berada diatas, tinggal membuka pintu dan mengambil kunci. Ini tidaklah sulit. Berasa uji nyali ditempat dan waktu yang tidak tepat. Bisa bisanya tengah malam seperti ini seorang gadis masih keluyuran nggak jelas, padahal harusnya aku tidur dikasur nyamanku dan bermimpi indah. Yah dan akhirnya aku mulai berimajinsi lagi. Dasar penghayal yang tidak bisa melihat situasi dan kondisi.

Kuputar kenop pintunya. Perasaanku sedikit tidak enak. Entah, bulu kudukku terasa berdiri, ayolah ini kan cuma gedung biasa mana mungkin disini ada hantu, dan menurut pengetahuan ku tidak ada sejarah pembunuhan disekitar sini atau hal hal semacamnya.

Tapi aneh, aku mendengar bunyi seperti orang sesak nafas, mana mungkin, yang ada diruangan ini kan hanya aku. Kuarahkan layar ponselku kesekeliling ruangan. Astaga, aku melihat bayangan seseorang. Tanganku lemas, tak mampu lagi untuk sekenar memegang ponseku. Dan begitu saja ponselku terlepas dari tangnku, terjatuh dengan posisi layar menghadap atas.

Dadaku rasanya sulit memasok oksigen. Mulutku juga terasa kaku untuk sekedar teriak minta tolong.

Bayangan itu semakin mendekat kearahku. Tangan kanannya seperti berusaha meminta tolong, sedangkan tangan kirinya memegangi dadanya. Oke aku semakin kaku badanku tidak bisa kugerakkan satu inchi pun. Bagaimana ini? sungguh ini lelucon yang tidak lucu, bisakah seseorang membanunkanku dari mimpi buruk ini. Seseorang tolong aku. Kuharap ini hanya sebuah mimpi buruk. Padahal selama ini aku tidak pernah percaya dengan namanya hantu, sekarang aku harus mengaku jika hantu itu memang ada.

Tinggal beberapa langkah lagi maka aku mungkin akan kehilangan nyawaku. Sungguh ini tidak lucu, ini seperti cerita cerita horor, zombi memakan otak manusia, oh zombi jangan makan aku, aku tidak pandai pasti otakku juga tidak enak. Filosofi dari mana tuh?

"Tol...ong..." tuh kan hantu beneran kalau tidak mana mungkin dia minta tolong. Aduh tamat sudah riwayatku. Tanganku benar benar gemetar kaki tak jauh berbeda. Jangankan berteriak mengucap sepatah kata pun tidak bisa, sementara si zombi siap menerkamku.

Tangan zombinya sudah memegang pundakku, sedangkan aku juga tak mampu berbuat apa apa. Diluar dugaan, si zombi bukannya merobek kepalaku dan mengambil isi kepaku, dia malah terjatuh menimpa badanku. Sontak, tubuhku juga ikut terjatuh bersamaan dengan jatuhnya si zombi.

"Aaaaa..."

Tbc...

a/n : oke ini fanfic saya yang kedua. Gimana, gimana? Pasti masih terlihat membingungkan ya? Wkwk saya sadar pasti fanfic saya terdengar agak aneh tapi, ini sudah saya buat nggak seaneh author. *authornya aja aneh apalagi karyanya?

Tadinya, saya mau buat acara pernikahan Hinata dirumah Hinata tapi saya alihkan kegedung yang dia sewa. Karena setelah saya fikir fikir kalau dirumah Hinata pasti akan banyak sekali yang perlu diganti, jadi saya putuskan buat memindahnya.

Oke terakhir dari saya, mohon sarannya sajalah dari reader, karena kritik dan saran akan sangat membantu author.