"Kau satu-satunya yang bahagia diantara kita be-berempat. Ku mohon, biarkan Sakura mendapatkan kebahagiaannya", "Aku bahagia, eh? Naruto menderita. Sakura menderita. Kau menderita. Begitu pun aku". Tidak akan ada yang bahagia sampai salah satu diantara mereka menyerah. Tidak ada sampai salah satunya meninggalkan permainan ini.
.
.
.
In Our Tears
.
.
.
Pukul 5 pagi adalah waktu ideal untuk bangun pagi, menurut Hinata. Tidak perlu terburu-buru jika ingin berangkat ke sekolah, bisa meluangkan waktu untuk membaca buku resep makanan, mengecek ulang tugas sekolahnya, dan bahkan Ia bisa mengerjakan tugas yang belum sempat ia kerjakan.
Hinata tidak pernah memikirkan tentang riasan apa yang harus ia pakai. Bedak tipis saja yang melindungi wajahnya. Menurutnya, kecantikan tidak berasal dari riasan.
Ia pernah kaya dan pernah miskin. Kehidupannya sudah tidak menentu saat ayahnya, Hyuuga Hiashi kehilangan seluruh aset perusahaan Hyuuga, dan pada akhirnya berjiarah alias pergi meninggalkan jepang –serta kedua putrinya hanya untuk memperbaiki bisnis keluarganya. Hinata tidak ingin memikirkan masa lampaunya yang bisa terbilang mewah. Ia sangat bahagia bisa menjalankan kehidupan dengan normal seperti orang-orang pada umumnya. Ia suka kesederhanaan.
"Hanabi, Sarapan sudah jadi. Ayo bangun," kurang dari 5 kalimat, Hanabi –adik Hinata, sudah bangun. Hanabi benar-benar tidak percaya bahwa saat ini, Hinata lah yang sedang membangunkannya. Suara kakaknya itu sangat mirip mendiang Kaa-san.
Hanabi pernah berfikir bahwa, Hinata sangat identik dengan ibunya. Sebaliknya, Hinata berfikir Hanabi sangat mirip dengan ayahnya. Itu semua benar adanya.
Jika Hinata lemah lembut, Hanabi si sang keras kepala.
Hinata tertawa ringan memikirkannya. "Kenapa nee-chan tertawa?", Hanabi yang sedang fokus dengan makanannya, terlihat bingung.
"Iie. Bagaimana sarapannya?" Hinata tersenyum tulus pada Hanabi.
"Seperti biasa, Oishi!"
Pagi ini dan seterusnya, selalu ditemani percakapan kecil. Sebenarnya, Hinata ingin menceritakan banyak hal kepada Hanabi. Tetapi waktu tidak mendukung. Kami-sama pasti punya rencana lain, pikir Hinata.
Bisa dilihat dengan jelas, kalau mereka sangat berbeda.
.
.
.
"Naruto-kun!", Hinata berlari. bertujuan untuk mengejar Naruto.
"Na-Naruto-kun!", lorong sekolah sangat sepi. Tidak mungkin Naruto tidak mendengarnya. Dirinya selalu diabaikan. Tetapi, Hinata akan selalu bersabar agar Naruto ingin mengajaknya berbicara kembali. Dan pada akhirnya, Hinata tidak pernah dapat memberi kue cokelatnya pada Naruto. Ia merasa egois, karena Hinata tahu bahwa Naruto tidak lagi membutuhkannya. Naruto sudah memiliki banyak teman yang lebih trending daripadanya.
"Naruto-kun memang sudah melupakanku ya?" Hinata menunduk. Berusaha agar air mata-nya tidak mengalir. "Iie, Naruto-kun hanya tidak mendengarku. Mungkin suaraku harus di kencangkan", Hinata berbicara pada dirinya, lalu tersenyum.
Hinata tidak tahu, seseorang mengamatinya. Dengan muka kesal.
.
.
.
Ruang UKS yang biasanya sepi, berubah menjadi ramai sejak kedatangan Hinata. Kakinya terbentur sehingga terseleo. Suara Hinata sih biasa saja, tetapi Ino terlihat sangat panik.
"Aduh, Hinata! Kau kenapa bisa begini sih? Bilang padaku siapa yang melakukannya!", Ino dengan pelan memijat kaki Hinata yang terlihat biru. Dan memberikannya sedikit salep.
Hinata meringgis pelan, "A-Aku hanya terlalu ceroboh saat ditangga,makanya aku terpeleset. Pe-Percayalah,Ino-chan".
Ino yang sudah tahu sifat Hinata yang terlalu baik, menghela nafas panjang dan berkata, "Hinata-chan, kau tidak bisa menjadi terlalu baik seperti ini. Kau harus jujur padaku siapa yang melakukan ini"
"Sudah kubilang, orang itu ti-tidak sengaja. Biarkan–"
"Bagaimana kalau sebagai gantinya, aku yang menghajar orang itu?"
.
.
.
KHS mulai sepi. Bel pulang sudah lebih dari 15 menit yang lalu berdering. Tetapi Ino masih saja berdiri bersandar didepan toilet, menunggu seseorang.
"Hinataaa, cepatlah. Disini semakin sepi…", Ino memang merinding saat ini. Toilet mengingatkannya akan legenda hantu sekolah yang hantunya akan muncul melalui toilet. Entah, Ino lupa namanya. Lagipula, ia tidak ingin mengingatnya. Itu akan membuatnya semakin takut.
"Ah A-Ano.. Ino-chan tidak perlu menungguku. Aku–", belum selesai Hinata berbicara, terdengar suara kaki yang berlari jauh. "Ino-chan..?"
Ino sudah pergi mengejar seseorang yang tiba-tiba lewat didepannya. Dan karena orang itu, Ino melupakan Hinata.
'Maafkan aku, Hinata-chan'
.
.
.
"Hosh.. Hosh.. Hosh.. Aku tahu kau mendengarku, Sasuke!"
Sasuke yang dipanggil, meneruskan perjalanannya dengan santai.
"Oy! Sasuke!" Kesabaran Ino sudah habis. Ia mengambil kotak jus yang ia ambil dari tempat sampah didekatnya dan melemparkannya menuju Sasuke. Kami-sama mengijinkan kotak jus bekas itu sampah ke kepala Sasuke.
Ino sampai kaget sendiri dan terkikik pelan saat Sasuke berhenti walau tanpa menengok ke belakang.
"Apa maumu?", Sasuke bertanya dengan dingin. Ia membalikan badannya.
"Setelah perjuanganku memanggilmu, hanya ini pembalasannya?" Ino berkacak pinggang.
Sasuke menghela nafas, "Cepat. 5 menit dari sekarang."
"Eh? Tidak bisa begitu! Begini loh, sebenarnya, etto.."
"4 menit", apa sasuke tidak bisa lebih banyak memberi waktunya?
"Kalau kau menyukai Hinata, kuharap kau tidak melukainya.",Ino menunduk.
Sasuke membelakan matanya. Rautnya kaget, "Apa maksudmu?" tetapi Sasuke berusaha bersikap tenang.
Melihat perubahan raut Sasuke, Ino berbicara ketus, "Jangan pura-pura tidak tahu! Tadi pagi ku lihat kau menyenggolnya."
Sasuke tetap diam hanya mendengarkan.
"Kakinya terseleo cukup parah. Kau tidak perlu repot-repot minta maaf! Karena aku sudah mengobatinya", Saat Ino berbicara, Sasuke berlari menjauh.
"EH?! Sasuke-kun! Aku belum selesai…" Saat dilihatnya Sasuke sedang menghampiri Hinata yang sedang berjalan sendirian, Ino berhenti mengejarnya. Nafasnya tertahan. Ino belum ingin Hinata sadar bahwa Sasuke menyukainya.
Air matanya mengalir saat melihat Sasuke yang sepertinya menawarkan Hinata untuk pulang bersama. Ini karma karena tadi ia bermaksud meninggalkan Hinata demi Sasuke.
"Ino-chan!", samar-samar terdengar suara Hinata memanggilnya.
"Hiks.. Hiks..", Ino yang mendengarnya buru-buru menghapus air mata kenapa hatinya terasa lebih sakit saat Ia melihat Hinata yang bersusah payah berjalan menuju dirinya daripada saat ditolak Sasuke.
"Y-ya Hinata-chan?"
.
.
.
"Nah, Giliran kau Sasuke!"
Hinata tidak menduga Ino akan melakukan hal seperti ini. Awalnya, Ino hanya mengajaknya dan Sasuke untuk sekedar berbincang-bincang, tetapi kenapa tiba-tiba Naruto datang? Apa ini bagian yang Ino rencanakan juga?
"Hn", Sasuke mengeluarkan satu-satunya kartu yang ia miliki. Jika saja Sasuke menang, Naruto akan sangat heboh. Ino tersipu malu, dan Hinata tidak berubah. Pandangannya selalu menuju kepada Naruto. Dan ternyata, Sasuke menang! Ino juara 2, Naruto juara 3 dan Hinata lah yang kalah.
"Akh! Kenapa selalu Teme yang memenangkan permainan kartu bodoh ini?! Dan kau, Hyuuga, selalu jadi yang kalah!" kata-kata yang keluar dari mulut Naruto terdengar slow-motion di telinga Hinata. Hinata menunduk menyembunyikan wajah merahnya.
Ino senang. Akhirnya ia dapat membuat Hinata lanjut ke permainan selanjutnya.
'Gomenne, Hinata-chan.. Gomen'
Rencananya berjalan lancar.
"Nah, kau pilih apa, Hinata-chan? Truth or Dare?", Ino menanyainya dengan semangat.
"Uhm.. Apa tidak apa-apa kalau a-aku memilih truth?"
"Ah! Tidak apa-apa! Mengenai kondisi kakimu yang tidak stabil, kau sangat cocok dengan pilihan truth loh, Hinata-chan! Nah, pertanyaannya, uhm. Apa kamu masih suka Naru–"
"Hinata. Ayo, pergi"
"Eh?" Hinata bingung sekaligus kaget dengan ajakan Sasuke. Ino kan belum memberikan pertanyaan kepadanya.
Ino menggebrak meja. "Hey, kau tidak bisa seenaknya membawa Hinata pergi!","Aku bahkan belum memberinya 1 pertanyaan!"
Sasuke menarik tangan Hinata. Hendak membawanya keluar. "Sa-sasuke-san.."
"Kau masih menyukai Naruto kan?"
"!" wajah Hinata memerah. Hinata malu setengah mati dengan Naruto. Ingin rasanya ia pergi menghilang dari muka bumi saat itu juga. Sedangkan Naruto tidak memiliki respon yang sama, Ia hanya mengesap rokok dan menghembuskannya pada Ino yang ada disampingnya.
"Oi", Hinata diam. Sasuke terabaikan, ia cemas.
Ino tersenyum paksa, "Me-mengapa kau tidak coba katakan itu pada Naruto sekarang?"
.
.
.
Flashback
"Naruto-kun, A-Ano.. A-Apa kau.. Eh, maksudku.. A-Aku mencintaimu sejak dulu!" dengan wajah tersipu, Hinata malu-malu menyerahkan sebuah kotak cokelat kecil dan surat cinta pada Naruto. Berharap Naruto akan menyambut baik pernyataannya.
"Eh?"
Muka Hinata memerah. Pasalnya, Hinata menyatakan cintanya didepan banyak orang seperti yang disarankan Ino. Lalu Hinata melanjutkan "Sejak kau hadir di kehidupan sd, aku sangat ingin menjadi temanmu. Aku benar-benar bersyukur bisa menjadi sangat dekat denganmu saat SMP, a-aku.. maaf te-terlalu banyak bicara..", Hinata menunduk ia tidak tahu harus berbuat apa. Seperti ada kupu-kupu berterbangan di perutnya.
"Ah, Hinata-chan.. sepertinya kau tahu bahwa aku menyukai Sakura-chan kan?",Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum..palsu. Sedangkan Hinata dibuat shock sebentar. Kupu-kupu yang berterbangan di perutnya hilang seketika.
Hinata merasa Naruto tidak akan menerimanya. Kue cokelat dan suratnya pun belum Naruto terima sama sekali. Muka Hinata memerah. Memerah bukan karena tersipu, tetapi karena benar-benar malu. Disekelilingnya banyak siswa yang sedang berbisik-bisik sambil menatapinya. Ia melihat Ino tersenyum paksa kearahnya. Hinata pusing. Ia merasa sesuatu akan keluar dari dalam perutnya.
Hinata membungkukan badannya pada Naruto. Pusing dikepalanya semakin jadi. "Hountou ni gomenna–Hoekkk!" Hinata merasa sedikit lega saat sesuatu keluar dari perutnya.
"Astaga! Lihat dia! Muntah dan mengenai sepatu milik Naruto-kun!", Hinata akhirnya menyadari bahwa barusan, Ia muntah. Hinata menegakan diri, lalu melihat siswa-siswa menertawakannya.
"HAHAHA", Hinata seperti ingin mati.
Ia melihat Naruto yang menyembunyikan tawanya. Hinata menunduk lalu dengan cepat berlari meninggalkan kawasan tadi. Hinata merutuki dirinya sendiri yang terlalu percaya diri. Ia bergegas menuju belakang sekolah dan berdiri dibalik tembok.
"Hiks..Hiks.."
Hinata merasa Naruto akan menjauh dari kehidupannya.
Flashback off
.
.
.
"Oy Hinata-chan! Jawab lah~ Kau masih menyukai Naruto kan?"
Hinata sadar. Ia dan Naruto. Naruto telah berubah. Sedangkan Hinata sama sekali tidak berubah. Perasaannya pada Naruto masih sama seperti sd dulu.
"I-Iie", Ia berbohong. Hinata hanya tidak ingin Naruto semakin membencinya.
"A-Aku menyukai seseorang yang lain.."
Begini lebih baik, pikir Hinata.
"E-Eh?" Ino terkejut tidak percaya pada pernyataan Hinata. Pandangannya menuju Sasuke yang sama terkejutnya dengan dirinya.
Tiba-tiba Naruto berbicara, "Sepertinya aku tidak bisa disini sampai malam. Ternyata Sakura-chan menunggu ku di stasiun. Aku harus berge–"
Belum selesai Naruto berbicara, Hinata telah pergi.
"Eh? Anak itu kenapa pergi duluan?", Naruto bertanya. Tidak ada yang menjawab. Malahan Sasuke langsung dengan cepat keluar untuk mengejar Hinata. Menyisakan Naruto dan Ino yang sepertinya tidak tahu keadaannya akan seperti ini.
"Huaaa aku memang teman yang jahat! Hinata-chan, gomennasaaai", Ino menangis seperti seorang bayi yang sedang merengek-rengek.
Sedangkan Naruto. Rautnya kosong.
.
.
.
Hinata berlari. Berlari sampai berpuluh-puluhan tetes keringat meluncur melewati pelipisnya.
"Hinata, tunggu!", menghiraukan panggilan Sasuke yang sedaritadi memanggilnya.
"Hinata!" Tinggal beberapa blok lagi, rumahnya akan terlihat. Ia tidak mau menemui Sasuke ataupun Naruto. Ia hanya ingin pulang. Tapi langkahnya terhenti. Ada Hanabi didepan rumahnya. Bersama seseorang laki-laki. Perkiraan Hinata, Hanabi baru saja diantarkan pulang. Hinata tertawa pelan. Bukan ingin menertawakan Hanabi, tetapi Hinata senang adik kecilnya itu ternyata sudah dewasa.
"Kenapa berhenti, eh?", got ya! Saking asiknya mikirin Hanabi, Hinata lupa akan Sasuke yang mengejarnya.
"Wah wah, ternyata adikmu hebat juga ya."
Hinata menoleh kebelakang, menemukan Sasuke dengan senyuman yang menurut Hinata menyeramkan. "A-Apa maksud Sasuke-san?"
Sasuke berjalan mendekati Hinata, "Lihat laki-laki itu", Hinata memfokuskan pandangannya kepada lelaki yang barusan mengantarkan Hanabi. "Memakai jas, tas kantoran, dan baru saja memasuki mobil mewah."
Hinata sepertinya mulai mengerti maksud dari perkataan Sasuke.
"Apa dia berpacaran dengan om-om?"
Jedarrr! Seperti ada kilat yang menyambar, Hinata membelakan matanya. Tidak bisa berbicara apa-apa karena apa yang dikatakan Sasuke benar adanya.
"Atau hanya one night stand?" PLAKK!
Sasuke kaget. Hinata baru saja menamparnya. Mana pernah ada perrempuan yang berani menamparnya selama ini. Anak yang dulunya sering ia bully, menamparnya.
Hinata pun kaget. Yang ia lakukan tadi itu refleks. Hinata takut. Dirinya masih terbayang-bayang oleh Sasuke yang dulu.
"Kau.."
Hinata yang tidak sanggup berkata-kata, memilih untuk kabur. Meninggalkan Sasuke dengan sejuta perasaan yang tidak bisa Sasuke jelaskan apa artinya.
Sasuke memegang pipinya yang merah itu. "Heh, apa-apaan dia", lalu berbalik dan berjalan santai.
'Hinata Hyuuga.'
Sepertinya, hari kedepan seorang Uchiha bungsu ini akan semakin rumit.
'Hyuuga Hinata'
Pikirannya selalu tentang Hinata.
.
.
.
Hinata memasuki rumahnya dengan lesu. Masih terpikirkan kejadian saat dirinya menampar Sasuke. Hinata berdoa agar Sasuke tidak membesar-besarkan persoalan kecil ini.
"Tadaima.."
Tidak ada jawaban.
"Hanabi-chan?"
Hinata butuh penjelasan tentang orang yang mengantarkan Hanabi tadi.
"Hanabi?"
Tiba-tiba muncul suara, "Okaeri, Nee-san."
Melihat Hanabi yang berwajah tidak peduli membuat Hinata tidak pede ingin memulai pembicaraan dengan Hanabi. Tapi Hinata tahu, Hanabi yang keras kepala akan mengerti arti nasihat yang Hinata akan berikan nanti.
"Hanabi-chan mau makan apa?", menghangatkan suasana sangat penting sebelum memulai pembicaraannya.
"Sudah makan. Hinata-nee saja." Saat melihat Hanabi duduk di sofa, Hinata memilih untuk duduk disebelahnya. Ini moment yang tepat untuk berbicara dengan Hanabi.
"Hinata-nee sudah makan juga. Hanabi tidak mengerjakan pr?", televisi menyala. Ternyata Hanabi yang menyalakannya.
"Ti-tidak ada pr ya?" Entah kenapa, Hinata merasa gugup. Masalahnya, Hinata dan Hanabi tidak pernah berbicara sebanyak ini setelah ayahnya pergi.
"Tidak." Hanabi terlihat acuh tak acuh. Ia menghiraukan perkataan Hinata dengan berfokus kepada smartphone canggihnya, yang bahkan Hinata tidak miliki. Hinata tidak mengetahui darimana Hanabi memiliki smartphone yang terbilang sangat canggih. Tau-tau sudah ada saat Hanabi berulang tahun, tahun kemarin.
"Kalau Hanabi-chan tidak mau menonton televisi, lebih baik dimatikan. Sekarang kan Hanabi-chan sudah besar, jadi harus belajar menghemat listrik ya", Hinata tersenyum.
Hanabi mematikan televisi. "Senyuman itu memuakan. Dan perhatian palsumu itu menjijkan, nee-san"
Hinata yang mendengar perkataan Hinata merasa seperti ditibani batu berton-ton. Tapi Hinata mengganggap itu sebagai candaan.
"Ah, A-Apa Hanabi-chan ingincemilan? Orang yang lapar memang lebih mudah–"
"Aku bilang tidak lapar.", Hanabi bangkit. Mukanya merah karena marah.
"Aku bukan anak kecil lagi. Nee-san selalu memanjakan ku dan itu memuakkan.", Hinata kaget. Ia merasa ia telah berhenti bernafas sekitar 3 menit.
"T-Tapi"
"Nee-san tidak perlu susah-susah mengatur kehidupanku sekarang. Aku sudah SMP dan bisa mengurus diriku sendiri!", Hinata diam. Ia melihat banyak sekali perubahan dalam diri Hanabi.
Rok sekolahnya sangat pendek. Bahkan dalamannya dapat terlihat jelas jika menunduk. Kukunya warna-warni. Benar-benar berbeda dari Hanabi dulu yang sangat tomboy.
"Astaga, Hanabi.. Mengapa rokmu sa-sangat pendek? Ada apa dengan kukumu itu?", Hinata miris. Ia sadar ini kesalahannya. Perhatiannya pada Hanabi sangat kurang.
Hinata menghampiri Hanabi, bermaksud untuk memeluknya. Menenangkannya. Tetapi, Hinata terhenti saat melihat apa yang ada di leher sang adik. Sebuah bercak merah yang kelihatannya masih baru.
"Si-siapa yang berani melakukan hal ini?", Hinata memperhatikan lebih dekat. Takut ia salah perkiraan. Tetapi, Hinata benar.
".."
"Katakan pada Nee-san siapa yang melakukan hal ini,Hanabi..", Hinata menangis. Siapa yang membuat Hanabinya berubah?
"Kau bukan juga Kaa-san ataupun Tou-san. Kau tidak perlu repot-repot mengurusiku.",
"Hanabi boleh tidak mendengar Nee-san setelah ini. Ta-Tapi Nee-san punya pertanyaan padamu,Hanabi.."
Bisa dilihat perubahan yang drastis pada Hanabi. Hanabi menjadi pembangkang, dan Hinata sangat menyalahkan dirinya.
"Siapa yang tadi mengantarmu kerumah? Pacarmu?", pertanyaan Hinata membuat Hanabi mengeluarkan keringat dingin. Hanabi bingung ingin menjawab apa.
"Bu-Bu.. Hm, Iya, ada masalah?"
Jawaban Hanabi membuat Hinata merasa sangat bersalah. Hinata mengecewakan mendiang ibunya. Pasti Ibunya sedang menangis diatas sana.
Hinata memegang kedua bahu Hanabi. Memperjelas tatapannya dan berkata, "Nee-san minta agar Hanabi-chan berhenti berhubungan dengan orang itu ya? Hanabi boleh berpacaran, tetapi tidak dengan yang jaraknya sangat tua.." Hanabi menangkis pegangan Hinata setelahnya.
"Jangan berlagak seperti Kaa-san!"
"Nee-san pasti senang karena terlahir mirip Kaa-san! Tou-san lebih menyayangi Nee-san daripada diriku yang menyedihkan ini!" Tidak. Ini salah. Ayahnya tidak pernah sedikitpun memberi perhatian kepada Hanabi. Kemiripannya dengan mendiang Kaa-san sedikit membuatnya menderita.
"Nee-san pun lebih disayang Neji-nii. Semua orang menyukaimu,Nee-san. Seberapa beruntungnya kah dirimu?" Hanabi belum mengetahui tentang Neji yang pernah sangat membenci Hinata.
"Dan sekarang, saat seseorang menyukaiku, Nee-san berkata agar aku menjauhi mereka. Aku bisa membeli semua accesories ini juga karena ada om iruka! Seharusnya Nee-chan berterima kasih!. Aku tanya, apa Nee-san sanggup jika aku meminta semua ini?"
"Ha-Hanabi ingin mempunyai aksesoris yang lucu-lucu? A-Ah etto.. Hinata-nee bisa membelikannya kok! Hanabi ma-mau yang warna apa? Warna merah muda? A-Atau un–"
"Aku tidak butuh! Pakai saja uang itu untuk dirimu sendiri!"
"Tu-Tunggu, Nee-san kan belum selesai bicara", kali ini Hinata benar-benar menghampiri Hanabi untuk memeluknya, tetapi..
"Ini semua karena Nee-san tidak sanggup! Nee-san jahat! Aku benci Nee-san!", Hanabi berlari menuju kamarnya. Meninggalkan Hinata. Dengan perasaan bersalah.
Hinata jatuh terduduk dilantai beralaskan karpet. Air mata terus mengalir. Tapi Hinata tidak terisak.
'Gomenne, Kaa-san.. Gomen'
TBC
