Malam hari di bibir pantai tidak sedingin ketika kau hanya meringkuk di kamar dan tahu esok pagi kau hanya akan menjalani hari-hari biasa dengan kehidupan yang biasa pula.
Aku punya sebuah kuncup bunga. Kuncup itu tumbuh dalam akuarium kosong alih-alih di lapang terbuka. Selamanya kuncup itu hanya akan berseri pada matahari sebanyak kotak jendela, langsung meringkuk hanya karena derak angin disertai hujan mendesak jendela pula.
Tidak ada yang salah dengan tempatku hidup. Hanya mungkin aku mempertanyakan keinginanku untuk merubah nasibku atau tidak.
Dan kau Mitsuru, mungkin kau adalah tangan yang awal mulanya memindahkanku ke pekarangan.
Aku merasakan hujan, aku merasakan terik matahari tidak hanya ketika pagi, aku merasakan embusan angin nyaris melepasku hingga ke akar, aku merasakan kubah pekat bertabur benda berkilauan, dan itu semua mengubahku menjadi bunga yang mekar dengan semestinya.
Boleh jadi aku terlihat egois dan hanya memikirkanmu. Tapi melihat ke seluruh hal di bumi ini, mereka punya inti yang tidak akan dilepas begitu saja. Inti itu penting, di mana semuanya bermula, di mana semuanya seperti sedia kala. Aku mengikuti aliran inti itu, yang membawaku padamu. Baik itu dirimu atau diriku, baguslah kita dipertemukan satu inti yang sama.
Aku senang kamu mengulurkan tangan padaku yang bimbang akan intiku. Aku senang kamu mengulurkan lengan untuk menjaga diriku tetap sejalan denganmu. Aku senang senyum milikmu terus memekarkan bunga di kehidupanku.
Barangkali suatu saat nanti kita berpisah, aku tidak begitu mempedulikannya.
Untuk apa mengkhawatirkan ketidakjelasan, ketika aku tahu di genggamanku, tertaut pengikat kita berdua, dan di hari ini, aku resmi mengikrarkan hidupku hanya untukmu Mitsuru.
