Disclaimer : Boboiboy dan yang lainnya bukan punyaku, they belong to Animonsta Studio

Warning : AU, typo (s), cerita rada gaje, alur agak kecepetan, dan yang pasti OOC

Anak laki-laki itu mengayunkan kaki-kaki kecilnya yang menggantung di pinggir sofa. Sesekali matanya menatap keluar jendela, berharap melihat cahaya lampu mobil orangtuanya yang memasuki pekarangan rumah, namun tak ada tanda-tanda kepulangan mereka. Ia mulai terlihat sedikit gelisah, tidak biasanya orang tuanya pulang selarut ini.

Kegelisahannya langsung sirna saat cahaya lampu mobil menyorot masuk melalui gorden jendela ruang tamu. Dengan sigap ia melompat turun dari sofa dan berlari untuk membukakan pintu depan. Wajah polosnya berbinar bahagia saat melihat sang ibu muncul di depan pintu dan tersenyum padanya.

"Assalamualaikum. Kami pulang, sayang," kata ibu anak laki-laki itu sambil mengelus rambut putra kesayangannya.

"Waalaikumsalam. Selamat datang, ibu!" seru si anak gembira.

"Boboiboy, ibu dan ayah punya kejutan untukmu. Coba tebak apa?" tanya si ibu.

"Mainan baru?" seru Boboiboy antusias.

"Bukan sayang," kata ibu Boboiboy lembut. Ayah Boboiboy muncul sambil menggandeng tangan seorang gadis kecil berkerudung merah muda. "Kami membawakan saudara baru untukmu. Sekarang kau punya seorang adik perempuan," lanjutnya sambil terus tersenyum.

Boboiboy menatap gadis yang bersembunyi di balik kaki ayahnya itu. Matanya berbinar bahagia. Ia memang selalu menginginkan seorang saudara, karena sebagai anak tunggal ia sering merasa kesepian. Dan kini orangtuanya telah memberikan seorang saudara untuknya, yang berarti ia tak akan pernah sendirian lagi.

"Ayo, Yaya, perkenalkan dirimu," kata ayah Boboiboy pada gadis kecil itu.

Yaya melangkah malu-malu menghampiri Boboiboy dan mengulurkan tangan kecilnya, "Salam kenal. Namaku Yaya Yah," katanya dengan wajah bersemu merah.

Boboiboy menyambut uluran tangan Yaya dengan gembira, "Salam kenal, Yaya. Aku Boboiboy. Mulai sekarang kita jadi saudara, ya!" serunya bersemangat. Ia langsung memeluk Yaya, yang kini telah menjadi adik perempuannya, Wajah Yaya semakin memerah, namun ia mengangguk kecil, dan ikut tersenyum senang.

.

.

.

"Boboiboy, bangun! Kalau tidak nanti kau bisa terlambat ke sekolah!"

Boboiboy mengerang pelan. Ia berguling ke samping dan menatap jam yang tergantung di dinding kamarnya. Masih jam enam lebih sepuluh menit.

"Kenapa sih Yaya selalu menyuruhku bangun secepat ini?" gerutu Boboiboy. Ia bersiap-siap untuk tidur kembali, namun lagi-lagi teriakan adik perempuannya itu membuatnya tak bisa melanjutkan mimpinya.

"Boboiboy! Kalau kau tidak bangun sekarang, kau akan merasakan akibatnya!" ancam Yaya.

Dengan malas Boboiboy menendang selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Dengan mata setengah terpejam ia melangkah keluar kamar dan menuruni tangga menuju dapur, tempat Yaya tengah sibuk memasak makanan untuk sarapan.

"Bisa nggak sih, nggak usah teriak pagi-pagi buta gini? Kau mengganggu tetangga tau," gerutu Boboiboy sambil menghempaskan dirinya di kursi meja makan.

"Kalau begitu, lebih baik kau belajar bangun pagi, agar aku tidak perlu berteriak membangunkanmu lagi," kata Yaya sambil meletakkan sepiring nasi goreng di depan Boboiboy.

"Untuk apa sih, bangun sepagi ini? Sekolah kan mulai pukul 7.30," keluh Boboiboy.

"Karena aku adalah murid teladan kesayangan para guru, jadi aku harus selalu tiba lebih awal. Dan aku juga tidak ingin kakakku tersayang mencoreng nama baikku dengan terlambat datang ke sekolah," kata Yaya kalem. Ia mendudukkan diri di kursi di depan Boboiboy dan mulai menyantap nasi gorengnya. Boboiboy hanya menggerutu tak jelas dan ikut memakan nasi goreng miliknya.

"Di mana Tok Aba?" tanya Boboiboy setelah menelan suapan pertama nasi gorengnya.

"Atok pergi mengantarkan cokelat ke pelanggan," jawab Yaya.

"Sepagi ini? Kasihan Tok Aba, Atok kan sudah tua," gumam Boboiboy sambil menyuapkan nasi lagi ke dalam mulutnya.

"Makanya kau harus bangun cepat dan membantu Tok Aba," ujar Yaya.

"Iya deh, iya," balas Boboiboy.

Mereka kemudian menghabiskan sarapan dalam diam. Setelah selesai, Yaya membereskan piringnya dan Boboiboy dan membawanya ke tempat cuci.

"Cepat naik ke kamar dan bersiap-siap. Awas kalau kau tidur lagi," kata Yaya dengan nada mengancam pada Boboiboy.

"Iya, iya. Dasar bawel," kata Boboiboy. Ia melangkah kembali ke kamarnya dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

.

.

.

Yaya menguap dan mulai membereskan buku-buku yang berserakan di mejanya. Tadi malam ia membaca novel sampai larut, kerena itu ia merasa mengantuk hari ini. Sahabatnya, sekaligus teman sebangkunya, Ying, mengawasi Yaya yang memasukkan bukunya ke dalam tas dengan sedikit ogah-ogahan.

"Kau terlihat mengantuk. Pasti kau membaca sampai larut malam lagi, kan?" tanya Ying.

"Begitulah," gumam Yaya. Ia melipat lengannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. "Aku mau tidur sebentar. Kau duluan saja ke kantin," lanjutnya lagi.

Ying bangkit dari tempat duduknya. "Mau nitip sesuatu?" tanyanya.

"Nggak usah. Aku nggak lapar," balas Yaya pelan.

"Ya udah kalau gitu. Aku ke kantin dulu, ya," ucap Ying.

"Oke," kata Yaya. Ia menenggelamkan kepalanya ke dalam lengan dan bersiap-siap tidur, namun ia terkejut saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Yaya mendongak dan melihat Boboiboy yang menempelkan sekaleng kopi dingin ke pipinya.

"Nih kopi, biar nggak ngantuk" kata Boboiboy.

"Makasih," balas Yaya. Ia menerima kopi dan juga dua potong sandwich yang disodorkan Boboiboy.

"Tapi kalau kau memang mengantuk, tidurlah sebentar. Baru nanti minum kopinya," ujar Boboiboy.

"Seperti biasa, kalian mesra sekali ya," kata Ying yang masih belum beranjak ke kantin.

"Mesra apaan. Aku kan cuma berusaha jadi kakak yang baik. Iya, kan adik kecil?" kata Boboiboy sambil mengelus kepala Yaya. Gadis itu hanya cemberut saat dipanggil 'adik kecil' oleh Boboiboy.

"Sayang sekali ya, aku sebenarnya berharap kalian bukan saudara dan benar-benar berpacaran. Kalian benar-benar pasangan yang serasi," ujar Ying sambil mendesah kecewa.

"Jangan ngaco, Ying. Cepat ke kantin sana," gerutu Yaya.

"Iya, iya. Aku nggak bakalan mengganggu kemesraan kalian, kok," kata Ying dengan senyum jahil. Ia kemudian berjalan menuju kantin sambil bersenandung riang. Yaya dan Boboiboy menatap kepergian teman mereka itu sambil geleng-geleng kepala.

"Kalau begitu kakak mau pergi main bola sama Gopal dulu ya," kata Boboiboy sambil tersenyum manis.

"Nggak usah sok tua, deh. Cuma beda dua bulan juga," ujar Yaya kesal.

"Eits, adik kecil, nggak boleh ngomong gitu ke kakak. Nanti jadi adik durhaka, lho," kata Boboiboy lagi sambil menepuk-nepuk kepala Yaya.

Yaya menepis tangan Boboiboy, "Udah pergi jauh-jauh sana," ucapnya, semakin kesal.

"Oke, deh. Selamat beristirahat adikku tersayang!" seru Boboiboy sambil berlari keluar kelas. Yaya hanya memutar bola matanya melihat tingkah kakak laki-laki yang lebih tua dua bulan darinya itu. Ia membuka sebungkus sandwich yang dibelikan Boboiboy dan memakannya dengan lahap. Setelah itu ia pun kembali menenggelamkan kepalanya di lengannya dan langsung tertidur.

.

.

.

Yaya baru saja selesai memebreskan barang-barangnya dan bersiap pulang. Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal, ia pun menghampiri Ying yang telah menunggunya di depan kelas.

"Ayo pulang," kata Yaya. Ying mengangguk, dan mereka pun bersama-sama melangkah ke pintu. Baru saja mereka tiba di depan pintu, tiba-tiba saja Boboiboy telah berdiri di hadapan kedua gadis itu dan menghadang jalan mereka.

"Hari ini aku pulang telat, ya. Ada latihan," kata Boboiboy tanpa basa-basi.

"Oke. Tapi jangan pulang terlalu larut, nanti Tok Aba cemas," kata Yaya datar.

"Bukkannya nanti kau yang cemas?" goda Ying. Yaya langsung menyikut sahabatnya itu dan membuat gadis berkuncir dua itu mengerang pelan.

"Ya udah, deh. Kami pulang dulu," kata Yaya pada Boboiboy.

"Oke, hati-hati di jalan, ya," ujar Boboiboy. "Ying, tolong jaga adik kesayanganku ini, ya," kata Boboiboy lagi sambil mengedipkan sebelah matanya pada Ying.

"Sip, tenang aja. Dia pasti aman kalau bersamaku," balas Ying.

Yaya hanya memutar bola matanya melihat mereka berdua. Ia dan Ying pun kembali melanjutkan langkah mereka.

"Kau beruntung sekali punya kakak laki-laki yang sangat perhatian padamu," kata Ying sedikit iri.

"Perhatian apaan. Dia selalu saja menggodaku dan menganggapku anak kecil. Padahal sifatnya lebih kekanak-kanakan daripadaku," gerutu Yaya.

"Yah, setidaknya kau punya teman di rumah. Daripada aku yang cuma sendiri," keluh Ying. Baginya yang seorang anak tunggal, memiliki seorang saudara terlihat sangat menyenangkan untuknya, tak peduli seperti apa pun saudaranya itu.

"Iya, juga, sih," gumam Yaya. Ia memang tidak pernah merasa kesepian di rumah, karena Boboiboy selalu ada bersamanya.

Kedua gadis itu terlihat sibuk tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Barulah setelah melewati sebuah taman yang dipenuhi pasangan-pasangan yang tengah bermesraan, Ying membuka mulutnya.

"Hei, Yaya. Apa kau pernah kepikiran ingin punya pacar?" tanya Ying.

"Nggak, tuh. Lagian pacaran kan dosa," jawab Yaya.

"Lalu, apa kau pernah jatuh cinta?" tanya Ying lagi. Ia memandangi Yaya dengan tatapan jahilnya. Yang ditatap segera berpaling karena entah kenapa wajahnya mulai bersemu merah.

"Nggak, nggak pernah!" sahut Yaya cepat.

"Oh, ya?" ucap Ying, dengan nada dibuat-buat. "Lalu kenapa wajahmu memerah? Ayo cepat ngaku. Kau pasti pernah jatuh cinta, kan?" tanya Ying antusias.

"Sudah kubilang nggak pernah!" kata Yaya kesal. Ia mempercepat langkahnya dan meninggalkan Ying di belakang.

"Hei, Yaya, tunggu aku!" seru Ying. Ia berhasil menyusul Yaya dan kembali menggoda sahabatnya itu. "Ayolah, Yaya. Masa kau tidak mau jujur pada sahabatmu sendiri? Aku janji deh, nggak akan bilang siapa-siapa," bujuk Ying.

"Berhentilah menggodaku, Ying. Kalau tidak aku terpaksa mempraktekkan jurus karateku padamu," ancam Yaya.

Ying memanyunkan bibirnya kecewa, "Yah, Yaya nggak asik, ah. Masa gitu doang marah?" ujarnya. Yaya hanya mendengus pelan dan terus melanjutkan langkahnya.

"Lain kali aku pasti akan berhasil memaksamu bicara!" ujar Ying bersemangat.

"Jangan harap," gumam Yaya dengan wajah cemberut.

Ying tertawa melihat ekspresi cemberut Yaya. Setelah itu ia akhirnya terpaksa membelikan es krim untuk Yaya karena sahabatnya itu masih ngambek dan menolak bicara dengannya. Dengan dua scoop es krim vanilla dan cokelat untuk masing-masing, akhirnya kedua gadis itu melanjutkan kembali perjalanan pulang mereka dengan damai.

.

.

.

"Assalamualaikum," ucap Boboiboy saat memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," terdengar suara atoknya menyahut dari dalam. Boboiboy melepas sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu sebelum berjalan masuk ke dalam rumah. Ia melihat Tok Aba sedang menonton TV di ruang keluarga dan segera menghampiri atoknya itu.

"Boboiboy pulang, tok," ucap Boboiboy sambil menyalami Tok Aba.

"Ya, selamat datang. Bagaimana latihannya?" tanya Tok Aba.

Boboiboy meletakkan tasnya di lantai dan menghempaskan dirinya di sofa di sebelah atoknya. "Lancar, seperti biasa," jawabnya. Ia meletakkan kepalanya di senderan sofa dan memejamkan matanya. "Tapi latihan hari ini lebih melelahkan, karena sebentar lagi mau ada turnamen," keluh Boboiboy.

"Oh, ya? Kapan turnamennya? Boleh atok ikut nonton?" tanya Tok Aba bersemangat.

"Boleh dong, Tok. Nanti pasti Boboiboy siapkan tiket untuk atok," kata Boboiboy dengan senyum kecil. "Ngomong-ngomong Yaya mana, tok?" tanya Boboiboy.

"Yaya lagi masak makan malam. Lebih baik kau segera ganti baju, Boboiboy. Pasti sebentar lagi makan malamnya siap," ujar Tok Aba.

"Baik, tok." Boboiboy menguap pelan sebelum akhirnya beranjak bangun dari sofa dan bergerak menuju kamarnya di lantai dua.

.

.

.

Yaya memandang ke arah jendela di ruang tamu dengan perasaan cemas. Hujan yang turun sejak satu jam yang lalu, di tambah dengan angin kencang yang juga bertiup, menimbulkan suara ribut di luar yang membuat Yaya merasa takut untuk naik ke kamarnya. Boboiboy, yang menyadari kegelisahan adik perempuannya itu, mengalihkan pandangannya dari layar televisi yang sedang ditontonnya.

"Kau tidak pergi tidur?" tanya Boboiboy.

Yaya menoleh pada Boboiboy dan menggeleng pelan. "Nggak. Bentar lagi aja," gumamnya. Ia kemudian mengambil segenggam keripik dari mangkuk di tangan Boboiboy dan memakannya sambil ikut menonton TV.

"Nanti kau terlambat bangun, lho," kata Bobobioy sambil ikut memakan keripik.

"Nggak akan. Jangan samain aku sama kamu," balas Yaya. Angin dan hujan terus mengetuk jendela, membuat Yaya lagi-lagi melirik dengan cemas.

"Kau takut tidur sendirian saat ada badai begini, kan?" tanya Boboiboy sambil tersenyum tipis.

"Siapa bilang? Nggak, kok," kata Yaya mengelak.

"Oh, ya? Padahal dulu kau selalu minta tidur bersamaku tiap kali ada badai seperti ini," kata Boboiboy santai.

"Itu kan dulu, waktu kita masih kecil," kata Yaya kesal.

"Oh, jadi sekarang adik kecilku ini sudah besar ya? Nggak minta ditemani lagi saat tidur?" Boboiboy masih terus menggoda adik tanpa ikatan darahnya itu.

"Aku mau tidur aja. Kalau ngomong sama kamu emang nggak pernah beres," gerutu Yaya. Ia beranjak dari sofa dan melangkah dengan kesal ke arah kamarnya.

"Selamat tidur, adikku tersayang," ucap Boboiboy ceria. Ia tertawa melihat Yaya yang kesal karena perkataannya.

Setelah Yaya pergi, Boboiboy kembali melanjutkan kegiatannya menonton acara komedi di TV. Suara petir yang memekakkan telinga, membuat pemuda itu sedikit kaget, namun ia terus saja menonton TV dan memakan keripiknya dengan santai. Suara derap langkah dari belakangnya membuatnya menoleh. Ia melihat Yaya berdiri di pintu masuk ruang tamu sambil memeluk gulingnya. Gadis itu tidak berkata apa-apa, namun matanya terlihat sedikit berkaca-kaca.

Boboiboy jadi tidak tega melihat Yaya seperti itu. Ia tau Yaya sangat takut mendnegar suara petir, apalagi di malam hari seperti ini.

"Kemarilah," kata Boboiboy. "Kau bisa tidur di sini," katanya lagi sambil menepuk-nepuk sofa di sebelahnya.

Yaya melangkah ke arah Boboiboy dan langsung menghempaskan dirinya di sofa. Boboiboy menggeser sedikit posisinya untuk memberi ruang agar Yaya bisa berbaring. Tanpa berkata apa pun, Yaya langsung bergelung di sofa sambil memeluk gulingnya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Gadis itu sebenarnya merasa malu karena di usianya yang sekarang, ia masih tidak berani jika harus tidur sendirian saat cuaca seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, ia memang tidak bisa tidur saat ada badai berkecamuk di luar jendela kamarnya.

Boboiboy mengelus rambut hitam Yaya pelan. "Dasar. Kau memang tak pernah berubah, ya," kata Boboiboy. Yaya hanya membalas dengan gumaman tak jelas karena suaranya teredam oleh bantal guling yang terus dipeluknya.

Boboiboy mengira Yaya telah tertidur, karena ia bisa mendengar suara nafas Yaya yang teratur. Pemuda itu pun beranjak bangun sepelan mungkin, ia berniat pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Namun tiba-tiba ada yang menahan tangannya.

"Jangan pergi," bisik Yaya. Wajahnya sudah tidak tersembunyi di balik bantalnya lagi. Matanya yang sudah setengah terpejam menatap Boboiboy dengan memohon. Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur, dan kembali mendudukkan diri di sofa. Ia membelai lembut kepala Yaya, dan balas berbisik, "Tenang saja. Aku tidak akan kemana-mana."

Yaya menyungggingkan senyum tipis, dan kemudian ia pun jatuh tertidur dengan Boboiboy yang terus mengusap kepalanya dengan lembut.

.

.

.

TBC (?)

Ini apa? #jedukinkepalakemeja

Gara-gara dapat serangan galau mendadak (?), malah berakhir nulis fic kayak gini.

Jadi, ada yang mau memberi tanggapan?