.

.

Sudah Waktunya

Rozen91

Harry Potter © J. K. Rowling

.

.

Sesosok pemuda yang bersembunyi di bawah lantai kayu tampak gelisah. Matanya tak pernah terlepas dari fenomena di atas sana. Jantungnya berdetak keras menyaksikan peristiwa itu. Snape memang sudah menyuruhnya untuk tidak bersuara. Sekarang, keselamatan Dumbledore berada di tangan pria itu. Walaupun rasa curiga terhadap pria itu lebih besar, namun, ie terpaksa memercayainya. Karena Dumbledore percaya padanya.

Bellatrix memandang angkuh pada Snape. Sementara, Draco masih mengacungkan tongkat sihirnya pada Dumbledore. Para Pelahap Maut sudah tak sabar menanti kematian orang tua itu. Di bawah, Harry berharap agar Snape segera menyingkirkan para Pelahap Maut dari sisi Dumbledore. Namun, ia tersentak, tatkala tongkat sihir Snape yang tadinya mengarah ke arah Pelahap Maut, kini teracung di depan Dumbledore. Suara kokok ayam yang terdengar dari kejauhan, menyadarkan Harry. Ia lantas memasukkan tongkat sihirnya ke saku celananya.

Di atas, Dumbledore menatap Snape penuh harap. "Severus, tolonglah..."

Snape menguatkan hati setelah terdiam cukup lama, "Avada-"

"Tunggu dulu!"

Suasana berubah hening. Semua mata tertuju pada Harry Potter yang menatap mereka dengan keseriusan. Semua menunggu apa yang akan dikatakan oleh 'yang terpilih' itu. Perlahan, jarinya terangkat dan menunjuk ke arah Draco. Draco menelan ludah. Ia mengangkat tangan kirinya yang ditunjuk oleh laki-laki itu. Matanya melebar, sebelum sorot matanya berubah serius. Ia menatap balik Harry. Ia menganggukkan kepalanya setelah tahu maksud pemuda itu. Harry balas mengangguk. Tiga Pelahap Maut selain Draco, menahan nafas. Harry tersenyum.

"Semuanya..." Pemuda itu mulai berbicara. Perlahan, Snape membantu Dumbledore berdiri. Kepala sekolah itu menepuk-nepuk jubahnya. Ia juga ikut tersenyum. Draco sendiri sudah menggulung lengan bajunya hingga di atas siku. Ia melepaskan jam tangannya. Harry tersenyum hangat. "...sudah waktunya sholat subuh," tandasnya dan semua yang mendengarnya menghela nafas seraya tersenyum lega.

"Alhamdulillah. Ayo, kita berangkat ke Masjid," ajak sang Imam masjid, Albus Dumbledore. Semuanya mengangguk dengan senyum lega di wajahnya.

Dengan wajah berseri-seri, mereka menuruni Menara Astronomi menuju Masjid al-Ikram yang berada di halaman barat yang langsung mengadap ke arah Danau Hitam. Pohon-pohon hijau nan rindang menjulang tinggi di sisi-sisinya. Masjid yang selalu bersih dan tenang itu benar-benar menentramkan hati. Tak jauh di belakang mereka, tampak para siswa, guru, dan Pelahap Maut, dan para Auror, serta tak ketinggalan Argus Filch, berjalan berbondong-bondong ke arah Masjid.

Tempat berwudhu laki-laki dan perempuan terpisah. Berurutan mereka berwudhu, seraya berbincang-bincang tentang peristiwa yang telah mereka alami tadi. Mereka semua tertawa akrab seolah tak ada permusuhan di antara mereka. Baik itu Slytherin, Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, Auror, ataupun Pelahap Maut, serta tak ketinggalan, Argus Filch dan semuanya-yang-tak-disebutkan.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar!"

Azan yang dikumandangkan oleh Crabbe terdengar. Alhamdulillah, sebagian besar jama'ah sudah berada di dalam masjid. Laki-laki di bagian depan, sementara perempuan di belakang. Setelah azan selesai, sebagian memulai sholat sunah dua rakaat. Kemudian setelah iqamah dikumandangkan, para jama'ah memulai sholat subuh dengan Dumbledore sebagai Imam.

Alhamdulillah, mereka masih bisa sholat di tengah-tengah pekerjaan mereka.

Di kejauhan, para hantu bertepuk tangan penuh kebanggaan. Mereka bersyukur, orang-orang yang masih hidup masih memiliki kesadaran untuk terus menyiapkan bekal untuk hari kemudian.

_The End_