[1] did you guys heard that? tentang apa yang terjadi sama guanlin? aku masih saja emo T.T

[2] happy reading :)

.

.

In order to catch you, I've been expecting for 18 years.

That's why now you're mine.

- I See

.

.

01

Woojin tidak pernah lari, sekali pun, meski tubuhnya akan berakhir babak belur akibat berkelahi sampai busuk. Tidak, Woojin tidak suka berkelahi. Ia hanya benci cecunguk-cecunguk sekolah tetangga yang sering mengganggu teman-temannya. Maka, Woojin lah yang akan melindungi mereka.

Meski itu berarti, ia harus meladeni bedebah-bedebah itu dalam adu jotos yang panjang dan super melelahkan, Woojin tidak apa. Setidaknya ia tidak mati.

Ketika para sampah itu puas memukulinya, mereka akan berjalan pulang dengan langkah terseok diiringi sumpah serapah. Woojin, yang terlentang menghadap langit oranye, menyeringai, puas sebab luka yang ia timbulkan setidaknya bisa mencegah manusia-manusia itu kembali ke sini untuk seminggu ke depan.

Woojin bangkit, mengaduh, memaki, pelan-pelan mengambil tas selempang dekil di sudut gang, lalu tersaruk menuju sisi lain gang yang tidak dilewati musuhnya. keluar dari gang sempit nan sepi itu, Woojin berhenti, bibirnya mengulas senyum tipis.

"Maaf, ya, Guanlin."

Pemuda lainnya (yang tengah bersandar di tembok gang sambil berjongkok memeluk perutnya yang terasa seperti akan putus, saking sakitnya), menghujam manik cokelat Woojin dengan pandangan kesal.

"Kenapa Kak Woojin tidak mati saja, sih."

Woojin tertawa.

.

-:-

.

02

"Pelan-pelan, hoi. Kau ini masokis sekali."

Guanlin cemberut, sedikit mengaduh karena dirinya sendiri yang menekan luka-luka Woojin terlalu kasar. Habis bagaimana? Dia kesal karena hari ini Woojin berkelahi terlalu keras hingga Guanlin sendiri hampir tidak bisa berjalan. Untung mereka masih bisa saling papah sampai ke apartemen Guanlin.

"Terlalu parah, Kak. sudah kusuruh kakakku kesini. Sepuluh menit lagi sampai." kakak perempuan Guanlin adalah dokter.

Selesai membebat perut Woojin, keduanya menjatuhkan diri di atas single bed super besar milik Guanlin. Yang lebih muda memainkan anak-anak rambut Woojin yang posisi kepalanya lebih rendah darinya.

"Kak Woojin, besok siang aku ada tes."

"Berarti bisa bolos paginya, dong?"

Rambut Woojin ditarik pelan hingga si pemilik mengaduh. "Mana bisa. Aku nggak mau bolos."

"Memang bisa belajar dengan kondisi begitu?"

"Salah siapa, coba?!" Guanlin heran kenapa Woojin senang sekali membuatnya susah.

Woojin tidak menjawab protesan Guanlin. Sebagai gantinya, pemuda itu bergerak pelan, mengaduh, lalu melingkarkan tangannya pada perut Guanlin, memeluk tubuh tinggi Guanlin dari samping. Ia mendongak, memperlihatkan taringnya seperti anak kucing.

"Maaf, hehe."

Wajah Guanlin merah padam. "Aah, kakak curang sekali."

Beberapa detik kemudian, pintu apartemen terbuka. Kyulkyung masuk sambil mengomel betapa merepotkannya Park Woojin yang selalu terluka setiap minggu. Meski begitu, Kyulkyung menyayanginya.

"Pokoknya kau tidak boleh terluka lagi untuk sebulan ke depan. Awas kalau melanggar perintahku." Kyulkyung mewanti-wanti Woojin setelah selesai menyuntiknya.

Woojin tentu protes. "Mana bisa! Dua minggu saja, bagaimana, Kak?"

Pelipis Kyulkyung berkedut. "Tidak boleh. Tubuhmu mulai lemah, jangan memaksa."

Wanita cantik itu gantian memandang Guanlin, "Hentikan dia kalau berulah lagi. Mengerti?"

Guanlin mengangguk saja, meski sebenarnya ia takkan bisa menghentikan Woojin. Woojin itu seperti kembang api; terang, berisik, meledak-ledak, bebas, tak terhentikan, dan begitu indah.

"Iya, bawel. Sana cepat pergi." ucap Woojin kurang ajar.

Kalau saja Guanlin tidak disana untuk menahan kakaknya, mungkin saat ini Woojin sudah menjadi remahan rengginang.

.

-:-

.

03

Guanlin benar-benar membolos kelas pagi keesokan harinya. Bukan karena dia ingin, tapi Woojin sengaja mematikan alarm ponselnya. Andai saja tubuh Guanlin sesehat biasanya, ia tidak perlu alarm untuk bangun pagi.

Woojin, ajaibnya, sudah bisa bangun dan membuat serealnya sendiri (meski pergerakannya masih patah-patah). Anak itu anteng menonton kartun pagi hari sambil menyendok serealnya, membuat Guanlin yang hendak ke kamar mandi diam-diam tersenyum gemas. Seperti bocah saja.

"Bagaimana? Sudah berkurang sakitnya, kan?" tanya Woojin saat Guanlin mendudukkan diri di sampingnya dengan handuk kecil melingkar di leher.

Guanlin mengangguk, mengusap-usap perut yang sebenarnya masih sangat sakit, tapi tidak separah kemarin. "As expected from Park Woojin."

Woojin menyeringai bangga, "Bisa ujian, kan?"

"Iya, bisa. Tapi Kak Woojin jangan berulah lagi saat aku ujian nanti. Janji?"

Guanlin menyodorkan kelingking kanannya, yang dibalas dengusan geli oleh Woojin (namun tetap diladeni).

"Iya, janji."

Saat jempol keduanya bertemu, Guanlin menarik pelan tangan Woojin hingga tubuh pemiliknya condong ke depan. Secepat kilat Guanlin mencuri kecupan di bibir Woojin yang basah oleh susu sapi.

"Terima kasih sarapannya."

Pemuda itu berlalu untuk bersiap-siap ke sekolah, meninggalkan Woojin yang masih saja tidak terbiasa dengan kelakuan Guanlin setiap pagi.

"Bocah sialan."

Umpatnya, bersemu malu.

.

-:-

.

04

Akibat rasa sakit di perutnya, Guanlin tidak bisa bergerak banyak. Guanlin sedikit khawatir akan Woojin yang bersikap biasa saja padahal Guanlin tahu rasa sakitnya pasti berkali-kali lipat dibanding dengan apa yang ia rasakan.

Sebab mereka adalah soulmate; belahan jiwa. Soulmate akan berbagi rasa sakit sebesar 7:3, yang berarti jika Woojin terluka secara fisik, fisik Guanlin tidak akan ikut terluka. Hanya saja, ia akan mengambil rasa sakit Woojin sebanyak tiga puluh persen dan Woojin hanya akan merasa sakit sebanyak tujuh puluh persen.

Well, sakit adalah sakit. Dan keduanya sudah sering saling menyakiti satu sama lain.

Guanlin menyelesaikan ujiannya dengan cepat dan mudah. Masih ada satu kelas lagi sampai pukul tiga. Guanlin berjalan pelan menuju vending machine, membeli kopi kalengan lalu menelpon Woojin.

Perlu lima nada sambung sebelum suara tawa Woojin terdengar.

"Hahahaha—halo? Kenapa, Guan?"

Guanlin dapat mendengar suara televisi yang melatarbelakangi tawa Woojin. Guanlin tersenyum, "Ada titipan?"

"Haha—eh? Aduh!"

Guanlin meringis, perutnya serasa disentil.

"Hei—aduh, maafkan aku! Hahaha... uh, lukaku sakit karena aku tertawa—aish, maafkan aku..." suara televisi menghilang.

Guanlin yang awalnya ingin mengomel, langsung urung karena Woojin terdengar lucu ketika panik. "Ya sudah, kakak mau apa? Nanti aku mampir ke minimarket."

"Hmm... kalau begitu titip rokok Dun-"

"Kak Woojin, berhenti bercanda."

Guanlin dapat mendengar Woojin terkikik hati-hati agar perutnya tidak sakit. "Belikan Twister."

"Siap."

"Dan jus jeruk."

"Noted."

"Dan—"

Woojin berhenti. Guanlin menaikkan sebelah alisnya bingung, "Dan...?"

Cukup lama Guanlin menunggu balasan dari Woojin sebelum akhirnya pemuda yang lebih tua mencicit pelan, "Dan cepat pulang... kangen." lalu telponnya langsung diputus.

Oh, lihatlah orang-orang yang lewat di sekeliling Guanlin. Indah sekali. Lihatlah kaleng kopinya yang masih tersisa setengah... indah sekali. Bahkan tong sampah di pojokan sana mendadak jadi bernuansa pink dan ditaburi bunga-bunga.

Rasanya Guanlin ingin memutar waktu lebih cepat. Atau sekalian bolos saja, deh. Guanlin membatin kalau nanti Woojin protes karena Guanlin terlalu banyak menciumnya, pokoknya itu salah Woojin. Titik.

.

continue—

.

N.

Maafkan aku karena belum nyelesaiin forget-me-not dan malah bikin work baru :( habisnya aku lagi kobam pancham apalagi pas liat teaser Boomerang hhhhnngghh /menggelinjang/

forget-me-not sebenernya draft-nya udah jadi sampai tamat, tapi aku gak ada waktu nulisnya. Sekalinya ada waktu, aku gak mood /plak/. Aku bakal tamatin ini dulu, terus lanjut foget-me-not sampai tamat. Janji deh!

Aku bakal up ini di wattpad lebih dulu daripada di FFN (soalnya aku nulisnya di wattpad, jadi kalo mau update di FFN, aku musti buka PC dulu, copy yang ada di wattpad baru publish). Kunjungi wattpadku : kimhasei, ya. Hehe (promosi).

Makasih udah baca! :*