Papillon
.
Main Cast(s)
Oh Sehun, Luhan
Category
BL
.
.
"Sehun tidak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal. Sehun tidak pernah mau beranjak dari masa lalu. Masa lalu, baginya, hanyalah masa depan yang pergi sementara."
.
Bersama Luhan, lelaki favoritku, hidupku dipenuhi kenangan-kenangan manis tiap tahun. Kenangan-kenangan yang tak mau berakhir, ingin selamanya menari di pikiranku. Waktu yang cukup panjang untuk membangun satu rumah tinggal yang kokoh dan penuh hantu kenangan. Tadinya alasan aku hidup adalah untuk menulis, namun sejak lelaki manis bermata rusa itu datang ke kehidupanku dia adalah prioritasku. Ada jutaan kenangan manis bersama Luhan yang ingin kubagikan pada kalian semua. Jutaan kenangan penuh makna.
Aku dan Luhan tidak pernah memandang hubungan kami sebagai hubungan yang tidak normal hanya karena masalah gender. Aku dan dia sama-sama tipikal yang cuek dengan apa kata orang lain. Aku gay dari kecil begitu juga Luhan. Selama aku dan Luhan saling jatuh cinta maka semua normal.
Sore hari saat matahari senja menunaikan tugas, aku selalu menemukan diriku berada di dekat Luhan, di bawah pohon rindang, di tepi danau depan kampus kami. Luhan adalah tipikal orang yang senang berbicara. Ia akan bercerita padaku tentang banyak hal. Ia selalu tampak bagai seorang laki-laki yang baru mendapatkan kemerdekaan setelah bertahun-tahun dilarang berkata-kata. Apa pun yang ia ceritakan, aku selalu menemukan diriku menjadi pendengar yang baik. Aku senang melihat giginya yang rapi saat ia bicara meskipun berkali-kali ia mengatakan tidak senang dipandangi saat bicara. Tatapanku, katanya, mengandung pecahan-pecahan botol yang membuat matanya perih.
Aku lelaki yang tidak terbiasa berpakaian rapi. "Tidak baik, Sehun-ah. Mulailah belajar untuk rapi, sayang." kata Luhan, dan aku harus mengubah kebiasaanku itu. Aku terlalu banyak merokok. Katanya, aku harus belajar menghentikannya. Aku malas sekali untuk sekadar menghadiri kelas. Katanya, aku harus lebih rajin ikut kuliah dan memikirkan harapan orangtuaku. Rambut dan kukuku kadang terlalu panjang. Ia sering memotongkan kuku dan memintaku untuk segera memangkas rambutku di barber shop dekat rumah kami.
"Tambahlah porsi makanmu, Sehun-ah," ucap Luhan suatu sore.
"Nafsu makanku jauh lebih besar dari yang bisa kau bayangkan, tapi lambungku terlalu kecil, Lu. Kau senang melihatku muntah?"
"Aku tidak senang melihatmu muntah, tapi aku juga tidak suka dipeluk laki-laki yang seluruh tubuhnya adalah sikut," katanya.
Jika sudah begitu, apa lagi yang mampu kulakukan selain menuruti kata-katanya?
Sejak Luhan memutuskan untuk sekolah di Korea dan meninggalkan kampung halamannya di Cina, ia sering merasa kesepian. Ibunya jarang sekali menyempatkan diri untuk menelepon. Luhan dan ibunya memang tidak memiliki hubungan yang baik. Ia kurang merasakan kasih sayang dari orangtuanya. Orangtuanya sibuk bekerja.
"Kau tahu, aku butuh seseorang yang mampu membantuku mengusir pikiran-pikiran jahatku ketika tidak kuat melawan kesepianku sendiri," ucap Luhan padaku.
Aku terkekeh mendengarnya, "Untuk itulah aku diciptakan, bukan?"
"Berhenti menggombal, Oh Sehun! Bagaimana kau mampu mengurusku, jika dirimu sendiri saja tidak mampu kau urus?"
Pada tahun pertama hubungan kami, Luhan terlalu cerewet dan benar-benar serius ingin mengubah gaya hidupku. Aku tidak keberatan sebenarnya. Tanda sayang yang agak berbeda, kataku pada diri sendiri. Apa salahnya? Dan yang lebih penting, kecerewetannya membuatku lebih sering bisa menikmati geliginya, juga binar mata bening yang belakangan selalu kubayangkan sebagai telaga paling indah di dunia. Hiperbolis? Memang.
Aku menemukan Luhan sebagai lelaki yang memiliki watak mirip dengan nenekku, mencintaiku dengan aturan-aturan ketat. Ia juga senang mendongeng seperti halmeoni, tetapi dengan cerita yang berbeda. Halmeoni menceritakan dongeng dari masa lalu, Luhan mendongeng tentang masa kini dan masa depan.
Demi Tuhan, aku mencintai Luhan dengan segala energi yang kumiliki.
Beberapa bulan menjadi kekasihnya sudah membuatku menjadi orang yang baru. Aku tidak mengisap batang-batang rokok lagi, rambut dan kukuku selalu terpotong rapi, celana dan bajuku licin oleh setrika, jarang absen dan juga bangun lebih pagi dari biasanya. Aku menjadi anak kecil di hadapan Luhan. Dan, aku menikmatinya.
Pada suatu pagi, Luhan mengucapkan dua hal yang tidak pernah dikatakan oleh siapapun kepadaku sebelumnya:
"Kau tampak jauh lebih tampan sekarang dan aku khawatir ada perempuan atau lelaki lain yang akan mengambilmu dariku."
Seingatku, bahkan eomma—dan diriku sendiri—tidak pernah menyebut aku tampan. Itu hal pertama. Yang kedua, dan terutama, tidak ada seorang pun dalam hidupku pernah mengatakan secara langsung bahwa ia khawatir kehilangan diriku.
Aku tidak peduli, bahkan ketika Luhan bercanda dengan pernyataan itu. Ke dalam diriku, hari itu, seperti disuntikkan daya yang sungguh kuat dan membuatku siap melawan tantangan hidup yang paling besar dan berbahaya sekalipun.
.
.
Jika tadi aku berkata pada tahun pertama aku memacari seorang laki-laki yang sungguh keibuan maka pada tahun kedua aku memacari seorang anak kecil yang sangat manja; punya keinginan bermacam-macam dan plin-plan. Tidak banyak yang bisa kuceritakan untuk menghiburnya, kecuali tentu saja dengan menceritakan ulang kisah-kisah yang pernah kubaca dari buku-buku yang kubeli. Aku juga sering menulis cerita pendek dan puisi untuknya.
Luhan adalah sumur inspirasi yang tidak pernah kering, bahkan jika dalam setahun hanya ada musim panas. Selalu kubayangkan mata dan senyumnya sebagai surga ide, tempat paling indah dan dekat yang bisa dikunjungi oleh imajinasiku dengan mudah setiap kali aku ingin menulis cerita atau puisi. Ia memilih sastra sebagai jurusan yang ia pilih, ia menyukai rentetan kalimat indah penuh sajak. Begitu juga aku. Sastra adalah salah satu pengikat aku dan Luhan.
Luhan menyukai tulisan-tulisanku. Orang lain boleh tidak menyukai cerita yang kutuliskan, aku tidak peduli. Bagiku, jika Luhan menyukainya, aku sudah sangat puas. Ia kritikus paling cerewet yang pernah kukenal. Ia bisa mencaci maki tulisan-tulisanku tanpa rem, tanpa memikirkan perasaanku sama sekali meskipun ia juga suka memuji dengan cara yang sama. Jika mendapati tulisanku bagus, menurut ukurannya, ia akan menghadiahiku ciuman. Jika menurutnya buruk, ia menghukumku dengan puasa ciuman selama berhari-hari sampai aku bisa menuliskan satu cerita yang bagus. Ada kalanya satu-satunya tujuanku menulis adalah ciuman-ciumannya.
Luhan adalah orang yang takut sendirian meskipun ia empat tahun lebih tua dariku. Ia tidak mau beranjak beberapa meter dariku. Aku selalu harus menemaninya. Jika ia sedang mengikuti kuliah, aku harus berada di depan pintu setengah jam sebelum dosen meninggalkan kelas. Jika ia masuk kamar kecil, aku harus berjaga di pintu toilet. Jika ia belanja, ia harus menggandeng tanganku.
Kami seperti dua orang yang tak terpisahkan. Gaya pacaran kami membuat iri semua makhluk yang memiliki mata dan telinga di kampus. Kadang-kadang aku risih dengan hal itu, tetapi Luhan tidak pernah merasakan hal yang sama. Bersamaku, ia merasa telah memiliki dunia dan isinya. Bersama, aku merasa telah menaklukkan dunia dan isinya.
.
.
Aku ingin diperhatikan dan kadang-kadang bercinta dan Luhan memenuhinya. Luhan ingin disayang dan kadang-kadang bercinta dan aku memenuhinya. Selesai. Itulah sesungguhnya yang diinginkan tiap pasangan di muka bumi. Haknya terpenuhi dan tidak akan meminta lebih.
Pada suatu malam, sebelum tidur, aku dan Luhan membicarakan masa depan. Aku pikir sudah tiba saatnya untuk membicarakan pernikahan. Tidak ada yang akan menghambat kami untuk menjadi sepasang pengantin sesungguhnya, kecuali kami belum selesai kuliah dan mungkin orangtuanya tidak sepakat punya menantu sepertiku yang tidak lahir dari rahim keluarga berstatus seperti mereka. Namun cinta meyakinkan kami bahwa hal-hal semacam itu sama sekali bukanlah perihal yang perlu ditakutkan.
Ia memintaku membuat puisi. Tidak pernah bisa aku lupa satu huruf pun dari puisi yang kutulis malam itu. Meskipun sangat terburu-buru menuliskannya, ia menyukainya. Luhan memintaku menuliskan puisi itu tepat saat jam dinding menunjuk angka 1. Puisi yang menurutku sungguh tidak indah itu dengan terburu-buru kuberi judul "Pukul 1, Sebuah Sajak."
Di luaran
Tiang listrik berbunyi sekali
Lampu kamar masih membaca
Walau para penulis telah lama mati
Di sampul-sampul buku, pada rak
Sebuah sajak menulis dirinya sendiri
Di sehelai mimpiku
Tentang sesuatu rencana
Membangun surga di telapak kakimu
Seusai membisikkan puisi itu di telinganya, Luhan ganti berbisik di telingaku.
"Aku ingin dinikahi dengan mahar puisi. Aku ingin pesta pernikahannya dirayakan di perpustakaan."
Aku tersenyum kecil lalu membisik padanya lagi, "Dan para tamu hanya boleh datang membawa kado buku, agar setelah menikah kita bisa punya perpustakaan. Kita akan menghabiskan malam pertama bercinta diatas tumpukan buku itu."
Luhan melirik ke arahku, "Kau bisa membayangkan apa yang akan dikatakan para pengarang buku-buku itu?"
"Aku tidak mau tahu apa kata mereka."
Karena ia siap menikah denganku, suatu hari di sela kesibukan kuliah, aku membawa Luhan untuk bertemu ibuku. Aku ingin mengenalkan Luhan pada keluargaku. Eomma tidak mengatakan apa-apa saat kukatakan Luhan adalah calon menantunya. Ia cantik, perhatian, dan santun pada orang yang lebih tua, kataku kepada eomma tentang Luhan. Eomma memang selalu begitu. Ia selalu mampu menyimpan komentarnya dalam diam.
Beberapa bulan setelah mengunjungi eomma, Luhan masuk rumah sakit. Barangkali ia terlalu lelah mengurusi kuliah dan aku. Ia butuh waktu sebulan lebih untuk mengusir hepatitis parah yang menduduki hatinya, juga mag yang menyerang lambungnya. Aku menemukan diriku menjadi orang paling penyayang di dunia. Aku menjadi perawat paling sabar. Aku menyuapinya bubur. Aku membacakan puisi untuknya menjelang ia tidur atau setiap kali ia memintanya. Aku mengganti tabung infusnya. Aku mengganti bajunya yang sering berkeringat dan memandikannya juga. Aku juga menyediakan dan mengatur obat mana yang harus diminumnya. Aku melakukan semua hal yang ia butuhkan.
Aku harus tidur dan bermalam di rumah sakit. Luhan tidak ingin aku jauh darinya. Aku tidak ingin mendengar ia mengeluhkan sakitnya. Aku tidak ingin ia terbangun tanpa ada aku di dekat kepalanya. Aku tidak ingin ada tangan lain yang mengelus kepalanya. Hanya boleh ada aku di dekatnya.
Setelah keluar dari rumah sakit, kami sepakat membuat sesuatu. Aku mengusulkan membuat toko buku lengkap dengan perpustakaan. Luhan mau mengelola kafe. Aku dan Luhan sepakat membuat kafe yang dilengkapi toko buku dan perpustakaan. Dengan modal dari pinjaman orangtuanya, kami menyewa tempat yang tidak seberapa luas. Aku memindahkan koleksi buku-bukuku dari kamar. Ia juga memindahkan komik-komik.
"Kelak jika kita tua dan anak-anak kita sudah sibuk mengurus hidup mereka masing-masing, aku ingin kita masih bisa mengurusi kafe baca ini." ucap Luhan padaku.
Sedihnya, tidak ada satupun dari kami yang tahu bahwa angin ribut dikejauhan siap memporak-porandakan impian kecil kami.
.
.
Hari dan malam-malam kami pada bulan-bulan awal lahirnya COMMA's Café menjadi waktu yang paling sibuk.
Luhan menata ruangan. Ia meminta memindahkan ini dan itu, meminta membeli ini dan itu, meminta bagian ini dicat dengan warna ini dan bagian itu dicat dengan warna itu. Jika lelah meminta ini dan itu, ia akan meminta istirahat dan bercinta. Aku sibuk membuat rancangan promosi, menghubungi ini dan itu, mengetik ini dan itu, mencetak ini dan itu, menyebarkan ini dna itu, membeli ini dan itu, menyebarkan ini dan itu. Jika lelah melakukan ini dan itu, aku istirahat dan bercinta.
COMMA's Café ramai didatangi orang-orang yang ingin membaca, membeli buku, diskusi dengan teman, atau sekadar mencari tempat yang berbeda untuk berbincang-bincang dengan kekasih mereka. Kami berdua kelelahan mengurusi COMMA's Café. Kebaikan sahabat kami, Jongin, menjadi anugerah. Jongin selalu siap membantu kami.
Namun, kemesraan kami digerus kesibukan.
Luhan mulai sering mengeluh dan marah-marah. Ia mencari-cari alasan untuk marah. Ia tidak senang kepada teman-temanku yang terlalu sering datang dan mengotori COMMA's Café. Ia tidak senang dengan segala kemauanku. Ia tidak senang melihat hubunganku dengan banyak orang, utamanya dengan mantan kekasihku, Baekhyun. Ia sering marah dan tidak bicara berhari-hari setiap kali Baekhyun datang meminjam buku dan aku mengajaknya bicara. Ia tidak senang dengan rutinitasnya menyapu dan membereskan buku tiap pagi. Ada yang salah dengan Luhan. Apa dia bosan?
Hanya satu hal yang belum pernah ia keluhkan. Kami masih sering bercinta.
Semenjak itu, hubungan kami menjadi hambar. Pertengkaran-pertengkaran kecil sering terjadi.
Luhan bilang, orangtuanya tidak senang denganku. Ia bilang tidak cocok dengan keluargaku. Ia bilang penyakit jantungku semakin gawat dan khawatir jika kami menikah aku tidak bisa membahagiakannya. Luhan bilang ia tidak mau menjadi perawat seorang lelaki tua dengan jantung payah. Aku memang mengidap penyakit jantung bawaan dari ayahku, dan biasanya Luhan tidak pernah mempermasalahkan penyakitku. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini ia sering mengungkit-ungkit penyakit itu. Ia menjadi sering pulang ke Cina karena dipanggil orangtuanya. Dan, setiap kembali ke Korea, ia membawa kabar buruk itu. Ia ingin mengakhiri hubungan. Ia ingin konsentrasi menyelesaikan kuliah dan cepat pulang ke Cina meneruskan perusahaan ayahnya.
Kadang, aku merasa bahwa Cina adalah pusat kabar buruk di dunia. Siapapun tidak bisa keluar dari sana tanpa membawa kabar buruk untuk orang-orang di kota lain.
Karena bosan mendengar Luhan marah-marah, suatu malam saat menonton salah satu serial TV Amerika berjudul Banshee, aku mengajak Luhan bicara. Ia berbaring berbantalkan pahaku.
"Jika benar kelak jantungku payah dan aku jadi lelaki tua sakit-sakitan, apakah kau masih siap menikah denganku?"
Dengan polos ia menjawab, "Aku tidak siap, Sehun-ah. Tapi ini bukan cuma soal jantungmu. Semakin hari tampaknya kita semakin tidak cocok."
"Aku pikir, tidak ada sepasang suami-istri di bumi yang betul-betul cocok satu sama lain, Lu. Mereka yang tidak bercerai adalah orang-orang yang mampu menerima ketidakcocokan mereka," kataku.
"Atau berpura-pura bisa menerima ketidakcocokan itu."
"Hidup ini memang rumit. Sesederhana itu. Menghindari kerumitan adalah usaha yang sia-sia, tidak masuk akal, dan melawan takdir."
"Tapi, Sehun, aku merasa ada terlalu banyak hal yang tidak pas dalam hidupmu dan hidupku."
"Kau lelah dengan hal-hal itu, Lu?"
"Aku pikir ada sejumlah hal yang terpaksa disudahi sebelum menyudahi kita. Mungkin hubungan kita termasuk didalamnya."
Hatiku seperti tersayat pisau tajam, "Percakapan ini, menurutku, jelas termasuk hal yang harus segera disudahi sebelum menyudahi kita," kataku.
Aku dan Luhan diam. Beberapa menit.
"Aku merasa semakin hari semakin tidak memahamimu. Pada saat bersamaan, aku merasa semakin hari aku semakin mencintaimu, Lu." Kataku.
"Apa artinya itu?" Ia bertanya dan memutar tubuhnya yang semula membelakangiku.
"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa itu sebagai isyarat yang buruk. Kau pernah menyaksikan harapan dan kenangan menjadi dua hal yang sama? Kira-kira seburuk itu."
Ia tersenyum, dan menangis.
Aku memeluknya.
"Hidup ini memang rumit," kata Luhan.
"Iya. Sesederhana itu," kataku.
.
.
Kemarin subuh, aku mengantarnya ke Bandara Incheon. Ia berangkat dengan pesawat penerbangan pertama. Harga tiketnya lebih murah. Untuk persoalan uang, Luhan sangat cerewet dan sebaiknya tidak diajak berdebat walaupun ia sebenarnya memiliki banyak uang. Luhan hanyalah pribadi yang hemat.. Informasi tentang rencana kepergian Luhan ke Cina terasa begitu mendadak. Kepastian keberangkatan baru ia sampaikan beberapa menit sebelum pukul delapan malam, padahal pukul empat pagi ia sudah harus berada di bandara. Aku mengajaknya makan malam di luar.
Seusai makan, aku dan Luhan pergi ke toko buku yang menyisakan waktu beberapa menit sebelum tutup, semacam acara perpisahan yang terburu-buru. Mencoba menahan laju waktu, katanya, dan aku merasa ia akan pergi, lalu tidak kembali lagi.
Luhan tidak akan tinggal lama di Cina. Ia berjanji akan pulang paling lambat dua minggu ke depan. Tetapi, kepergiannya yang tiba-tiba membuatku sedih. Barangkali, kata sedih tidak terlalu mewakili. Aku tidak bisa menemukan kata lain untuk menggambarkannya. Aku belum pernah mengalami kesedihan semacam itu. Barangkali seperti seorang suami yang tiba-tiba ditinggal mati karena serangan jantung oleh istrinya. Akulah si suami yang istrinya mati mendadak itu. Aku tidak rela.
Aku selalu takut setiap kali Luhan pulang ke Cina. Kepergiannya kali ini betul-betul membuatku khawatir. Ia selalu pulang membawa oleh-oleh berita buruk untukku. Ia selalu mengatakan hubungan kami harus berakhir. Luhan lahir dari keluarga yang sangat kaya dan ia terbiasa selalu patuh kepada orangtuanya yang terbuat dari wibawa masa lampau. Ibu dan ayahnya selalu mengatakan mau menikahkan anaknya dengan seorang yang punya derajat yang minimal memiliki perusahaan untuk menguatkan perusahaan ayah Luhan. Mereka tidak pernah membayangkan anaknya menikah denganku.
Di taksi, ketika pulang dari toko buku, tiba-tiba muncul pembicaraan tentang hubungan kami. Luhan yang memulai percakapan itu dengan sebuah kejutan.
"Kemarin, aku bilang pada Mama kita sudah putus," katanya.
Aku kaget, lalu bertanya kenapa. Jawaban Luhan pendek saja:
"Kau pernah mengatakannya."
Aku pernah mengatakan kepadanya barangkali lebih baik ia mencari pria lain untuk ia jadikan pendamping hidup. Aku khawatir tidak bisa terus bersamanya setelah menikah. Jantungku yang sakit sudah menunjukkan tanda-tanda aku akan lumpuh karenanya. Beberapa tahun lalu, seorang dokter yang sok tahu pernah meramalkan hal semacam itu. Aku mengatakan hal-hal tersebut kepada Luhan semata ingin melihat reaksinya. Putus? Sama sekali aku tidak menginginkannya. Hari-hari bersama Luhan yang berjalan selama tiga tahun lebih telah menciptakan banyak cerita indah. Aku tidak mau begitu saja melupakannya.
Kenapa kita selalu harus memulai sesuatu hanya untuk mengakhirinya?
Malam itu, sebelum tidur aku hanya mengecup keningnya, lalu bertanya, "Apa kau mencintaiku?"
Ia tertawa.
"Jika kau merasa aku tidak lagi mencintaimu, mungkin begitulah adanya," katanya.
Luhan tidak memeluk dan menciumku. Biasanya, jika aku bertanya seperti itu, ia menjawab dengan cara tertawa sambil memelukku. Tetapi, malam itu, ia tidak melakukannya. Hal itu membuat perasaanku tidak menentu. Walaupun malam itu kami tidur di bawah selimut yang sama, ia tidak mau kuajak bercinta. Ia hanya tidak keberatan untuk kupeluk dan kucium.
"Aku harus tidur cepat. Kau juga. Kita harus ke bandara nanti subuh," katanya.
Di taksi menuju bandara, kami tidak banyak bicara. Barangkali karena kami masih sama-sama mengantuk. Di bandara juga begitu. Sesaat sebelum masuk ruang tunggu, ia berkata, "Jangan terlalu sedih. Hanya dua minggu."
"Nanti kau akan tahu bahwa waktu dua minggu bisa terasa jauh lebih lama daripada dua tahun," kataku.
"Aku akan pulang. Percayalah."
"Dan kau tahu, aku akan menunggu."
Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Juga tidak ada ucapan selamat jalan.
Aku berbalik, berjalan, dan takut menoleh. Aku takut melihat ia tidak menoleh ketika memasuki pintu bandara. Aku meminta supir taksi memindahkan kanal radio ke 89.1mhz. Stasiun radio itu setahuku selalu memutar lagu-lagu lama. Lagu-lagu seperti itu kadang mampu membuatku merasa lebih dewasa dan kuat. Beberapa menit kemudian, aku meminta supir taksi itu mematikan radio. Kali ini, lagu-lagu lama hanya membuatku bertambah sedih dan kosong.
Tidak ada yang lebih jahat dari lagu lama, pikirku. Lagu-lagu lama dari radio di taksi itu membuatku seperti kehilangan seluruh kehidupan yang sudah ku miliki. Hidup ini memang aneh. Sesuatu yang kita sukai bisa berbalik menjadi sesuatu yang kita benci dalam tempo nyaris bersamaan. Aku menyempatkan diri membaca buku yang tempo hari kubeli bersama Luhan. Aku dan dia sama-sama membaca buku yang sama.
Setiap kali Luhan kembali dari Cina, pertemuan pertama kami selalu penuh kekakuan. Aku selalu takut dan deg-degan menanti kabar buruk dari orangtuanya. Hal itu membuatku tidak bisa mulai bicara. Ia juga barangkali berat menyampaikan berita buruk itu dan emmbuatnya susah memulai percakapan.
Setelah membaca The Thorn Birds—novel yang tadi ku ceritakan—semakin tidak menentulah perasaanku. Kisah yang dituliskan novel itu mengalir lancar. Aku ingin sampai di akhir cerita secepat mungkin. Tetapi, tidak sepenuhnya begitu dengan kisah kepergian Luhan. Sekarang, aku berada di antara. Aku ingin mempercepat waktu agar bisa sampai di akhir kisah, lalu aku bisa bertemu kembali dengannya. Di sisi lain, aku ingin waktu berjalan lambat, aku tidak mau mendengar kabar buruk itu.
Sesungguhnya, apapun itu, jawabannya akan datang dua minggu lagi. Tetapi, aku selalu khawatir dengan kabar buruk. Sebaiknya sekarang aku minum beberapa butir obat tidur, lalu berdoa. Semoga dengan begitu, aku bisa tidur lama dan terbangun tepat saat Luhan datang.
Dan, semoga ia tidak membawa kabar buruk.
.
.
Lebih dari apa yang kuduga sebelumnya. Luhan ingin mengakhiri hubungan dan menjual sahamnya di COMMA's Café kepadaku. Itu amanah orangtuanya di Cina. Hancurlah. Hancurlah.
Luhan tidak mampu mengatakannya sendiri kepadaku. Aku tahu, ia tidak pernah mampu menatap mataku. Lagi pula, keputusan itu bukan keinginannya. Ayah-ibunya meminta paman dan bibinya datang menyampaikan Surat Keputusan itu padaku. Tentu saja aku hanya bisa bersedih atau barangkali marah. Kesedihan dan kemarahan sering kali adalah dua hal yang sama.
Selamat datang, Angin Puyuh! Akhirnya, kau betul-betul tiba setelah tiga tahun sembilan bulan musim semi yang indah. Aku selalu menyukai musim semi, entah karena kehangatannya atau karena keindahan yang tercipta dari warna-warni pohon dan bunga yang mulai tumbuh kembali. Di daftar kontak telepon genggamku, nama Luhan selama ini kutulis Semi. Hari ini, dengan alasan yang tidak kupahami sendiri, aku mengubahnya menjadi Gugur.
Harapan sudah di tepian.
Hancurlah.
"Kau punya tebing yang bisa kupinjam beberapa saat?" tanyaku pada Jongin melalui telepon.
"Tengah malam dan lelucon yang aneh. Kau baik-baik saja?"
"Kalau kau tidak punya, mungkin kau tahu dimana aku bisa menyewa tebing. Aku ingin melompat, lalu mati."
"Kau dan Luhan hyung berkelahi lagi?"
"Aku yakin, ia sudah meneleponmu dan menceritakannya."
"Tutup teleponmu, lalu menangislah, Sehun -ah. Jangan menjadi lelaki yang malu menangis seperti lelaki lain. Aku tahu kau membutuhkannya. Besok kita bertemu."
Menangislah. Menangislah. Menangislah. Aku mengulang-ulang kata Jongin. Menangislah. Betul kata Jongin, tidak pernah ada larangan bagi seorang lelaki untuk menangis. Tapi, tidak, aku tidak boleh menangis.
Aku menghabiskan malam itu dengan beberapa botol bir sambil menikmati kepedihan-kepedihan yang disembunyikan.
.
.
Hari-hari seperti hujan, menebar wangi tanah basah sejenak, lalu dingin. Lalu asing. Kau tidak perlu terlalu khawatir pada perihal-perihal kecil yang akan membuatmu menyesal. Sudah kuhabiskan tabungan membeli baju penghangat, kopi pahit, dan buku-buku puisi. Masukkan hari-hari itu ke koper atau lipat rapi di buku catatan, juga foto-foto di ruang tengah. Pergilah. Pergilah. Kau boleh menoleh, jendela tidak kukancing. Kau bisa melihat tubuhku mengecil sebelum kau pelan-pelan ditelan tikungan jalan.
Awalnya sungguh sederhana. Hanya bukit dengan hijau rumput-rumputnya. Lalu, kita tiba pada pertanyaan itu. Bangunan apa sebagai tanda?
Cinta, katamu, adalah hiruk-pikuk kota. Kau dirikan restoran dan kafe dengan musik berbahasa asing, bioskop dengan film-film Eropa dan Amerika, mall dengan etalase-etalase yang mengeringkan kantong, dan hotel yang kasurnya membuatmu tidak pernah lelah bercinta.
Tetapi, aku lebih suka cinta itu dalam dan sepi. Kugali perigi di kaki bukit yang meluruhkan gerah, yang membasahi dahaga dan membuat rumput-rumput kembali berbunga.
Tetapi, seperti yang kuduga, riuh kota akan membuatmu jengah dan lelah. Kau runtuhkan semua yang berdiri, semua yang kau bangun sendiri. Lalu, pergi mencari tanah bukit lain, melupakan cinta dan aku yang tidak mengerti.
Sementara perigi tidak bisa dipindahkan. Ia akan abadi meski kota-kota mati berkali-kali. Di sana, aku terkurung di dasarnya. Air mataku jadi air matanya.
.
.
Pikiranku terbang ke masa lalu. Semua kenangan-kenangan seakan muncul begitu saja, beruntun layaknya kereta api. Membuat hatiku berdenyut nyeri, pernapasanku seakan tidak berfungsi dengan baik seperti ada udara yang menyesakkan dalam hati tidak mau keluar. Senyummu, suaramu, tawamu, satu per satu keluar dari dalam pikiran seakan-akan kau benar nyata.
Apa yang paling kau suka dariku? Pertanyaan itu paling sering Luhan ajukan. Meski sudah tahu jawabannya, ia merajuk manja jika aku tidak mengatakannya.
Matamu indahmu yang berbinar, saat kau tersenyum.
Lalu Luhan, dengan malu-malu, tersenyum, dan menawarkan ciuman, jika kebetulan tidak ada orang yang melihat. Sebagai semacam hadiah atau ucapan terimakasih. Walau waktu telah jauh, Luhan juga, rapat rapi geligi itu penjara dengan jeruji yang terlalu kuat bagi jemari.
Jika saja waktu dan kenangan adalah laying-layang, sudah kugulung benang-benangnya dan kugunting bagian yang tidak kuinginkan.
Hari itu, hujan tidak begitu deras, tetapi lama. Kaca jendela berembun hingga tidak perlu juntai tirai sebagai selubung. Tidak akan ada orang yang melihat kita, bisik Luhan. Lalu Luhan membuka kancing-kancing baju dengan tangan gemetar, memperlihatkan kerumunan tahi lalat yang ia rahasiakan di sekitar dadanya. Ia menuntun tanganku menghitungnya satu per satu. Tetapi, aku gagal menyebut jumlah.
Setiap hujan seperti ini, aku berkeringat teringat hangat tubuhnya. Meski kukatup mata sepenuh tutup, sedikitpun tak ada yang terlupa. Seluruh benar-jelas selalu.
Empat tembok berdiri mengepung seperti ditumpahi tinta atau cat hitam. Lampu pijar matahari kecil itu, yang lebih senang Luhan sebut bintang, tidak lagi kulihat bergantung di langit-langit kamar. Inilah yang ku minta setiap doa. Kamar gelap dan Luhan bisa kubayangkan datang, lalu telentang di sisiku. Bercerita tentang hari-harinya seperti biasa, menggerutu karena aku yang sulit diatur, atau sekadar memintaku mengelus rambut atau punggungnya.
Inilah yang kutunggu setiap malam., Alam kelam dan aku bisa menangis sambil mengulang-ulang nama Luhan tanpa seorang melihat mataku basah. Pada saat yang sama, biar kutebak, apa yang sedang ia lakukan. Luhan menyalakan sebatang lilin. Membaca ulang puisi yang kuselipkan di saku jaket biru tuanya, sesaat sebelum tangan kita saling melepaskan sambil sesekali menggigit bibir, lalu mendongak menahan tangis. Atau Luhan khusyuk meminta agar mata-mata lampu segera kembali bercahaya. Sebab ia tidak mampu menahan kenangan yang melayang-layang ingin membawanya terbang. Pulang.
Siang ini, jalan-jalan lengang. Matahari bersinar dengan cerlang, tetapi langit tetap menjatuhkan hujan. Mereka bersaing ingin saling mengalahkan. Tidak ada yang mau diam. Aku mengingat suatu siang dan pertengkaran. Aku marah, merah seperti matahari. Luhan menangis, deras seperti hujan. Kita bersaing ingin saling menyalahkan. Tidak ada yang mau diam.
Luhan berlari ke arah kanan, aku berlari ke lain jalan. Kemudian hanya ada lengang, lengang yang panjang.
.
.
TBC
Author's note:
Iseng aja. Kalo suka review ya. Lagi pengen angst-angst gitu berkat baca novelnya M. Aan Mansyur terus kepengen aja bikin karakter Sehun yang gelutin dunia sastra gitu. Fantasi saya dari kapan tau itu. Hehehe. Ini ga bakal panjang kok, pendek banget malah. Paling tiga chapteran. Kalo ada kekurangan maafin yah :)
