Somnium
by vanderwood
.
Neo Culture Technology is a brand associated with SM Entertainment
Cerita ini hanya fiksi belaka dan tidak ada keuntungan yang diambil dari penulisan cerita ini.
.
.
.
I sneak up on the dark night and jump into your dream like a firework,
So that you will be surprised, baby.
(Dreamcatcher - Chase Me)
.
.
.
"Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk."
"Hmm." Jaemin menyahut setengah hati, tak ada yang tahu apakah ia benar-benar mendengarkan ucapan Renjun barusan atau tidak. Yang tengah ia perhatikan saat ini adalah potongan-potongan sosis bentuk gurita di kotak bekalnya, tampak menggoda dengan siraman saus lada hitam di atasnya. Yah, tidak ada yang bisa menyalahkan Jaemin karena lebih fokus dengan bekalnya daripada Renjun; sekarang sudah jam dua belas siang, dan tak ada lagi yang lebih dibutuhkan siswa kelas dua sekolah menengah atas dibandingkan nutrisi dari seporsi makan siang buatan ibunda tercinta.
Meskipun maklum, Renjun tidak bicara untuk diabaikan oleh Jaemin, ya. Ia menarik napas panjang, kemudian memanggil Jaemin sekali lagi.
"Jaem, kamu dengar nggak, sih."
"Hmm, hmm." Jawaban dari Jaemin tidak berubah. Mungkin karena ia tak peduli, mungkin karena ia tengah mengunyah sosis bentuk guritanya. Renjun menghembuskan napas sekali lagi, kemudian memutuskan untuk memilih opsi tindakan yang cukup brutal. Sumpitnya diarahkan pada salah satu sosis gurita dalam kotak bekal Jaemin, dan dalam satu gerakan cepat satu potong sosis malang tersebut sudah menjadi miliknya. Baru setelah makanannya jadi korban perampokan, Jaemin akhirnya mengalihkan fokus pada Renjun dengan ekspresi yang sedikit kesal.
"Kenapa sosisku diambil?"
"Kenapa aku dicuekin?"
Skakmat. Jaemin mengerucutkan bibirnya, kehilangan kata-kata untuk membalas Renjun. Sebenarnya, ia bisa saja membalas dengan mengambil makan siang Renjun, tapi makanan Renjun hari ini terlalu banyak sayurnya, Jaemin malas kalau harus mengunyah banyak sayur. Akhirnya ia mengalah. "Iya, aku dengar sekarang."
"Akhir-akhir ini aku mimpi buruk," ulang Renjun. "Sampai sulit tidur. Mataku jadi berat dan ngantuk kalau di kelas." Tentu saja ini adalah masalah. Selama ini Renjun adalah siswa yang kehidupannya lurus-lurus saja — siswa teladan, tidak pernah melanggar peraturan, dan selalu fokus dalam setiap jam pelajaran. Kalau ia tidak bisa tidur semalam, rasa kantuk yang muncul karena kurang tidur akan mengganggunya ketika belajar, dan ia tidak mau sampai tertidur di kelas. Renjun tahu membicarakan hal ini dengan Jaemin mungkin tidak akan berarti apa-apa karena teman dekatnya itu adalah langganan dilempar kapur oleh guru karena hampir selalu tidur di kelas, tapi bagaimanapun juga Jaemin adalah orang yang cukup mengerti dirinya.
"Sudah berdoa sebelum tidur?" Jaemin memandang Renjun penuh penilaian.
"Tentu saja."
"Mimpi buruknya seperti apa sih?"
"Hmm … dikejar-kejar hantu, atau dibunuh, atau melihat orang-orang yang kusayangi disiksa dengan sangat menyakitkan."
"Termasuk aku juga?"
"Memangnya aku sayang?"
Jaemin kembali merengut. Renjun tertawa.
"Bercanda. Iya, kadang kamu juga muncul di mimpi burukku. Aku tidak akan menceritakan detailnya karena kita sedang makan, oke?"
Perkataan Renjun barusan membuat Jaemin bergidik. Renjun sedikit bersyukur karena Jaemin sudah sepenuhnya bisa mengikuti pembicaraan ini, tapi mengingat ia baru fokus seperti ini ketika topik menyangkut dirinya dibawa-bawa membuat Renjun berpikir untuk menghilangkan saja rasa bersyukurnya.
"Serem banget, ya?"
Renjun mengangguk. "Ho-oh. Sudah sekitar satu minggu aku mimpi buruk terus, jadi capek."
"Kamu pasang dreamcatcher? Atau coba pasang jimat, apapun itu untuk menghalau … ya, siapa tahu ada arwah jahat yang suka mengganggu," usul Jaemin serius.
Renjun menggeleng. "Kalau dreamcatcher, aku sudah pasang dari dulu, kamu kan tahu sendiri, Jaem. Tapi tetap saja tidak mempan. Kira-kira jimat seperti apa yang mempan, ya?"
"Hmmm … sebentar." Jaemin mengeluarkan ponselnya dari saku, dan mulai mencari informasi lewat aplikasi penjelajah internet. "Satu hal yang perlu kutekankan, aku bukan dukun, jadi aku tak tahu banyak soal hal-hal seperti ini. Tapi, kau beruntung! Kebetulan kemarin aku baru lihat ada forum yang khusus membahas soal hal-hal mistis, mungkin di sana ada informasi yang berguna …."
Renjun tidak lagi bisa kaget atau mempertanyakan kenapa Jaemin bisa tahu forum-forum dengan bahasan tak lazim seperti itu, mengingat ia sudah paham betul kebiasaan Jaemin yang sering nyasar di internet bagian aneh. Penasaran, Renjun akhirnya menunduk, mencari tahu informasi apa yang mungkin bisa ia dapatkan dari forum-forum internet seperti ini. Siapa tahu ada informasi yang bisa bermanfaat untuknya, seperti misalnya di mana bisa membeli jimat atau doa-doa khusus untuk mengusir arwah jahat.
Tapi yang pasti, hal yang paling Renjun butuhkan adalah bagaimana cara untuk mengusir makhluk itu dari kehidupannya — karena sesungguhnya Renjun tahu apa yang menyebabkan mimpi buruknya selama seminggu ini.
.
.
.
Selama ini, banyak orang yang percaya kalau wujud bogeyman — makhluk mistis yang kerjaannya memberikan mimpi buruk pada orang-orang — itu seperti monster seram dengan cakar panjang, gigi-gigi tajam, dan penuh dengan kegelapan. Sebagian orang lagi percaya kalau bogeyman memiliki wujud seperti manusia, namun bentuknya menyeramkan — penuh dengan keriput, kuku panjang yang tak terawat, mata melotot, gigi taring menyembul. Tidak banyak orang yang tahu kalau bogeyman bisa berwujud seperti manusia biasa juga; tanpa keriput, kuku panjang, atau gigi taring. Benar-benar seperti orang biasa yang bisa kau temui di kehidupan sehari-hari. Salah satu dari bogeyman berwujud manusia ini adalah bogeyman berambut hitam kehijauan dengan mata kecil yang mengaku dirinya ganteng.
Bogeyman memiliki pembagian tempat tugas di zona waktu tertentu, demi pemerataan sumber daya bogeyman di dunia ini. Mereka dianugerahi kemampuan teleportasi, namun terbatas hanya pada zona waktu tempat tugasnya. Makanya, kebanyakan bogeyman menganggur saat siang hari dan pada waktu-waktu itulah biasanya mereka beristirahat dan bersenang-senang. Ada satu peraturan tidak tertulis bagi para bogeyman; mereka seharusnya berkeliling untuk menebarkan mimpi buruk pada orang-orang. Hanya saja, bogeyman berambut hitam kehijauan yang satu ini sudah seminggu menggentayangi kamar seorang pemuda malang yang kebetulan adalah Huang Renjun. Bukan karena ia malas gerak sehingga ogah berkeliling mencari korban — untuk apa juga malas gerak kalau kau bisa berteleportasi — bogeyman (yang mengakunya) ganteng ini hanya sedang iseng. Selama ini, ia hanya memberikan mimpi buruk hanya untuk satu malam pada satu orang, setelah itu langsung pergi. Move on. Cari korban lain. Tapi, yang namanya rutinitas memang akan menjadi terasa membosankan pada suatu waktu tertentu. Jadilah, bogeyman iseng ini memutuskan untuk diam di satu tempat dan memberikan mimpi buruk pada satu orang yang sama selama beberapa malam berturut-turut. Ia tidak memikirkan berapa lama ia akan meneror manusia malang ini dengan mimpi buruk. Pada awalnya ia pikir ia hanya akan tinggal sehari dua hari, namun kenyataannya bablas sampai satu minggu. Bukan hal yang buruk-buruk amat, pikirnya. Toh ia juga melakukan apa yang harusnya dikerjakan. Asosiasi Bogeyman Dunia tidak akan menghukumnya karena hal ini. Paling-paling ia hanya akan mendapatkan sorotan mata tajam dari bagian keuangan karena makan gaji buta.
Dengan menghantui satu orang yang sama dengan mimpi buruk selama satu minggu berturut-turut, apakah bogeyman ganteng ini merasa bersalah? Seandainya ia punya perasaan yang berfungsi sama seperti manusia tentulah ia akan merasa bersalah. Lagipula, ia bukannya tidak melihat betapa selama seminggu ini Renjun bangun dengan wajah letih dan kantung mata yang semakin menghitam. Masalahnya, ia bukan manusia. Ia bogeyman. Oh ayolah, menakut-nakuti orang adalah tugasnya, untuk apa juga ia merasa bersalah? Sebuah senyum puas justru muncul di wajahnya setiap kali anak itu terbangun dengan keringat dingin atau napas yang terengah-engah seolah baru saja dikejar sesuatu. Semakin seram mimpi yang bisa dibuatnya, semakin takut orang-orang itu terhadapnya, semakin besar gaji yang ia terima.
Malam ini pun ia tidak berencana untuk pergi dari kamar Renjun. Anak ini punya kamar yang bersih dan nyaman, sehingga bogeyman ganteng ini betah berlama-lama di dalamnya. Beberapa dreamcatcher digantungkan di jendela, dimaksudkan untuk menangkap mimpi indah dan mengusir mimpi buruk — tapi, oh boy, dreamcatcher is so yesterday. Bogeyman-bogeyman zaman sekarang tidak mempan diberi dreamcatcher, begitu juga para sandman — pemberi mimpi indah — tidak akan lantas tertarik mendatangi seseorang hanya karena ia menggantung dreamcatcher. Zaman sekarang, bogeyman hanya takut sama tagihan utang atau surat teguran dari atasan, karena tiga surat teguran artinya berakhir sudah hidup seorang bogeyman. Kalau begitu, pilihannya antara reinkarnasi menjadi biji kedelai atau jadi butiran debu kasur.
Siapa coba yang mau jadi bakal tauge atau debu kasur? Nggak ada.
Bogeyman ganteng kita satu ini sedang asyik-asyiknya tengkurap di kolong kasur Renjun, menyaksikan si empunya kamar yang sedang sibuk belajar. Bedanya dengan hari-hari yang lalu, pemuda malang itu sudah menguap sampai matanya berair padahal ia baru tiga puluh menit mengerjakan soal-soal matematika. Biasanya, Renjun bisa betah berjam-jam menempel di meja belajar, sesekali keluar kamar untuk mengambil susu setelah itu lanjut ronde dua sampai tepar. Mungkin karena selama seminggu ini tidurnya selalu diganggu mimpi buruk, Renjun kelelahan dan tak kuat belajar sampai malam. Akhirnya Renjun menyerah pada pukul sepuluh malam. Ia bangkit dari kursi, turun untuk mengambil susu, sikat gigi, cuci muka dan cuci kaki, mematikan lampu kamar, lalu merangkak ke arah tempat tidur.
Beberapa menit setelah Renjun bergelung di balik selimut adalah waktu yang pas bagi sang bogeyman ganteng untuk beraksi. Ia berjingkat keluar dari kolong kasur dengan seringai jahil terpampang di wajahnya. Tangannya ia masukkan ke dalam saku jubah hitam yang dipakainya untuk mengambil segenggam pasir hitam berisi skenario mimpi buruk yang diraciknya seharian. Kemunculan hantu-hantu berwajah seram dan mengagetkan? Cek. Sensasi dikejar-kejar oleh pembunuh berdarah dingin? Cek. Bencana alam yang memisahkan dengan orang-orang terkasih? Cek. Renjun tidak akan bisa tidur dengan tenang malam ini. Tinggal melemparkan pasir mimpi ini ke wajah Renjun, ia akan bermimpi buruk sampai pagi. Seandainya ia terbangun, ia akan melanjutkan mimpi buruknya ketika tidur lagi. Intinya, mimpi buruk ini akan terus menghantui selama semalam.
Baru saja sang bogeyman mengangkat tangan untuk melemparkan pasir mimpinya ke arah wajah Renjun, tiba-tiba — BUAKK! Sebuah bantal mengenai wajah gantengnya duluan. Cukup keras untuk membuatnya terjerembab jatuh, dengan pantat yang lebih dulu mencium lantai. Bogeyman ini tak merasa sakit, tentu saja, tapi kaget dan bingung luar biasa. Ini bantal dari mana? Kenapa bantal ini bisa mengenai kepalanya, dengan keras pula, padahal dirinya adalah makhluk metafisika yang tidak bisa dijelaskan dengan sains? Ia tidak punya masalah berjalan menembus dinding, tapi kenapa bantal ini berhasil membuatnya terjatuh? Pertanyaan itu terngiang-ngiang dalam kepalanya selagi ia bangkit berdiri, hanya untuk menemukan bahwa Renjun tengah duduk di atas kasurnya, dengan tatapan mata lurus ke arahnya.
Tunggu — lurus ke arahnya?
"Lho, kok kena? Kukira bakal tembus."
Sang bogeyman bengong. Ia menatap balik ke arah Renjun dengan tidak percaya.
"Sini, kemarikan lagi bantalku," pinta Renjun sambil menadahkan kedua tangannya, seolah-olah sedang bersiap untuk menerima sesuatu. "Aku mau tidur lagi. Awas kalau ganggu."
Sang bogeyman masih bengong. Ia menunjuk ujung hidungnya dengan bingung.
"Kau bicara denganku?"
Renjun mendengus. "Memangnya ada siapa lagi di ruangan ini?"
Bogeyman itu melongo. "Kau bisa melihatku?"
Pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan dari Renjun, membuat kedua mata sang bogeyman melotot tak percaya.
"Bagaimana bi —"
"Dari kecil aku memang bisa melihat makhluk-makhluk yang seperti dirimu." Renjun mengangkat bahu. "Aku tahu kok kau ada di sini sejak seminggu yang lalu dan tidak pergi-pergi. Bukannya bogeyman harusnya berkeliling dunia, ya? Kalau mangkal begini, apa bedanya sama pedagang kaki lima?"
Rentetan pertanyaan ketus dari Renjun membuat bogeyman itu gelagapan. "Ka-kamu sudah tahu?"
"Iya."
"Tapi kenapa kau tidak lantas mengusirku—"
"Habisnya kukira kau hanya hantu baik yang kesepian," jawab Renjun polos. "Wujudmu terlalu mirip manusia, jadi aku pikir kau hantu. Aku tidak pernah mengusir makhluk halus yang mendekatiku, kecuali mereka menyebalkan. Dan kau menyebalkan. Aku sudah memberimu waktu satu minggu, lho, tapi kau menggangguku terus."
Situasi ini terlalu aneh untuk bisa dicerna oleh sang bogeyman yang kini sedang menggaruk rambutnya dengan bingung. Oh, jadi selama ini ia telah mengganggu seseorang yang sebenarnya bisa melihat makhluk-makhluk halus, dan dibiarkan selama seminggu karena Renjun pikir ia adalah hantu baik? Wajar sih, mengingat wujud bogeyman ini mirip manusia, jadi kadang manusia yang bisa melihatnya salah mengira kalau ia adalah hantu. Tapi tetap saja, hantu dan bogeyman adalah dua entitas yang berbeda. Kenapa Renjun tidak mencurigai bogeyman ini, padahal kan ia mengenakan jubah panjang hitam penuh pasir mimpi yang menebarkan aura jahat? Apa karena ia terlalu ganteng? Au ah gelap.
"... Sudah kan, semuanya sudah kujelaskan?" Renjun mengerutkan dahinya sambil mengembalikan lagi gestur meminta bantal. "Sekarang mana bantalku, aku mau tidur."
"Eh … iya … sudah." Tololnya, sang bogeyman malah menanggapi dengan ucapan seperti ini, bukannya berusaha untuk membuat Renjun takut atau apa. Ah, tapi hal itu sudah tak mempan lagi dilakukan. Bogeyman itu mengambil bantal Renjun yang barusan mencium wajahnya, lalu mengembalikan pada sang empunya.
"Terima kasih." Renjun menerima bantal itu dengan riang. "Omong-omong, siapa namamu?"
"Nama?"
"Iya, nama. Bogeyman punya nama, kan?"
Renjun benar, bogeyman memang punya nama, dan nama tersebut tidak begitu sakral untuk mereka. Tidak seperti entitas-entitas tertentu yang harus merahasiakan nama asli mereka untuk tetap bisa memiliki kekuatan, bogeyman memiliki nama yang resmi, tidak boleh diubah atau dimodifikasi tanpa melalui proses hukum. Hukum bogeyman, tentu saja. "... Jeno."
"Jeno?" Renjun mengulang, memastikan bahwa ia tak salah dengar. Sang bogeyman mengangguk. "Baiklah, kalau begitu aku tidur ya, Jeno. Selamat tidur."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Renjun kembali masuk ke dalam selimut dan berbaring miring. Tidak perlu waktu lama sampai pemuda itu jatuh tertidur. Tubuhnya pasti tidak kuat lagi setelah satu minggu kurang tidur.
Jeno hanya terdiam, menatap di tempatnya berdiri. Terpaku. Tidak menyangka kalau hari ini ia akan gagal — tunggu, kalau hari ini ia gagal, artinya ia harus kejar setoran untuk memberikan mimpi buruk pada orang lain agar gajinya tidak dipotong! Buru-buru Jeno berlari ke arah jendela, lalu minggat dari kamar Renjun lewat sana. Agaknya situasi kali ini terlalu surreal baginya untuk dicerna sampai-sampai ia lupa kalau ... bogeyman bisa berteleportasi.
.
.
.
Dua hari berlalu sejak pertemuan antar entitas itu terjadi, dan nasib yang menimpa keduanya dapat dibilang cukup berbeda.
Renjun mendapatkan kembali tidur nyenyaknya yang ia sambut dengan riang gembira. Tidak ada lagi ngantuk-ngantuk tak jelas di kelas atau lemas karena energi yang terkuras. Sementara itu, sayangnya Jeno memiliki nasib yang tidak sebaik Renjun. Saat berusaha kejar setoran sejak diusir Renjun, Jeno malah terlibat tawuran singkat dengan seorang sandman bermulut cabai yang kebetulan sedang kejar setoran juga. Gila, Jeno ditendang sampai terpental seolah-olah ia adalah bola sepak, dan mendarat di rumah seorang anak yang sudah dikunjungi oleh bogeyman lainnya. Sialnya lagi, bogeyman tersebut adalah seniornya yang juga mengurusi gaji dan keuangan — Senior Johnny — alhasil Jeno diceramahi karena selama satu minggu makan gaji buta.
("Bogeyman juga punya etika kerja, bro! Jelajahi dunia, temui banyak orang, bergerak! Percuma punya kemampuan teleportasi kalau nggak dipakai. Kalau you cuma mau mangkal di satu rumah saja, mending jualan pempek di perempatan!" Begitu ceramah Johnny yang begitu terpatri di dalam hati.)
Kesialannya tak berhenti sampai di sana. Malam berikutnya, ia bertemu dengan geng sandman lagi, dan terlibat tawuran lagi sampai pagi. Heran memang, padahal kalau ketemu sandman ya sudah tinggalkan saja cari korban lain, tapi memang persaingan di antara kaum Bogeyman dan Sandman tidak akan bisa dihentikan; lebih panas daripada ojek pangkalan vs ojek online, lebih sengit daripada Persib vs Persija. Malam berikutnya lagi, ia tidak bisa memasuki puluhan rumah yang sepertinya memasang jimat dari dukun yang sama. Jeno langsung bete. Dikutuknya dukun yang bersangkutan dalam hati. Kalau lagi bete begitu, biasanya Jeno akan sulit dalam meracik mimpi buruk yang bagus. Makanya, ketika ia akhirnya menemukan seseorang yang dapat ia jadikan korban, mimpi yang ia berikan sangat tidak berkualitas. Monster terseram yang dibuat Jeno hanya gelembung berwarna pink featuring cacing besar Alaska. Padahal Jeno biasanya jago lho, membuat mimpi-mimpi buruk yang terasa begitu nyata.
Karena kekesalan yang tiada tara, tanpa disadari oleh akal sehatnya Jeno berteleportasi kembali ke kamar Renjun.
.
.
.
Pemuda itu tengah mengulang pelajaran Bahasa Mandarinnya ketika Jeno datang, nangkring dengan ganteng di jendela. Renjun memang punya kebiasaan membiarkan jendela kamarnya terbuka di malam musim semi seperti sekarang. Awalnya, Renjun terlalu fokus dengan barisan hanzi di bukunya untuk bisa menyadari kehadiran Jeno. Setelah ia menyelesaikan latihan soal yang tengah dikerjakannya, baru ia mendongak, dan pupilnya melebar menyaksikan keberadaan bogeyman ganteng di jendelanya.
"Kenapa balik lagi?" Tanpa basa-basi, Renjun langsung menodong dengan pertanyaan. Jeno mengangkat bahunya.
"Nggak boleh?"
"Rumah ini rumahku, lho. Kau cuma tamu, yang diundang pun tidak. Aturan yang berlaku di sini aturan keluargaku, masa bodoh kau manusia atau bukan," tukas Renjun sinis. "Jangan ganggu aku, besok aku ada ulangan. Tuh, kalau mau ganggu orang, ada sepupuku di bawah, ganggu saja dia."
Mata Jeno membulat. Tidak menyangka bahwa anak ini akan memberikannya korban dengan begitu mudah.
"Tapi kayaknya dia belum tidur. Suara tawanya masih terdengar," gumam Renjun setelah mendengar suara tawa nyaring mirip lumba-lumba yang asalnya dari lantai bawah. "Nanti saja tunggu dia tidur."
"Kau ini …" Jeno tak tahan untuk tidak mengomentari. "... Baik juga, ya."
Renjun menatap Jeno dalam-dalam. "Aku sudah terbiasa dimintai tolong oleh makhluk-makhluk macam kalian."
Jeno menggaruk kepalanya, sedikit salah tingkah. Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan bantuan dari seorang manusia dalam wujud seperti ini. Okelah, ia sudah hidup selama berabad-abad, tapi baru kali ini ia menemukan seseorang yang seperti Renjun. Banyak orang yang bisa melihatnya, tapi rata-rata mereka justru menghindarinya. Tidak seperti Renjun yang membiarkannya meneror dirinya selama satu minggu, mengusirnya dengan melempar bantal, dan menawarkan sepupunya sendiri untuk diberikan mimpi buruk.
Tanpa diduga ternyata Jeno betah duduk di jendela itu sambil memperhatikan bagaimana Renjun menyelesaikan latihan soalnya, kemudian berpindah pada mata pelajaran yang lain. Ia sama sekali tidak terlihat terganggu, meski ada seonggok bogeyman bertengger di jendelanya dan sepupunya yang sangat berisik itu masih tertawa-tawa di lantai bawah. Kali ini ia mengerjakan latihan soal Bahasa Inggris. Berbeda dengan ketika ia mengerjakan latihan soal Bahasa Mandarin, pemuda ini membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan soal Bahasa Inggris. Ia berkali-kali membaca satu soal yang sama, beberapa kali membaca soalnya dengan bersuara, sampai ia akhirnya dapat mencerna maksud dari soal tersebut. Jeno masih memperhatikan dalam diam, namun akhirnya ia buka suara ketika Renjun menuliskan jawaban yang salah pada bukunya.
"Salah, tuh," gumam Jeno sambil menunjuk tulisan Renjun. "Sinonim dari esoteric seharusnya obscure."
"Hah?" Renjun melongo, lalu mendongak. "Yang benar?"
"Yakin."
"Kenapa bisa seyakin itu?"
"Aku sudah lama hidup di sini?" Jeno mengangkat bahu sambil bertanya retoris. Renjun memicingkan mata, agak meragukan, tapi akhirnya mengikuti juga apa kata Jeno. Ia mengganti jawabannya dengan jawaban yang diberikan oleh sang bogeyman.
"Kalau kau salah, kau tidak boleh datang ke sini lagi, ya." Renjun mengajak bertaruh. Jeno mendengus, merendahkan.
"Kalau aku benar?"
Renjun terdiam. "Aku akan beri rekomendasi orang lain yang dapat kauberikan mimpi buruk."
Jeno tertawa. "Apaan, memangnya aku tidak bisa mencari sendiri."
"Buktinya kau tiba-tiba datang kembali ke sini," dengus Renjun sinis. "Pokoknya, aku tidak akan membuatmu memberikan mimpi buruk padaku hanya karena satu jawaban latihan soal yang benar. Ralat, aku tidak akan pernah membiarkanmu memberikan aku mimpi buruk lagi."
"Kau benar-benar membenci mimpi buruk, ya?"
Pertanyaan yang sedikit bodoh, sebetulnya — tapi hei, selera orang berbeda-beda, kan? Tentu saja Jeno mengetahui hal tersebut. Ekspresi wajah Renjun berubah mengeras begitu mendengar pertanyaan dari Jeno barusan. Awalnya, Jeno berpikir kalau Renjun akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban sarkastis semacam "Ya iyalah~" tapi ternyata jawaban yang diberikan Renjun berbeda dengan prediksinya.
"Kau tahu, aku sudah bertemu dengan banyak bogeyman dan aku paling benci mimpi buruk yang kau berikan," jawab Renjun tegas. "Selama tujuh belas tahun aku hidup, kau adalah bogeyman yang memberikanku mimpi paling mengerikan."
Hening. Renjun tidak bicara lagi, begitu juga Jeno.
Bogeyman yang memberikan mimpi paling mengerikan … maksudnya?
Jeno menyimpan pertanyaan itu di dalam benaknya — meskipun ia sebetulnya ingin sekali menanyakannya sekarang, namun mulutnya seolah disumpal selotip. Ia menyaksikan bagaimana Renjun menyelesaikan pekerjaan rumahnya dalam diam. Begitu pula ketika pemuda itu akhirnya meninggalkan meja belajar untuk tidur, Jeno masih tidak berkata apa-apa. Suara tawa sudah tidak terdengar dari bawah, mungkin sepupu Renjun sudah pergi tidur dan ini saatnya bagi Jeno untuk melaksanakan tugasnya. Hanya saja, Jeno masih terpaku di jendela kamar Renjun untuk beberapa saat. Masih memikirkan apa yang dikatakan Renjun.
Hei, seharusnya Jeno merasa bangga karena mimpi yang ia buat berhasil menakut-nakuti Renjun, tapi mengapa ia malah bertanya-tanya?
Jeno mungkin tidak akan mendapatkan jawabannya dengan segera.
Sebelum bergerak ke lantai bawah, Jeno menyempatkan terlebih dahulu melihat wajah Renjun yang terlelap. Setengah wajahnya tertutup selimut, namun Jeno masih bisa melihat ekspresi penuh kedamaian dari setengah bagian wajahnya yang terlihat. Wajahnya tampak manis. Ia pasti tidur dengan nyenyak.
Jeno tidak menyangka ia akan berpikir seperti ini, tapi ia sungguh-sungguh berharap akan ada sandman yang menghampiri Renjun malam ini dan menganugerahinya dengan mimpi-mimpi indah.
.
.
.
TBC
a/n: saya niatnya bikin ini jadi fic horor, perkara kenapa bisa nyasar ke genre beginian mungkin bisa ditanyakan pada jari saya yang khilaf sehingga bikin genrenya kepeleset. Mungkin memang tidac bakat bikin horor hiks. Ini rencananya mau dibikin oneshot tapi biasa ide saya meleber lagi jadi ok baiklah mari kita buat twoshots. Tapi maaf ya kalau chapter keduanya ngaret,,,, sigh,,,, why am i doing this to myself
Anyway injun makin bahaya ya akhir-akhir ini me basically went edan setiap dia post selfie, bikin pusing. Makin edan lagi kalo bareng jeno bisa aja bikin nuna2 bangkotan macem saya ini khilaf.
Terima kasih banyak sudah membaca!
regards,
vanderwood.
