"Su… Suka"

"Eh?"

"Lu―lupakan!"


Disclaimer:

Durarara! by Ryohgo Narita

Warning:

Psychedelic's character. DelicXHibiya . Rangkaian cerita 'Alphabetic Love Story', berupa 26 chapter yang saling berkaitan dengan judul menurut urutan alfabet (A-Z). Typo. Childish yang bisa bikin enek #plak. Shounen-ai.

A/N:

Inilah tantangan dari Baka-Aneki, Yukino Hitohira (Yukihito) yang Hoshi terima, 'Alphabetic Love Story'(ALS)!. Doa'in ya, semoga ke-25 fic lainnya berhasil~~ Dan fic 'A' ini dipersembahkan untuk reviewer pertama Hoshi di fandom Durarara!, C6H4Cl2-Chun. Makasih ya~~ Ohohoho... Happy reading~


Lelaki berumur 16 tahun itu bersembunyi di balik papan background setting drama yang akan ia mainkan. Matanya menatap teliti lelaki berpakaian putih-pink mencolok yang memanggil-manggil namanya.

Mengamati keadaan, ia berjalan mengendap-endap menjauhi panggung besar tempat mimpinya bernaung.

Memang ia bertindak konyol. Menghindari lelaki bernama Delic Shizou yang masih memanggil-manggilnya. Bukan salahnya kalau beberapa jam lalu lidahnya terpeleset mengucapkan kata 'suka'.

Mukanya seketika memerah saat mengingatnya, ia berlari cepat menuju belakang panggung meninggalkan Shizou. Namun malang baginya, ada kabel yang membelit kakinya. Awalnya ia berjalan tertatih, tidak sampai terjatuh. Namun tidak sengaja ia menginjak jubah kecoklatannya, membuatnya berteriak dan terjatuh menghantam sebuah kursi plastik yang terpental.

"P―payah~"

Ia mengelus-ngelus dahinya sambil meringis sakit.

"Hibiya…"

Matanya melotot mendengar namanya dipanggil oleh lelaki yang menjadi masalahnya. Ia berdiri dengan cepat dan kembali berlari, namun ujung jubahnya keburu diinjak oleh Delic. Hibiya memastikan akan mendamprat sang pembuat kostumnya.

"Kenapa kau menghindariku?"

Hibiya membalikan tubuhnya dengan kaku. Wajahnya memerah gugup, "A… apa maksudmu?" mata Hibiya berkeliaran, mengalihkan perhatiannya ke apapun benda yang ia lihat selain wajah Delic yang terlihat tidak suka dengan sikapnya.

"Tadi pagi kau tiba-tiba pergi, saat istirahat tidak menerima teleponku dan kurasa tadi kau berlari ke luar agar tidak bertemu denganku."

'Pagi,' tentu saja ia tiba-tiba menghilangkan dirinya dari hadapan Delic tadi pagi. Jelas saja, ia tidak mau Delic melihat wajahnya yang memerah sampai ke telinga.

"Mungkin perasaanmu saja. Tadi… handphoneku dibawa Psyche. Dan… dan… aku bukan lari untuk menghindarimu."

"Lalu, kenapa kau menghindari menatap wajahku?"

"A… Aku bosan melihat wajahmu! Hanya itu!" Hibiya tertawa garing yang terlihat dipaksakan. Sementara Delic menaikkan sebelah alisnya, tak mengerti sikap Hibiya.

"Ada yang salah, ya?"

"Eh?"

"Kau… Aneh…"

Hibiya menggerutu dalam hati. Ia merutuki sikapnya yang tidak bisa diajak berkompromi. Terutama rasa sakit di dadanya saking cepatnya berdetak, bergerumuh memacu keringatnya untuk mengalir di pelipis. Dan tentu saja, nafasnya jadi terasa sulit dikendalikan.

"Perasaanmu… perasaanmu…"

"Mungkin kau sakit?"

"Ha? Apaan sih? Tidak perlu memperhatikanku seperti itu…" Hibiya menarik jubahnya agar Delic tidak menginjaknya lagi. Kemudian ia hanya berdiri, menatap kamera yang berada di sampingnya. Hanya mengalihkan pandangan.

"Kau berkeringat."

Jantung Hibiya terasa sakit, sangat sakit. Jantungnya berdegup sangat kencang membuatnya gemetar. Saat ia melihat saputangan pink Delic yang menempel di dahinya, dan tentu saja saputangan itu tidak diam. Saputangan itu bergerak menyerap keringat di sekitar dahi Hibiya, Delic yang menggerakan saputangan itu.

"Ap―Apa-apaan sih!" Hibiya menepis tangan Delic hingga saputangan Delic terlempar ke lantai. "Kau bukan siapa-siapaku 'kan? Tidak perlu terlalu khawatirnya denganku!"

"…"

Hibiya mengatur nafasnya. Menenangkan detak jantungnya yang berdetak sangat kencang.

"Oh…"

Kali ini, Hibiya menatap Delic, merasakan nada aneh dalam gumaman Delic. Hibiya diam menatap telapak tangan Delic yang menutupi wajahnya. Hibiya jadi merasa ia salah berkata sesuatu.

"Baiklah, maaf tindakan lancangku."

"Eh?"

"Tsugaru menitipkanku pesan untuk Psyche-kun. Katanya dia akan datang ke rumah kalian malam ini. Sampai jumpa~" Delic melangkah menjauhi Hibiya yang merengut tak terima.

'Huh, kalau mau pergi secepat itu, jangan datang sekalian!'

Hibiya melangkah menuju ke ruangan khusus untuk anggota pengurus drama sekolahnya. Namun langkahnya berhenti saat ia menatap saputangan Delic yang nyaris ia injak. Berpikir sebentar, sebelum ia melanjutkan langkahnya, tanpa menghiraukan saputangan Delic yang membuat hatinya merasakan perasaan aneh.

"Masa bodo' dengan dia…"

Sekalipun ia berkata begitu, ia berhenti melangkah. Diam-diam ia membalikkan badannya, dengan cepat berlari mengambil saputangan Delic dan menyisipkan ke saku celananya.

"Bodoh… bodoh.. bodoh…"

Ia terus merutuki tingkah anehnya.

――

"Ada apa dengan Delic?"

Psyche, mengalungkan tangannya di lengah berkimono milik Tsugaru. Yang ditanya hanya bergumam pelan.

"Entahlah, dia selalu diam sejak pulang kerja."

"Hm… Hibiya malah merengut terus sejak ia pulang sekolah."

Mereka berdua diam. Sama-sama menatap sosok Delic yang hanya cengok menatap vas bunga yang terpajang di ruang tamu. Padahal di sampingnya ada 2 sosok yang bermesraan dan mengobrol tidak jelas. Memang biasanya dia diam, tapi setidaknya kadang-kadang dia mengingatkan Tsugaru dan Izaya akan kehadirannya. Hanya saja kini, Delic diam, melamun.

"Delic…"

"Hm…" tak disangka, ternyata Delic masih bisa merespon panggilan Psyche.

"Padahal saat rekaman tadi kau bersikap biasa, tapi kenapa kau jadi lebih pendiam?"

"Aku tidak apa…"

"Benarkah?"

"Hm…"

Sejenak, ada sela di antara obrolan singkat mereka. Delic tetap melamun, menopang dagunya dengan lengan tangan kanannya. Tsugaru menyeruput pelan teh hijau kesukaannya. Sedangkan Psyche sok berpikir.

"Delic…" ia kembali memanggil Delic yang tak melepas pandangannya dari vas bunga.

"Hmm?"

"Cintamu ditolak, ya?"

Siku Delic terpeleset, membuat kepalanya nyaris terjun ke lantai kalau saja ia tidak mengangkat kepalanya. Sedangkan Tsugaru memuncratkan tehnya yang masih panas.

Anehnya, ada suara 'gubrak' pelan yang terdengar dari dalam rumah mewah ini. Namun hanya telinga Psyche dan Tsugaru saja yang dapat mendengarnya. Mungkin…

"Benar, ya?"

"P... Psyche… Ini bukan urusan kita…" Tsugaru berusaha mencegah Psyche yang mulai berkata ngaco.

"Kenapa? Hibiya kan adikku."

"Iya, tapi..."

"Hibiya 'kan cinta Delic..."

Kali ini, suara sepatu Delic menggebrak lantai frustasi terdengar. Dan seperti sebelumnya, kini suara 'plak' pelan terdengar dari sekitar ruang keluarga yang bersebelahan dengan ruang tamu.

"P... Psyche…" Tsugaru menempelkan ujung telunjuknya ke bibirnya, menandakan bahwa Psyche harus diam untuk sementara.

"Ngg? Aku salah bicara, ya?" terkadang, Tsugaru tidak tahan melihat kelakuan polos kekasihnya itu. Bukan tidak tahan untuk memarahinya, justru ia tidak tahan untuk tertawa menanggapi sikap Psyche yang childish.

"Bukan… Hanya saja waktunya salah."

Psyche mengangguk mengerti.

"Tehnya tumpah, aku bawakan yang baru," Psyche berdiri dengan riang, mengecup pelan pipi Tsugaru sebelum ia berlari ke dalam.

Saat ia membuka sampai di ruang keluarga, ia melihat Hibiya yang berjongkok bersandar di dinding yang membatasi ruang tamu dengan ruang keluarga.

Sempat diam, Psyche memutuskan untuk menghampiri adiknya yang gemar memakai mahkota dan jubah layaknya raja, di manapun ia berada.

"Hibi…"

"YA!" Hibiya berdiri kaget. Menatap wajah kakaknya dengan gugup, ketahuan menguping pembicaraan kakaknya dengan 'tamu' rutinnya.

"Kebetulan…" Psyche menggenggam tangan Hibiya dan menariknya ke ruang tamu.

"Tu―tunggu!" namun terlambat. Tsugaru dan Delic sudah melihat sosok Hibiya yang masih memberontak tak terima akan perlakuan kakaknya.

"Delic… mau bertemu Hibi 'kan?

Hibiya membuang muka menyembunyikan wajah merahnya. Psyche hanya tersenyum sumringah. Tsugaru menutup mulutnya, menahan tawa menatap sang adik yang gelagapan. Delic, hanya bisa celingak-celinguk kebingungan.

"P... Psyche-kun… Kau salah paham, ini…"

"Kenapa? Kan kalian saling cinta."

Tsugaru memilih berdiri dan menghentikan kelakuan Psyche yang sepertinya terlalu mencampuri urusan pribadi adik mereka.

"Bukan… Tidak kok. Habis…"

Tsugaru dan Psyche menatap Delic yang menggantungkan kalimatnya. Hibiya sendiri terkesan mengacuhkan perkataan Delic.

"Habis Hibiya bilang kalau aku bukan siapa-siapanya tadi siang."

"Eh?"

Hibiya tertohok. Ia bahkan tidak percaya kalau ia sempat mengatakan kalimat seperti itu. Jujur, Hibiya tidak mengingatnya, kapan ia mengatakan hal itu?

"Loh, jadi Hibi tidak cinta, ya? Tapi 'kan Delic cinta…"

Kalimat kakaknya makin membuat Hibiya tertohok.

"Psyche… Sudah cukup… Ini sudah terlalu jauh dari rencana kita," Tsugaru membungkam mulut Psyche yang sempat akan mengeluarkan kata-kata.

"Tapi… Delic cinta Hibi... Kurasa meraka bisa―"

"Salah…"

Suara Hibiya memuncakkan ketegangan. Semua pasang mata menatap wajah Hibiya yang berkata dengan wajah memerah dengan penuh keringat dingin.

"Aku… bukannya ingin berkata begitu. Itu… Aku hanya…"

"Tuh 'kan, Hibi memang cinta 'kan…"

"Psyche… Kita ke taman…" Tsugaru mendorong bahu Psyche ke pintu keluar. Menuju ke pekarangan untuk membebaskan kedua sejoli yang masih diselimuti masalah.

"Tapi… Aku ingin melihatnya… 'Kan Hibi manis kalau sifatnya keluar…"

"Psyche…" Tsugaru sweatdrop sendiri mendapati sikap Psyche yang santai. Bahkan saat Psyche menyatakan cintanya, dia terlihat sangat santai. Justru Tsugaru yang gelagapan mendapati pernyataan cinta dari rekan kerja adiknya.

Sementara itu dalam ruang tamu terjadi keheningan. Kekakuan menyelimuti mereka. Seakan tubuh mereka ada di balok es yang membeku sehingga mereka tidak bisa berkutik sedikitpun.

"AKH!"

Hibiya berteriak frustasi, ia berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di lekukan lutut. Tapi tangannya terjulur, menggenggam saputangan Delic yang sempat ia 'pungut' siang tadi.

"Hibiya… kau…"

"DIAM! Aku mau mati… aku mau mati… aku mau mati… aku mau mati…" setidaknya, seperti itulah umpatan Hibiya yang mengiringi rasa malunya.

"Hibiya… jangan mati…." Hibiya tidak tahu, kalau Delic kini sama-sama berjongkok di depannya, menutupi wajanya dengan telapak tangannya sendiri. Menutupi rasa malunya.

"APA! Memalukan… memalukan… memalukan…" kini malah kata itu yang muncul dari mulut Hibiya.

"Hibiya…" dengan takut-takut, Delic mengambil saputangannya. Namun hal itu malah mengagetkan Hibiya, "GYAAA!" membuatnya terlonjak berdiri dan berlari ke dalam ruang keluarga. Namun sebelumnya, Hibiya berhenti dan berteriak.

"J―JANGAN SALAH! AKU TIDAK MEMBAWANYA! SAPUTANGANMU SAJA YANG TERSELIP DI SEPATUKU! AKH!"

Setelah berteriak begitu, Hibiya menghilang di balik tembok.

Delic malah kini duduk di lantai, tetap menekuk lututnya. Menutupi wajanya dengan saputangan miliknya sambil menahan tawa. Yah… mana ada saputangan yang bisa menyelipkan dirinya sendiri ke dalam sepatu.

"Um… Mana Hibi?" kepala Psyche muncul dari balik jendela. Headphonenya agak melorot karena ia terlalu buru-buru mengintip.

"Psyche! Kau tak perlu melihatnya dari jendela kalau pintu ada di sebelahmu," Tsugaru berlari mengejar Psyche yang hanya diam menuruti perkataan Tsugaru.

"Tsugaru sih! Aku jadi ketinggalan acara seru!"

"Psyche, tidak baik mencampuri urusan orang."

"'Kan aku bilang, Hibi itu adikku. Jadi urusannya urusanku juga."

"Ta―"

"Buh!"

Psyche dan Tsugaru berhenti meributkan masalahnya sendiri. Mereka menatap Delic yang tiba-tiba tertawa sendiri. Membuat Psyche cemberut karena kesal.

"Nggak seru deh!"

"Psyche… Kau tidak apa?"

"Tengok Hibi ah~"

――

A_End

Arigatou

Review or Flame?

Salam fujo,

Hoshirin Hyuunma