Harriet menatap wajahnya di cermin. Dirinya saat ini sedang berada di dalam ruangan ganti pribadinya di studio milik agensinya. Studio ini memiliki banyak sekali ruangan. Ruangan-ruangan yang terdiri dari beberapa studio rekaman yang memiliki tempat tidur di dalamnya, studio rekaman yang memiliki alat alat yang Harriet tidak ingin tahu namanya serta ruang ganti bagi para artis mereka.
Karena Harriet merupakan anggota dari agensi ini, maka dia memiliki ruangan pribadi. Berbeda untuk para artis cabutan atau yang hanya menjadi tamu dalam satu atau dua film saja.
Saat ini Harriet sedang memperbaiki riasannya. Biasanya dia memiliki seorang asisten yang memang di tugaskan untuk menangani mereka, berbeda tiap harinya. Tapi sepertinya saat ini dia sedang sibuk mengurusi hal lain, mungkin menemani rekannya yang saat ini sedang menyelesaikan satu film dengannya.
Riasan matanya sedikit luntur. Mungkin karena air mata yang sempat sedikit mengalir keluar saat Harriet harus melakukan sesuatu dengan mulutnya pada kelelakian partnernya. Sebenarnya, Harriet tidak terlalu suka melakukan hal itu, sedikit menjijikan baginya.
Apa daya, pada setiap pengambilan gambar, dia selalu harus melakukannya. Tuntutan profesi. Begitulah yang dipikirkan Harriet tiap kali merasa kesal. Seperti sebuah mantra yang harus dia ulang berkali-kali untuk memantapkan hatinya.
Apalagi ketika dia masih dalam awal pekerjaannya ini. Segalanya terasa berat.
Apa daya, Harriet tidak tahu hal lain yang bisa dia lakukan saat itu. Beruntung, dia bertemu dengan salah satu 'pencari bakat' agensinya saat sedang menghibur diri di salah satu club di kota sebelah.
Sempat terlintas di otaknya untuk menjadi seorang striptease. Beberapa orangpun sudah sempat mengajaknya. Akan tetapi saat itu dia ragu. Apakah pekerjaan itu akan impas dengan yang dia dapatkan?
Sekarang dia mengerti, apapun keputusan yang dia ambil, memiliki resikonya sendiri. Kehilangan kekasih, misalnya.
Hal yang berat saat itu, menurut Harriet. Dia memerlukan seseorang untuk bisa menenangkannya sewaktu-waktu. Bukan hanya seseorang untuk saling melampiaskan nafsu.
Saat Harriet sedang terlena di dalam lamunannya, seseorang mengetuk pintu ruang gantinya. Sepertinya itu manager atau asisten yang di tugaskan hari ini. Karena, dia tidak menunggu Harriet untuk mempersilahkannya masuk untuk membuka pintu dan masuk begitu saja ke dalam ruangannya.
Harriet menatap orang itu dari pantulan cermin di hadapannya. Ternyata managernya. Entah waktu pengambilan gambarnya sudah akan dimulai, atau managernya ini menginginkan sesuatu yang lain. Tidak jarang, managernya ini mengambil kesempatan di saat saat yang seperti ini.
Harriet menatap jam yang bertenger manis di atas meja riasnya. Dia tidak menyukai jam dinding. Terlalu berisik, menurutnya. Masih setengah jam lagi hingga waktu istirahatnya selesai.
Dia tersenyum kepada managernya melalui cermin. Maskara yang sedang digenggam dengan kedua tangannya, dia tutup, putar, dan dia letakkan dengan apik di atas meja.
Tubuhnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Kakinya dia silangkan dan dia menunggu hingga managernya datang mendekatinya.
Tak lama, seperti yang sudah dia duga sebelumnya, managernya berdiri tepat di belakang kursinya. Merendahkan tubuhnya, dan berbisik di telinga kanan Harriet.
"Kau tidak lelah, kan?"
Harriet hanya tersenyum. Apa lagi yang bisa dia katakan? Apapun tidak akan berpengaruh terhadap apa yang akan di lakukan managernya padanya.
Perlahan, dari sudut matanya, Harriet melihat managernya itu mulai mengangkat tangannya menuju pundak kirinya. Bertenger di sana selama beberapa saat sebelum kemudian mulai turun menuju dadanya yang hanya di tutupi oleh sebuah bra minim berwarna hitam.
Scene sebelumnya memang baru sampai pada tahap sang pria membuka baju atasan Harriet. Rok hitam legamnya yang hanya menutupi setengah pahanya masih terpasang dengan sempurna.
"Hmm." Harriet bergumam. Mulai memejamkan matanya.
Sementara tangan kiri sang manager masih meraba dadanya, tangan kanannya mulai merayapi pahanya. Menyingkap roknya yang memang pendek, masuk untuk meraba paha bagian dalamnya.
Harriet meraih sisi wajah sang manager kemudian mencium bibirnya tanpa kelembutan.
Kegiatan mereka berlangsung kurang lebih dua puluh menit dengan Harriet yang berakhir di atas pangkuan sang manager. Berhadap hadapan.
"Kau selalu tahu, bagaimana caranya memuaskanku, bukan?" Bisik managernya. Kedua tangannya mendekap Harriet. Bibirnya masih mengulum telinga Harriet dengan gerakan perlahan.
"Hm hm.." Harriet hanya bergumam kembali. Kepalanya dia surukkan pada salah satu lekukan leher managernya. Tangannya memeluk pinggang pria itu hingga melewati sandaran kursi.
Mereka mencapai puncaknya bersama, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh managernya dan kini Harriet merasa lelah. Bukan hal yang baik mengingat sepuluh menit lagi dia harus sudah siap untuk pengambilan gambar.
Pakaian dalamnya tergeletak begitu saja di lantai dekat kursi, sedangkan managernya masih berpakaian lengkap. Hanya celananya yang sedikit turun yang mengindikasikan kegiatan apa yang baru saja mereka lakukan.
Sementara masih mengatur nafasnya dan degup jantungnya akibat kegiatannya barusan, seseorang kembali membuka pintu ruangannya. Harriet mendongak untuk melihat asisten sutradara yang menatap mereka dengan pandangan datar. Kejadian seperti ini memang lazim terjadi di agensi kita.
"Harriet, lima menit lagi kau harus sudah siap di set." Setelah mengatakan hal itu, pintu ruangannya kembali tertutup.
'Mau bagaimana lagi,' Batinnya berkata.
Dengan perlahan, Harriet mengangkat tubuhnya dari pangkuan pria di hadapannya itu sehingga dia merasakan sesuatu seperti di tarik dari dalamnya, menghilangkan perasaan penuh sebelumnya.
Karena perilakunya itu, managernya sempat melepaskan sebuah desahan kecewa. Perasaan menghimpit yang dia sukai pasti hilang.
"I have to go." Hanya itu yang bisa Harriet katakan, membalas desahan kecewa managernya.
Setelah berdiri dan mendapatkan kembali keseimbangannya, Harriet memungut pakaian dalamnya dan menggunakannya dengan gerakan tergesa. Dia berusaha untuk tidak menghiraukan rasa pegal yang kini menyerang pinggangnya.
Dengan langkah yang mantap, dia berusaha untuk mengingatkan dirinya sendiri. Hal yang akan dia lakukan setelah ini, akan jauh lebih melelahkan.
