Author Note: waaaaaw! It's Valentine Day guys! Did cha got a chocolate from your family or your boyfriend/girlfriend? Hehehehe…
Wew! Aku update-nya tepat waktu! Syukurlah! Hehehehe…

Disclaimed! KH character owner was Tetsuya Nomura, Square Enix, and Disney. I'm just borrowing them cause I like them! That's all! :)

A Forgetten Promise

1. Silver Box

Setiap kali kubuka loker saat hari Valentine Day, pasti banyak bingkisan berisi cokelat jatuh berserakkan ke bawah karena lokerku terlalu penuh. Aku pun sweat drop melihatnya. Tadi pagi, meja belajarku memang penuh dengan bingkisan cokelat juga. Di setiap bingkisan, pasti terdapat kertas yang menuliskan nama pengirimnya. Mereka memang selalu mengharapkan balasan dariku saat White Day, sayangnya aku hanya sanggup membalas setengah dari bingkisan yang kuterima.

Setiap tahun, aku selalu menemukan satu bingkisan berwarna silver tanpa ada nama pemberi. Sepertinya sih teman yang sudah sangat lama, soalnya dari SD kelas 5 hingga sekarang—tadi aku melihat ada bingkisan silver jatuh, aku terus mendapatkannya di hari Valentine. Isi cokelatnya lebih mahal dibandingkan dengan yang lain. Bungkusnya juga bukan bungkus umum yang dijual di supermarket. Soalnya kertas pembungkus cokelatnya berkualitas tinggi dan umumnya hanya dapat dipesan.

Setelah memungut semua bingkisan cokelat yang jatuh, aku memang menemukan cokelat dengan bungkus silver yang tertimpa bingkisan lain. Kali ini, ada sebuah kertas putih di bingkisan, tapi bukan tulisan nama pemberinya, hanya kata-kata saja.

"I will always waiting," begitulah tulisannya.

Aku pun hanya menatapinya dengan bertanya-tanya. Sudahlah, yang penting pulang dulu.

Namaku Sora. Umurku 16 tahun. Aku lahir di Destiny Island, tapi saat ini aku tinggal di Hollow Bastion. Orangtuaku pindah ketika usiaku baru 5 tahun, jadi aku tidak tahu seperti apakah Destiny Island. Aku sangat aktif di bidang olahraga. Mungkin itu sebabnya setiap hari Valentine tiba, banyak sekali cokelat yang kuterima. Dari kelas 1 hingga kelas 3.

"Hei, Sora."

Kurasakan seseorang memeluk tubuhku dan bertumpu padaku dari belakang. Tubuhnya yang berat nyaris membuatku terjatuh. Rambutnya yang panjang menggelitik pipiku. Aku tidak bisa mengangkat kepalaku ke atas karena dagunya menimpa kepalaku.

"Riku," kataku sambil meliriknya, "Kau berat!" Protesku sambil menahan beban tubuhnya.

Dia melepaskan pegangannya. Aku menoleh padanya yang menggenggam kantong yang berisi puluhan bingkisan cokelat. Dia menyibak rambut silver-nya yang berada di bahunya ke belakang. Matanya yang berwarna aquamarine menatapi bingkisan-bingkisan yang kugenggam dengan susah payah.

"Masukkan saja ke dalam kantongku," kata Riku sambil membuka kantongnya.

Aku mengangguk. Dari semua cokelat, hanya satu cokelat dengan bungkus silver ini yang tidak kuserahkan padanya. Khusus yang satu ini kusimpan dalam tas saja. Riku tidak berkomentar apa-apa tentang cokelat itu. Kukira dia akan berkomentar sesuatu, soalnya bungkus cokelat itu memang berbeda dari yang lain.

"Sepertinya jumlah cokelatmu masih tidak bisa mengalahkan jumlah cokelatku," kata Riku sambil tersenyum sinis.

Riku memang sedikit sombong sejak kecil—Riku adalah teman pertamaku saat pindah ke Hollow Bastion. Dari dulu, kami berdua sering bersaing untuk menjadi yang terbaik. Kadang aku menang, kadang aku kalah. Aku lebih banyak kalahnya sih daripada menang. Habisnya, Riku sangat pintar sekali. Bukan hanya pintar, dia juga jago olahraga. Dia merupakan saingan yang paling berat sepanjang hidupku. Entah mengapa, aku merasa dia sudah seperti rival abadi karena sejak kecil kami sudah bersaing.

"Daripada tidak dapat satu pun," balasku sambil memalingkan muka. Kata-katanya sedikit membuatku tersinggung.

Riku mengacak-acak rambutku. "Berarti kau masih populer seperti dulu."

Aku menatapi Riku dengan bingung. Dia memujiku setelah mengejekku tadi? Apa sesungguhnya maksud Riku? Kuputuskan untuk tetap diam. Riku pun ikut terdiam saat kami berdua jalan keluar dari wilayah sekolah. Hari ini, aku akan mampir ke rumah Riku karena ingin mengerjakan PR bersamanya.

"Masuklah," ajak Riku saat kami tiba di rumahnya.

Saat masuk, ruang tamu dengan meja yang dihiasi bunga plastik selalu menarik perhatianku. Warna-warni bunga plastik yang terpajang memang tidak pernah membosankan untuk dilihat. Di sofa cokelat yang berada di tengah ruangan, ibu Riku langsung tersenyum pada kami. Aku menangguk dengan senyum untuk memberi salam padanya.

"Riku, Sora, selamat datang. Kalian akan mengerjakan PR lagi, ya? Nanti akan kubawakan teh dan kue ke atas," kata ibu Riku dengan senyum.

"Tidak perlu, Mom. Cukup teh saja. Hari ini kami dapat banyak cokelat," balas Riku dengan senyum sinis. Ditunjukkannya sekantong cokelat yang sejak tadi dipegang olehnya.

"Baiklah."

"Maaf selalu merepotkan, Tante," kataku sambil menggosok belakang kepalaku dengan malu.

Ibu Riku tersenyum saja. Kamar Riku selalu rapi setiap kali aku mampir. Jika dibandingkan dengan kamarku, kalian pasti akan sweat drop. Kamarku selalu berantakkan. Itu sebabnya kami selalu mengerjakan PR di rumah Riku. Kududuki bantal kecil yang berada di pinggiran meja setinggi 40 sentimeter. Kukeluarkan buku-buku PR yang akan kami kerjakan. Riku membuang tasnya ke atas ranjangnya setelah mengeluarkan buku PR, lalu duduk di hadapanku sambil meletakkan sekantong cokelat di atas meja.

Kuambil salah satu cokelat setelah mengaduk-aduk isi kantong, lalu kubuka. Aku ingin mengganjal perutku sedikit agar bisa berkonsentrasi mengerjakan PR yang banyak menguras pikiran dan mental. Ah, aku memakan cokelat milik Riku ternyata. Di bingkisan cokelat, ada nama pemberinya. Dari kelas sebelah dan ditulis untuk Riku tersayang. Aku langsung menahan tawa ketika membacanya.

"Riku tersayang. Sejak kapan anak kelas sebelah memanggilmu seperti itu?" tanyaku dengan cengiran.

Riku menyandarkan wajahnya pada telapak tangannya, lalu mendesah. "Belakangan ini banyak cewek yang memanggilku seperti itu. Tapi itu tandanya aku tambah populer," kata Riku dengan senyum sinis.

Aku langsung menggelembungkan pipiku. "Aku juga tambah populer tahu!"

Senyum sinis Riku melebar. "Oh ya?"

"Iya!"

Pintu kamar terbuka. Ibu Riku membawakan dua gelas minuman. Aku memalingkan muka dengan wajah cembetut.

"Ada apa? Kalian habis bertengkar, ya?" tanya Ibu Riku. Beliau terlihat tidak terkejut karena kami berdua memang sering bertengkar, lalu baikkan lagi.

"Ya," balas Riku. Kuyakin saat ini dia menatapiku dengan senyum sinis.

"Oh my," kata Ibu Riku sambil meletakkan gelas yang di bawanya di meja. "Bertengkar itu tidak baik, Riku."

"Iya, iya," balas Riku dengan datar.

"Sora, maafkan Riku yang sedikit keterlaluan, ya? Kau juga, Riku, jangan terlalu sering menyindir Sora."

"Ya,ya," balas Riku dengan datar lagi.

"Tante permisi dulu."

Ibu Riku pergi. Kami berdua hening hingga akhirnya kuputuskan untuk berhenti mengambek dan melanjutkan PR lagi. Jika aku mengambek terus, yang ada PRku tidak selesai-selesai. Beberapa kali Riku mengajukan pertanyaan padaku, untuk mengetes kemampuan otakku yang pas-pasan. Mukaku sering kali kusut setiap kali gagal menjawab pertanyaan Riku.

Aku mendesah dalam. Man, PR saja sulit kutemukan jawabannya, apalagi mencari jawaban tentang siapa yang memberikan cokelat dengan bungkus silver tersebut. Sudah 6 tahun—termasuk tahun ini—dia memberikanku cokelat tanpa henti, dan tidak sekali pun aku pernah membalas cokelatnya karena tidak tahu siapa pengirimnya.

"Semakin lama, mukamu semakin bertambah kusut," kata Riku sambil terkekeh.

"Habisnya, ada satu pertanyaan di kepalaku yang hingga kini masih belum bisa kujawab," jawabku sambil mengecutkan bibir.

"Apa? Pelajaran kimia?" Riku paling tahu aku tidak bisa mengerjakan PR kimia. Sayangnya, yang diduganya salah.

"Bukan. Aku hanya penasaran siapa yang mengirim cokelat dengan bungkus silver ini," jawabku sambil mengeluarkan cokelat dengan bungkus silver. "Kuyakin kau juga tidak tahu siapa pengirimnya."

"Aku tahu."

Jawaban spontan dari Riku membuat mataku terbelalak. "Yang benar!?"

Riku mengangguk.

"Siapa dia!? Apakah dia telah lama bersamaku sejak SD kelas 5 atau lebih lama?"

"Ya iyalah! Kau pikir sudah berapa lama kita satu kelas?" Riku menatapiku dengan ekspresi heran.

"Huh!?" Aku menatapi Riku dengan wajah terkejut. "Ja-jadi...?"

"Ya, cokelah berbungkus silver yang kau tanyakan itu dariku. Masalah buatmu?"

Alisku terangkat sebelah mendengarnya. "Mengapa kau memberikanku cokelat selama ini?"

Alis Riku terangkat juga. "'Mengapa', katamu?" Aku mengangguk dengan wajah bingung. "Astaga, Sora! Kau yang membuatku berjanji akan selalu memberikanmu sebuah cokelat enak setiap hari Valentine, dan kau lupa?" Riku terlihat sangat kesal saat ini.

Mataku melebar. "Benarkah!?"

Aku sungguh-sungguh tidak ingat pernah meminta Riku berjanji sesuatu padaku. Astaga! Itu janji berapa tahun lalu!? Sejak aku SD kelas 5 hingga SMA sekarang! Bayangkan! Aku tidak ingat sama sekali kapan kami mengucapkan janji itu!

"Maaf, Riku! Aku benar-benar tidak ingat!" kataku sambil menundukkan kepala. Meminta maaf padanya.

Riku menyandarkan wajahnya pada telapak tangan. Dia mendesah berat. "Sudah kuduga kau lupa. Tidak heran sejak SD hingga sekarang kau tidak pernah mengucapkan terima kasih padaku." Matanya menyipit.

"Maaf..." Aku menunduk dengan wajah menyesal. Bagaimana bisa aku melupakan hal yang begitu penting seperti ini? "Maaf juga karena selama ini tidak pernah memberikanmu balasan." Hatiku semakin sedih karena aku sangat menyesal.

Riku mendesah lagi. "Sudahlah. Aku juga tidak pernah mengharapkan balasan. Lagipula, aku tidak pernah memberikan balasan untuk cokelat-cokelat yang kuterima."

"Tapi..."

Kata-kata dalam bingkisan yang Riku tulis menyinggung perasaanku. I will always waiting. Aku tahu Riku menunggu balasanku karena dia menulis seperti itu.

"Tidak apa-apa. Yang penting kau suka dengan pemberianku."

Aku memandang wajah Riku. Senyumannya terasa tulus. Sepertinya kekesalannya berkurang. Kurasakan mukaku memanas. Jangan bilang mukaku memerah? Mengapa jantung ini juga berdetak tidak karuan? Aku segera memalingkan muka dari Riku sebelum salah tingkah.

"Kenapa? Apakah cokelat yang selama ini kubelikan tidak kau sukai?" Riku heran karena aku memalingkan muka.

"Ti-tidak! Semua cokelat yang berikan sangat enak!" bantahku sesegera. "Dan pastinya mahal..." kataku dengan suara kecil.

Aku tahu mahal karena kemurnian cokelatnya di atas 50 persen. Rasa pahit dari cokelat menjadi bukti kemurnian cokelat yang Riku berikan. Meski pahit, rasanya sangat enak.

"Baguslah kalau kau tahu itu mahal," balas Riku dengan senyum sinis. Dia pasti mengira kalau aku tidak tahu tadi.

"Hei! Memangnya aku tidak bisa membedakan makanan mahal dengan yang biasa!" Pipiku menggelembung. Aku menyilangkan tangan sambil menatapi Riku dengan wajah kesal.

Riku terdiam. Masih dengan senyum sinisnya.

Aku mendesah untuk mengurangi rasa kesalku. "Neh, Riku, apa yang kuucapkan saat memintamu berjanji untuk memberikanku cokelat tiap hari Valentine?" Rasa penasaran mulai muncul.

"Kau benar-benar tidak ingat sedikit pun?"

Kugelengkan kepalaku.

Riku terdiam sejenak. Mungkin sedang mengingat hari kami berjanji. "Kalau tidak salah, saat itu kita baru 10 tahun. Waktu itu, kita sedang bermain ayunan di taman. Kita melihat ada seorang gadis memberikan cokelat pada orang yang disukainya. Kau berkata padaku, bahwa kau juga ingin mendapatkan cokelat di hari Valentine. Kau pun merengek-rengek dan memintaku berjanji kalau aku akan memberikanmu cokelat pada hari Valentine. Karena kau memaksa, maka kuterima janji yang kau buat."

Hening setelah Riku selesai. Mukaku memerah padam mendengarnya. Kualihkan pandanganku darinya. Bisa-bisanya aku merengek pada Riku dulu. Aku sama sekali tidak ingat. Tapi setelah Riku cerita, rasanya samar-samar aku mulai mengingatnya—meski aku sendiri tidak benar-benar yakin mulai mengingat. Rasanya, dulu janjiku dengan Riku tidak hanya itu saja. Sepertinya, saat itu Riku memberikan sebuah syarat agar dia mau menepati janjinya. Apa ya?

"Neh, Riku, apakah benar kau menyetujui begitu saja janji di masa kecil tanpa ada syarat?" Kutatapi Riku.

Riku hening dan menatapiku dengan senyum sinis. Sepertinya memang ada sesuatu dulu, tapi apa!? Ditatapi Riku cukup lama membuatku merasa tidak nyaman. Sepertinya dia menantiku menjawab pertanyaanku sendiri. Dahiku semakin berkerut karena tidak bisa mengingatnya.

"Beri aku petunjuk, Riku," pintaku.

"Baiklah."

Tangan Riku mengarah ke wajahku. Aku pun terdiam saat pipiku dipegang. Jemari jempolnya menyentuh bibirku dan menggosoknya ke kiri dan ke kanan dengan lembut. Tangannya pun menjauh.

Aku terdiam semenit memikirkannya. Saat kusentuh bibirku, wajahku pun langsung memerah padam.

"Ka-kau...maksudku...kau bercanda, kan?" Kepanikan menyerangku.

Astaga!? Aku sungguh tidak percaya kalau dulu aku berjanji akan membalas cokelat Riku dengan...ciuman!? Arg! Betapa polosnya aku dulu karena menyetujuinya tanpa tahu apakah ciuman itu dulu! Tapi bagaimana mungkin aku bisa mencium...Riku? Riku tidak serius menginginkan balasan ciuman dariku, kan? Dia kan normal. Punya banyak pacar—dan playboy pula. Setiap bulan rasanya aku selalu melihatnya ganti-ganti pacar—dan selalu menerima ajakkan pergi dari para siswi jika tidak ada tugas PR.

"Makanya tadi kubilang bahwa aku tidak mengharapkan balasan meski aku tetap menanti janjimu," balas Riku dengan senyum sinis.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Wajahku masih memerah ketika menatapi Riku. Apa yang harus kulakukan!? Aku normal. Aku normal.

Riku tertawa melihat kepanikanku. "Tenang, White Day masih sebulan lagi. Aku tidak memaksamu menepati janjimu. Bagaimana jika kau memberikan balasan saja?"

"Tapi...aku tidak suka ingkar janji," jawabku sambil menyentuh dadaku yang berdetak tidak karuan.

"Jangan paksakan dirimu. Jika kau tidak mau, ya tidak usah. Lupakan saja janji itu."

Mendengarnya, hatiku semakin sakit. Pertama, karena Riku selalu menepati janjinya selama ini. Kedua, selama ini aku tidak menepati janjiku karena lupa—meski tidak sengaja, tetap saja salah karena melupakan janji. Ketiga, selama ini aku tidak membalas atau berterima kasih padanya. Rasa bersalah ini terasa seperti ditimpa oleh beban seberat ribuan ton saja. Berat sekali.

Aku...akan terus memikirkannya hingga White Day datang. Aku harus mempertimbangkannya baik-baik, apakah memenuhi janjiku atau mengingkarinya lagi untuk kesekian kali.

To Be Continued...

Author Note: See ya at White Day guys! :P jangan lupa review n tebak apakah Sora bakalan membalas atau mengikarinya lagi. XD