Sebuah senyum terbentuk di wajahnya yang tampan. Melebar, seiring ketika mata hitamnya yang kelam bagaikan langit malam menatap sosok yang sedari duludicarinya. Melebar, hingga akhirnya senyum yang nampak seperti cengiran tersebut berubah menjadi seringai.
Namun, seringai itu menghilang seketika ketika sosok lain masuk ke dalam jarak pandangnya. Matanya menyipit, memperhatikan rambut sewarna emas dan sebuah anting menyerupai berlian yang tergantung di salah satu telinganya. Matanya menyipit, memandang sepasang mata biru tua yang sering ia lihat, ia ingat, dan diam-diam ia benci.
Alisnya kemudian bertaut, dahinya berkerut, ketika ia melihat sosok pemuda yang berambut pirang keemasan tersebut menepuk bahu sosok gadis yang sedari tadi diperhatikannya. Ekspresinya berubah, menjadi tidak suka.
Bahkan di dunia ini, ia harus berhadapan dengan mereka.
.
.
Monochrome belong to Azureinne Karale
Fairy Tail belong to Hiro Mashima
Inspired by Lewis Caroll's Alice in Wonderland
An Alternate Universe with straight pair, typo(s), possibly out of character story.
.
.
"Hey, Lucy!"
Seruan tersebut kemudian diikuti dengan sebuah tepukan di bahunya. Membuat sang gadis yang bersangkutan menoleh, untuk menemukan seorang pemuda berambut pirang yang tengah tersenyum lebar melangkah dengan ritme yang sama dengan langkah kakinya sendiri.
"Sting." Lucy Heartfillia tersenyum dan mengangguk, membalas sapaan pemuda yang telah lama menjadi sahabatnya sejak sekolah menengah pertama. "Apa kabar? Bagaimana keadaan keluargamu?" Tanya Lucy, berbasa-basi.
Sting Eucliffe, pemuda dengan rambut pirang alami, sama seperti Lucy, yang berantakan dan pemilik sepasang mata biru tua nyaris hitam, membenarkan letak tasnya dan menaikkan sebelah bahunya, mengulum senyum ketika ia berkata, "Mereka baik-baik saja, dan apakah aku terlihat sakit bagimu?" Tanyanya, mengundang tawa dari Lucy.
"Tentu saja tidak. Siapa tahu ternyata kau sedang sakit atau pening, begitu. Aku hanya bertanya." Lucy mengambil jeda, menarik napas dan tertawa ketika sebuah ide terlintas di benaknya sebelum melanjutkan, "Walaupun sebenarnya aku yakin seorang Sting Eucliffe tidak akan sakit. Kau kebal, kecuali dengan sakit hati. Iya, kan?"
Sting memutar bola matanya, "Aku terlalu hebat untuk dapat sakit hati. Jangan samakan aku dengan manusia lain, terima kasih." Katanya, sarkastik. Membuat tawa Lucy kembali membahana, bergema bagaikan denting bel yang ditiup angin musim panas.
"Berarti kau bukan manusia, begitu?" Lucy bertanya, main-main.
Mata biru Sting berkilat sekali. Ekspresinya berubah kemudian.
"Jika aku mengiyakannya, apakah kau akan percaya?"
Kata-katanya membuat Lucy menoleh ke arahnya—mendongak sebenarnya, karena Sting agak terlalu tinggi untuk Lucy—dan memiringkan kepalanya ke satu sisi, "Memangnya kau apa, naga? Oh, oh, atau kau unicorn? Kudengar unicorn dapat berubah bentuk menjadi manusia. Berarti rambutmu yang mencuat ke atas itu tandukmu?" Lucy bertanya dengan bersemangat, melupakan fakta bahwa ia tidak menjawab pertanyaan Sting yang sebelumnya.
Sting memutar bola matanya lagi sebelum salah satu sudut bibirnya naik, membentuk sebuah senyum miring yang terlihat sangat arogan, sangat sombong, sangat congkak, sangat meremehkan mereka yang lebih rendah darinya.
"Aku adalah raja dari dimensi lain, dimana aku memerintah dengan seorang raja lain dan berbagi wilayah luas yang penuh dengan manusia setengah binatang dan binatang yang hanya ada di dalam mimpi." Katanya, penuh percaya diri, hingga sulit rasanya memastikan diri sendiri dengan fakta apakah ia berbohong atau tidak sama sekali.
Lucy berhenti melangkah dan menatapnya. Mulutnya terbuka, mata karamelnya membesar, menatap sang pemuda yang juga berhenti di depannya dengan tatapan tak percaya. Ekspresi Lucy terlihat sangat lucu, hingga Sting berpikir untuk meraih ponselnya dan mengambil gambarnya, dan menjadikan gambar itu bahan blackmail untuk nantinya.
"... Serius ...?" Tanya Lucy akhirnya.
Sting menaikkan sebelah alisnya. Senyum miringnya, yang terlihat semakin arogan jika semakin diperhatikan setiap detiknya, masih tersulam di wajahnya yang tampan. "Kau percaya?" Ia balas bertanya.
Sebelum Lucy menanggapi pertanyaannya, Sting mendorong wajah Lucy dengan telapak tangannya dan membiarkan gadis itu terhempas ke belakang, kehilangan keseimbangan. "Bodoh, kau terlalu banyak membaca novel fiksi." Ujarnya, mengabaikan Lucy yang kini menyerukan seribu satu makian untuknya, "Lagipula, mana mungkin di dunia nyata ini ada hal seperti itu, kan?"
Pemuda itu kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya. Tidak mau repot-repot menunggu sahabatnya yang masih belum bangkit dari posisinya yang jatuh terduduk di trotoar. Pun membantunya berdiri seperti seorang lelaki yang seharusnya.
Lucy mendesis kesal dan melempar tasnya, berusaha mengenai bagian belakang kepala pirang Sting, namun gagal. Entah karena pemuda itu kala itu tengah beruntung saja atau karena lemparan dan akuransi Lucy kurang tepat.
"Hey, Sting! Tunggu aku!" Lucy menepuk rok sekolahnya untuk menghilangkan debu dan pasir yang menempel di pakaiannya sebelum berlari mengejar Sting yang semakin jauh dari posisinya, meraih tasnya yang tergeletak tak berdaya di trotoar dalam prosesnya.
Gadis itu berjalan pergi dari sana dengan langkah cepat, tidak menyadari eksistensi seseorang yang bersandar di tiang listrik tepat di belakang tempatnya terduduk beberapa saat yang lalu.
Sosok itu menegakkan tubuhnya dan membenamkan kedua tangannya ke saku celana panjang yang ia kenakan, memandang punggung Lucy yang semakin menjauh dengan tatapan penuh afeksi. Sebuah senyum lebar terbentuk di wajahnya yang tampan, kendati matanya yang hitam menggelap, penuh dendam.
Lalu, perlahan, ia menghilang. Dimulai dari kedua kakinya, diikuti dengan pinggang dan kedua tangannya, lalu menyusul torso dan lehernya. Kepalanya adalah yang terakhir menghilang. Tetapi, seringainya yang lebar masih tetap di sana sebelum lenyap kemudian.
.
Lucy membeku. Menatap pemuda di depannya yang tersenyum lebar dan mengulurkan salah satu tangannya, seolah minta Lucy untuk menyambutnya, menggenggamnya, membiarkannya menarik gadis itu pergi dari dunia ini.
Terkutuklah Sting yang harus menjalani hukuman karena ketahuan tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya dan lagi-lagi bersikap tidak sopan di depan guru. Jika Sting ada di sini, Lucy pasti tidak akan terlibat dengan peristiwa ini.
Tetapi, mungkin, Lucy seharusnya bersyukur Sting tidak ada di sini.
"Kau siapa ...?" Tanya Lucy, kaku. Tidak setiap hari kau melihat seorang pemuda yang tersenyum mencurigakan dan memiliki rambut merah muda berantakan di tengah kota ketika sedang berjalan pulang sekolah, bukan?
"Natsu Dragneel." Jawab sang pemuda, dengan santai.
Mata karamel Lucy kemudian beralih fokus, dari tangan yang terulur ke arahnya ke wajah sang pemuda. Rambutnya yang merah muda tak mungkin terlewatkan begitu saja, berikut dengan matanya, yang berwarna hijau lumut namun terlihat hitam ketika ditimpa cahaya. Tepat di puncak kepalanya terdapat sepasang telinga kucing—telinga kucing—yang mencuat tinggi, sewarna dengan rambutnya, dan Lucy dapat melihat ekor merah muda yang bergerak-gerak di belakang punggung pemuda itu.
Seketika, kalimat 'orang mesum yang aneh' terlintas di benak Lucy.
"Lalu mengapa kau mengulurkan tangan kepadaku begitu?" Tanya Lucy lagi, sembari mengambil satu langkah mundur, memberi jarak cukup antara dirinya dan pemuda yang bernama Natsu Dragneel. Jarak yang cukup jika sewaktu-waktu ia harus berbalik dan berlari secara tiba-tiba, melarikan diri dari pemuda mencurigakan ini.
Natsu mengedipkan matanya beberapa kali dan menarik tangannya kembali. Kedua telinga kucingnya turun, gestur yang biasa diperlihatkan seekor kucing ketika ia tengah kecewa, "Kau ... Tidak mau ikut denganku, Luce?" Tanyanya, kecewa. Mata hitamnya menatap Lucy dengan tatapan sedih dan frustasi, membuat rona merah yang kontras dengan kulit putih Lucy menghiasi wajahnya yang cantik.
"Eh ... Ah," Lucy menggaruk pipi kanannya dengan salah satu jari telunjuknya, matanya nyalang, mencari hal lain yang dapat ditatap selain ekspresi menggemaskan yang dibuat pemuda di hadapannya ini. "Memangnya, kau mau membawaku kemana?" Tanya Lucy.
Kedua telinga Natsu kembali naik, ekornya bergerak-gerak penuh semangat ketika sebuah senyuman lebar kembali terbentuk di wajahnya, "Kalau kau ingin tahu, mengapa kau tidak ikut denganku saja?" Ujarnya, sembari menarik salah satu tangan Lucy dan memaksa sang gadis mengikuti ritme langkahnya yang lebar-lebar.
"Ap—hey!" Dengan refleks, Lucy mengayunkan tangannya dan memukul Natsu dengan tasnya, keras. Membuat Natsu melepaskan tangannya dan mengelus kepalanya yang dicium dengan mesranya oleh tas sekolah Lucy yang cukup berat.
Lucy menegakkan tubuhnya dan berkacak pinggang, tidak terlihat merasa bersalah dengan sikapnya yang barusan. "Kau tidak seharusnya menarik seorang gadis secara paksa begitu, tahu. Bagaimana jika kau disangka seorang penculik? Kau mau dihajar orang-orang, hah?" Omel Lucy.
Natsu mencebikkan bibirnya begitu mendengar omelan Lucy, merasa dirinya tidak bersalah sama sekali. "Tapi jika kau tidak ditarik, kau pasti tidak akan mau, kan?"
Lucy melipat kedua tangannya di depan dada, "Tentu saja! Kau mencurigakan tahu. Aku tidak mengenalmu, dan tiba-tiba kau mengajakku ke suatu tempat yang bahkan aku tak tahu dimana! Lalu—kenapa kau menatapku seperti itu?" Lucy menghentikan kalimatnya dan menatap Natsu yang memandangnya dengan tatapan kosong.
Natsu berkedip sekali, seolah menyadarkan dirinya dari alam bawah sadarnya, sebelum membuka mulutnya, "Kau mengenalku. Kau pernah bertemu denganku. Aku mengenalmu, dan aku pernah bertemu denganmu." Kata Natsu, dengan nada final. Seolah, pernyataan yang barusan tidak akan dan tidak bisa dibantah lagi, sebuah fakta.
Lucy menaikkan sebelah alisnya, "Apa maksudmu? Aku sangat yakin aku belum pernah bertemu denganmu." Kata Lucy, tanpa rasa ragu.
Apakah kau yakin?
Sebuah suara di dalam pikiran Lucy berkata, membuat gadis itu membeku. Sebuah perasaan aneh kemudian membanjiri pikirannya, memenuhi otaknya dengan perasaan asing. Perasaan itu berkata, bahwa Lucy pernah bertemu dengan Natsu. Bahwa Lucy pernah berkenalan dengan Natsu. Bahwa kata-kata Natsu benar adanya.
Tetapi kapan? Dan dimana?
Di depannya, Natsu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dahinya berkerut, seolah ia tengah berpikir keras. "Baiklah, kalau begitu." Ujarnya, sebelum akhirnya ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang putih cemerlang. "Kalau begitu, bagaimana kau ikut denganku saja? Aku yakin di sana kau pasti akan ingat semuanya!" Serunya.
Natsu kemudian mengambil tangan Lucy yang tergantung lemah di kedua sisi tubuhnya dan menarik Lucy bersamanya, menuju arah yang hanya ia ketahui secara pasti. Kembali memaksa gadis itu mengikuti ritme langkahnya yang lebar-lebar dan cepat.
Begitu menyadari gadis di belakangnya tidak memberikan perlawanan, Natsu mengeratkan genggamannya pada tangan Lucy. Tersenyum ketika merasakan perbedaan kontras antara telapak tangannya yang dingin dan telapak tangan Lucy yang hangat. Perasaan senang mendominasi dirinya ketika ia merasakan betapa cocoknya kedua tangan mereka, seperti sebuah puzzle yang memang ditakdirkan untuk menjadi satu.
Kemudian, senyum polos itu berubah menjadi seringai licik.
.
"Hey, masih belum sampai juga?" Suara Lucy menggema, memantul di dinding tinggi yang membentuk sebuah gang sempit di sekelilingnya. Lucy melirik sisi kirinya, memperhatikan dinding berwarna abu-abu yang dihiasi gambar-gambar dan grafiti. Matanya kemudian beralih ke sisi kanan, dan ia terdiam ketika menyadari dinding yang berada di sebelah tangannya bersih, bahkan tidak nampak debu atau jejak air.
Salah satu alis Lucy kembali naik, dan ia merasakan genggaman Natsu pada tangannya mengerat.
Natsu tidak menjawab pertanyaannya, maka, Lucy kembali membuka mulutnya. "Jika kau membawaku ke suatu tempat yang gelap dan tidak ada orang lalu membunuhku, aku bersumpah akan menghantuimu dan membunuhmu. Lalu aku akan menyusulmu ke dunia sana dan membunuhmu sekali lagi. Jadi kau mati dua kali." Ancam Lucy, mengundang kekehan geli dari Natsu.
"Apakah kau berpikir aku akan berbuat begitu kepada gadisku?" Tanya Natsu sembari mendorong pintu besi yang terletak di paling ujung di gang sempit yang mereka masuki. Suara derit pintu antara lantai yang berdebu terdengar, menggema dan membahana ke sekeliling gang tersebut.
Natsu kemudian menarik Lucy masuk ke dalam ruangan yang berada dibalik pintu itu dan menutup kembali pintunya, menunjuk ke depan, membiarkan Lucy memperhatikan ruangan yang mereka masuki.
Alih-alih ruangan, mereka berada di sebuah bukaan. Kontras dengan Kota Magnolia yang barusan mereka tinggalkan di belakang, langit berwarna hitam, tanda bahwa kala itu, malam telah datang. Di langit, bintang-bintang berserakan, menemani dua bulan purnama yang bersinar terang. Seperti kenyataan dan bayangan yang dibatasi sebuah cermin raksasa, kedua bulan tersebut berdekatan, identik bagaikan bayangan. Letak bintang-bintang pun sama persis kordinatnya, seolah yang kiri adalah pantulan di cermin dan yang kanan adalah benda yang dipantulkan oleh cermin.
Lucy tak tahu bagaimana bisa hal itu terjadi, detik pertama, ia tengah berjalan di salah satu gang arteri di Kota Magnolia yang masih siang dan detik berikutnya, ia berada di sebuah bukaan misterius dengan langit malam.
Di sekitar bukaan tersebut, menjulang banyak pepohonan. Batang utamanya yang berukuran besar berwarna cokelat tua nyaris hitam, dedaunannya berwarna hijau pucat—campuran antara hijau muda dan biru muda—dan daun-daun tersebut bercahaya, berpendar seolah dipasangi lampu yang tak terlihat oleh mata.
Tidak hanya pepohonannya saja yang bercahaya, begitu juga dengan tumbuhan di sekitar bukaan tersebut. Semak-semak beri, ilalang yang tinggi, maupun jamur berukuran besar yang tumbuh di sekitar pohon. Semuanya berpendar dalam cahaya lembut, berwarna-warni sesuai dengan warna dominan yang menghiasi tubuh mereka.
Terpana, tanpa sadar, mulut Lucy terbuka lebar, menganga. Tidak pernah—bahkan di dalam semua novel yang ia baca, semua fantasi yang ia bayangkan, semua mimpi yang ia alami—ia melihat dunia seperti ini. Kelam, misterius, namun indah.
"Selamat datang di Wonderland."
.
.
To Be Continued
.
.
Bacotan Azureinne :
Halo, penghuni fandom Fairy Tail! Bertemu lagi dengan Azu! XD *lambai-lambai*
Terima kasih sebelumnya telah membaca fict ini, Monochrome adalah fict yang terinspirasi dari Alice in Wonderland, bisa dilihat dari fakta bahwa Natsu memiliki telingadan ekorkucing. Dan kata-kata Natsu, "Selamat datang di Wonderland."
Jadi, kalian pasti sudah tahu, kan, Natsu itu berperan jadi siapa di sini? *smirk*
Monochrome adalah mini-series, yang akan berakhir di chapter 10-an, dan merupakan semacam Edolas version(?)-nya fanfict milik Aru, Grey. Silahkan penggemar JerZa datanglah ke sana, Aru merupakan penggemar JerZa sejati, kalian pasti gak akan kecewa kalau baca fanfict milik Aru XD
Nah, sekarang, tertarik untuk mereview? Azu sangat senang jika kalian juga meninggalkan pesan, kritik atau saran. Terima kasih banyak!
