New Red Eyes

Summary : Anak terkutuk adalah mereka dengan 'penyakit' bawaan sejak lahir. Memiliki mata berwarna merah gelap, yang bersinar terang di kala sinar bulan menyoroti. Lucy tidak pernah mempercayai keberadaan mereka. Sampai suatu hari, dia mengalami hal mengerikan di sebuah gang kecil bertumpuk daging mayat.

Rate : T

Chara : Lucy. H, Jellal.F

Genre : Adventure, friendship

Warning : OOC, typo, dll

Fairy Tail bukan punya author, tetapi punya Hiro Mashima.

A/N : Oke, kalau kalian bertanya kenapa saya membuat cerita Red Eyes yang baru, maka jawabannya adalah karena cerita itu amat kacau, dengan segala keambiguan yang bikin pusing pala barbie. Karena dibuat tahun 2014 (dimana gaya bahasa author gaje ini masih kacau banget). Apalagi cerita itu sudah lama mati, jadi, ya sudah bikin baru saja ^_^

Chapter 1 :

Yonaka ni Akame (Mata Merah di Tegah Malam)

Namaku Lucy Heartfilia. Berusia empat belas tahun, kelas dua. Bersekolah di SMP Tanaka, angkatan X791. Senin itu begitu cerah. Warna merah muda mendominasi seluruh jalan. Kelopak bunga sakura bermekaran dengan indahnya, kemudian berkelana dibawa angin musim semi. Tiap hembus yang tertiup memainkan surai pirangku lembut. Begitu sejuk sampai-sampai Happy si kucing biru, tertidur dengan nyenyaknya di atas tembok setinggi dua kaki.

Pukul 6.40 aku tiba di sekolah, disambut sapaan hangat dari Levy-chan dan Wendy-chan. Mereka berdua adalah sahabat baikku sejak menginjak bangku sekolah dasar, seakan takdir kami bertiga diikat oleh benang merah. Senyumku mengembang cerah, segera berlari menghampiri lalu membalasnya.

"Selamat pagi, Levy-chan, Wendy-chan."

"Selamat pagi, Lu-chan!" kebiasaan anehnya kembali kumat, yakni suka memelukku di depan umum. Seperti melepas rindu saja, padahal kami hanya berpisah di hari Minggu

"Berhentilah memelukku. Sesak."

"Eh….? Bukankah Lu-chan suka dipeluk?" tanya Levy-chan menggembungkan pipi sebal, membuatnya terlihat manis walau dia kesal

"Memang, sih, suka, tetapi jangan di sini!"

"Maaf, ya, Lu-chan."

Wendy-chan tertawa kecil memperhatikannya, melihat tingkah kami mirip anak kecil berusia lima tahun. Aku memiliki sahabat yang hebat, dia adalah ketua klub tenis putri, telah menjuarai turnamen meskipun baru menembus nasional. Levy-chan merupakan vokalis grup musik di sekolah, sekaligus murid kesayangan guru. Ya, aku sendiri bukan siapa-siapa selain manusia biasa, hanya seorang perempuan akil balig yang suka bela diri. Kata ayah itu penting untuk memberi pelajaran pada orang jahat.

"Oh iya. Aku membeli sebuah buku kemarin." ucapku mengacak-acak isi tas. Mengeluarkan benda persegi panjang tersebut, dengan sampul polos merah yang sederhana

"Buku apa?" tanya Levy-chan penasaran. Jelas, dia gila membaca melebihiku dan Wendy-chan. Kamarnya bahkan dipenuhi rak berjajar buku, mulai dari ensiklopedia hingga novel tahun X780. Day Break karya Kemu Zaleon pun tersampul rapi tanpa noda sedikit pun!

"Judulnya Akame"

"Terdengar seram. Tentang apa memang?" giliran Wendy yang bertanya. Tersirat rasa takut dibalik wajahnya yang datar. Dia benci cerita horror, aku tau itu sewaktu kemping bersama di hutan. Sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi kakak kelas guna menakuti murid baru

"Anak terkutuk, yang matanya merah dan ramai dibicarakan akhir-akhir ini."

"Rumornya anak terkutuk benar-benar ada. Meski belum pernah dilihat secara langsung." karangan bodoh buatan orang dewasa, untuk menakuti agar anak-anak berhenti berkeliaran ketika malam

"Wendy. Rumor tetaplah rumor, kebenarannya masih dipertanyakan. Aku tidak percaya mereka ada."

Semua itu hanya cerita fiksi, mana bisa menjadi kenyataan? Percakapan kami terhenti, karena Laxus-sensei, guru matematika yang mengajar kelas 8E-8F sudah masuk ke dalam kelas. Meredakan setiap kegaduhan yang tercipta. Aku bosan memperhatikannya mengajar. Menulis rumus di atas permukaan putih menggunakan spidol bertinta hitam, kemudian menyertakan contoh soal yang mudah dimengerti. Pertanda ulangan minggu depan pasti sangat sulit.

Hoamzz….

Aku bermimpi, berjalan di sebuah tempat serba putih. Kakiku terus melangkah, melangkah, dan melangkah. Sesekali membesar lalu mengecil, bergantung pada firasat yang terus meraba, di tengah kebimbangan.

Seseorang berdiri menghalangi jalan. Tubuhnya yang pendek berdiri tegak, berbalut jubah hitam menutupi sebatas lutut.

Tatapan itu tajam ibarat elang yang siap menerkam mangsa.

Perban putih nan bersih melilit pada kedua kakinya. Menutupi bekas luka di masa lalu yang teramat mengerikan.

Ujung jubah hitamnya bernoda darah segar. Bau besi yang kuat dapat aku cium, walaupun jarak kami berkisar dua meter.

Mata itu merah. Seindah daun maple di kala musim gugur menghampiri, membawa beragam nuansa warna antara kuning, jingga dan merah. Dengan ciri khasnya meranggaskan helai demi helai daun yang masih tersangkut di ranting.

Aku bertanya,

"Siapa namamu?"

Bibir pucatnya melafalkan suatu kalimat, yang aku sendiri tidak tahu-menahu apa maksud dari ucapannya.

Semua mendadak gelap. Dia menghilang bagai ditelan kabut.

TUCK!

"A…awww….!" seruku menahan sakit. Dijitak pelan oleh Laxus-sensei yang berdiri di sebelah kanan meja

"Sudah berapa kali kamu tertidur saat pelajaran saya?!"

"Li-lima kali…."

"Bagus jika kamu mengingatnya. Pergilah cuci muka, dan sepulang sekolah nanti bersihkan toilet. Mengerti?"

Syukurlah mood beliau sedang baik, aku terselamatkan dari kekejaman 'iblis kuning' itu. Begitupula Evergreen-sensei yang sering menghukumku, seakan di matanya Lucy Heartfilia selalu salah, tanpa pernah melakukan hal benar sekalipun. Baiklah, hari yang berat telah dimulai, dan mau tidak mau harus dijalani sebaik mungkin.

-ll-

Sepulang sekolah aku melaksanakan hukuman. Tanpa banyak mengeluh menyikat lantai kamar mandi yang kotor, akibat jejak alas uwabaki tertempel di sana. Coba tidak dihukum, pasti bisa pergi karaoke bersama Levy-chan dan Wendy-chan. Satu jam lamanya membersihkan toilet, tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Apa?! Aku terlambat pulang dan lupa memberitau ibu. Argh….menyebalkan sekali!

Tas jinjing di depan pintu toilet langsung aku sambar. Berlari meninggalkan sekolah dengan kecepatan kilat melewati lapangan. Samar-samar telingaku menangkap suara asing, ternyata hanya sekumpulan anak iseng yang kerjaannya nongkrong di sekolah.

"Jangan pulang malam-malam. Nanti diculik, lho…."

Dasar bodoh, seharusnya kamu memikirkan diri sendiri! Aku yakin pasti pulang sebelum jam enam sore. Jadi, mana mungkin diculik? Memang, kasus tersebut marak di beberapa daerah akhir-akhir ini, tetapi perlindungan Tuhan membuatku percaya, peristiwa buruk semacam itu tidak akan menimpa. Lebih baik, lupakan saja perkataan gerombolan anak usil tadi!

Di kejauhan, terlihat kerumunan orang tengah berkumpul, menonton channel di televisi entah kejadian apa yang diberitakan, lagi pula untuk apa dipedulikan? Perbaikan jalan menghentikan langkah kakiku yang tergesa-gesa, dipaksa mengambil rute lain daripada nekat menerobos. Aku melewati sebuah gang kecil penuh tumpukan sampah. Bau busuk menyebar di sekitar udara, kalau tidak kuat mungkin sudah muntah sejak lima menit lalu.

Tap…tap…tap….

"Siapa di belakang?!"

Kosong. Padahal aku yakin, mendengar bunyi sepatu yang dihentak-hentakkan ke atas tanah. Sepotong tangan tergeletak di samping tempat pembuangan. Berceceran pula anggota tubuh milik manusia di sepanjang jalan. Isi perutku bergejolak hebat, tidak kuat menyaksikan segala hal buruk yang terjadi. Sambil mengumpulkan keberanian, aku memutuskan untuk membuka tong sampah. Dan kenyataan yang aku dapatkan adalah, setumpuk mayat terjebak di dalam sampai membusuk.

Kepala tanpa mata. Potongan dua tubuh. Usus halus yang dijadikan penghias. Potongan telinga, jari-jemari kaki dan tangan, iris karamelku merekan semua itu tanpa menyisakan kepingan apapun. Kejam, mengerikan, terlalu sadis!

"UMPUHUUHU!"

"Cepat bius dia!" pe-penculik….? Mereka ingin membawaku kemana? Apa aku akan menjadi salah satu dari koleksi mayat? Tidak….mana boleh begitu? Ibu menunggu kepulangak. Bagaimana reaksi beliau jika mengetahui buah hatinya dibunuh?

"Siapapun tolong! Malaikat atau iblis aku tidak peduli. Aku sangat membutuhkannya!"

SLASHHH!

PLUKK!

"TI….TIDAKKK!" teriakku melihat kepala si penculik terlepas. Mencripatkan darah segar yang menempel di seragam. Bahkan dia lebih buruk dibanding mereka berdua. Nyawaku berada di ujung tanduk, bagaimana caranya menyelamatkan diri?! Aku terjebak di sini. Aku ketakutan setengah mati setengah hidup. Suaraku tercekat di kerongkongan, berbisik pun sulit dilakukan!

Pria bertopeng hitam itu mengeluarkan sebilah pisau dari kantong celana. Namun lagi-lagi, aku mendapati kejadian serupa terulang. Kali ini tubuhnya terbelah menjadi dua bagian, atas dan bawah. Sepasang netra merah bersinar terang disorot cahaya rembulan. Berbalut jubah hitam yang menutupi hampir keseluruhan identitas aslinya, termasuk wajah. Perban putih nan bersih melilit rapi menutupi kedua kaki. Aku tau dia siapa, lelaki dalam mimpiku yang amat misterius.

"Siapa ka…."

BUAKKK!

Tinjunya tepat mengenai perutku yang sempat mulas. Asam lambung dimuntahkan, sebagai respon dari serangan tersebut. Aku pingsan di tempat, melupakan sejenak rentetan peristiwa yang terangkai buruk di setiap alurnya.

Apa hidupku berakhir sekarang?

Bersambung….

A/N : Semoga kalian suka ya versi re-make-nya! Kalau mau melihat cerita asli Red Eyes, cek saja di link berikut :

s/10531657/1/Red-Eyes

Next chapter :

New Student