Assassination Classroom (c) Matsui Yūsei
Warning: OOC. Plotless. Sappy dialogue. Pemakaian dwicakap tumpang tindih (overlap) karena plotnya mau di-push sedemikian rupa. Dan alasan utamanya; karena author lebih mendalami tipe konversasi sarkasme serupa di dunia nyata.
Komprehensif Rasa Penembak Jitu Pada Kepemilikan Senjata Api
A/N: Maaf ya kalau bahasanya rada ribet. Lagi ruwet sama tugas IRL ;;;;
STREEEEEEEESS! #pegangan
.
by Ratu Obeng (id: 1658345)
.
.
.
"Jadi?"
Percuma menebak-nebak ke mana arah pandang rekannya sekarang. Walau jarak mereka hanya terpaut dua lencang, Sugino Tomohito harus pasrah karena pasang netra seorang Chiba Ryuunosuke memang tertutup gerai poni yang di luar masuk akal.
"—mau coba?" desak si maniak baseball untuk kesekian kali.
"...kalau ternyata tidak enak bagaimana?" bunyi sang adult game protagonist skeptis.
Sudah hampir dua jam lamanya mereka duduk beralaskan rumput, Mengisi tepian kolam buatan penghuni kelas end. Tempat paling fleksibel untuk berdebat panjang tanpa terganggu serbuan polusi pun hiruk pikuk populasi.
"Ya, kan mana tahu kalau belum dicoba?!"
Tidak terpancing imbauan berbau positif, Chiba masih sibuk duduk bersila sembari menjumput sejumlah ilalang. Beberapa kali sempat menggumamkan baris konsonan panjang semacam 'hmm' atau 'hnng'.
Sementara Sugino bukanlah makhluk sosial dengan emosi teruji, jadi dia berinisiatif mengisi posisi dominan atau tidak akan ada kontinuitas yang berujung pada konklusi. Sebagai langkah awal, tangannya membuka benda serupa odol dari dalam kantung plastik
"Coklat." terang Sugino sebelum ditanya, "Tadi kau menolak memakai susu karena terlalu cair. Jadi aku akan coba mengoleskannya dengan selai coklat supaya rasanya awet meski tersapu air liur."
Chiba melirik sisa barang belanjaan rekannya yang berisi jenis-jenis makanan tak terduga; puding. Mentega. Mayones. Bahkan saat yakin sempat melihat wasabi, dia langsung menenggak ludah cepat.
Ewww, "Menurutku tidak banyak membantu,—OII!"
Habis kesabaran, si nomor tiga belas membuka paksa retsleting yang bersembunyi di antara kaki chiba. Tempat bersemayamnya obyek yang sedang dibicarakan. Senjata berbahaya itu terlihat mengacung tegak dan menantang, Sugino mendadak gentar.
"Rasanya mungkin akan aneh, iya kan...?" tuturnya sembari menekan rahang. Sempat dia berpikir untuk memanjangkan poni layaknya Chiba supaya bisa menyembunyikan semburat panas di area wajah, tidak seperti wajahnya sekarang.
Yang ditanya tidak menyahut. Baru bereaksi ketika rekannya melumuri aset berharganya dengan cairan kental manis. Meskipun begitu, tidak ada yang memulai percakapan hingga isi tube di tangan yang bersangkutan kosong.
"Sebaiknya kita hentikan ini," dengan kalimat tadi, Chiba masih mencoba waras.
Predikat pria sejati masih dipegang teguh pihak kedua secara konservatif. sama sekali bukan gaya Sugino untuk menyerah setelah menerima tantangan, "Apa kira-kira aku lebih baik mengolesnya juga pada lubang di ujungnya? Siapa tau yang seharusnya keluar dari sana bisa tersumbat..."
"BERHENTI MAIN-MAIN DENGAN PROPERTI ORANG LAIN!"
"JADI MAU BATAL ATAU LANJUT NIH? TINGGAL DIJILAT, LOH!" disuguhi capslock, Sugino membalas tidak kalah sengit.
"JANGAN DIUCAP KERAS-KERAS!"
Sungguh, terkadang hal kontradiktif bisa terdengar bodoh.
Sedikit klarifikasi sebelum adegan di atas dituduh melanggar undang-undang pornografi dalam format literasi. Karena saat ini tangan Chiba sedang memegang pistol—tentu saja makna denotasi. Sementara tangan Sugino sudah menggenggam botol berisi sirup buah kalau-kalau siraman coklat yang dilakukan sebelumnya dirasa kurang memuaskan.
"Aku tidak habis pikir. Kenapa tugas eksperimen lapangan dari Karasuma sensei harus berakhir begini... tema asasinasi memang terlalu aneh untuk direalisasi dalam bentuk essay," Chiba menggerutu, "Dan kenapa aku setuju untuk menerima ide anehmu?!"
"Sebut itu rasa keingintahuan alami yang kuat."
"Yatapikannn—"
PLOK! Ada irisan pai menempel telak di muka Chiba.
"Strike."
Sugino nyinyir, Chiba menggeram pendek.
"Gastro, atau siapapun nama paman aneh itu, mungkin memang punya fetish ajaib pada pistolnya. Kita masih bisa mencari bahasan lain untuk mendapat nilai A." bahkan jelas-jelas eksperimen mereka tidak sejurus dengan pokok risalah.
Sugino tidak sepakat, "Tapi dia pernah bilang."
"Ha?"
"Dia... Gastro pernah bilang..." nada itu berangsur serius, "Untuk menjadi sniper handal, mereka harus mengerti senjata yang dipakainya dan paham bagaimana rasanya."
"HA?"
"Bukan hanya dia. Aku juga sudah berkali-kali menyaksikan kategori sukses karena mereka sangat memahami properti yang seharusnya digunakan. Tak kenal, maka tak sayang!"
"Sebentar... sepertinya aku gagal paham,"
"BOLA ADALAH TEMAN!"
(—krik)
Ah,
(krik—)
Okesip.
Udara di sekitar Chiba sepertinya berhenti, remaja itu berjuang mencuri oksigen.
"Baik. Anggap aku paham..." ada yang mendadak lelah, "Terus sekarang bagaimana? Mau kau hisap? Sedot? Jilat? Apapun itu lakukan cepat!"
"Ini eksperimen kita berdua, jadi kau juga harus tau rasanya supaya bisa menulis sesuai fakta. Justru itu alasannya aku mengajukan diri satu tim denganmu dalam laporan ini, mr. Sniper!" Sugino ngotot.
"Kau yang mengusung ide jenius ini, Tuan Pitcher! Lakukan cepat supaya kita bisa lekas pulang!"
"Ini pistolmu, kau saja yang duluan! Lagipula mencicipi punya orang lain terlebih dulu bisa bikin jodoh gersang!"
"Makanya kasih pupuk!"
Menyadari fokus diskusi mulai melenceng, masing-masing dari mereka berbesar hati untuk menarik napas dalam dua kali kemudian melemaskan sendi. Sekali lagi dilihat senjata api yang masih dalam genggaman sang pemilik, dengan coklat yang sudah meleleh hingga ke jari.
"Biar aku—"
"Sama-sama saja," interupsi Sugino membuat Chiba menarik salah satu ujung bibir ke atas.
"Bukannya itu malah lebih... aneh?"
Mengabaikan lawan bicara, Sugino sudah mengawali kegiatannya—menempelkan indera pengecapnya pada permukaan metal dingin. Chiba sejenak mengamati adegan itu sebelum ikut bergabung. Dengan hati-hati dia menyesap daerah yang berseberangan, menghindari kontak fisik.
Lalu ketika Sugino memberi tanda-tanda hendak memasukkan seluruh bagian ujung ke dalam mulutnya, Chiba memilih untuk membersihkan jarinya di area pelatuk. Manis dalam mulutnya lamat-lamat bercampur rasa asin dari seputaran luar kulitnya.
"FUAAAAAhh.. hah... hh..."
Menarik mulutnya mendadak, kini dagu Sugino dihiasi liur dan genangan coklat yang menetes, menodai hijaunya rumput. Segera dia mengambil sapu tangan dari saku celana untuk membereskan sisa-sisa saliva yang membuatnya tidak nyaman.
"Ahh... haah... tidak enak! Keras! PEGAL!" detilnya lantang.
"Iya. Tidak enak." sementara Chiba berusaha kalem. Latar senapan miliknya dibersihkan dengan alkohol sebelum dimasukkan kembali dalam bungkusan di antara paha, "Jadi bagaimana kita harus menulisnya? Kurasa konklusinya tidak akan memenuhi syarat minimal format makalah. Mungkin harus disisipi elaborasi akhir?"
"Tulis saja kalau Gastro, atau siapapun nama paman aneh itu, memang sudah gila! Pokoknya tidak enak, iyuhhh!" Sugino membersihkan rongga mulut dengan mengunyah dua iris pai yang masih selamat di kantong belanjaan. Masih sisa tiga potong lagi kalau-kalau Chiba juga ingin mencicipi.
"Namanya memang Gastro." koreksi pihak oposisi tidak membuat suasana lebih baik.
"Jadi apa selanjutnya?"
Dua tangan Chiba masih dengan kebiasaannya menjambak rumput, "Coba ingat lagi, apa inti struktural makalah selain landasan teori?"
"Tinjauan umum?" Sugino pasang pose berpikir.
"Hmm... analogi, lalu..."
"Komparasi! Kita lupa kalau sebuah bahasan menjadi sangat subjektif tanpa sesuatu yang bisa dijadikan kambing hitam."
"Lalu apa pembandingnya? Benda lebih lunak?"
"Jamur?"
Hanya gemersik angin menyapa dedaunan sebagai selingan pendek tatkala keduanya diam sebentar untuk menguras ide.
"Di hutan tidak semua hal bisa dimakan. Lebih baik mencari sesuatu yang benar-benar dekat dengan posisi kita saat ini."
"Kita tidak memakannya, kita menjilatnya." yang poninya masih dalam batas wajar mengoreksi, "Dan menghisapnya." imbuhnya dilengkapi revisi.
Lalu jeda lagi.
"Sesuatu yang lebih dinamis... sanggup menjadi substitusi obyek primer... tidak bisa dikunyah, dan... tidak mudah patah..." satu per satu dieja pelan, nadanya risih, "...ada."
"Serius? SERIUSSS?"
Mulut Chiba membentuk garis lurus, Sugino tidak ada waktu bermain teka-teki sehingga langsung mengguncang bahu rekannya ganas meminta jawaban.
"Kau juga punya..."
"Di mana?"
Chiba ingin menghentikan ini secepatnya. Baginya menerima asupan ide Sugino sejak awal sudah termasuk buruk, dia tidak mau memperparah keadaan hanya karena terlanjur diserang rasa penasaran.
"Lupakan. Aku lebih baik tidak lulus daripada melakukannya,"
"BIAR AKU YANG LAKUKAN!"
Kaget sepihak dalam hitungan detik, "...kau yakin?"
Diberi anggukan mantap, sang penembak handal sedikit menjumput rambut belakang Sugino. Mengajak partnernya menunduk—mengikuti tautannya pada sesuatu di bawah sana yang sangat tidak disangka-sangka.
"T-tunggu... Chiba..."
Dan ketika mendongak meminta penjelasan, mungkin itulah pertama kalinya Sugino menyaksikan manik gelap nan tajam Chiba Ryuunosuke mengintip di antara helai senada. Sungguh.
"Oles sesukamu lalu jilatlah!"
.
.
.
.
.
"Chiba. Sugino. Bisa ke ruang guru sebentar?"
Suara itu, Karasuma sensei.
Menghentikan santap siang sejenak, nama yang dipanggil terpaksa meninggalkan bangku untuk memenuhi panggilan. Mendekati sang guru yang kini duduk di meja miliknya sembari menjulurkan print out berhiaskan coretan tangan.
"Bisa jelaskan ini?"
Chiba mengawali, "Itu... makalah ilmiah dengan topik asasinasi kami."
"Tepat. Tapi di bagian rangkuman... apa maksudnya MOD disarankan memproduksi senjata yang bahannya lebih lunak, lebih dinamis, dan... tidak mudah patah?" Karasuma membaca baris penghujung visum dengan alis lebih berkerut dari biasanya.
"Karena begitulah hasil analisanya!" itu sama sekali bukan jawaban, Sugino.
"Lalu kenapa komparasi yang dimaksud tidak dicantumkan dalam penulisan? Memang bagian tubuh mana yang kalian jilat sebagai bahan perbandingan?"
Dua yang muda saling melirik sejenak, terlihat bulir-bulir keringat tak pelak membanjiri daerah tengkuk.
"Euh..."
"A-anu... itu..."
"Jadi yang k-kami lakukan..."
"Benda yang kami hisap... yaah... ngg..."
Karasuma cukup toleran. Dia menyesap kopi panasnya di meja, menunggu murid-muridnya menyelesaikan kalimat mereka yang terbata-bata.
"...i-ini,"
Kerutan di wajah Karasuma belum pudar ketika perlahan Chiba mengacungkan salah satu jari.
"Jempol?"
END
.
.
.
A/N (2):
ChibaSugi (atau SugiChiba?); hadiah pesanan NONMADEN karena berhasil menebak quiz kecil-kecilan di fic 1001 Karma ;)
Jangan bosan2nya liat nama Ratu Obeng di fandom ini, yaa #OHOK
Seneng rasanya nulis crack pairing begini. Kira-kira baiknya siapa yang harus diculik untuk dinistain selanjutnya? Nurufufufufufu...
.
Omake
"Ulang."
"Apa?"
"Kau mendengarku, Sugino. Ulang semuanya! Kusarankan menggunakan retorika untuk kali ini."
"YANG BENAR SAJ—" kaki Sugino diinjak keras sebelum berhasil melanjutkan. Sang korban hanya bisa menahan sakit dan menahan sumpah untuk tidak memaki pelaku di tempat.
Chiba angkat bicara, "Maaf, Karasuma sensei. Tapi kami yakin prosedurnya sudah sesuai." tarik napas, "Tidak disebutkan metode apa yang harus dipilih khusus selama sesuai dengan lembar ratifikasi dari Korosensei."
Pemilihan idiom serupa pelaku filsafat tidak membuat yang lebih tua gentar, dia malah menepuk print out di tangan ke permukaan mejanya.
"Aku sama sekali tidak memetik manfaat dari tulisan ini. Bagaimana kalau kalian kuberi tambahan waktu untuk mencari topik lain?"
Mendengar kalimat yang diutarakan sang guru, harga diri Chiba sebagai penembak jitu tergelitik, "Kalau begitu senjata apa yang paling berharga untuk anda selama asasinasi, Karasuma sensei?"
"H-hei, Chiba..." Sugino goyah saat melihat aura tidak sedap menyambangi wilayah kanannya tanpa dia sadari.
"Dagger? Senapan? Granat?" Chiba masih berkicau, "Apa anda tahu rasanya?"
"Rasa... apa maksudmu? Apa aku harus menjilat benda-benda yang kugunakan seperti yang telah kalian lakukan?"
"Mungkin dengan begitu pemikiran anda bisa lebih terbuka. Bukannya kita di sini sama-sama mencari solusi membunuh Korosensei? yang kami lakukan hanya menambah probabilitas, bukan sekedar merangkum."
Sugino yang seharusnya lebih banyak bicara malah lebih ingin bertepuk tangan hebat di tempat. Dia sama sekali tidak tahu kalau Chiba sangat jago berdebat. Mungkin selain menjadi penembak handal, temannya itu bisa manjadi pelaku demagogi yang patut diperhitungkan.
Lalu kenapa masih hening?
Karasuma memijit pangkal hidung, "Baiklah."
HEEE?
"—Kuberi waktu sampai pulang sekolah. Jika bisa menembak peluru dari jempol, nilai kalian akan kukeluarkan. Tapi kalau gagal..." tatapan bengis, "Ulang semuanya!"
Pekikan pendek Sugino, "Itu kan mustahil!"
"Jam istirahat sudah selesai. Sana kembali ke kelas!" tanpa ampun, duo anti mainstream itu didorong keluar ruangan.
"Tolong dengar duluuu! Karasuma senseee~"
BRAK. Pintu ruang guru ditutup rapat.
Dibaliknya mungkin ada dua pasang kaki sedang melangkah gontai menuju kelas. Berpikir keras untuk mencari ulasan baru yang membuat mereka lulus lebih mudah.
Sementara sudah kembali bersandar di kursinya, Karasuma berpikir untuk membuang print out tadi ke tempat sampah. Untuk sejenak, dia membaca ulang bagian-bagian yang sekiranya menarik perhatiannya.
"Dasar... aneh-aneh saja..."
Sambil berkata demikian, pria itu mencelupkan ibu jari ke dalam kopi kemudian menjepitnya di antara bibir sebelum menerobos lebih dalam.
Hmm.
Hm.
Sepertinya sepulang sekolah nanti dia harus memanggil dua muridnya lagi untuk memberi mereka nilai tertinggi.
R&R maybe? C:
