Umur dewasa terkadang tidak sebanding dengan perilaku yang juga sama dewasanya. Itulah yang ia khawatirkan. Thorn, di umurnya yang ke dua puluh satu, masih bertingkah seperti anak kecil. Polos. Selalu seperti orang baru di lingkungannya sendiri.
BoBoiBoy Animonsta Studio
Warning : AU, No Super Power, Oneshoot, OOC, TYPO.
Genre : Family, Hurt/Comfort
x
x
x
Happy Reading~
BoBoiBoy berjalan bolak balik di depan pintu. Rasa gelisah terus menggerogoti hatinya seiring detik waktu yang berlalu.
Adiknya, Thorn, belum pulang. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Kalaupun lembur bekerja, tidak akan sampai selarut ini.
Suara ketukan membuatnya langsung menyambar gagang pintu. Dibukanya dalam sekali sentakan.
Tampaklah di sana Thorn yang tampak pucat disertai matanya yang memerah.
"Masuk. Kamu sakit?" tanya BoBoiBoy cemas. Ia menarik Thorn ke dalam rumah dan bergegas menutup pintu.
"Thorn nggak sakit. Kecapean aja. Thorn ngantuk, mau tidur."
BoBoiBoy tidak bisa menahan Thorn. Hanya menatap cemas sang Adik berjalan pelan menuju kamarnya sendiri. Ia tersenyum sesaat, sebelum akhirnya langsung ia hapus kembali.
Sudah hampir tiga bulan ini Thorn selalu pulang malam. Ia juga mendapati kejanggalan dari sikap Thorn sejak satu tahun sebelum ini.
Biasanya, setiap malam, Thorn selalu menyelinap ke kamarnya untuk tidur bersama. Sekarang, kamarnya bahkan sangat dingin karena tidak pernah ia tempati semenjak hilangnya Thorn dari sisinya.
Dan, sekalipun, Thorn tidak pernah ... sedingin ini.
Sekarang, jangankan menyelinap. BoBoiBoy bahkan sama sekali tidak diperbolehkan untuk menengok kamar adiknya itu. Pintu kamar yang dulunya begitu terbuka, bebas, kini tertutup sangat rapat.
Salahkah jika ia merasa kesepian akhir-akhir ini?
Tetap berpikir positif, BoBoiBoy akhirnya memilih untuk melanjutkan pekerjaannya kembali. Setidaknya, saat ini ia lebih tenang Thorn sudah benar-benar ada di rumah.
xXx
Jarak jauh tidak selalu mengeratkan. Entah aku atau kau yang membuatnya kali ini. Namun, kuharap kita bisa sama-sama mengikisnya.
BoBoiBoy menegakkan badan selepas menyelesaikan tulisannya. Ia melirik jam digital laptopnya. Pukul 2.57 dini hari.
"Huh ..." Helaan napas meluncur dari mulutnya.
Diperiksanya satu-dua kali tulisannya, memastikan tidak ada typo ataupun kalimat tidak efektif. Setelah itu ia langsung mengirim tulisannya kepada tim redaksi melalui email.
Ya, BoBoiBoy adalah seorang penulis lepas.
Pekerjaan yang diambilnya tanpa sengaja. Dua tahun yang lalu, salah seorang dari tim redaksi menawarinya menjadi salah satu penulis cerpen di majalah. Saat itu, BoBoiBoy masih menuliskannya di blog. Setelah mempertimbangkan semuanya, BoBoiBoy menerima tawaran tersebut.
Sebelumnya, BoBoiBoy seorang pengangguran. Sebenarnya, hampir setiap surat lamaran pekerjaannya diterima. Namun, ia selalu gagal di bagian Medical Test. Bukan tidak sehat, hasil ronsen menunjukkan ia memiliki cacat pada tulang, walau dari luar tidak terlihat. Lengannya pernah patah saat ia umur 17 tahun. Jadilah perusahaan dengan berat hati menolaknya.
Sejak ia menerima tawaran menjadi seorang penulis lepas, sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menulis. Terutama di malam hari. Ia memilih bekerja di malam hari karena suasana yang mendukung pengembangan ide-ide segar tulisannya.
Tidak ada suara selain bunyi jangkrik. Tapi, BoBoiBoy menemukan bunyi itu menjadi sebuah melodi yang bisa dinikmati.
Ia bangkit dari duduknya. Melangkah menghampiri meja yang atasnya dipenuhi koran dan majalah berserakan. Seperti biasa, ia mulai mengguntingi bagian yang memuat cerpen tulisannya. Menyimpannya ke dalam arsip. Tidak lupa juga ia mencantumkan tanggal pemuatannya.
BoBoiBoy sangat menikmati kegiatannya, sampai tidak menyadari satu lagi hari baru telah menyambut.
Suara jangkrik perlahan lenyap, digantikan kokok ayam yang antusias menyambut sang Raja Hari yang mulai menampakkan diri.
BoBoiBoy melirik jam digital di atas mejanya. Pukul 5.25 pagi. Matanya beralih pada jadwal kerja milik Thorn.
"Thorn masuk pagi," gumamnya.
xXx
"Kak Boy, Thorn lembur lagi sampai nanti malam. Jangan nungguin, ya. Thorn 'kan punya kunci cadangan."
BoBoiBoy menghentikan aktivitas sarapannya. Matanya memicing menatap tepat mata sang Adik yang masih tampak merah. "Apapun alasannya, hari ini aku nggak izinin kamu lembur. Selesai kerja langsung pulang."
Wajah Thorn berubah. BoBoiBoy tahu ini egois. Tapi, bukankah karyawan itu banyak? Kenapa adiknya harus lembur setiap hari sampai larut malam?
Ia juga tahu, keahlian setiap karyawan berbeda. Tapi, apa hanya Thorn yang memiliki keahlian yang dibutuhkan itu?
Detik berikutnya BoBoiBoy membeku. Aliran dingin tiba-tiba saja membekukannya saat melihat tatapan Thorn berubah tajam dan dingin.
"Apa hak Kakak melarangku?" Pertanyaan itu dikeluarkan dengan nada yang sangat menusuk.
"Thorn--"
"Aku hanya mencoba berdedikasi. Kenapa Kakak selalu menghalangiku? Takut kesuksesanmu tertandingi?" potong Thorn cepat.
Deg.
Sungguh. Tidak ada sedikitpun pemikiran itu melintas di kepalanya. Sebagai kakak, ia jelas bangga jika adiknya sukses.
BoBoiBoy hanya bisa diam saat akhirnya Thorn memilih beranjak dari meja makan. Mengambil tas lalu melenggang pergi dari ruang makan.
Meninggalkannya yang mematung. Terkejut dengan perilaku yang baru ia lihat.
"Jangan bergerak! Anda kami tangkap!"
"Ada apa ini?!"
Boboiboy tersadar. Suara yang berasal dari pintu depan berhasil mengejutkannya. Sayup-sayup ia juga mendengar seruan Thorn. Ia pun bergegas menuju pintu depan. Hanya untuk melihat Thorn yang mengangkat kedua tangannya gelisah, dan dua orang polisi berdiri di depannya dengan sepucuk pistol di tangan masing-masing.
"Polisi? Ada apa, Pak?" tanyanya langsung. Ia menghampiri Thorn.
"Saudara Thorn kami tahan. Atas tuduhan sebagai pengedar dan pengguna obat-obat terlarang."
BoBoiBoy terdiam untuk beberapa saat.
"Tidak mungkin. Adik saya tidak pernah mengenal tentang obat terlarang," sangkalnya yakin.
"Saudara bisa menjelaskannya di kantor."
Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah Thorn pergi.
xXx
"Ini yang kami temukan di ruang kerjanya di kantor."
Tumpukkan shabu dan ganja. Ada juga beberapa kotak ber-password. Yang ia yakin di dalamnya adalah obat termahal.
Thorn sendiri belum diperbolehkan untuk ditemui. Polisi menunjukkan barang bukti penangkapan Thorn. BoBoiBoy hanya memandangnya nanar.
"Bisa saja 'kan ini ulah orang lain?" sangkalnya.
"Di gelas, botol dan kotak obat ini terdapat sidik jari saudara Thorn. Kami juga masih memburu beberapa orang yang diduga berkomplot dengan tersangka."
"Dan lagi, ini hasil tes lab. Adik Anda positif."
Dadanya berdesir menyakitkan.
BoBoiBoy merutuki dirinya yang tidak becus menjaga adiknya. Bagaimana bisa dia lengah sampai Thorn terseret sejauh ini?
"HUWAH!"
Boboiboy terpanjat mendengar suara teriakan yang amat dikenalnya.
Suara Thorn.
"OBATKU! DI MANA OBATKU!"
Deg.
Ini sudah sangat jauh dari yang ia kira.
"SIALAN! LEPASKAN AKU!"
Tidak tahan lagi. Ia berlari ke arah suara.
BoBoiBoy tercengang. Matanya panas.
Thorn, dengan kedua tangan dan kaki yang terikat, menggeliat ganas. Meronta untuk segera dilepaskan.
Beberapa anggota polisi menahannya, salah satu di antara mereka menyiramnya dengan air, dan satu orang berjas putih menyuntikkan sesuatu.
"Apa ... tidak sebaiknya Thorn dimasukkan ke pusat rehabilitasi?" lirih Boboiboy.
"Tentu. Setelah rehabilitasi nanti, ia tetap akan menjalani hukuman penjara."
xXx
"Maaf ... Kak," ucap Thorn menyesal. Kepalanya menunduk dalam.
Boboiboy hanya diam memandang Thorn. Bohong jika ia tidak marah. Ia sangat kecewa, marah pada adik satu-satunya ini. Lebih dari itu, ia kecewa dan marah kepada dirinya sendiri yang gagal melindungi.
"Waktu itu ... Thorn penasaran. Thorn mau lihat. Thorn coba obat itu," cerita Thorn. BoBoiBoy melihat kedua mata sang Adik berkaca-kaca.
"Tapi, Thorn mau lagi. Thorn coba lagi. Dan ... sekarang, Thorn butuh itu."
BoBoiBoy menggelengkan kepala frustrasi. "Keluar," titahnya dingin.
"Kakak ..." Thorn memanggilnya pilu. "Aku mohon--"
"Keluar," potongnya langsung. Masih dengan nada dingin yang sama.
Thorn tampak mengesat air mata yang terlanjur turun. "Maaf. Thorn janji, Thorn akan berubah ... buat Kak Boy."
"Jangan berubah untukku. Berubahlah untuk dirimu sendiri."
Tepat setelah mengatakannya, BoBoiBoy keluar dari mobil. Meninggalkan Thorn sendiri yang terdiam, mencerna ucapannya.
Di belakang mobil, polisi berbaris menjaga.
Ditahannya air mata yang menggenang. Ia mengeluarkan barang-barang Thorn dari jok belakang.
Tak lama setelahnya, Thorn keluar. Berdiri menatapnya dengan senyum polos yang khas. Mendadak, BoBoiBoy melihatnya sebagai Thorn yang dulu. Thorn yang dikenalnya.
Tanpa bisa dicegah lagi, tahu-tahu ia sudah berlari memeluk sang Adik.
"Kamu bisa," yakin Boboiboy. Diusapnya kepala yang tertutup topi itu.
Thorn membalas pelukannya. Erat. Lalu menangis sejadinya.
Beberapa saat kemudian Thorn melepas pelukannya. Pemuda itu tersenyum tipis. "Makasih ... Kak Boy."
BoBoiBoy mengangguk. Mengusap air mata Thorn dengan kedua ibu jarinya.
"Mari masuk."
Dan lagi-lagi, BoBoiBoy hanya bisa diam melihat punggung Thorn yang semakin menjauh. Diapit dua polisi di sisi kanan dan kirinya.
"Kakak pasti datang menjengukmu. Jaga diri baik-baik. Untuk sekarang, Kakak tidak bisa berdiri di depanmu. Belajarlah menghadapi masalahmu sendiri."
x
xXx
x
BRAK!
"KAK BOY!"
BoBoiBoy mengutuk Thorn yang mendobrak pintu ruang kerjanya keras. Untung ia tidak sedang makan ataupun minum.
"Ulangi! Ketuk pintu, baru masuk!" titah BoBoiBoy tegas.
Thorn menggaruk pipinya canggung. "Ehehe ... maaflah, Kak. Aku--"
"Kubilang ulangi," potongnya.
Thorn akhirnya mengalah. Anak itu berbalik ke luar, lalu menutup pintu.
Tok, tok.
"Masuk," ucap BoBoiBoy.
Pintu terbuka sedikit. Kepala Thorn menyembul di celahnya. "Ulangi lagi nggak?"
BoBoiBoy menatap masam Thorn. "Masuk."
Thorn tersenyum. Ia membuka pintu lebih lebar, lalu melangkah masuk. Senyumannya semakin lebar seiring jaraknya semakin mendekat.
"Ada apa?" tanya BoBoiBoy tanpa mengalihkan fokusnya dari komputer.
"Redaksi kita dapat penghargaan! Majalah terbitan kita penjualannya meledak!"
Seketika tanggannya berhenti mengetik. Ia menatap Thorn tidak percaya. "Penghargaan? Apanya?"
"Ini. Penghargaan redaksi penjunjung lokalitas. Karena konten yang dimuat di sini fokus ke berita dan karya lokal. Kakak senang?"
Binar dari kedua mata Thorn meyakinkannya. Tanpa sadar, air matanya turun begitu saja. Ia terharu dengan apa yang Thorn capai hari ini.
"Berbagilah." BoBoiBoy tersenyum. "Rayakan kesuksesanmu."
Thorn menatapnya bingung. "Ini redaksi Kak Boy. Kenapa yang merayakan keberhasilannya aku?" tanyanya.
"Karena di sini yang bekerja keras itu kamu. Bukan aku," jawab BoBoiBoy tenang. "yang mencetuskan, mendirikan, memimpin, dan mengurus segala keperluannya adalah kamu."
BoBoiBoy bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah Thorn yang nasih menatapnya polos. "Sekarang saatnya kamu nikmati hasil kerja kerasmu."
Thorn menggaruk kepalanya. "Eum ... caranya?"
BoBoiBoy mengacak gemas rambut Thorn. "Pergilah ke panti asuhan yang biasa kamu kunjungi. Bawa sesuatu yang bermanfaat, bermainlah sepuasmu di sana."
"Boleh?!" pekiknya dengan mata berbinar. "Aku boleh ketemu Fang, Gopal, dan yang lainnya di sana?"
BoBoiBoy mengangguk.
"Yeay! Dah, Kak Boy!"
Rasanya ikut senang juga melihat adik yang paling disayanginya bahagia.
"Ada apa, Boy? Thorn sepertinya sangat senang."
"Eh, Aya. Selamat siang, Strawberry." BoBoiBoy membungkukkan punggungnya hormat.
"Ish! Berhenti menggodaku." Yaya memanyunkan bibirnya.
"Ehehe ..." BoBoiBoy hanya nyengir. "Mau bantuin aku nulis? Tumben ke sini."
"Tulisanku tidak sebagus tulisanmu," sanggah Yaya.
"Tapi idemu selalu jauh lebih segar. Aku hanya perlu memolesnya sedikit, dan hasilnya selalu bagus."
"Baik, cukup. Kamu belum jawab pertanyaanku. Thorn kenapa?"
"Ya ampun, belahan jiwaku ini kepo ternyata." BoBoiBoy malah menggoda.
Yaya menyubit lengannya. "Beritahu sajalah, Boy," desak Yaya tidak sabar. Memang baru kali ini ia melihat Thorn begitu senang.
"Iya, iya. Jadi, redaksi kami mendapat penghargaan. Lalu, penjualan majalah terbitan kami meningkat," jawabnya sambil mengusap lengannya yang menjadi sasaran kegemasan Yaya.
"Wah, kalian memang tim yang hebat. Selamat, ya." Yaya menatapnya takjub.
"Dia pantas mendapatkannya."
Terkadang, BoBoiBoy tidak habis pikir mengenai adiknya itu. Dalam otak polos dan kekanakkannya, tersimpan otak bisnis yang brilian.
"Boy," panggil Yaya.
BoBoiBoy menunduk. "Hm?"
"Dedek bayi mau stroberi. Di kebun kita sudah habis," kata Yaya. Mengusap perutnya yang sedikit membuncit.
"Ahahah ... boleh. Tapi, ada syaratnya." BoBoiBoy mengerling nakal.
"Apa?" tanya Yaya.
BoBoiBoy menyodorkan pipinya. Ia terkekeh melihat semburat merah seketika menghiasi wajah Yaya.
Sepersekian detik, Yaya menyentuh pipinya. Dengan tangan yang sudah ia tempelkan lebih dulu pada mulutnya.
"Yah ... nggak asik," rajuknya.
"Cepat. Dedek sudah lapar."
BoBoiBoy gantian mengecup perut Yaya. "Baik-baik sama Bunda, jangan rewel di sana."
BoBoiBoy pun beranjak pergi dari ruangannya dengan langkah ceria.
x
x
x
FINISH
A/N
Duh ... nggak pernah kepikir buat nulis tema gini. Tapi, pas liat berita tentang banyaknya public figure yang kepleset ke jurang narkoba, aku jadi pengen nulis ini. Sekaligus pengen sharing pendapat kalian tentang narkoba ini.
Buat aku, mereka itu nggak salah. Yang perlu disalahin ya rasa ingin tahunya aja. Karena dari situ mereka akhirnya milih buat nyoba atau tetap sadar.
/sedikit tambahan di bawah
x
x
x
Empat tahun yang lalu, Thorn keluar dari penjara. Perusahaan tempatnya bekerja dulu tidak mau menerimanya lagi. Bahkan, perusahaan lain pun tidak ada yang meliriknya sama sekali dikarenakan catatan hitamnya.
Saat itu, BoBoiBoy mencoba menghibur Thorn. Namun, tidak berhasil. Siang malam hanya Thorn habiskan untuk mengurung diri. Putus asa. Menyesali kecerobohannya di masa lalu.
Suatu malam, Thorn tiba-tiba datang ke tempat kerjanya dengan mata sembab. Tanpa berkata apapun, anak itu mengambil kursi lalu duduk di sampingnya. Memerhatikannya yang tengah menulis sampai tertidur.
Setelah malam itu, Thorn selalu menemaninya menulis setiap malam--walaupun akhirnya tertidur-- dan tampak sibuk kesana-kemari. Meminta data dirinya, foto, dan sebagainya.
Akhirnya, BoBoiBoy memutuskan untuk bertanya langsung suatu malam.
"Aku mau buat redaksi majalah buat Kak Boy," katanya, saat itu.
Jatuh bangun perintisan usahanya ini dialami Thorn. Seringkali karyawan memilih mengundurkan diri karena redaksinya yang tidak stabil dalam banyak hal. Dari penjualan yang hampir nol persen, mesin-mesin cetak yang tidak memadai, sampai beberapa orang kepercayaan yang korup.
Namun, Thorn terus berusaha. Sesekali bercerita kepadanya, meminta solusi.
Sampai di satu waktu, Thorn pulang dalam keadaan berantakan. Matanya memerah. Ia sempat berpikir Thorn mengulangi kecerobohannya. Namun, anak itu langsung memeluknya begitu ia membukakan pintu. Thorn menangis keras.
"Kita ditipu. Surat tanah untuk membangun kantor ternyata palsu. Orang itu kabur, Kak. Membawa uang tabungan kita," jelas Thorn di sela isakkannya.
BoBoiBoy juga sempat emosi. Namun, ia berhasil menahan diri.
"Ini ujian. Sementara, kita pakai jasa percetakan saja. Setelah modal kita cukup, baru kita bangun kantor sendiri."
Sejak saat itu, Thorn mulai kembali berusaha. Di sela-sela kesibukannya, Thorn kerap menghadiri acara seminar. Menjadi aktivis antinarkoba. Bahkan diundang menjadi pembicara di beberapa kesempatan.
Ia senang. Adik kecilnya benar-benar berubah. Menepati janjinya delapan tahun yang lalu. Adik kecilnya sudah menjadi orang yang mandiri, mampu menginspirasi banyak orang.
BoBoiBoy sangat bersyukur atas ujian yang Tuhan berikan. Bersykur karena membangun adiknya menjadi seperti yang sekarang.
