Entah kenapa tetiba pengen nulis ini….

Terinspirasi dari Jepun Negerinya Hiroko…

.

.

.

THE DIPLOMAT'S WIFE

Of Frederik and Joonmyeon's Past

Prolog

.

.

SuLay

.

.

.

Genderswitch for Yixing

.

.

.

-000-

Apartemen yang ditempati Yixing berada di bagian utara Copenhagen, tepatnya di Charlottenlund, Distrik Hellerup. Kawasan ini dikenal sebagai Beverly Hills-nya Copenhagen sekaligus gudangnya para ekspatriat berkat keberadaan kantor-kantor perusahaan asing dan kedutaan negara sahabat. Korps diplomatik Republik Korea untuk Kerajaan Denmark kebetulan turut mendiami kawasan ini sehingga di apartemen inilah Yixing berada sekarang. Berbeda dengan duta besar Republik Korea untuk Kerajaan Denmark yang mendapat jatah rumah dinas berupa rumah besar dengan arsitektur khas Denmark abad pertengahan, para diplomatnya 'hanya' kebagian jatah rumah dinas di apartemen, salah satunya suami Yixing yang baru saja menempati pos barunya di Copenhagen.

Dibandingkan rumah dinas untuk duta besar, apartemen yang sekarang ditempati Yixing dan suaminya tentu tak seberapa. Apartemen ini tidak luas, tetapi cukup nyaman dengan desain minimalis bernuansa kayu khas Skandinavia dan perabot yang terbilang sedikit. Hanya ada dua kamar di sini, masing-masing berukuran 4x5m dan 3x4m. Ruang tamu difungsikan pula sebagai perpustakaan lantaran suami Yixing memutuskan untuk menyimpan koleksi buku-bukunya di dalam lemari dua pintu yang menempati salah satu sudut ruang tamu. Ruang keluarga yang sempit dialihkan fungsinya menjadi ruang makan dengan alasan kepantasan dalam menjamu tamu. Suami Yixing berpendapat bahwa kurang elok rasanya jika menjamu tamu di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Walhasil mereka jadi tak punya ruang keluarga, tetapi Yixing senang-senang saja lantaran dapurnya terasa lebih luas tanpa kehadiran meja makan.

Dari seluruh ruangan di apartemennya ini, Yixing paling menyukai dapur. Dia tak henti-henti mengagumi desain minimalis khas Skandinavia yang mewarnai dapurnya dengan unsur kayu yang kental. Yixing menyukai setiap detail dapurnya, mulai dari lantai kayu ek yang dicat putih, juga dinding dan kitchen set yang sama-sama berwarna putih. Bahkan jendela berkusen putih yang menghadap kompor pun berhasil memikat hati Yixing. Rasanya Yixing betah berlama-lama berdiri menghadap jendela yang satu ini sambil berkutat dengan kompor dan panci, menikmati suguhan panorama molek Copenhagen yang terhampar di balik jendela. Beruntung apartemennya terletak di lantai 18 hingga jangkauan pandang Yixing seakan bisa mencapai pucuk atap Christiansborg Palace di arah selatan yang berjarak sekitar 10km, juga birunya Selat Øresund beberapa kilometer di sebelah timur yang menghubungkan Laut Baltik dengan Samudera Atlantik.

Pagi ini Yixing kembali mendapati dirinya berdiri menghadap jendela, memandangi bangunan gereja milik Den Danske Folkekirke alias The Church of Denmark di seberang apartemennya. Bangunan gereja itu terlihat kukuh sekaligus anggun dalam balutan arsitektur bergaya Baroque yang antik. Dinding-dindingnya berwarna merah bata dan tampak berkilau ditimpa sinar mentari pagi yang malu-malu, benar-benar elok dipandang mata.

Bagi Yixing, rasanya seperti mimpi mendapati dirinya berdiri di balik jendela dengan suguhan panorama elok milik Copenhagen di pagi hari. Sulit dipercaya bahwa kini dia menjejakkan kaki di negeri para Viking, meninggalkan Korea yang menjadi tanah air keduanya. Denmark yang sebelumnya terasa begitu asing, jauh, dan tak terjangkau justru terpilih menjadi rumah sementara bagi perempuan dua puluh empat tahun yang manis dan polos ini. Demi Tuhan, bahkan dalam mimpi terliarnya pun tak pernah terbayangkan dalam benak Yixing bahwa suatu hari nanti dia akan menjejakkan kakinya di Denmark! Rencana Tuhan memang tak terduga. Pertemuan antara Yixing dan diplomat tampan dari kantor Kementerian Luar Negeri Republik Korea yang berakhir dalam ikatan pernikahan sukses membawa Yixing keluar dari dunianya yang sempit, memberikan Si Manis ini kesempatan untuk melihat dunia luar yang lebih luas.

Dan kesempatan yang pertama untuk Si Manis berarti Copenhagen, Denmark.

TINGG!

Bunyi toaster-nya mengalihkan perhatian Yixing dari atap gereja di seberang apartemennya. Si Manis ini bergegas menghampiri toaster, memindahkan rugbrød yang sudah selesai dipanggang ke piring yang sudah disiapkannya. Jari-jemarinya yang lentik dengan cekatan mengolesi permukaan roti gandum khas Denmark itu dengan madu tipis-tipis.

Rugbrød dengan olesan madu menjadi salah satu isi nampan yang kini dibawa Yixing ke ruang makan, berdampingan dengan sepiring nasi goreng kimchi yang masih panas berkepul.

"Oppa, sarapanmu."

Yixing dengan takzim menyajikan piring berisi nasi goreng kimchi ke meja makan, persis di hadapan laki-laki yang tengah duduk di sana sambil membaca berita melalui ponsel. Itu suaminya, Kim Joonmyeon. Si Tampan itu seperti biasa tampil necis sekaligus berwibawa dalam setelan blazer hitamnya. Dia terlihat muda untuk ukuran lelaki berumur empat puluh tahun. Muda tetapi dewasa, ditunjang dengan paras angelic yang sayangnya seringkali terkesan kelewat serius.

Joonmyeon mengucapkan terima kasih dengan singkat seraya meletakkan ponselnya di meja. Tatapan yang dalam milik laki-laki itu tak sengaja tertumbuk pada dua potong rugbrød di piring Yixing yang mengilat oleh olesan madu di permukaannya. Sekilas tatapannya terkesan kurang berkenan, tetapi Joonmyeon memilih untuk tidak mengatakan apa-apa, termasuk saat Yixing yang duduk di hadapannya mulai menggigit salah satu potongan rugbrød dengan kalem.

"Apa saja jadwal kegiatanmu hari ini?" Joonmyeon yang baru menelan suapan pertama nasi goreng kimchi sekonyong-konyong menanyai istrinya.

Yixing sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan semacam ini sejak dia menikahi Joonmyeon. Suaminya selalu menanyakan rencana kegiatan saat mereka menikmati sarapan. Yixing maklum, pasalnya Joonmyeon masuk tipe 'scheduler' alias penjadwal. Bagi Joonmyeon, tiada hari tanpa jadwal kegiatan sehingga bisa dipastikan tak ada waktunya yang terbuang sia-sia. Semua sesuai dengan jadwal.

"Ehm, aku… Ada kelas bahasa Denmark dari jam sembilan kurang lima belas sampai jam dua belas lewat seperempat," Yixing menjawab, terkesan sedikit gugup. Dia memang selalu seperti itu, terkesan gugup setiap kali tatapan milik Joonmyeon yang dalam tertuju padanya. Agaknya Yixing belum juga terbiasa dengan cara Joonmyeon menatapnya, tak peduli tujuh minggu telah berlalu sejak upacara pernikahan mereka dilangsungkan.

"Lalu pukul satu nanti aku diundang untuk makan siang di rumah Ibu Dubes bersama istri-istri diplomat lainnya," Yixing menambahkan.

"Oh, itu bagus sekali," komentar Joonmyeon, tampak antusias. Raut serius yang membayangi paras tampannya sedikit memudar. "Jangan sia-siakan kesempatan bagus semacam itu untuk belajar bersosialisasi dengan mereka, Yixing-ah, dan menurutku tak ada salahnya kalau sekali-kali gantian kau mengundang mereka kemari untuk makan siang, misalnya."

Yixing meringis mendengar usulan Joonmyeon. Kembali terbayang di benaknya kerepotan lima hari yang lalu saat Joonmyeon memutuskan mengundang rekan-rekan kerjanya untuk makan malam di rumah. "Supaya lebih akrab, sekalian memperkenalkanmu pada mereka," demikian alasan yang dikemukakan Joonmyeon pada saat itu.

"Ehm, ya. Kurasa itu ide yang bagus," Yixing menanggapi, mencoba terlihat antusias menyambut usulan Joonmyeon. Dia cukup tahu diri. Sebagai istri diplomat, mengadakan jamuan adalah salah satu tugas yang harus dilaksanakannya.

"Akan kucari waktu yang tepat untuk mengundang mereka makan siang." Yixing mengulas senyum, memperlihatkan lesung pipit yang menambah manis parasnya.

"Ngomong-ngomong soal undangan makan bersama," Joonmyeon meletakkan sendoknya, "kira-kira apa kau keberatan kalau malam ini aku mengundang salah satu temanku untuk makan malam bersama kita? Dia temanku semasa aku ikut exchange program di University of Edinburgh dulu. Sekarang dia berprofesi sebagai diplomat sepertiku."

Yixing terkejut. "Eh, malam ini?"

"Ya. Kalau kau tidak keberatan."

"A-aku tidak keberatan, kok," Yixing buru-buru menanggapi. Kendati dalam hati dia menyesalkan rencana Joonmyeon yang begitu tiba-tiba, Yixing tak ingin mengecewakan suaminya itu. Dia tak ingin memberikan kesan enggan dan tak siap di hadapan suaminya. Yixing ingat persis petuah Joonmyeon sebelum mereka berangkat ke Denmark dua minggu yang lalu. Waktu itu Joonmyeon berpetuah bahwa Yixing harus siap jika sewaktu-waktu diminta untuk mengadakan jamuan dan Yixing berjanji pada dirinya sendiri untuk mematuhi petuah Joonmyeon.

"Hanya saja… Apa yang sebaiknya kumasak untuk teman Oppa itu?"

"Kau cukup memasak makanan Korea," jawab Joonmyeon. "Kebetulan temanku masih keturunan Korea. Kurasa bulgogi dan kimchijjigae cocok jadi menu utama. Stok kimchi kita masih banyak, bukan?"

Yixing menganggukkan kepalanya.

"Baguslah," komentar Joonmyeon, kedengaran lega. "Buthakhae (mohon bantuannya) untuk malam ini, Yixing-ah."

Yixing kembali mengulas senyumnya yang manis, setulus yang dia bisa. "Akan kusiapkan. Pukul berapa dia datang?"

"Kemungkinan sebelum pukul tujuh. Akan kupastikan lagi nanti. Sebelum pukul empat akan kukabari kau. Ah, ya. Tidak perlu memasak banyak-banyak. Frederik, itu nama temanku, dia masih bujangan dan aku yakin dia bakal datang sendirian."

Yixing bersyukur dalam hati begitu mendengar tamunya bakal datang sendiri. Setidaknya dia bisa menghemat tenaga dalam memotong-motong sayuran.

"Baiklah," Yixing menyanggupi. "Oh, aku hampir lupa, Oppa. Untuk bir, apakah aku perlu menyediakan soju? Atau bir Denmark?"

"Nanti aku saja yang membeli bir," kata Joonmyeon. "Frederik tidak suka soju. Biar nanti kubelikan dia bir Denmark saja. Kau cukup menyiapkan makanan."

"Ne, Oppa," sahut Yixing takzim.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kelas bahasa Denmark-mu? Apa kau sudah mulai bisa mengikuti ritme?" Joonmyeon sekonyong-konyong mengubah topik pembicaraan sembari melanjutkan aktivitasnya menyendok nasi goreng kimchi.

Mungkin pertanyaan Joonmyeon terdengar biasa-biasa saja, tetapi Yixing justru merasa gugup dibuatnya. Yixing merasa seperti tengah ditanyai oleh atasan tentang progres pekerjaan. Bagaimanapun Yixing tahu persis bahwa suaminya menaruh ekspektasi tinggi terhadap dirinya dalam menjalankan peran sebagai istri diplomat. Menguasai bahasa Denmark adalah salah satunya, mengingat laki-laki itu ikut turun tangan mendaftarkannya ke kelas bahasa Denmark di Copenhagen Language Center setelah memastikan bahwa University of Copenhagen hanya membuka kelas bahasa Denmark untuk mahasiswa. Yixing tahu Joonmyeon tak mendaftarkannya secara cuma-cuma untuk sekadar mengisi kegiatan selama mendampinginya bertugas di Copenhagen. Lebih daripada itu, Joonmyeon memberi Yixing misi pendekatan terhadap bahasa dan budaya Denmark sebagai modal untuk menjalin relasi dengan orang-orang lokal Denmark serta menjalin relasi dengan orang-orang asing sesama pemelajar bahasa Denmark yang ditemuinya di lembaga bahasa. Joonmyeon tidak ingin istrinya hanya menjadi pemanis rumah dinas mereka yang cantik di Copenhagen ini. Laki-laki itu ingin istrinya memiliki peran dalam kehidupan sosial, demikian yang dipahami Yixing bahkan sebelum mereka berangkat ke Copenhagen. Peran yang dimaksud tentu saja istri diplomat yang memiliki wawasan dan pergaulan yang luas.

Maka Yixing meneguk ludah dengan gugup sebelum menjawab dengan hati-hati.

"Kurasa aku mulai bisa mengikuti ritme. Hanya saja untuk saat ini aku masih kesulitan dengan pelafalannya. Dansk (bahasa Denmark)… Har en særlig udtale (Memiliki pelafalan yang spesial). Pelafalannya spesial. Mungkin akan lebih mudah jika aku pernah belajar bahasa Jerman karena pelafalannya hampir mirip. Cukup sulit, ya. Tapi suasana kelasnya menyenangkan, jadi aku menikmatinya."

"Kurasa pelafalan bahasa Denmark-mu barusan tidak terlalu buruk," Joonmyeon berkomentar. "Aku lumayan sering dengar kata særlig. Setidaknya aksen China-mu tidak kentara saat melafalkannya. Lalu bagaimana dengan teman-teman sekelasmu? Menyenangkan?"

"Mereka menyenangkan," Yixing cepat-cepat menjawab. Ada perasaan lega kala mendengar suaminya memuji pelafalannya. Akan tetapi, Yixing tidak mau cepat-cepat berpuas diri. Dia sadar, masih terlalu jauh perjalanan yang harus ditempuh untuk membuat Joonmyeon benar-benar terkesan padanya.

"Mereka teman-teman yang baik, meski tak semua bisa berbahasa Inggris dengan fasih. Lucu rasanya saat komunikasi di antara kami terkadang perlu dibantu dengan bahasa isyarat."

Sudut bibir Joonmyeon tertarik sedikit, membentuk sebuah senyuman yang nyaris samar-samar. Diplomat itu kembali menyuapkan nasi goreng kimchi ke mulutnya, tak sadar bahwa istrinya yang manis sesaat terpaku hingga berhenti mengunyah rugbrød selama beberapa detik.

'Dia tersenyum?'

.

.

.

Ketika diriku menjadi keji dengan mempublikasikan tulisan nirfaedah semacam ini.

Buat apa, sih?

Sungguh, saya ini punya semacam kelainan.

Rasanya nggak afdol kalo nggak publish cerita, peduli setan ada yang baca atau nggak.

Seringkali saya publish ff lalu saya hapus. Apa pasal? Bukan karena faktor pembaca, melainkan murni ketidakpuasan saya terhadap hasil tulisan saya sendiri setelah saya mencoba menjadi 'reader' atau rasa tidak percaya diri dengan kemampuan saya untuk melanjutkan cerita.

Jadi, mohon dimaklumi kelainan saya ini xixixi…

.

.

.

Kkuljaemi