Sehun menghela napas berat. Saat ini pemuda berusia 25 tahun itu, yang seorang fotografer, tengah berjalan-jalan bosan. Pemuda itu merasa ia sudah hidup terlalu lama, tidak menemukan satupun pengalaman yang menarik. Memang pekerjaannya yang selalu berkelana ke tempat-tempat yang dinilai artistik itu bisa dibilang menarik—itu pula yang menyebabkan ia memilih jurusan tersebut semasa kuliah—namun hanya itu-itu saja. Berpindah-pindah tempat, memotret, berpindah lagi, memotret, seperti itu terus hingga akhirnya ia kembali ke kantornya dan mencetak semua hasil kerjanya.
Sehun hanya ingin menemukan satu saja alasan yang membuatnya ingin meneruskan hidup. Seperti yang diketahui, ia adalah seorang pemuda single. Jika misalnya ia sudah menikah dan punya anak, itu sudah cukup baginya kemudian menjalani kehidupan yang sederhana dengan menyayangi serta melindungi keluarga kecilnya. Hanya itu yang ia mau.
Tetapi karena pekerjaan yang mengharuskannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain membuatnya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal yang romantik. Sering kali Sehun memandangi seorang pria dewasa yang membuatnya tertarik, berbincang dengannya, namun saat pria tersebut meminta sebuah hubungan, lagi-lagi ia mundur karena alasan pekerjaan. Ia merasa menyesal karena sejak awal ia memang mendekatinya dengan pikiran memiliki sebuah hubungan namun saat ia mendapatkannya, ia tiba-tiba merasa harus berhenti di tengah jalan.
Karena itu Sehun berhenti melihat para pria dan berhenti memikirkan hal-hal seperti itu. Mencoba lebih fokus pada pekerjaan yang disukainya, menjadi lebih sibuk dari hari ke hari, menghabiskan masa muda bersama dengan pekerjaan yang dicintainya.
Burung gagak memekik melewatinya, membuatnya teralihkan dari semua pikiran-pikiran yang sudah tidak penting lagi. Melihat burung itu terbang menjauh, mengingatkannya pada satu adegan yang masih tersimpan dalam benaknya di masa lalu. Satu garis senyuman terukir di bibirnya, pikirannya melayang ke masa lalu.
Lima tahun yang lalu, di tempat yang sama, di sebuah pulau bernama Okinawa, adalah pertama kali Sehun datang ke sana. Itu adalah tugas pertamanya sebagai seorang fotografer. Tidak ingin hasil potret pertamanya terlihat buruk, ia pun bertanya pada pegawai hotel tempatnya menginap dimana tempat paling bagus memotret laut. Pegawai yang merupakan seorang pria paruh baya itu kemudian mengatakan bahwa tepat di ujung selatan, di atas tebing yang curam adalah posisi yang paling bagus untuk melihat laut. Maka ia pun pergi sesuai petunjuk.
Di tempat itulah pertama kalinya ia bertemu seseorang yang membuatnya tertarik. Seseorang dengan kulit eksotis yang seksi, berwajah matang bak pria dewasa namun ternyata berusia sama dengannya, dan senyuman yang memikat. Dan yang membedakannya dengan orang lain adalah pergelangan tangannya yang dibalut scarf. Mereka hanya berdua disana sehingga tidak sulit untuk berkenalan dan menjadi dekat setelah beberapa jam berbincang.
Dia ternyata hanyalah seorang pengunjung biasa disana. Dia juga memiliki hobi melakukan perjalanan dari tempat ke tempat. Karena dia sudah tinggal selama beberapa hari disana, dia ingin membantu pekerjaan Sehun dengan membawanya ke tempat-tempat menarik di pulau itu. Selama itu pula mereka selalu bertemu dan menjadi semakin dekat.
Masa-masa menyenangkan yang diam-diam tersimpan dalam benaknya selama tiga hari itu harus berakhir dengan Sehun yang kembali ke negara asalnya. Sehun harus puas dengan perjalanan dan pengalaman selama tiga hari itu. Ia berpisah dengan seseorang yang menarik itu dengan penuh senyuman, berharap terjadi sesuatu diantara mereka. Dan kenangan itupun resmi berakhir.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Twenty Five Years in The Past.
Casts; Oh Sehun, Park Chanyeol, Kai, dan tebak sendiri siapa.
Genre; Drama yang sangat sangat klise. Dan MPREG.
Rating; T
Disclaimer; Ide cerita sepenuhnya milik penulis kesayangan saya, Agatha Christie.
© Orikarunori 2016
© Orikarunori 2018 (published)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sambil menarik napas panjang, Sehun meneruskan perjalanannya menuju pelabuhan kecil yang acak-acakan dibawah sana. Di sepanjang tepi jalan yang dilaluinya tampak sederet pohon sakura yang membuatnya semakin bosan. Ia sudah punya puluhan potret dengan pohon tersebut sebagai objeknya.
"Tidak ada yang menyenangkan disini." Gumamnya.
Sehun melewati sederet pohon sakura itu dalam diam dan sekarang menyusuri sebuah jalanan yang putih dengan laut biru di ujungnya. Seekor anjing jalanan sedang berdiri di tengah-tengah jalan itu, menguap dan merentangkan badannya dibawah sinar matahari. Setelah berlama-lama merentangkan badannya, anjing itu duduk dan menggaruk-garuk badannya dengan asyik. Kemudian berdiri menggoyang-goyangkan badannya, dan memandang ke sekitarnya untuk mencari-cari sesuatu yang enak, yang mungkin ditawarkan kehidupan pada dirinya.
Ada setumpuk sampah di samping jalan dan anjing itu pergi ke sana sambil mengendus-ngendus. Ia berbaring dan berguling-guling dengan semangat pada tumpukan sampah itu. Sudah jelas anjing itu merasa senang sekali mendapatkan beberapa makanan.
Akhirnya setelah melahap semuanya, sekali lagi ia berjalan ke tengah-tengah jalan. Kemudian tanpa peringatan apapun, sebuah mobil menikung tajam, menabrak anjing itu tepat di tengah, dan berlalu tanpa mau peduli.
Anjing itu dengan sisa tenaga terakhirnya berdiri, sejenak memandang Sehun. Pandangan mata anjing itu terkesan benci dan sebal, kemudian anjing itu ambruk. Sehun menghampirinya dan membungkuk, memeriksanya. Anjing itu sudah mati. Sehun meneruskan perjalanannya sambil merenungkan ketragisan yang dialami anjing itu. Betapa aneh pandangan benci di mata anjing tadi.
Sehun menggeleng merasa kasihan, "Anjing malang."
Sehun berjalan terus, melewati pohon-pohon palem dan rumah-rumah putih yang tidak teratur susunannya, melewati pantai Eef tempat ombak memecah menggelegar, tempat dulu seorang perenang Korea terkenal telah hanyut dan tenggelam, melewati kolam berbatu-batu tempat anak-anak dan para wanita tua sedang bercebur-cebur, menyusuri jalanan curam yang berkelok-kelok menuju atas tebing.
Di atas tebing itu terdapat sebuah rumah bernama Amami yang berarti langit atau laut. Sebuah rumah putih dengan tirai jendela berwarna biru dan tertutup rapat, sebuah kebun indah yang rumit, dan jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara menuju sebuah dataran di tepi tebing, tempat kita bisa melihat ke bawah—yang mana sangat jauh ke dalam—pada laut yang biru kelam.
Tempat itulah yang menjadi tujuan Sehun. Ia sangat menyukai kebun di Amami tapi belum pernah memasuki rumahnya. Kelihatannya rumah itu selalu kosong. Chen, si tukang kebun dari Jepang itu akan mengucapkan selamat pagi dengan berseri-seri dan mempersembahkan serangkaian bunga bagi para pengunjung wanita serta setangkai bunga bagi para pengunjung pria untuk diselipkan di saku jas mereka. Wajahnya yang berkulit gelap itu selalu tersenyum.
Kadang-kadang Sehun mengarang-ngarang cerita sendiri tentang pemilik rumah itu. Karangan yang paling disukainya adalah seorang penyanyi Jepang yang dulu sangat terkenal karena kecantikannya, dan bersembunyi disini sehingga seluruh dunia takkan mengetahui bahwa dia sudah tidak cantik lagi. Sehun membayangkan wanita itu keluar dari rumahnya pada dini hari dan berjalan-jalan di kebun. Kadang-kadang Sehun merasa tergoda untuk menanyakannya pada Chen, tapi ia menahannya. Ia lebih suka dengan khayalannya sendiri.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan Chen dan dengan sopan menerima setangkai mawar jingga, Sehun menyusuri jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara itu menuju laut. Ia duduk disalah satu bangku yang ada disana. Rasanya nyaman sekali bisa duduk-duduk disana, di tepi tebing yang sangat curam. Ia jadi merasa kembali di masa lalu, saat-saat bersama dengan seseorang berkulit eksotis dengan senyum memikat. Cepat-cepat ia menggeleng mengusir bayangan itu dari pikirannya.
Sebuah suara yang tak disangka-sangka membantunya untuk 'lebih sadar'. Suara langkah kaki di sepanjang jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara itu tidak didengarnya, dan pertama kali Sehun tahu tentang keberadaan orang asing disekitarnya itu adalah ketika ia mendengar orang asing itu mengumpat.
"Sialan."
Sehun menoleh dan menangkap seorang pria dewasa sedang menatapnya dengan perasaan kaget dan kesal. Ia segera mengenalinya sebagai tamu yang datang kemarin dan kurang lebih telah menarik perhatiannya. Ia menyebutnya pria dewasa karena kalau dibandingkan dengan tamu-tamu hotel lainnya yang kebanyakan sudah tua, orang asing itu memang masih agak muda, tapi umurnya pastilah sudah lebih dari empat puluh tahun, kalau perkiraannya benar yaitu sekitar 40-45. Bagaimanapun, sebutan pria dewasa sangat cocok baginya. Ia biasanya benar dalam hal-hal begini, menebak usia seseorang. Ada kesan ketidakmatangan pada dirinya. Seperti kesan sosok pemuda yang terjebak pada tubuh pria dewasa, seperti itulah.
Pria itu tinggi dengan model rambut yang menarik, tubuh terkesan besar dan cukup atletis, matanya berwarna coklat, agak bulat, rambutnya pirang. Secara keseluruhan, dia tampan. Pria itu tampak seperti orang yang sukses dalam hal materi dan tidak pernah menolak segala kesenangan atau kenikmatan.
Yang membuat Sehun bingung adalah apa yang membuatnya datang ke pulau ini. Ia bisa membayangkan pria itu bermain di kasino dan bersenang-senang dengan para gadis-gadis cantik—sesuatu tentang menghamburkan uang. Tapi di pulau ini tak ada yang seperti itu. Tentu saja pria itu mungkin seorang seniman yang tertarik dengan pemandangan laut seperti dirinya, tapi Sehun cukup yakin pria itu bukanlah seorang seniman. Pria itu betul-betul orang biasa-biasa saja.
Sementara Sehun sibuk menebak-nebak, pria itu berbicara, sadar bahwa kata yang diucapkannya tadi mungkin menyinggung perasaan Sehun.
"Maafkan aku," katanya tersenyum. "Sebenarnya aku... yah, sedikit kaget. Aku tidak menyangka akan bertemu seseorang disini."
Senyumnya menarik, terkesan ramah dan memesona.
"Tempat ini memang agak sepi." balas Sehun menyetujui sambil bergeser sedikit ke ujung bangku dengan gerakan pelan. Pria itu mengambil tempat disebelahnya.
"Menurutku tempat ini tidak sepi," kata pria itu. "Rasanya selalu ada seseorang disini."
Dari suaranya terdengar agak kesal. Sehun jadi heran. Menurutnya pria itu sangat ramah, kenapa dia ingin sekali berada sendirian disini? Ingin bertemu seseorang kah? Tidak, sepertinya tidak. Ia memandang pria itu dengan teliti. Dimana ia melihat ekspresi seperti itu baru-baru ini? Pandangan benci yang mencerminkan kekesalan.
"Kalau begitu Anda sudah pernah kemari sebelum ini?" tanya Sehun, sekedar untuk mengatakan sesuatu.
"Aku kesini kemarin malam."
"Benarkah? Kupikir pintu pagarnya selalu dikunci disini."
Hening sebentar kemudian dengan nada mengakui pria itu menyahut, "Aku memanjat dindingnya."
Sehun memandangnya dengan teliti sekali lagi. Ia memang terkenal punya pikiran tajam semasa kuliahnya dan ia tahu pria itu baru saja sampai di Okinawa kemarin sore. Jadi pria itu pasti tidak akan punya kesempatan untuk mengagumi rumah Amami itu pada waktu masih ada matahari dan sejauh ini pria itu juga tidak mengobrol dengan siapa pun. Tapi setelah gelap pria itu langsung datang ke Amami. Kenapa? Sehun melirik ke rumah putih bertirai biru itu, tapi tetap saja tak ada kesan kehidupan disana. Rumah itu tertutup rapat. Tidak, tidak, rumah itu tidak ada hubungannya.
"Dan Anda bertemu seseorang disini?" pria itu mengangguk.
"Ya. Pasti salah seorang tamu hotel. Dia berkulit eksotis."
"Berkulit eksotis?"
"Ya dan memakai sebuah scarf di pergelangan tangan. Sangat aneh."
"Apa?" kata itu langsung melesat keluar dari mulut Sehun. Pria itu menatapnya heran.
"Kurasa gaya yang sedang tren sekarang ini, mungkin?"
"Oh ya," sahut Sehun mulai kembali ke mode normal. "Mungkin."
Sehun diam sebentar seperti kehabisan napas, kemudian berpura-pura memandang ke sepanjang dataran dan melihat ke bawah tebing yang curam, mencari bahan obrolan. Tetapi pria disampingnya lebih dulu menyahut.
"Benar-benar tebing yang tinggi bukan? Kalau jatuh, yah pasti langsung mampus."
Sehun mengangguk. "Tempat yang cocok untuk melakukan pembunuhan..."
Pria itu menatapnya seolah-olah tak mengerti, lalu berkata pelan. "Oh ya, tentu saja."
Pria itu duduk sambil mengetuk-ngetuk tanah dengan sebatang ranting serta mengerutkan dahi. Tiba-tiba Sehun tahu dimana ia melihat ekspresi yang ditanya-tanyakannya dalam pikirannya dari tadi. Pandangan benci dan kesal itu. Begitulah pandangan anjing yang tertabrak tadi. Matanya dan mata pria ini memancarkan pertanyaan memilukan yang sama, dengan kekesalan yang sama.
Sehun melihat kemiripan diantara mereka berdua, rasa kesenangan dalam hidup, sikap tamak, dan kurang meneliti. Keduanya sudah merasa cukup menikmati hidup. Berguling-guling pada tumpukan sampah serta berhasil melahap beberapa makanan. Dan kemudian apa? Sebuah mobil menabrak anjing itu. Kira-kira apa yang telah menabrak pria ini?
Renungan Sehun terputus karena pria itu berbicara lagi, lebih tepatnya bergumam kepada dirinya sendiri.
"Aku jadi bertanya-tanya," gumam pria itu. "Apa yang sudah kulakukan selama ini."
Kalimat yang membingungkan Sehun. Jadi ia tidak menyahut dan akhirnya pria itu berkata lagi sambil tertawa pelan, meminta maaf karena mengucapkan kalimat yang membingungkan Sehun.
"Aku pernah dengar kalau setiap laki-laki harus membangun rumahnya, menanam benih, dan memiliki anak." Pria itu berhenti, seperti sedang berkhayal, kemudian meneruskan. "Aku yakin pernah menanam sebuah benih dulu..."
Sehun agak terkejut. Rasa penasaran menyelimutinya. Itu tidaklah sulit. Sehun memiliki sisi yang feminin, ia seorang pendengar yang baik dan ia tahu kapan harus menyahut dengan menggunakan kata-kata yang tepat. Sekarang ia ingin mendengar seluruh kisah pria itu.
Park Chanyeol, begitulah nama pria itu, memiliki kehidupan tepat seperti yang telah diterka Sehun. Caranya bercerita memang berbelit-belit—khas orang dewasa, membuat sesuatu menjadi rumit—tetapi Sehun dengan mudah dapat mengerti. Sebuah kehidupan yang sangat biasa. Pendapatan lumayan, anak dari pengusaha yang sukses, banyak teman, memiliki banyak hobi untuk bersenang-senang, dan cukup banyak bermain dengan wanita. Jenis kehidupan yang biasa-biasa saja dengan banyak berfoya-foya. Sejujurnya bisa dibilang seperti kehidupan seekor binatang. Tetapi Sehun pikir, banyak yang lebih buruk dari kehidupan pria Park Chanyeol itu.
Kemudian Park Chanyeol menceritakannya juga, agak samar-samar dan tidak jelas. Suatu hari pria itu pergi ke rumah sakit dan memeriksakan diri. Dokter yang memeriksanya hanya memberikan surat rekomendasi ke rumah sakit lain dengan dokter yang lebih ahli, dan begitu seterusnya seperti menutup-nutupi sesuatu darinya. Dan kebenaran itu terungkap juga. Mereka dengan hati-hati mengemukakan padanya tentang perlunya menjaga diri dan menjalani sebuah kehidupan yang tenang, dan puncaknya adalah enam bulan. Waktu yang diberikan untuknya hidup.
Park Chanyeol berpaling dengan mata coklat kebingungan pada Sehun. Tentu saja hal itu akan mengejutkan siapa pun. Orang jadi... tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Susah sekali menerima segalanya sekaligus," lanjut Park Chanyeol. "Bagaimana menghabiskan waktu yang tersisa itu. Memang ini sangat membuatku frustasi, menunggu saat datangnya ajal. Aku sebenarnya tidak merasa sakit dimana pun, tidak, lebih tepatnya belum. Tapi mungkin saja rasa sakit itu baru datang di enam bulan terakhir, begitulah kata dokter spesialis itu. Rasanya tidak masuk akal kalau aku harus mati, padahal aku sama sekali tidak menginginkannya. Yang bisa kulakukan untuk diriku adalah menghadapi segalanya seperti biasa. Tapi entah kenapa... aku tak bisa."
Disini Sehun menyelanya, dengan hati-hati ia bertanya. "Apakah tidak ada wanita/pria yang terlibat...?"
Tapi tampaknya tidak ada. Memang Park Chanyeol mengatakan ada beberapa, tapi bukan jenis yang serius. Teman-temannya adalah orang yang suka hura-hura. Mereka tidak suka dengan orang penyakitan. Pria itu sendiri tidak ingin orang lain tahu tentang penyakitnya. Pasti akan membuat semua orang tidak enak. Jadi pria itu memutuskan keluar negeri.
"Anda datang mengunjungi pulau ini? Kenapa?" tanya Sehun mengorek informasi lain, sesuatu yang tidak tampak dan tersamar, yang sementara ini masih belum diketahuinya, tapi ia yakin ada sesuatu. "Mungkin Anda dulu pernah kemari?"
"Ya," Park Chanyeol mengaku dengan segan. "Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih sangat muda."
Dan hampir tanpa sadar melirik sekilas ke belakang, ke arah rumah itu.
"Aku ingat tempat ini," katanya, mengarah pada laut. "Selangkah menuju keabadian."
"Dan itu sebabnya Anda datang kesini kemarin malam," kata Sehun tenang. Park Chanyeol menatapnya terkejut.
"Oh aku tidak... sungguh..." pria itu membantah.
"Kemarin malam Anda menemukan seseorang disini. Sore ini Anda menemukan aku. Hidup Anda telah tertolong dua kali." Sehun tersenyum.
Akhirnya Park Chanyeol menyerah. "Kau bisa saja bilang begitu. Tapi toh, apa boleh buat, ini hidupku. Aku berhak melakukan apa saja sesukaku."
"Ya, ya." Sahut Sehun bosan.
"Aku mengerti," kata Park Chanyeol dengan ramah. "Tentu saja kau akan menasihatiku. Aku sendiri pernah menolong seseorang, meskipun dalam hati aku tahu dia benar. Dan kau juga tahu aku benar. Akhir yang cepat dan bersih lebih baik daripada berlama-lama, merepotkan, menghabiskan biaya, dan menyusahkan orang lain. Toh bisa dibilang aku ini tidak punya siapa-siapa di dunia."
"Tapi misalkan Anda punya...?" tanya Sehun. Park Chanyeol menarik napas panjang.
"Aku tidak tahu. Dari dulu aku selalu menganggap ini yang terbaik. Bagaimanapun... aku tidak punya..." Park Chanyeol tiba-tiba berhenti. Sehun menatapnya dengan rasa ingin tahu. Dalam hati ia merasa ini pasti ada hubungannya dengan seorang wanita/pria. Tapi pria itu menyangkalnya.
"Pada dasarnya aku telah memiliki kehidupan yang sangat baik. Sayangnya akan segera berlalu dengan cepat, hanya itu. Tapi aku senang dengan segala yang telah kurasakan dalam hidup ini." lanjutnya. "Kecuali memiliki anak. Aku ingin memiliki satu. Aku pasti akan tenang seandainya aku punya seorang anak yang dapat meneruskan keturunanku. Tapi ah... bagaimana pun aku harus bersyukur."
Sehun menyahut dengan tidak sabar. "Anda boleh dibilang belum memulai kehidupan ini. Anda masih berada pada awalnya."
Ia tahu ucapannya terlihat seperti jauh lebih berumur dari pria itu, tetapi ia hanya tidak merasa puas dengan pria itu saja.
Park Chanyeol tertawa. "Astaga, lihat garis-garis di wajahku, aku berumur empat puluh empat."
"Ini tidak ada kaitannya dengan umur. Aku memang berumur dua puluhan, tetapi aku memiliki keinginan. Yaitu untuk melihat apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tapi Anda tidak memiliki keinginan itu, Anda ingin berpaling dari kesempatan untuk mengetahui semuanya itu."
"Kau kelihatannya lupa," kata Park Chanyeol dengan getir. "Bahwa bagaimana pun aku hanya memiliki waktu enam bulan."
"Enam bulan bisa saja jadi sangat panjang," kata Sehun. "Enam bulan itu mungkin akan jadi waktu terpanjang dan paling mengesankan dalam seluruh kehidupan Anda."
Pria itu tampaknya tidak yakin. "Kalau kau jadi aku," katanya. "Kau juga akan melakukan hal yang sama."
Sehun menggeleng. "Tidak," katanya singkat. "Karena yang pertama, aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Perbuatan itu membutuhkan keberanian, dan aku sama sekali bukan orang yang berani. Yang kedua..."
"Ya?"
"Aku selalu ingin tahu apa yang akan terjadi besok."
Pria itu tiba-tiba bangkit dan tertawa. "Yah, kau baik sekali mau mengajakku mengobrol. Aku tidak tahu kenapa, tapi... yah sudah terjadi. Aku terlalu banyak omong. Lupakan semuanya."
"Dan besok kalau ada yang melaporkan tentang kecelakaan itu, apakah aku hanya harus berpura-pura tidak tahu? Tidak mengatakan bahwa itu adalah bunuh diri?"
"Terserah kau. Aku senang kau menyadari satu hal, yaitu kau tak bisa mencegahku."
"Baiklah," kata Sehun tenang. "Aku memang tidak bisa terus-terusan menempel pada Anda seperti lintah. Cepat atau lambat Anda akan melompat dan melaksanakan tujuan Anda. Tapi Anda sedang merasa frustasi sore ini, Anda pasti tidak tega membiarkan orang-orang menganggapku telah mendorong Anda."
"Itu benar," kata pria itu. "Jadi kalau kau berkeras untuk tetap di tempat ini..."
"Aku memang berkeras." kata Sehun tegas.
Pria itu tertawa. "Kalau begitu rencanaku harus ditunda dulu. Aku akan kembali ke hotel. Sampai jumpa, mungkin."
Sehun ditinggal sendirian menatap laut.
"Dan sekarang," katanya pada diri sendiri. "Harus bagaimana? Pasti ada sesuatu yang harus dilakukan. Aku ingin tahu..."
Sehun bangkit. Beberapa saat lamanya ia berdiri di tepi dataran itu, memandang air yang berombak-ombak dibawah sana. Tapi ia tidak menemukan ide apa pun, dan dengan pelan ia berbalik menyusuri jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara dan memasuki kebun yang sepi itu. Ia memandangi rumah putih yang tertutup itu, dan ia jadi penasaran siapa yang sudah tinggal disana dan apa yang berlangsung dibalik dinding-dinding yang tenang itu. Tiba-tiba tanpa sadar ia berjalan menaiki anak-anak tangga dari batu yang mulai runtuh tersebut dan memegang tirai biru yang pudar itu.
Sehun kaget ketika jendela itu terbuka. Ia ragu-ragu sebentar, kemudian menyibak tirainya lebar-lebar. Detik berikutnya ia melangkah mundur sambil berteriak pelan. Seseorang berdiri di balik jendela itu, menatapnya. Seseorang itu mengenakan kemeja hitam dan apa itu? Eyeliner?
Sehun dengan terbata-bata meminta maaf dalam bahasa Jepang bercampur Korea. Ia merasa kepergok dan malu, karena telah lancang menyibak tirai jendela seseorang. Kemudian dengan buru-buru ia melangkah mundur. Pemilik rumah itu tidak berkata apa-apa. Ia sudah setengah jalan melintasi kebun ketika pemilik rumah itu berbicara, memanggilnya.
"Tunggu."
Sehun berbalik dengan cepat merasa terkejut karena dipanggil. Ia berjalan menuju rumah itu lagi, nyaris tanpa berpikir. Pemilik rumah itu masih berdiri tak bergerak di depan jendela, menatapnya dari atas ke bawah, menilai dirinya dalam diam.
"Kau orang Korea," katanya. "Aku sudah menduganya."
Sehun mengulangi permintaan maafnya yang kedua. "Kalau aku tahu Anda juga orang Korea," katanya. "Aku bisa menjelaskan semuanya dengan lebih baik tadi. Aku benar-benar minta maaf karena telah membuka tirai rumah Anda dengan tidak sopan. Aku memang tidak punya alasan apa pun untuk melakukannya selain rasa penasaran. Aku ingin sekali mengetahui apa yang ada dibalik rumah cantik ini."
Sang pemilik rumah itu tiba-tiba tertawa geli. "Kalau memang ingin melihatnya," katanya. "Lebih baik kau masuk."
Pemilik rumah itu memberi jalan, dan Sehun merasa benar-benar bersemangat melangkah masuk ke dalam. Rumah itu gelap karena tirai-tirai jendela lainnya tertutup, tapi ia bisa melihat bahwa disana hanya ada sedikit perabot yang agak usang modelnya, dan debu tampak tebal dimana-mana.
"Bukan disini," kata si pemilik rumah. "Aku tidak memakai ruangan ini."
Pemilik rumah itu memimpin jalan dan Sehun mengikutinya keluar dari ruangan itu, melintasi sebuah lorong, dan masuk ke sebuah ruangan disisi lain. Disini jendela-jendelanya menghadap ke laut dan sinar matahari menerobos masuk. Perabotannya, seperti di ruangan satunya tadi, berkualitas buruk, tapi ada beberapa permadani usang yang dulunya pasti indah sekali, sebuah layar Korea dari kulit yang lebar sekali, dan vas-vas berisi bunga segar.
"Ayo kita minum teh," tawar pemilik rumah. Dia menambahkan untuk meyakinkan. "Tehnya benar-benar enak."
Pemilik rumah keluar pintu, memanggil seseorang dengan menggunakan bahasa Jepang, kemudian berbalik dan duduk di sofa berhadapan dengan Sehun. Untuk pertama kalinya Sehun bisa mengamati penampilannya.
Dia pria dengan tubuh yang mungil, berpenampilan segar, kulitnya putih, dan dia cantik, meskipun usianya tidak terlalu muda. Ketika ia berada di ruangan, matahari serasa bersinar dua kali lebih terang ketimbang ketika ia tidak ada di ruangan itu, dan lambat laun Sehun pun merasa hangat dan bersemangat lagi. Rasanya seperti menjulurkan kedua tangannya yang kurus dan pucat pada api yang hangat membara.
Sebenarnya Sehun agak takut pada si pemilik rumah, karena pria mungil itu terlihat tegas dan pada dasarnya ia tidak menyukai pria cantik yang tegas.
Pemilik rumah itu jelas telah mengamati Sehun juga sambil duduk bertopang dagu dengan kedua tangannya tanpa sungkan-sungkan. Akhirnya pemilik rumah mengangguk, seolah-olah telah memutuskan sesuatu.
"Aku senang kau kemari," mulainya. "Aku sangat membutuhkan seseorang untuk diajak bicara sore ini. Dan kau sudah terbiasa dengan itu bukan?"
"Aku tidak mengerti."
"Maksudku, orang sering bercerita padamu. Kau pasti mengerti maksudku. Kenapa berpura-pura?"
"Yah... mungkin..."
Pemilik rumah meneruskan, tidak mengindahkan Sehun. "Orang bisa mengatakan apa pun padamu. Itu karena kau punya perasaan dan sikap yang feminin. Kau tahu apa yang kami—orang-orang yang lebih tua—rasakan, apa yang kami pikirkan."
Pemilik rumah berhenti. Teh dihidangkan oleh seorang gadis Jepang berperawakan besar yang tersenyum. Memang teh yang enak, teh Cina. Sehun menyesapnya dengan pelan.
"Anda tinggal disini?" tanya Sehun berbasa-basi.
"Ya."
"Tapi tidak terus-terusan. Rumah ini biasanya tertutup bukan? Begitulah yang kudengar."
"Aku selalu tinggal disini, lebih dari yang diketahui orang-orang. Aku hanya memakai ruangan-ruangan ini."
"Apa Anda sudah lama memiliki rumah ini?"
"Sudah 22 tahun dan aku pernah tinggal disini selama setahun sebelumnya."
Sehun berkata. "Itu lama sekali."
"Setahun? Atau yang 22 tahun?"
Tertarik, Sehun berkata dengan serius. "Itu tergantung."
Pemilik rumah mengangguk. "Ya itu memang tergantung. Karena itu adalah dua periode waktu yang terpisah. Satu sama lain tidak saling terkait. Mana yang lebih lama, yang mana yang lebih pendek, bahkan aku sendiri tidak tahu." Dia diam sebentar, kelihatan sedih. Kemudian berkata sambil tersenyum simpul. "Sudah lama sekali aku tidak mengobrol dengan seseorang, aku tidak menyesal. Kau sendiri yang datang menghampiri tirai jendelaku. Dan itulah yang selalu kau lakukan bukan?"
Lanjutnya. "Menyibak tirai dan melihat melalui jendela kebenaran yang ada dalam hidup orang-orang lain, kalau mereka mengizinkanmu. Dan sering kali mereka malah mengundangmu. Aku rasa sulit menyembunyikan sesuatu darimu. Kau bisa menebak... dengan benar."
"Yah, bisa dibilang begitu."
Pemilik rumah memulai, "Kalau kau pernah kesini sebelumnya, kau pasti mendengar tentang seorang perenang Korea yang tenggelam di kaki tebing. Orang-orang pasti akan mengatakan padamu betapa dia masih muda dan kuat, tampan dan pasangannya—suaminya—yang masih muda hanya bisa menatapnya dari puncak tebing dan melihatnya tenggelam."
"Ya aku sudah pernah dengar cerita itu."
"Perenang itu adalah suamiku. Ini rumahnya. Dia membawaku kesini bersamanya ketika aku masih delapan belas tahun, dan setahun kemudian dia meninggal dihempaskan ombak pada batu-batu karang hitam itu, badannya hancur tersayat dan tergores sampai meninggal."
Sehun berseru kaget. Pemilik rumah itu mencondongkan badan ke depan, matanya tajam menatap wajah Sehun.
"Bisakah kau membayangkan tragedi yang lebih buruk dari itu? Pasangannya yang masih belia, baru setahun menikah, berdiri tanpa daya sementara suami yang dikasihinya berjuang mati-matian untuk hidupnya, kemudian meninggal. Tragis bukan?"
"Tragis sekali," ujar Sehun, merasa iba. "Aku setuju dengan Anda. Tak ada yang lebih buruk dari itu."
Tiba-tiba pemilik rumah itu tertawa. Kepalanya terlempar ke belakang. "Kau salah," katanya. "Ada yang lebih buruk, yaitu seorang suami yang masih belia yang berdiri saja, berharap dan berdoa semoga suaminya tenggelam."
"Astaga," kaget Sehun. "Anda tidak benar-benar...?"
"Ya saya serius. Itulah yang sebenarnya. Aku berlutut disana, berlutut di tepi tebing dan berdoa. Para pembantu Jepang itu mengira aku berdoa untuk keselamatannya. Tapi tidak, aku tidak berdoa agar dia diselamatkan. Sebaliknya aku terus-terusan berdoa, 'Tuhan, tolonglah agar aku tidak meminta dia mati. Tuhan, tolonglah agar aku tidak meminta dia mati.' Tapi tak ada gunanya. Sepanjang waktu aku terus berharap dan harapanku menjadi kenyataan." Dia terdiam selama beberapa saat, kemudian berkata dengan sangat lembut, nada suaranya berbeda. "Buruk sekali bukan? Saking buruknya aku tak pernah bisa melupakannya. Aku sangat bahagia ketika mengetahui dia benar-benar telah tewas dan tak bisa kembali untuk menyiksaku."
"Astaga." kata Sehun untuk kedua kalinya.
"Aku tahu. Aku terlalu muda untuk menerima perlakuannya. Apa yang aku alami mestinya terjadi pada orang yang betul-betul sudah dewasa, yang sudah matang. Untuk menghadapi keganasan itu. Tak seorang pun tahu bagaimana dia sesungguhnya. Aku mengira dia hebat sekali ketika pertama kali bertemu dengannya. Aku sangat bahagia dan bangga ketika dia melamarku. Tapi segalanya langsung berantakan. Dia marah padaku, segala tingkah lakuku salah di matanya, padahal aku sudah berusaha keras. Kemudian dia mulai menyakitiku. Membuatku ketakutan setengah mati. Dia memikirkan berbagai perbuatan... yang mengerikan. Aku tidak akan menceritakannya padamu. Aku rasa dia punya kelainan jiwa. Aku sendirian disini, dalam kekuasaannya, dan kesadisan mulai menjadi hobinya." Mata pemilik rumah itu melebar dan menggelap. "Yang terburuk adalah bayiku. Aku hamil. Tapi karena perbuatannya padaku, bayiku meninggal sewaktu lahir. Bayiku yang mungil. Aku sendiri nyaris meninggal juga, tapi ternyata tidak. Padahal aku berharap bisa meninggal."
Sehun menggeleng prihatin.
"Kemudian peristiwa itu terjadi, seperti yang aku ceritakan padamu tadi. Beberapa gadis yang menginap di hotel menantangnya. Begitulah kejadiannya. Semua orang Jepang mengatakan padanya bahwa rencananya untuk berenang di laut itu gila. Tapi dia memang sombong dan suka pamer. Dan aku... aku melihatnya tenggelam dan aku senang. Tuhan mestinya tidak boleh membiarkan hal seperti itu terjadi."
Sehun mengulurkan tangannya yang kurus dan pucat itu memegang tangan si pemilik rumah. Pria mungil itu meremasnya dengan keras, seperti yang mungkin dilakukan oleh seorang anak kecil. Ketegasan telah hilang dari wajahnya. Sehun dengan gampang bisa melihat pria mungil itu seperti ketika dia berumur delapan belas tahun dulu.
"Mula-mula rasanya peristiwa itu seperti mimpi indah. Rumah ini jadi milikku dan aku bisa tinggal di dalamnya. Tak seorang pun bisa menyakitiku lagi! Aku yatim piatu dan tidak peduli dengan nasibku. Itu membuat segalanya lebih mudah. Aku tinggal disini, di rumah ini dan rasanya seperti di surga. Ya, seperti surga. Aku tak pernah sebahagia itu, dan takkan pernah lagi. Bayangkan, aku bangun di pagi hari dan tahu segalanya akan baik-baik saja, tak ada lagi kesakitan dan teror, tak perlu lagi menebak-nebak apa yang berikutnya akan dia lakukan padaku. Ya, betul-betul surga."
Pemilik rumah itu berdiam diri untuk waktu yang lama, dan akhirnya Sehun bertanya. "Lalu?"
"Aku rasa manusia memang tak pernah puas. Mula-mula kebebasan itu sudah cukup bagiku, tapi beberapa waktu kemudian aku mulai... yah kesepian kurasa. Aku mulai memikirkan tentang bayiku yang meninggal. Kalau saja dia tidak meninggal. Aku menginginkannya untuk diajak bermain-main. Aku ingin ada seseorang atau sesuatu yang bisa aku ajak bermain-main. Kedengarannya konyol dan kekanak-kanakan, tapi begitulah."
"Aku mengerti." Kata Sehun serius.
"Sulit menjelaskan kisah selanjutnya. Yah... pokoknya hal itu terjadi. Ada seorang pemuda Korea menginap di hotel itu. Suatu hari dia tersesat di kebunku tanpa sengaja. Aku sedang mengenakan kimono (pakaian khas/budaya Jepang) dan dia mengira aku orang Jepang. Aku merasa geli dan memutuskan untuk berpura-pura menjadi orang Jepang. Bahasa Jepang-nya buruk sekali, tapi dia bisa bicara sedikit-sedikit. Aku berkata padanya bahwa rumah ini milik seorang wanita Jepang-Korea yang kebetulan sedang bepergian. Aku berkata wanita itu sempat mengajariku bahasa Korea sedikit, dan aku lalu berpura-pura berbicara dalam bahasa Korea terpatah-patah. Lucu sekali rasanya, dan menggelikan, bahkan sekarang pun aku masih bisa merasakannya. Dia mulai merayuku. Kami sepakat berpura-pura menganggap rumah ini rumah kami, bahwa kami baru saja menikah dan tinggal di sini. Aku mengusulkan untuk masuk melalui salah satu tirai jendela, jendela yang kau coba tadi sore. Jendela itu memang terbuka dan di dalamnya terdapat ruangan yang berdebu dan tak terawat. Kami merangkak masuk. Sangat menegangkan dan menyenangkan. Kami berpura-pura ini adalah rumah kami."
Pemilik rumah itu terdiam dengan tatapan sedih. "Saat itu terasa indah, seperti dongeng. Dan yang lebih indah bagiku adalah karena kejadian itu tidaklah nyata. Memang tidak."
Sehun mengangguk. Ia bisa melihat pemilik rumah itu, seorang anak yang ketakutan, kesepian, dan menganggap khayalannya itu aman karena tidak nyata.
"Aku rasa dia sebenarnya lelaki yang biasa-biasa saja. Cuma bertualang, tapi dia sangat manis. Kami terus berpura-pura." Pria mungil itu berhenti lagi, menatap Sehun dengan tersirat dan meneruskan. "Kau mengerti? Kami terus berpura-pura." Dia melanjutkan lagi setelah diam selama semenit. "Dia muncul lagi di rumah ini keesokan harinya. Aku melihatnya dari balik tirai jendela kamar tidurku. Tentu saja dia tidak tahu aku ada di dalam. Dia masih mengira aku seorang lelaki petani Jepang. Dia berdiri disana memandang ke sekelilingnya. Dia memang memintaku menemuinya. Aku bilang iya, tapi sebenarnya aku tidak bermaksud mengatakannya."
"Dia berdiri disana dengan cemas. Kupikir dia mencemaskanku. Baik sekali dia mau mencemaskanku. Tapi dia memang baik." Dia berhenti lagi. "Keesokan harinya dia kembali ke Korea. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi."
"Bayiku lahir sembilan bulan kemudian. Aku senang sekali. Bisa memiliki bayi dengan tenang tanpa seorang pun yang bisa melukai atau menyakitiku. Aku berharap dulu sempat menanyakan nama lelaki itu. Aku ingin menamai anakku dengan namanya. Rasanya tidak benar kalau aku tidak melakukannya. Tidak adil. Dia telah memberiku sesuatu yang sangat aku idam-idamkan di dunia ini, dan dia takkan pernah mengetahuinya. Tapi aku berkata dalam hati bahwa dia tidak akan menganggapnya. Kalau dia tahu dia pasti akan merasa kesal dan resah. Aku ini cuma sekedar kesenangan belaka baginya, itu saja."
"Dan bayi itu?" tanya Sehun.
"Dia sangat hebat. Aku menamainya Kai. Aku harap kau bisa melihatnya sekarang. Dia sudah dua puluh lima tahun, mungkin seumuran denganmu. Dia akan menjadi dokter. Dia anak terbaik dan tersayang di dunia ini bagiku. Aku mengatakan padanya bahwa ayahnya telah meninggal sebelum dia dilahirkan."
Sehun menatap si pemilik rumah. Kisah yang aneh. Dan rasanya belum diceritakan dengan lengkap. Ia yakin masih ada lanjutannya.
"Dua puluh lima tahun adalah waktu yang lama," kata Sehun sambil merenung. "Anda tidak pernah berpikir untuk menikah lagi?"
Pria mungil itu menggeleng. Warna merah yang hangat pelan-pelan merayapi pipinya.
"Anak itu sudah cukup bagi Anda?"
Pemilik rumah itu menatap Sehun. Matanya terlihat lebih lembut dari sebelumnya.
"Benar." Gumamnya. "Aneh sekali. Kau mungkin takkan percaya, kau mungkin menganggapku salah. Aku tidak mencintai ayah Kai, tidak saat itu. Aku rasa aku bahkan tidak mengetahui bagaimana cinta itu sebenarnya. Aku menganggap anak itu akan menjadi sepertiku, mirip aku. Tapi nyatanya dia bisa dibilang seperti bukan anakku sama sekali. Dia mirip ayahnya, sangat mirip. Aku jadi belajar mengenal lelaki itu, melalui anaknya. Melalui anak itu, aku belajar mencintainya. Aku mencintainya sekarang. Kau boleh berkata bahwa ini hanyalah imajinasiku belaka, bahwa aku hanya membayang-bayangkan sebuah sosok ideal, tapi tidak. Aku pasti mengenalnya kalau aku bertemu dengannya lagi, meskipun kami sudah berpisah selama dua puluh lima tahun. Mencintainya telah membuatku menjadi seorang pria dewasa. Selama dua puluh lima tahun aku hidup dengan mencintainya. Dan aku akan terus mencintainya sampai mati."
Pemilik rumah itu berhenti dengan tiba-tiba dan menantang pendengarnya. "Menurutmu, apakah aku sudah gila mengatakan hal-hal itu?"
"Tidak, tidak." Sehun menggeleng dengan cepat menggenggam tangan pria mungil itu lagi.
"Jadi kau mengerti?"
"Kurasa, ya. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu bukan? Sesuatu yang belum Anda ceritakan padaku?"
Pemilik rumah itu mengerutkan dahi. "Ya, ada sesuatu. Kau pintar sekali bisa menebaknya. Aku langsung tahu bahwa orang tidak bisa menyembunyikan sesuatu darimu. Tapi aku tidak mau menceritakannya padamu, dan alasannya karena ini adalah yang terbaik bagimu."
Sehun menatap si pemilik rumah. Pria mungil itu membalas tatapan Sehun dengan berani dan teguh. Sehun berkata dalam hati. 'Ini suatu ujian. Semua petunjuk sudah ada di tanganku. Aku mestinya tahu. Kalau aku menganalisisnya dengan tepat aku pasti tahu.'
Hening sebentar, kemudian Sehun berkata pelan. "Ada yang tidak beres bukan?" ia melihat kelopak mata pemilik rumah itu bergetar sekilas dan ia tahu ia berada pada jalur yang benar. "Ada sesuatu yang tidak beres, tiba-tiba, setelah bertahun-tahun ini." ia merasa seperti sedang berusaha meraih sesuatu, dari dasar hati pria mungil itu, tempat si pria mungil berusaha menyembunyikan sebuah rahasia dari dirinya. "Anak itu pasti ada kaitannya, Anda pasti takkan mempermasalahkan yang lain-lainnya kecuali anak Anda."
Sehun mendengar napas pemilik rumah itu tersendat pelan dan tahu tebakannya benar. Tindakan yang jahat, tapi perlu. Ini soal keteguhan hati. Pria mungil itu memiliki keteguhan yang kuat dan keras, tapi Sehun juga memilikinya.
"Anda berkata lebih baik kalau aku tidak tahu. Lebih baik untukku. Sikap Anda tidaklah adil. Anda bukannya mau membuatku merasa tidak enak hati. Masalahnya lebih dari itu bukan? Aku merasa Anda telah menjadikanku kaki-tangan Anda. Seperti misalnya, suatu tindak kejahatan, dengan menjebakku. Hebat! Aku tidak mau terlibat kejahatan apa pun dengan Anda. Kecuali satu jenis kejahatan saja. Kejahatan yang berkaitan dengan diri Anda sendiri."
Tanpa sadar pemilik rumah itu mengatupkan kelopak matanya. Sehun mencondongkan badannya ke depan dan memegang pergelangan tangan pria mungil itu.
"Ternyata itu rahasianya! Anda berencana untuk bunuh diri."
Pemilik rumah itu berteriak kecil. "Bagaimana kau tahu? Bagaimana?"
"Tapi kenapa? Anda tidak terlihat bosan hidup. Aku tidak melihat kebosanan pada diri Anda."
Pemilik rumah itu berdiri, berjalan menuju jendela sambil mengibaskan rambutnya yang hitam.
"Karena kau telah menebaknya, lebih baik aku berterus terang. Aku seharusnya tidak mengundangmu masuk sore ini. Aku mestinya tahu kau akan menebak rencanaku. Kau benar tentang alasannya. Memang anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Tapi terakhir kali dia pulang, lima tahun lalu, dia bercerita tentang kisah tragis temannya—bahwa temannya anak haram—dan aku jadi tahu sesuatu. Kalau dia tahu dia anak haram, dia pasti hancur. Dia pemuda yang percaya diri sekali, dan dia juga sangat mempercayai kata-kataku. Aku tidak ingin dia menemukan aku berbohong. Lalu dia berbicara tentang seorang pemuda yang dia temui, dia menyukai pemuda itu. Aku langsung bisa merasakan kalau dia ingin menikah. Dia lalu bertanya tentang ayahnya, tapi tidak sempat kujawab karena dia harus segera kembali pada pekerjaannya. Dia akan mendengarkan cerita tentang ayahnya nanti jika dia pulang."
"Kalau dia tahu yang sebenarnya, dia pasti akan memutuskan hubungan dengan pemuda itu, menutup diri, dan tidak ingin kembali lagi padaku. Hatinya akan terluka. Tapi misalnya, sebelum dia datang kemari, terjadi suatu kecelakaan, semua orang akan berduka untukku. Dia akan memeriksa surat-suratku, namun tidak menemukan apa-apa. Jadi dia tidak akan mencurigai kebenarannya. Ini cara terbaik. Kita memang harus berkorban demi kebahagiaan, dan aku sudah mendapatkan begitu banyak kebahagiaan. Dan sesungguhnya harga yang harus aku tebus tidaklah sulit. Hanya sedikit keberanian untuk melompat—dari tebing—, mungkin aku hanya sempat merasakan sakit sedikit saja."
"Tapi..."
"Jangan menasihatiku." Pemilik rumah itu menatap tegas pada Sehun. "Aku tidak mau mendengarnya. Hidupku adalah milikku sendiri. Sampai sekarang aku memang masih memerlukannya demi Kai, tapi dia sudah tidak membutuhkanku lagi sekarang. Dia butuh pasangannya, pemuda itu. Dia akan berpaling pada pemuda itu dengan senang hati kalau aku tidak ada—tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan dengannya—. Hidupku sudah tidak berguna, tapi kematianku akan berguna. Dan aku berhak memperlakukan hidupku sesuka hati."
"Apa Anda yakin?" nada suara Sehun yang terkesan tidak sabar membuat pemilik rumah itu heran. Pria mungil itu menyahut dengan sedikit terbata-bata.
"Kalau hidupku memang sudah tidak berguna bagi siapa pun, tentunya aku paling tahu tentang hal itu..."
Sehun menyelanya lagi. "Tidak mesti begitu."
"Apa maksudmu?"
"Dengarkan. Aku akan mengemukakan suatu kasus pada Anda. Seorang pria datang ke suatu tempat tertentu, katakanlah untuk bunuh diri... tapi secara kebetulan dia bertemu seseorang disana, jadi dia gagal melaksanakan niatnya dan pergi. Besoknya, dia berniat untuk bunuh diri lagi tapi dia bertemu lagi dengan seseorang yang lain. Orang kedua itu telah menyelamatkan hidup pria itu, bukan karena dia merasa perlu atau penting untuk melakukannya, tapi hanya karena dia ada disana pada suatu tempat tertentu dan pada saat tertentu pula. Anda bisa bunuh diri hari ini, tapi misalkan lima, enam, atau tujuh tahun kemudian, seseorang harus meninggal atau mengalami kecelakaan gara-gara Anda tidak ada disana pada suatu tempat tertentu... mungkin ada seekor kuda yang lari kencang di jalanan, yang kemudian berbelok karena melihat Anda, sehingga tidak jadi menabrak seorang anak kecil yang waktu itu sedang bermain-main di tepi jalan. Anak itu mungkin akan tumbuh menjadi seorang penyanyi terkenal, atau menemukan obat untuk penyakit kanker. Atau mungkin tidak sedramatis itu. Anak itu mungkin tumbuh dan mengalami kebahagiaan sehari-hari..."
Pemilik rumah itu menatapnya. "Kau orang yang aneh. Kata-katamu tadi, aku tak pernah memikirkannya."
"Anda berkata bahwa hidup Anda adalah milik Anda seorang," lanjut Sehun. "Tapi beranikah Anda menyangkal kenyataan bahwa Anda adalah bagian dari suatu drama besar yang disutradarai oleh Tuhan Yang Mahakuasa? Peran bagi Anda mungkin baru akan muncul pada babak akhir drama itu, mungkin hanya peran sepele, tapi peran Anda itu mungkin adalah bagian penting dalam drama tersebut, karena Anda harus memberi tanda bagi pemain lainnya. Seluruh drama itu bisa hancur berantakan. Anda sebagai orang pada suatu tempat tertentu mungkin sangat besar artinya."
Pemilik rumah itu duduk, masih terus menatap.
"Menurutmu aku harus bagaimana?" tanyanya.
Ini adalah saat yang tepat bagi Sehun memberikan saran. "Aku ingin Anda berjanji padaku, jangan mengambil tindakan gegabah dalam 24 jam ini."
Pemilik rumah itu terdiam sejenak, kemudian berkata. "Aku janji."
"Ada satu hal lagi, aku butuh pertolongan."
"Ya?"
"Biarkan tirai jendela ruangan yang aku masuki tadi tetap terbuka, dan berjaga-jagalah disana."
Pemilik rumah itu menatapnya heran, tapi kemudian mengangguk tanpa bertanya.
"Dan sekarang," kata Sehun. Sedikit menghela napas lega. "Aku harus pamit. Tuhan memberkati Anda."
Sehun keluar dengan tersenyum. Gadis pelayan Jepang berperawakan besar itu mengantarnya keluar dan membukakan pintu untuknya, sambil terus menatapnya heran.
Hari sudah menjelang gelap ketika Sehun sampai di hotel. Ia melihat sebuah sosok sedang duduk sendirian di teras. Sehun langsung mendekatinya. Ia merasa tegang dan jantungnya berdegub kencang. Ia tahu suatu persoalan besar sekarang terletak dalam genggaman tangannya. Salah langkah sekali saja...
Tapi ia berusaha menyembunyikan ketegangannya dan berbicara dengan santai dan wajar pada Park Chanyeol.
"Sore yang hangat bukan?" sapanya. "Aku sampai lupa waktu, duduk terus di puncak tebing itu."
"Apa kau disana terus sepanjang waktu?"
Sehun mengangguk. Pintu putar hotel itu terbuka karena ada orang yang hendak masuk, secercah sinar jatuh menimpa Park Chanyeol, menerangi wajahnya yang tampak kusam, merana, dan jemu.
Sehun berpikir dalam diam, 'Ini lebih buruk baginya ketimbang bagiku. Bayangan, perkiraan, dugaan, semuanya bisa berguna. Kita bisa melipur penderitaan. Tapi penderitaan seekor binatang yang tak bisa memahami apa pun, itu buruk sekali.'
Pria itu tiba-tiba berkata padanya dengan suara serak. "Aku akan berjalan-jalan setelah makan malam. Kau... kau mengerti kan? Yang ketiga kalinya biasanya menguntungkan. Demi Tuhan, jangan ikut campur. Aku tahu kau bermaksud baik, tapi jangan lakukan itu terhadapku. Tidak ada gunanya."
Sehun menegakkan badan.
"Aku tidak pernah ikut campur." katanya, sudah jelas itu suatu kebohongan.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan..." pria itu melanjutkan, tapi Sehun menyelanya.
"Anda harus memaafkanku, tapi aku tidak sependapat dengan Anda," katanya. "Tak seorang pun tahu apa yang dipikirkan orang lain. Kita mungkin mengira begitu, tapi seringkali kita salah."
"Yah, mungkin saja." Pria itu tampak ragu, agak terkejut menemukan kebenaran dalam kata-katanya.
"Pikiran hanya menjadi milik orang yang bersangkutan," kata Sehun. "Tak seorang pun bisa mengubah atau mempengaruhinya kecuali Anda sendiri. Ayo kita bicarakan topik lain yang lebih menyenangkan. Misalnya, rumah putih kuno itu. Indah, tertutup, terkucil dari dunia luar, seolah-olah mengandung misteri. Aku jadi tergoda untuk melakukan sesuatu. Tadi aku mencoba membuka salah satu sebuah tirai jendela."
"Oh ya?" pria itu memalingkan wajahnya dengan tajam. "Tapi tertutup kan?"
"Tidak," sahut Sehun. "Jendela itu terbuka." Ia menambahkan dengan pelan. "Jendela ketiga dari ujung."
"Astaga," teriak pria itu. "Itu kan jendela..."
Pria itu berhenti dengan tiba-tiba, tapi Sehun telah melihat cahaya yang memancar dari matanya.
Sehun bangkit dengan puas. Sedikit rasa cemas masih menghantui dirinya. Tapi dengan menggunakan kiasan favoritnya untuk drama, ia berharap telah mengucapkan kata-katanya dengan tepat, karena kata-kata itu penting sekali artinya.
Ketika Park Chanyeol mendaki tebing itu, pria itu pasti akan mencoba membuka tirai jendela tersebut. Naluri manusianya pasti tergoda. Sebuah kenangan dua puluh lima tahun lalu telah membawanya ke tempat ini, kenangan yang sama akan membawanya pada tirai jendela itu. Dan setelahnya?
"Aku akan tahu besok." Gumam Sehun.
Baru sekitar pukul sepuluh pagi keesokan harinya Sehun melangkahkan kaki sekali lagi ke dalam kebun di Amami. Sambil tersenyum Chen menyapanya, "Selamat pagi." Dan memberinya setangkai mawar yang dengan hati-hati diselipkan oleh Sehun pada saku jaketnya. Kemudian ia berjalan menuju rumah itu. Ia berdiri disana selama beberapa menit, memandang dinding-dinding putih yang tenang itu, tanaman yang merambat, dan tirai biru yang pudar tersebut. Begitu tenang, begitu damai. Apakah segalanya hanya mimpi belaka?
Tapi tepat saat itu salah sebuah jendela terbuka dan pria mungil yang menghantui pikiran Sehun menghambur keluar. Pria mungil itu langsung menghampirinya dengan berlari girang, bagaikan orang yang hendak menyampaikan berita gembira. Matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Dia tampak seperti lukisan yang ceria. Tak ada raut kesedihan lagi dalam wajahnya, tak ada kecemasan atau kepedihan. Dia langsung menghampiri Sehun, memeluknya erat sekali.
"Aku sangat bahagia," kata pria mungil itu. "Kau benar-benar baik! Bagaimana kau tahu? Bagaimana kau bisa tahu? Kau seperti peri yang baik dalam dongeng-dongeng." Dia berhenti, agak terengah-engah karena terlalu bersemangat. "Hari ini kami akan pergi, ke catatan sipil, untuk menikah. Kalau Kai datang nanti, ayahnya akan ada disini. Kami akan bercerita padanya tentang kesalahpahaman dimasa lalu. Oh. Dia takkan bertanya apa-apa. Aku bahagia sekali. Aku bahagia sekali. Aku bahagia sekali."
Kebahagiaan memang memancar dari dirinya, seperti sinar. Sehun pun turut merasakannya.
"Chanyeol senang sekali mengetahui dia punya anak lelaki. Aku tak pernah membayangkan dia akan menerimanya." Pria mungil itu menatap mata Sehun. "Aneh bukan, betapa semuanya berakhir dengan benar dan indah?"
Sehun bisa melihatnya dengan jelas. Seorang anak, dengan khayalannya yang indah dan kisah dongengnya yang berakhir dengan 'dan mereka hidup bahagia selama-lamanya'. Itulah bagaimana ia melihat pria mungil itu.
Sehun berkata pelan. "Kalau Anda memberikan kebahagiaan untuknya dalam beberapa bulan ini, Anda sudah pasti telah melakukan sesuatu yang berguna—indah—sekali."
Pria mungil itu terkejut. "Oh." Katanya. "Kau tidak berpikir aku akan membiarkannya meninggal kan? Setelah bertahun-tahun ini, dan sekarang dia sudah disampingku. Aku mengenal banyak orang yang kata dokter sudah tidak berpengharapan lagi, tapi nyatanya masih hidup sampai hari ini. Meninggal? Tentu saja dia takkan meninggal!"
Dia memandang Sehun dengan penuh keyakinan dan semangat. Sehun sendiri tahu dokter bisa saja salah. Faktor kepribadian itu, kita takkan pernah bisa mengetahuinya dengan baik.
Pria mungil itu berkata lagi dengan geli. "Kau tidak berpikir aku akan membiarkannya meninggal kan?"
"Tidak," sahut Sehun tersenyum. "Entah kenapa, aku tidak berpikir begitu."
Akhirnya Sehun menyusuri jalan setapak berpagarkan pohon-pohon cemara itu, menuju bangku yang menghadap ke laut dan menemukan orang yang diharap-harapkannya disana. Kai tersenyum hangat selagi ia menghampiri lelaki itu. Sehun bisa melihat banyak sekali emosi di matanya. Dia masih sama, seperti lima tahun yang lalu.
Lelaki itu langsung menarik Sehun ke dalam ciuman yang panjang dan dalam. Sehun rasa-rasanya langsung bisa tahu apa yang dirasakan lelaki itu lewat ciumannya. Kai menarik diri, memeluk Sehun sebagai gantinya.
"Jangan pergi lagi."
Sehun tersenyum selagi menggeleng. "Disini bukan tempatku."
Kai tidak mendengarkan. "Aku sepenuhnya tinggal di Korea sekarang. Aku menjadi dokter."
"Itu bagus." Sehun memeluknya sekali lagi. "Aku akan mengambil cuti untukmu."
Sehun hanya ingin menemukan satu saja alasan yang membuatnya ingin meneruskan hidup. Ia ingin berhenti menjalani hidup yang membosankan. Ia ingin bahagia juga. Dan mungkin... memiliki beberapa anak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
The End.
.
.
.
.
.
Jadi, ya. Pria mungil yang menjadi pasangan Chanyeol adalah Byun Baekhyun. Sengaja tidak menyebut nama karena di novel aslinya juga begitu. Dan tidak lupa saya menyebutkan judul asli novel karangan Agatha Christie ini. Well, ada yang sudah tahu? Ada yang ingat? Jadi judulnya adalah Laki-laki Dari Laut dalam novel Mr. Quin Yang Misterius atau The Mysterious Mr. Quin.
Saya tertarik me-remake cerita Agatha Christie ini karena cerita pasangan Chanyeol-Baekhyun membuat saya terkejut. Dalam novel asli Sehun-Kai tidak ada hubungannya dengan Chanyeol-Baekhyun, saya me-remake dibagian itu. Dan tentu saja, nama tokoh, negara, pulau, warna tirai, pohon, juga kimono saya remake juga.
Cerita ini satu-satunya cerita romantis dalam 14 buku milik Agatha Christie yang pernah saya baca. Agatha Christie itu penulis cerita detektif-misteri-pembunuhan, di dalam novelnya jarang—bahkan nol—ada yang romantis-romantis. Jadi saya makin tergugah untuk me remake dan mengabadikan cerita ini dalam versi KaiHun dan ChanBaek.
Semoga kalian dapat merasakan feelnya pada pasangan yang saya buat. Dan terhibur.
Terima kasih~
Bye bye~
[Ori, 18 Maret 2018]
