A little Gift
Touken Ranbu © DMM dan Nitro+
Story © Ame-no-Hime02, 1984 words.
I will use Ichigo's POV here!
.
.
Aku tidak mengerti, sungguh. Perilaku touken danshi di sini sepertinya berubah belakangan ini. Apa hanya perasaanku saja? Seperti.. Tsurumaru-dono biasanya usil sekali padaku. Namun tiga atau empat hari belakangan, dia malah terkesan menghindar jika kupanggil. Lalu, biasanya Honebami, Nakigitsune dan Namazuo selalu jadi anak yang manis. Sama seperti adik-adik tantou-ku. Mereka biasanya menuruti apa yang kuminta. Membantuku merawat kuda, mengerjakan pekerjaan ladang, ataupun sparring. Well—kadang Namazuo bandel sih, ia malah bermain-main pada saat mengerjakan tugasnya.
Tapi beberapa hari ini, mereka sangat-sangat tidak kooperatif. Maksudku, ketika kuminta salah satu dari mereka untuk membantuku, jawabannya hanya, "Maaf Ichi-nii, aku sedang mengerjakan yang lain," atau "Aku sedang tidak tidak dalam mood untuk mengerjakan hal itu." Mungkin aku memang harus berbicara pada aruji-dono mengenai hal ini.
.
.
"Aruji-dono?" aku mengetuk pintu kamarnya.
"Ah, Ichigo. Masuklah," ucapnya dari dalam, "Ada apa?" lanjutnya.
"Etoo... Aku merasa kalau tiga-empat hari ini, sikap beberapa adikku agak berubah," aku memulai pembicaraan dengan mengutarakan hal yang belakangan mengganggu pikiranku. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba memandang sekeliling kamar. Aku tidak menemukan apapun untuk mengurangi rasa yang mengganggu ini
"Siapa saja yang kau maksud?" tanyanya lalu membalikkan badan, menghadapku.
"Namazuo. Honemabi. Dan Nakigitsune. Oh iya, bahkan Tsurumaru-dono juga begitu," jawabku.
Aruji-dono menghela nafas, lalu menggeleng halus. Sorot matanya memang bersimpati, tetapi aku tidak yakin aku akan mendapatkan solusi. "Sejujurnya aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin mereka sedang ada masalah. Atau ada hal-hal lain yang membuat mereka jadi bersikap berbeda dari biasanya."
"Aku merasa mereka seperti merahasiakan sesuatu dariku. Tidak biasanya hal ini terjadi." Keluhku.
"Well, tidak selamanya kita bisa menceritakan segala sesuatunya pada orang lain, 'kan? Termasuk pada kakak sendiri. Percayalah, hal ini tidak akan berlangsung lama," Ia mengangkat bahunya sambil tersenyum.
Aku hanya menganggukan kepalaku pelan. "Terima kasih, Aruji-dono."
Senyumnya mengembang lagi. "Oh iya, tolong beritahukan Kashuu dan Yasusada untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum matahari terbenam dan memberikannya padaku."
Aku mengangguk lagi. Dia menepuk bahuku. Aku bisa sedikit lebih tenang ketika melihat sorot matanya. Mungkin tak ada yang salah, mungkin hanya perasaanku saja—sepertinya Aruji ingin bilang itu padaku. Aku meninggalkannya dengan bahu yang terasa lebih ringan.
.
.
"….. Kau sudah menyiapkan bahan-bahannya, 'kan?" Aku mendengar suara Namazuo di ujung koridor, sepertinya ia sedang berbicara pada seseorang.
"Sudah, kue akan dibuat dua jam sebelum tengah malam nanti dan semuanya akan beres. Jangan sampai orang yang dimaksud tahu rencana ini sebelum waktunya."
Sepertinya aku mengenal suara itu. Mitsutada-dono?
"Namazuo, di sini kau rupanya. Aku ingin memintamu untuk membantuku mengerjakan laporan ekspedisi dan frontlines bulan lalu." Aku mendekati mereka, berjalan sedikit lebih cepat lagi.
Namazuo menoleh dan memandangku seolah aku adalah seorang hantu. Ia nyaris terjerembab saat berkata dengan terburu-buru padaku,"O—oh Ichi-nii.. Maaf tapi aku mau menemui Honebami dulu! Aku akan membantumu setelah urusanku selesai." Dia lalu berlari menjauh, terlalu terburu-buru untuk hal yang biasa. Mana mungkin Honebami akan memarahinya hanya karena ini? Aku menghela nafas. Lagi-lagi ia menghindariku, huh? Aku sungguh tidak mengerti dengan situasi seperti ini. Aku tidak membencinya, tapi.. memangnya siapa yang tahan dibuat penasaran begini?
"Kau sepertinya bingung sekali, Ichigo?" Mitsutada menghampiriku saat aku menghela napas panjang dan memandangi lantai. Aku hanya mendelik ke arahnya sekilas, dia kelihatan sama bersimpatinya dengan Aruji, syukurlah.
"Well—aku tidak mengerti mengapa adik-adikku yang sedang puber ini tampaknya menghindariku tiga-empat hari belakangan. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu dariku." Aku mengangkat bahu, antara kesal dan malas karena perubahan yang tiba-tiba ini.
Mitsutada hanya tertawa kecil. "Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Ketika tiba saatnya, kau juga akan tahu kok," katanya. Aku melihatnya tersenyum kecil dengan aneh setelahnya—apalagi ini?
"Kau sepertinya tahu sekali, Mitsutada-dono. Apakah kau juga terlibat dalam perubahan sikap mereka ini?" Aku tiba-tiba tersadar. Pembicaraan itu... Namazuo dengan Mitsutada, tentang bahan-bahan kue? Ada yang tidak biasa di sini.
"Apa? Apa maksudmu?" Mitsutada malah bertanya balik.
"Secara tidak sengaja aku mendengar obrolan terakhirmu dengan Namazuo. Ada apa dengan kue?"
"Ehm. Hanya sedikit bisnis pribadi dengan Namazuo, apakah aku harus memberitahukannya padamu?" Dia juga menatap balik padaku seolah bertanya, apakah-itu-penting-untuk-diceritakan? Aku ingin memijit kepalaku keras-keras saja.
"Kalau kau mau menceritakannya?"
"Tidak sekarang, Ichigo."
Aku memutar bola mata. "Baiklah kalau kau memang tidak mau menceritakannya sekarang."
Lagi-lagi aku mendapatkan teka-teki dari rekanku.
.
.
Mungkin aku bisa meminta Honebami dan Nakigitsune untuk membantuku menyelesaikan laporan ini, Aku berjalan menuju kamar mereka. Tiga adikku yang sedang puber ini— (well, 2 adik dan 1 saudara jauh) memang tidur di satu ruang yang sama. Kudengar mereka pernah meminta kamar pribadi pada Aruji-dono, tapi ia menolaknya dengan alasan tidak ada kamar lebih untuk kamar pribadi.
Sesampainya di depan kamar mereka—sepi sekali. Biasanya kamar mereka sangat ramai, berhubung Namazuo sangat usil pada Honebami, yang berujung pada pertengkaran mereka berdua, dan suara Nakigitsune yang sedang melerai. Seolah makanan sehari-hari mendapati mereka seperti itu. Terkadang berisik dan membuat pusing, memang, tetapi, itulah hal yang paling membahagikan untuk dilihat. Tanda bahwa mereka sebenarnya akur. Lucu sekali.
"Nakigitsune, Honebami," panggilku seraya membuka pintu kamar mereka.
Dan aku melihat pemandangan yang jarang sekali aku lihat. Honebami, Nakigitsune, bahkan Namazuo sedang duduk manis dan menggunting-gunting sesuatu. Kertas warna-warni bertebaran dimana-mana. Lem dan cutter juga bertebaran. Berantakan sekali. Ada apa lagi ini?
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa kamar kalian berantakan sekali?" Mereka bertiga terlihat sedikit terkejut.
"I—Ichi-nii? Ada apa?" Namazuo spontan membereskan apa yang sedang ia kerjakan. Nakigitsune dan Honebami juga melakukan hal serupa. Membereskan secara serampangan apa yang sedang mereka kerjakan. Seperti anak TK yang kedapatan melakukan kesalahan oleh guru mereka.
"Laporan, anak-anak. Bisakah kalian membantuku—" aku berjalan mendekati mereka. "Dan apa-apaan ini. Siapa yang ulang tahun?" kutunjuk karya-karya setengah jadi milik mereka.
"Ehm. Hanya hiasan semata kok, Ichi-nii. Siapa tahu bisa dipakai di kemudian hari. Ngomong-ngomong, berapa banyak laporan yang bisa kubantu?" tanya Honebami.
Aku menyerahkan tumpukan kertas setebal 30 sentimeter.
"Sedikit saja ya," tawar Honebami. "Ya?" ulangnya, sedikit mengiba. Ekspresi yang jarang kulihat dari seorang Honebami..
Nakigitsune diam saja namun ia hanya mengambil sedikit dari tumpukan yang kusodorkan. Tidak lebih banyak dari yang diambil oleh Honebami.
Aku hanya bisa menghela nafas. Paling tidak mereka mau membantu. Itu pun syukur, sepertinya, jika melihat sibuknya mereka di pekerjaan aneh ini.
"Kau, Namazuo?" ucapku sambil menyodorkan tumpukan kertas yang tersisa.
"Huuu, Ichi-nii tidak seru!" Namazuo cemberut.
"Ini 'kan tidak sering, lagipula kau juga sedang tidak sibuk, 'kan?" ucapku sambil tersenyum.
"Tidak sering sih, tapi rutin," keluhnya, membuatku ingin tertaawa.
.
.
Rupanya menyelesaikan laporan itu tidak semudah yang kupikirkan. Aku berasumsi laporan yang diberikan oleh Aruji-dono akan selesai sebelum pukul 10 malam. Namun pada kenyataannya—sudah sedikit lagi tengah malam dan tumpukan kertas ini tak kunjung menipis. Adik-adikku sudah memberikan apa yang mereka selesaikan, tapi mereka tidak mau membantuku lebih dari itu. Aku hampir saja tertidur ketika aku mendengar pintu ruang kerjaku dibuka dengan cepat—tanpa ketukan sama sekali. Kontan aku menoleh dan berkata, "Ketuk pintunya terlebih dahulu. Kau hampir saja membuatku jantungan."
"Ichi-nii! Honebami dan Nakigitsune jatuh dari tangga! Tolong bantu aku—" ucap Namazuo panik.
"HAH, bagaimana bisa?" aku melompat bangun.
"Akan kujelaskan nanti, ikut aku ke kamar, kumohon," katanya lagi, panik, membuatku ikut-ikutan gugup dan bangkit berdiri menyusulnya dengan terburu-buru.
Rasanya aku tidak mendengar suara benda jatuh tadi. Apa aku yang terlalu serius bekerja? Sudahlah, itu tidak penting sekarang. Dan aku bergegas untuk mengikuti Namazuo ke kamar tidur mereka.
.
.
Aku membuka pintu kamar mereka dengan cepat hingga pintu berdebam keras. Tapi, yang kutemukan di sana berbeda dari apa yang kubayangkan. Bukan wajah-wajah panik seperti yang ditampilkan oleh Namazuo tadi. Yang ada, malah ruangan kamar itu dihias sedemikian rupa. Seperti akan mengadakan pesta kecil-kecilan. Well, mungkin memang ada yang merencanakan pesta?
"Otanjoubi omedetto, Ichi-nii!" ucap para tantou berhamburan dan menubrukku untuk pelukan keras. Kulihat Namazuo dan Honebami menyebar confetti ke arahku.
"A—ada apa ini? Honebami, Nakigitsune, kalian tidak apa-apa? Namazuo, apa maksudmu?" aku heran. Dan panik.
"Ehm. Seperti yang kau lihat, Ichi-nii, kami tidak apa-apa," jawab Honebami menyunggingkan senyum tipisnya. Nakigitsune hanya mengangguk, sepertinya ia juga tersenyum tipis dibalik maskernya.
"Ehehehe, maafkan aku kalau bohongku terlalu berlebihan, Ichi-nii. Ide itu datang dari Tsurumaru," jawab Namazuo lalu melemparkan pandangannya ke arah Tsurumaru sambil mengedikkan dagu
Tsurumaru hanya cengengesan dan aku hanya bisa menatapnya dengan sedikit tajam.
"Dari mana kalian tau kalo hari ini- tanggal ini tepatnya, adalah hari ulang tahunku? Aku bahkan tidak tahu..."
Adik-adikku dan beberapa touken danshi menolehkan pandangannya kepada Aruji-dono.
"Aruji-dono? Jadi kau sebenarnya tau akan hal ini?" tanyaku cepat.
"Kurang lebih, ya, aku tahu. Tapi aku hanya memberitahukan tanggalnya, selebihnya urusan adik-adik remajamu itu," jawabnya sambil menyunggingkan senyum khasnya.
"O—Oh," Aku cemberut.
"Ichi-nii, jangan cemberut begitu. Kita tidak bermaksud untuk membuatmu bingung ataupun terkejut. Sekarang ayo tiup lilinnya!" ucap Namazuo seraya menyodorkan kue yang dipegangnya lengkap dengan beberapa lilin yang menyala terang.
"Ucapkan keinginanmu dalam hati, Ichi-nii. Aruji bilang, katanya keinginanmu akan terkabul jika mengucapkannya saat kau meniup lilin di hari ulang tahunmu," saran Honebami dengan.. Suara khas-nya yang datar.
Aku tidak bisa berkata-kata dan memandang Aruji-dono sekilas. Ia hanya mengangguk dan melakukan apa yang diminta oleh Honebami dan Namazuo.
"Berhubung lilinnya sudah ditiup—" Tsurumaru-dono menggantungkan kalimatnya. Ia mengambil secuil krim yang ada pada kue di hadapanku dan dengan cepat mengoleskannya pada pipiku. "Selamat ulang tahun, kakak idaman!" lanjutnya sambil tersenyum lebar. Sifat usilnya kembali lagi.
"Tsurumaru-dono, tolonglah—" responku sedikit terlambat karena terkejut.
"Ichi-nii, maaf kalau beberapa hari ini kami terkesan menghindar," ucap Nakigitsune seraya memberikan pelukannya, yang kemudian diikuti oleh pelukan dari Honebami. Jarang-jarang adikku yang satu ini berbicara satu kalimat, biasanya hanya sepatah dua patah kata. Apalagi memelukku. Aku menjadi benar-benar tersentuh.
"E...Etto.. Terima kasih. Terima kasih karena sudah bersusah payah seperti ini," aku benar-benar terharu, lalu balik memeluk mereka. "Dan terima kasih atas perlakuan kalian yang aneh beberapa hari belakangan," lanjutku, sambil mengulum senyum
Suasana kamar itu hening sesaat.
"Ngomong-ngomong Ichi-nii, aku mau kue-nya," Akita memecah keheningan.
"Eh... Iya. Semoga kue ini cukup untuk kita semua," kupandangi bergantian wajah mereka dan kue ini.
"Aku bikin beberapa kok, nanti akan kuambil di dapur kalau kurang," kata Mitsutada.
"Rupanya ini yang kau bicarakan tadi siang dengan Namazuo, Mitsutada-dono," kataku lalu menoleh kearahnya.
"Hn, pada akhirnya kau tahu kan urusan kecilku dengan adikmu itu," jawabnya sambil tersenyum.
.
.
Aku terbangun karena sinar matahari yang masuk ke kamarku dan melirik jam yang ada di dekatku. 11:50 AM. Aku terkejut. Sudah mendekati tengah hari, tapi kenapa tidak ada yang membangunkanku?
"Oh, Ichi-nii. Sudah bangun, rupanya," aku mendengar suara Honebami. Ternyata ada Honebami dan Nakigitsune di sini.
"Kalau kalian disini, kenapa kalian tidak membangunkanku?" tanyaku.
"Jarang-jarang kau mendapat waktu untuk tidur sampai siang kan, Ichi-nii?" Honebami balik bertanya.
"Bagaimana dengan adik-adik kita? Apa mereka sudah sarapan?" aku bertanya lagi dengan cepat.
"Kau ini kebiasaan banget ya, Ichi-nii. Sudah kok. Atsushi dan Maeda ikut dengan Mune-jiji untuk ekspedisi. Dan tadi kami melihat Midare membantu Urashima di kandang kuda," kali ini Nakigitsune yang menjawab—lebih tepatnya, rubahnya yang menjawab.
"Oh iya, laporannya sudah selesai dikerjakan," sambung Honebami.
"Eh?" aku menoleh ke tumpukan kertas yang seharusnya belum selesai itu. Aku memang berniat untuk menyelesaikannya setelah tidur, karena aku lelah sekali semalam.
"Kau tidur seperti mati, Ichi-nii. Bahkan kau tidak sadar semalam kami keluar masuk kamarmu untuk membereskan laporan laknat itu," ucap Namazuo yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamarku.
Aku hanya tersenyum kecut. Tidak biasanya aku tidak menyadari ada yang keluar masuk kamarku. "Well, terima kasih atas bantuannya menyelesaikan laporan-laporan itu."
Dan kulihat sekilas sepertinya mereka tersenyum puas.
"Kau harusnya bangga punya adik yang bisa kau andalkan seperti kami, Ichi-nii!" kata Namazuo sambil menepuk dadanya.
Aku melemparkan bantalku ke wajahnya dan kena telak.
"Hmmph—" Namazuo sepertinya ingin mengatakan sesuatu lagi tapi tidak jadi karena sudah menjadi target dari bantal lemparanku. Kami hanya tertawa melihatnya.
Aku bersyukur punya saudara seperti mereka. Yang ide-nya sering out of the box, yang selalu dapat diandalkan, walaupun terkadang perilaku mereka berlebihan. Dan, ya, kalau boleh mengakui, kejutan kecil dari mereka ini sudah merupakan kado yang menyenangkan untukku.
.
.
Extended:
Kau tahu apa yang kuucapkan dalam hati saat meniup lilin yang ada di kue itu? 1 hal simple: Semoga mereka selalu akur seperti ini.
