Halo. Abaikan saya. Ketika lagi grasak-grusuk folder, saya ketemu fic ini dan perasaan dulu ini udah pernah saya upload, tapi.. kehapus? kok? yasudah, upload lagi saja daripada berlumut di folder-folder. Mohon maaf segala typo, gaje, garing, lebay, sinetron dan maksa, ini sama sekali ga saya edit lagi langsung upload aja, saya juga gatau ini dulu gimana bikinnnya, tapi saya cinta sasodei. sasodei selamanya (wat)
'Brrruuuuumm'
Aku menoleh dari komputerku. Suara mobil, siapa itu? Karena penasaran, akupun beranjak keluar dari kamarku sambil membawa donatku. Oh, aku tinggal di kos-kosan. Kamarku di lantai 2, karena itu aku tidak perlu repot-repot turun untuk melihat siapa yang datang, aku hanya perlu ke balkon.
'Oh. Kayaknya itu anak baru.' Pikirku. Mobil itu adalah mobil pengangkut barang, para petugasnya kelihatan sibuk menurunkan barang. Aku memerhatikan dengan tatapan bosan, hingga perhatianku terhenti ke seseorang.
Ya, orang yang berambut kuning menyala dan panjang. Badan yang ramping dan ideal, serta senyum yang sangat indah. Bahkan dari kejauhan pun, aku bisa melihat matanya yang berwarna biru langit. Dia kelihatan sibuk menginstruksikan para petugas untuk memindahkan barang-barangnya. Bahkan wajah sibuknya pun kelihatan….manis?
Aku mengarahkan donatku ke arahnya dan memusatkan dia di bolongan donat yang kupegang. Aku terdiam beberapa saat seperti itu, sampai akhirnya aku merasa aneh dengan diriku sendiri dan memutuskan untuk kembali ke kamarku.
'Apa-apaan aku ini? Aneh sekali.'
Aku memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan hal itu dan kembali melanjutkan perkerjaanku di komputer. Kira-kira waktu berlalu selama 1 jam, dan terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku bangun dengan malas, dan membuka pintuku.
"Ya, ada apa—" Kata-kataku terhenti mendadak ketika melihat siapa yang berada di depanku.
Orang yang tadi kulihat, maksudku orang pindahan tadi, masih dengan senyumnya yang... indah di hadapanku (dan kelihatan agak nervous?) berdiri di depanku sambil membawa sekotak donat.
Hening beberapa saat. Aku yang masih terpelongo dengan dia, dan dia yang masih kelihatan nervous karena melihatku terpelongo.
"A-ano,," ucapnya. 'Ohhh. Cowok.' wajahku mungkin kelihatan datar, tapi pikiranku sebenarnya sudah jumpalitan. Jangan bilang aku lebay! Ga akan ada yang tahu kalo orang semanis dirinya ini cowok kalo belum bicara langsung dengannya! Eh- kenapa barusan aku lagi-lagi berpikir dia manis? Sudah berapa kali aku berpikir begitu!?
"Aku Deidara, mulai hari ini aku tinggal disini juga,, un. I-ini donat sebagai salam perkenalan, m-mohon bantuannya!" katanya sebelum menjerumuskan kotak donat yang malang itu ke tanganku dan berlari pergi. Aku yang tadinya masih sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya cengo di depan pintu kamarku dengan sekotak donat di tanganku.
Setelah membuat otakku kembali berfungsi lagi, aku beranjak masuk dan menutup pintu kamarku.
'Ah. Aku bahkan belum bilang terima kasih… lagian dia sudah lari duluan. Tapi dia kan tinggal disini, aku bisa kapan saja ketemu dia kan?'
Sambil berfikir begitu, aku agak jadi sedikit.. girang sendiri. Ole, Sasori! Kemana predikat 'wajah-datar-pikiran-datar' yang selalu kau banggakan itu pergi! Masa gara-gara seorang anak pindahan yang belum kau kenal, dengan wajahnya yang manis, rambutnya yang indah dan senyumnya yang memikat bisa bikin kau-
Kau…
…..
…..
…
'Deidara namanya, ya?' Pikirnya, menepis begitu saja pikiran sebelumnya. Oh, dia benar-benar akan menghancurkan predikatnya jika si pirang-misterius itu benar-benar akan tinggal disini.
Setelah meletakkan kotak donat pemberian Deidara diatas meja, dia baru sadar kalau…
….tadi dia juga baru beli sekotak donat.
'Sial. Bisa blenger duluan. Ini sih, Hidan yang demen.' Sambil menghela nafas, dia memutuskan untuk membagi donatnya dengan yang lain.
…
Keesokan paginya, aku bersiap untuk pergi ke sekolah, tentu setelah memberi salam seperti biasa kepada anak-anak kos yang lain. Yang bikin aku heran, si pirang—(apa? Kau tahu pirang yang kumaksud.) tidak kelihatan. Apa dia sudah pergi? Dipikir-pikir, dia itu masih seumuran aku kan? Mungkin dia juga sudah ke sekolah. Hmm. Sekolah dia dimana ya?
Karena merasa kepo, aku berhenti memikirkan dia. Tak terasa aku telah mencapai depan kelasku. Aku membuka pintu dan beranjak menuju bangkuku.
"Yoo, pagi Sasori!" teriak laki-laki dengan rambut berwarna keabu-abuan dan disisir ke belakang.
"Pagi, Sasori." Ucap juga seorang laki-laki berambut hitam dan memakai masker.
Aku menganggukkan kepalaku dan duduk ke bangkuku. "Pagi Hidan, Kakuzu. Mana yang lain?" Tanyaku seraya melihat beberapa teman-teman yang biasa berkumpul tidak ada.
Hidan mengangkat bahunya. "Entah. Palingan juga ntar bel masuk pada balik. Tapi setahuku sih Itachi rapat osis."
Aku menganggukkan kepalaku dan menyalakan iPodku. Benar kata Hidan. Lama kelamaan Pein, Konan, Tobi, Zetsu, Kisame dan Itachi kembali ke kelas. Kita mengobrol seperti biasa sebentar sampai bel masuk berbunyi. Murid-murid segera bergegas kembali ke bangku masing-masing.
Tak lama kemudian Pak guru Iruka pun masuk. Kelas mengucapkan selamat pagi seperti biasanya.
"Selamat pagi, anak-anak. Kita akan segera memulai pelajaran, tapi sebelum itu ada seseorang yang ingin bapak perkenalkan. Masuklah, Nak!" Ucap Pak Iruka.
Aku yang masih dengan iPodku (karena duduk nomor dua dari belakang, jadi tidak ketahuan) dan dengan tatapan malas aku memandang ke luar jendela. Aku tidak tertarik untuk mendengar Pak Iruka.
Sampai suara yang sudah agak familiar itu terdengar olehku.
"Selamat pagi, un!"
Aku menoleh ke arahnya dengan terkaget. Yang berdiri di depan, tentu si pirang dengan senyumnya yang cemerlang.
"Aku Deidara, pindahan dari Iwagakure! Salam kenal, dan mohon bantuannya!" ucapnya dengan semangat. Kelas menjadi ramai setelah salam dari si pirang itu diberikan.
Oho. Aku masih sedikit bingung. Gimana tidak? Dia tinggal di kos-kosan yang sama denganku, satu sekolah denganku, ditambah lagi satu kelas denganku. Kalau ini kebetulan, ini aneh. Rasanya kejadian seperti ini pernah kubaca dari… komik shoujo milik Konan. Ya. Kau tahu, si pemeran utama yang suka dengan orang baru yang tinggal dekat dengannya, kemudian ternyata satu kelas dengannya. Uhuh. Sangat cliché. Cukup satu hal lagi yang membuat kejadian ini sama persis seperti di komik itu, ya tentu saja si orang baru itu diperintahkan guru untuk duduk di belakang si pemeran utama karena (entah kenapa) itulah satu-satunya bangku yang kosong. Hahaha. Sinetron sekali-
"Nah, anak-anak. Kalau mau bertanya-tanya nanti saja setelah istirahat. Deidara, kau tidak masalah kan duduk di belakang?" Tanya Pak Iruka kepada Deidara.
"Tidak, un." Dia menggeleng.
"Baguslah, kalau begitu, tempat dudukmu dibelakang Sasori. Sasori, angkat tanganmu supaya Deidara tahu tempat duduknya." Perintah pak Iruka.
-oke. Aku cabut perkataanku sebelumnya. Rasanya hidupku jadi sinetron. Entah ini kebetulan atau tidak, aku tidak tahu lagi. Ugh.
Dengan malas, aku mengangkat tanganku. Samar-samar aku melihatnya terkaget melihatku, tetapi segera kembali normal. Setelah mengangguk pada Pak Iruka, dia berjalan ke arah bangkunya.
Ketika melewatiku, dia tersenyum padaku. Oke, senyumnya manis sekali- Ole, Sasori! Bukan itu masalahnya! Karena bingung harus berbuat apa, aku hanya terdiam dan menatapnya saja. Asal kau tahu, walau aku tidak bermaksud, tapi biasanya tatapanku terlihat….. membunuh. Sial.
Herannya, dia tidak terlihat terganggu dengan hal itu. Dia duduk di bangkunya dan melewati pelajaran dengan tenang. Yah, setidaknya sampai waktu bel istirahat berbunyi dan para murid-murid yang penasaran mengerubunginya untuk menanyainya. Aku tidak tahu lagi karena aku pergi keluar kelas untuk menghindari kerubungan itu.
Akhirnya bel surga bagi para siswa-siswi (apa? Kalau kau pernah jadi pelajar, pasti tahu bel surga itu apa) berbunyi dan mereka menghembuskan nafas lega. Termasuk aku. Aku membereskan barang-barangku dan segera pergi, setelah berbicara dengan teman-temanku. Ketika sampai di gerbang sekolah, aku mendengar suara familiar itu memanggilku.
"Sasori-san!"
Aku menoleh dan mendapati si pirang itu berlari ke arahku.
"Boleh pulang bersama?" katanya, setelah berdiri di sampingku.
Aku terdiam. "Terserah." Jawabku. Dia tersenyum dan mengangguk, sebelum mengikutiku.
"Um, Sasori-san, un." Ucapnya. "Maaf kemarin aku lari begitu saja, tidak sopan sekali, un. Tapi aku punya kebiasaan begitu kalau nervous, maaf ya."
Aku mengangkat bahuku. "Enggak masalah. Makasih buat donatnya, kemarin belum sempet bilang."
Dia tersenyum lagi. "Sama-sama, un!"
Sepanjang perjalanan kita berbicara banyak hal. Seperti dia yang mengiraku anak kuliahan (memangnya tampangku setua itu?) dan kaget melihatku ada di kelas, dan aku yang mengetahui bahwa dia juga mencintai seni, walau kita sempat bertengkar tentang pendapat masing-masing. Yah, mengesampingkan soal perbedaan pendapat kita, menurutku dia sangat menarik. Agak berisik, tapi menarik. Rasanya aku bisa berbicara berapa lamapun dengannya. Tapi sayangnya, akhirnya kita sampai ke kos-kosan dan aku harus berpisah dengannya.
"Ah, sudah sampai." Ucapnya, dengan nada kecewa. "kalau begitu, sampai besok ya, sasori-san, un!" dia melambai padaku sebelum pergi. Aku melambai balik, dan berjalan menuju kamarku. Deidara benar-benar membuatku tertarik dengan dirinya. Dan aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.
