Sudah menjadi rutinitas wajib bagi kami––aku, Armin dan Mikasa––menyimak lantunan kisah-kisah dari mulut Kakek Arlert di bawah naungan helai-helai daun Linden. Kisah dongeng, kepahlawanan, pewayangan, telinga kami selalu melahapnya hingga matahari nyaris tenggelam. Siang ini, Kakek Arlert berkata akan menceritakan penggalan memorinya pada enambelas tahun ke belakang. Kami duduk melingkar, seperti biasa.
Di seberangku, Armin dengan antusiasme setinggi pohon oak di belakangku, sibuk memutar tutup botol tinta dan pena bulu burung hantu. Disebelah kiriku, syal merah kusam rajutan Ibuku tengah terpelintir ke sana kemari di sekitar leher saudari perempuanku. Sedangkan Kakek Arlert berkali-kali mengusap wajahnya yang agak berkeriput. Aku hanya termangu menatap Kakek Arlert dengan air muka tak biasanya.
Ya. Tidak biasa.
Lenyap senyum lembut bagai Rosa canina-nya, serta merta sorot teduh yang kini memancar pedih. Kerut-kerut wajahnya bertambah menjalari kening dan sudut mata. Aku berkedip karenanya.
"Ini hanyalah satu-dua penggalan perjalanan hidup dari seorang pria renta." Kakek Arlert memulai. Armin mengangguk-angguk, entah apa maksudnya.
"Enambelas tahun lalu... "
Saliva transparan seketika sulit kutelan. Firasatku mulai tak enak.
"Sejarah kelam menimpa negeri ini." Mengangkat dagu, Kakek Arlert menghela nafas panjang. Topi karung goni menutup pancaran mata beliau.
"Kalau itu, kami tahu, Kakek. Tentang empat tentara Garrison yang diculik dan berakhir penurunan paksa kepada Raja Reiss dari tahkta, bukan?" Armin menginterupsi di bagian pembuka. Secara bergilir, aku memandang kedua Arlert yang masih tersisa.
Kakek Arlert hanya menatap Armin dengan sorot mata yang tak bisa kuketahui. "Ini lebih dari itu, nak."
Bisa kulihat Armin terperangah. Jemari tanganku menggeliat gelisah. "Lalu?"
Kakek Arlert memandang Mikasa lama-lama. Kilatan aneh lagi yang kutangkap dari sorot matanya.
"Anarkisme, penjarahan, pembunuhan, kebiadaban; menjalar dari Ibu kota ke seluruh distrik bagai ladang jagung kering yang terbakar."
Armin menorehkan tinta pada buku tuanya secepat guntur, tanpa mengalihkan arah pandangnya pada Arlert senior.
"Setan-setan yang menyerupai manusia membakar hidup-hidup yang kedapatan keturunan kaum minoritas. Penjarahan di mana-mana. Ribuan wanita dicabuli, bahkan ada yang secara bergilir ... dan ditelanjangi di tengah jalan protokol. Ugh... "
Rumput yang menghitam karena tumpahan tinta Armin kami abaikan. Mikasa tetap bergeming, namun bisa kutangkap ekspresi entah-apa darinya. Buku coklat tua Armin jatuh dari pangkuan, sisa tinta pada ujung pena bulu menetes mengotori celana katunnya. Aku tersedak. Dadaku seperti tersedot dan berteleportasi entah ke dimensi mana.
"Ke-kenapa kaum minoritas?" Armin tergagap. Air mukanya tak berubah sedikitpun.
Kakek Arlert mengeratkan pejaman mata. Sulur angin nyaris menerbangkan topi karung goni. "Genosida, nak."
Bangkit berdiri, aku menuntut penjelasan, "tapi kenapa hal ini tak ada dalam modul sejarah sekolah kami?!"
Secepat cahaya Mikasa menyambar tangan kiriku. Membuang nafas panjang, aku menempelkan bokongku kembali pada karpet alam. Tak kudapat jawaban dari Kakek Arlert. Beliau meneruskan pengalamannya yang pernah memukul tangan biadab pria berumur.
Suara Kakek Arlert perlahan berdengung-dengung di dalam kepalaku. Raut wajah jelek Armin tak bisa kutangkap jelas. Yang terakhir kulihat adalah hijau daun Linden yang gugur.
.
.
Shingeki no Kyojin/Attack on Titan milik Hajime Isayama
Tidak ada keuntungan materiil yang penulis peroleh dari fanfiksi ini.
.
.
"Oi. Bangun!"
Samar-samar aku mendengar teriakkan seseora––
"Mungkin dia sudah––" Eh? Dua orang. Bukan suara Mikasa atau Armin maupun Kakek Arlert. Siapa?
"Lihat, bodoh. Kulitnya masih semulus kulit bayi. Perutnya juga naik-turun. Ia masih hidup––dan perjaka."
E-eh? Apa maksudnya? Tentu saja aku masih hidup dan––Ah! Pergi! Jangan ganggu tidurku!
"Haah~ bisa-bisanya ada orang yang tidur siangnya begitu pulas di hari seperti ini. Yah.. walaupun di bawah pohon Linden... "
Membuka mata, aku bangkit dengan air liur yang siap kusemburkan, "BERISIK! JANGAN MENGGANGG––"
"Hoo? Bangun juga kau, bocah sial."
Eh? Siapa mereka? Lelaki di sebelah kananku ini auranya terasa menyeramkan. Mata kelabu itu menusukku hingga ke tulang rusuk. Be-berhenti menatapku seperti itu!
"Hoi, Kau tidak apa-apa?"
Aku menoleh ke sisi kiri dan mendapati tatapan menyelidik dari pria berambut coklat pucat. "A-aku tidak apa-apa."
Siapa mereka? Preman kah?
"Kau kaum minoritas, 'kan? Bukannya bersembunyi, kau malah tidur siang disini. Kau benar, Levi. Ia bodoh."
"Apa-apaan kau––" tunggu kaum minoritas? Seperti ucapan Kakek––Eh? Sejak kapan halaman belakang rumah Armin jadi ditumbuhi pohon Linden dan Oak selebat ini? Bahkan rumah Armin tak terlihat di manapun!
Panik melanda. Aku kalap.
Di mana Mikasa? Di mana Armin? Di mana Kakek Arlert? Dan di mana aku?!
Dengan frustasi aku menjambaki rambutku. Arah pandang berputar-putar tak tentu arah. Sekelebat angin mataku menangkap jejak bundar tumpahan tinta di ujung tumit sepatu.
"Hei, kau kenapa?" lelaki berambut coklat pucat itu pasti menganggapku gila sekarang.
"Kurasa bocah itu mencari benda lusuh itu, Farlan."
"Ah? Kau mencari ini?" Pria––yang baru saja––kuketahui bernama Farlan, menyodorkan sebuah buku lusuh. Buku milik Armin. "Tadi kami menemukannya di dekat tumpahan tinta. Sebaiknya kau cepat bersembunyi."
"Bersembunyi? Dari siapa?"
"Bocah dungu, apa tidur siang di bawah pohon Linden membuat otak kecilmu mengalami disfungsi?"
Kaum marjinal. Bersembunyi. Mikasa. Armin. Kakek Arlert. Tumpahan tinta. Buku Armin––eh? Daun Linden?
"Kh! Farlan, kita tak punya waktu lebih untuk mengasuh bayi besar––"
"Err ano ... sekarang bulan apa, ya?"
"Mei. Tanggal sembilan. Tahun 845. Memangnya kenapa?" Jawaban Farlan membuatku merinding. Saliva sulit kutelan untuk yang kesekian kalinya. Ini mustahil kan?
"Bocah sial. Pohon Linden membuat ingatanmu lari tunggang langgang, eh? Tak perlu berputar-putar. Cepat pergi atau kurontokan gigimu. Farlan, ayo––"
"Mu-mustahil. Ini ... mustahil, 'kan? Aku––"
Tangan dan kakiku terasa dingin. Katakan ini mustahil!
"Oi, bocah––"
"––ada di ... masa lalu?"
.
.
Aku tak mendengar sepatah kata dari mereka.
.
.
TBC
