Sorot lampu terlihat membelah kegelapan salah satu ruangan dalam museum. Sesosok bayangan mengintai dalam diam, mengamati letak kamera pengintai, menunggu hilangnya berkas cahaya yang bergerak menghilang. Dalam satu gerakan cepat, cahaya blits menerangi ruang tadi. Dari balik lensa, sepasang mata ruby menatap tajam benda seni yang menempati podium utama. Sebuah cincin perak berhiaskan ukiran sayap yang siap terbang. Sayap sang malaikat yang jatuh ke bumi. The fallen angel's wings.

.

.

Feather One

Dark Night Angel

.

.

D. N. Angel © Yukiru Sugisaki

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

DNA © Aoiyuki-Bluesnow

Rate : T

Pair : Kisedai x Reader and Dark x Reader

Warn : OOC (Can't help it. Altought originally I want to make it so close to the real character), AU (It's a crossover between D. and Kurobasu, and I add some fact that not even in the manga or anime), Reader Insert (You'll be Niwa Daisuke big sis), Typo (Just in case I didn't see it), First POV (Reader POV), maybe you'll find it to be a Boring Story (Since peopel have their own favorite story)

Hope you like it.

Well, HAPPY READING ALL

.

.


Menengadah memandang birunya langit. Sudah dua jam berlalu dan hanya itu aktifitas yang kulakukan.

Terdengar bodoh?

Hm, tidak juga. Karena menatap langit kosong di tengah musim panas seperti ini ada gunanya juga. Lebih tepatnya, ada yang kutunggu untuk melintasi langit biru tanpa awan itu.

Sejenak, langit yang kulihat tertutup bayangan hitam. Ya, seseorang menutupi akses pandanganku sekarang.

"Hei, aku tak melihatmu terbang ke sini."

Jika kalian bingung dengan perkataanku barusan, maka semua akan jelas saat jati diri lawan bicaraku terungkap.

"Kau terlalu terkonsentrasi pada langit dan tak melihatku saja.", sedetik setelah suara itu terdengar, aku merasakan sapuan halus pada dahiku.

"Jangan bilang kau curi-curi kesempatan dengan menciumku.", well, sebenarnya ini kalimat tanya. Hanya saja caraku mengatakannya malah jadi mirip kalimat pernyataan.

"Duh, anak kecil sepertimu itu tak tahu definisi ciuman ya?", cibirnya sambil melepas kungkungan kedua tangannya dari mataku. Lalu dengan santainya menempatkan dirinya duduk di sebelahku, seakan itu hal yang paling wajar di seluruh dunia. "Aku jamin kau bahkan tidak pernah ciuman kan."

Masih dari posisi menengadah, kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menetralisir rasa kesal yang muncul begitu saja saat mendengar pernyataannya barusan. Kau tak akan pernah tahu. Pikirku. Perlahan—aku masih mencoba menahan amarahku—kupalingkan kepalaku ke kanan, hanya untuk mendapatinya sedang menatapku balik. Dengan tatapan itu.

"Umurku dan umurmu bahkan hanya berjarak satu dua tahun. Bagaimana bisa kau sebut aku anak kecil? Heh, tuan pencuri besar?", tanyaku sarkatis. Menghadapi playboy yang satu ini memang tidak bisa dengan cara manis.

"Ck, siapa yang bicara umur di sini heh? Lihat saja sikap dan pemikiranmu bocah.", balasnya balik. Bahkan dengan bonus mengacak rambutku, dasar cowok yang satu ini.

Aku menepis tangannya kasar, lalu segera mengeluarkan selembar foto dan kuberikan padanya.

Dark—nama cowok menyebalkan ini—memandang bingung foto yang kuberikan barusan. Sedetik kemudian wajahnya terlihat kaget dan siap melontarkan umpatan. Namun sayang, kenyataan berkata lain.

Sosok tinggi berwajah jail dengan rambut dark purple menghilang. Sebagai gantinya sosok mungil berwajah imut dengan mata ruby bulat besar dan rambut merah jabrik menempati tempat duduknya barusan.

Tanpa menunggu lama, segera kudekap bocah imut yang baru saja muncul tadi. "Dai-chan, aku kangen sekali.", kata-kata itu meluncur begitu saja dengan intonasi yang begitu sarat akan rasa rindu dan kebahagiaan. Jangan bilang aku pilih kasih, karena pada dasarnya memang bagiku kedua orang itu berbeda. Meski berbagi tubuh yang sama.

"Onee-san lepaskan, ini memalukan.", pintanya lirih. Kyaaaa, manis sekali.

"Tidak mau. Aku sudah cape-cape datang ke sini, mana mau kau kulepas begitu saja. Dai-chanku yang imut.", bukannya melepaskan, aku malah makin mempererat pelukanku ditambah menggesekan pipi kiriku pada pipi kanannya.

"Tapi nee-san, banyak orang di luar sini.", masih dengan nada meminta yang imut tadi, Daisuke mencoba melepaskan diri dari pelukanku. Uh, sedih sih dia menolak dipeluk gini, tapi kyaaa, kamu imut sekali…

"Baiklah-baiklah, jadi", aku melonggarkan pelukanku dan menatap ke dalam matanya, "senang melihatku?"

"Tentu saja senang. Aku kan sudah lama tak bertemu nee-san.", aku sudah bersiap untuk menerjangnya lagi tapi Dai-chan sudah terlanjur menambahkan, "Tapi aku tak mau ada acara peluk-pelukan." Sial, aku harus menahannya sekarang.

Jadi, sebagai gantinya, aku tersenyum memandang wajah yang sudah kurindukan itu. Wajah yang sebenarnya tidak jauh-jauh amat bedanya dari wajahku sendiri. Tapi melihat wajah sendiri dan melihat wajah Dai-chan merupakan dua hal berbeda yang tak bisa dicampur adukan.

Kegiatan saling pandang dalam diam dengan aku yang tersenyum happy dan Daisuke yang terlihat bingung berlangsung sekitar 5 detik. Suara imut Dai-chan menjadi hal yang memecah kebingungan yang ada, "Jadi nee-san…"

"Hm?", tanyaku pura-pura bingung. Uh, jangan sekarang. Aku masih kengen sekali padamu Dai-chan.

"Nee-san.", pintanya lagi. Kali ini nadanya terdengar sangat lelah. Bukan salahku aku bersikap begini menyebalkan. Salahkan wajah imutmu yang membuatku kangen ini Dai-chan.

Aku masih memandang dengan wajah berbinar, namun lama kelamaan rasa bersalah menjalar di hatiku. Uh, saatnya menjadi kakak yang baik.

"Hah, baiklah-baiklah. Ini.", setelah mengangkat tangan mengisaratkan menyerah, kulemparkan sebuah amplop coklat ke dalam pangkuannya. " Kalau begitu aku pulang dulu ya. Good luck boys.", tambahku lalu bangkit berdiri. Tak lupa kuacak sedikit rambut merah jabriknya. Membuat si pemilik menutup sebelah matanya, begitu tanganku menyentuh helaian merah yang jatuh menutupi dahinya.

Lalu tanpa kalimat perpisahan yang mengharu biru, kulangkahkan kakiku menjauh dari bagian taman yang mulai ramai. Kakiku terus menyusuri jalan setapak yang berakhir pada sebuah bangunan bernama toilet umum.

Mataku menginfasi daerah dalam jarak 5 meter dari lokasi kejadian. Setelah dirasa aman, tanpa ragu kulangkahkan kakiku menuju bilik toilet dengan gambar lingkaran dan segitiga di bawahnya yang berwarna biru menempel di pintunya. Tanpa membuang waktu kukeluarkan segala macam benda yang kubutuhkan sekarang. Sebuah wig hitam pendek, jaket hitam, lensa kontak hitam, dan topi baseball putih bertuliskan BB yang terlihat seperti pantulan cermin.

Butuh waktu lima menit untuk merubah seorang gadis berambut merah panjang sewarna dengan irisnya mengenakan kaos putih dan celana army serta sepatu sneaker, menjadi seorang pemuda berambut hitam pendek sewarna dengan irisnya mengenakan topi, kaos putih berlapis jaket hitam dan celana army serta sepatu sneaker.

Well aku punya alasan tersendiri untuk berpenampilan seperti itu.


Aoiyuki—[ D.N.A ]—Bluesnow


Aku mengendap-endap memasuki lorong asrama. Kuharap orang itu masih tidur. Meski kemungkinannya kecil sekali. Bagaimanapun juga orang itu adalah ketua OSIS sekaligus ketua asrama, jangan lupa dengan jabatannya sebagai kapten tim basket. Huh, orang sibuk seperti itu pasti tak punya waktu uang untuk mengurusiku kan.

Jadi secepat mungkin kulangkahkan kaki lebar-lebar, bergegas bersembunyi di balik lindungan pintu kamar. Sayang. Gerakanku ternyata masih kurang cepat.

"Yorucchi!", teriak suara khas dari pemuda pirang berprofesi sebagai model. Yup, itu dia.

"A, yo Ryouta.", jawabku dengan suara yang diberat-beratkan. Untung saja kemampuan menirukan suaraku tidak begitu buruk. Setidaknya aku bisa meniru suara anak kecil—baik laki-laki maupun perempuan, suara cowok—tanpa ciri khas, hanya suara cowok rata-rata biasa, lalu suara nenek-nenek. Setidaknya aku masih bisa bertahan dengan kemampuanku itu.

Kembali pada cowok yang memanggilku tadi. Kise Ryouta. Model remaja yang lumayan terkenal ini merupakan salah satu penghuni asrama yang bisa dikatakan cukup menyebalkan—

"Huwa, aku kira kau ke mana ssu. Sejak pagi kucari ternyata kau ada di sini.", dengan gerakan cepat badanku sudah terkurung sempurna dalam pelukan seorang Kise Ryouta. Anak ini bahkan bukan hanya hobi memeluk, tapi juga menggesekan pipinya pada rambut palsuku. Aku tahu dia model, dan tinggi, tapi tidak boleh begini juga kan. Kalau-kalau suatu hari rambut palsuku ini lepas, apa dia mau tanggung jawab? Sudah pasti tidak. Yang ada malah makin runyam nantinya.

—karena anak yang satu ini cerewet bukan main. Maaf kalau aku berlebihan, tapi nyatanya hanya dia cowok yang aku tahu akan bercerita selama 3 jam penuh tentang majalah yang memuat gambarnya. Streeeees.

Seperti itulah juga apa yang kurasakan sekarang. Karena itu, aku bermaksud memintanya meninggalkanku seorang diri secara baik-baik. Sebelum orang itu menemukanku.

"Ryo—"

Belum sempat satu kata utuh terucapkan, badanku terasa melayang di udara. Saat kuperhatikan lebih teliti, ternyata sepasang tangan sedang mengapit pinggangku. Seseorang dengan kekuatan yang tidak bisa diremehkan sedang mengangkatku. Aku tahu siapa pelakunya dari aroma vanilla yang menyergap penciumanku.

"Atsushi.", panggilku dengan nada lelah. Yah, hanya ada dua hal yang mungkin terjadi kalau dia mengangkatku seperti ini. Satu, dia merasa lapar dan ingin meminta makanan. "Ini masih pagi sekali dan aku tidak punya makanan apa-apa."

Atau—

"Hm, aku tidak meminta makanan kok.", ucapnya dengan nada malas. Itu artinya, "Akachin ingin bertemu denganmu Yoruchin."

—orang itu menyuruhnya membawaku padanya.

Dan yang bisa kulakukan hanyalah menghela nafas berat dan lelah. Hah.

"Eh? Yorucchi sudah mau pergi ssu?", sepertinya ada seseorang yang tidak suka dengan kepergianku. Bagus.

"Hm, tapi Akachin ingin bertemu dengan Yoruchin.", jawab Atsushi masih dengan nada dan ekspresi wajah malas.

"Oh, kalau begitu aku pergi dulu ssu. Ja ne Yorucchi, Murasakibaracchi.", ucapnya dengan nada riang minta di pukul. Apa-apaan itu tadi? Kukira kau akan menyelamatkanku, ternyata belum berubah. Masih setakut itu padanya.

"Yoruchin?"

Aku berbalik menatap Atsushi. Anak ini terlihat bingung mendapati ekspresiku yang menggelap. Tanpa banyak bicara diturunkannya aku. Lalu memandangiku dengan ekspresi kebingungan tadi.

"Ayo Atsushi. Dia pasti akan marah kalau ada yang terlambat.", ujarku setelah bisa berpikir jernih. Menghindar darinya memang mustahil sekali ya.

Tanpa banyak tanya lagi, Atsushi membawaku kepadanya. Kali ini dia hanya berjalan di sampingku, tidak ada acara angkat-mengangkat lagi.


Aoiyuki—[ D.N.A ]—Bluesnow


Suara pantulan bola, juga decit sepatu, dan teriakan para lelaki. Hm, hm, aku sudah bisa membayangkan apa itu. Berbelok di tikungan selanjutnya, maka pintu gym ada di depan mata.

Seperti dugaanku, Atsushi membawaku kedalam gym. Dan di sanalah dia berada. Berdiri dengan begitu gagah, bahkan tercermin aura kepemimpinan dari dirinya. Matanya memandang ke kanan dan kiri, mengikuti perpindahan bola orange yang terpantul-pantul di atas lantai.

Sepertinya dia sedang dalam tahap tak bisa diganggu. Jadi kuputuskan memandang sekeliling ruangan. Lalu mataku menemukan orang lainnya yang familiar. Terduduk di bench dengan keringat mengucur dari tubuhnya. Rambut pendeknya terlihat basah dan lepek. Sepertinya dia juga tidak bisa diganggu.

Atau tidak?

Karena sedetik aku melihat matanya, dan detik berikutnya kepala itu mendongak. Membuat iris safir dan kuarsa bertemu. Oh. Oh.

"Yo Yoru.", sapanya riang. Dan ini yang kutakutkan. Dia berjalan lurus ke arahku lalu merangkul leherku dengan satu tangan. Tak lupa aksi mengacak rambut turut serta dilakukan. Uh, ada apa dengan cowok-cowok di sini sih? Apa mereka tak tahu seberapa bahaya akibat dari tindakan mereka? Yah, memang seharusnya tidak tahu sih. Kalau mereka tahu itu malah akan jadi masalah.

Jadi, aku meninju pelan dada bidang pemuda berkulit tan di sebelahku ini. Membalas salam sekaligus memberi isyarat untuk menghentikan tindakan berbahayanya barusan.

Mendapat tinju main-main dariku, dia hanya terkekeh pelan. Kau belum tahu saja kekuatan tinju asliku.

"Aomine."

Tiba-tiba suara rendah terdengar begitu dekat dengan kami. Sontak kami berdua berbalik untuk melihat siapa yang pemilik suara tadi. Dan aku menyesal sudah berbalik. Itu dia.

"Oh Akashi.", Daiki, menjadi orang pertama yang mengeluarkan suara diantara kami berdua.

"Boleh aku bicara dengan Yoru sebentar.", perlu diketahui, itu adalah kalimat tanya. Hanya saja dari nada pengucapannya membuat kalimat tanya itu menjadi kalimat pernyataan—atau lebih buruk lagi, kalimat perintah.

"Heh, silakan saja.", sekali lagi, aku kecewa dengan anak laki-laki di sini. Kenapa mereka begitu mudah diperintah oleh orang ini?

Setelah mendapat persetujuan Daiki, orang itu berbalik menatapku. "Baiklah, ada apa? Kudengar dari Atsushi kau mencariku.", akhirnya akupun tak bisa melawan tatapannya.

"Kau terlambat 5 menit.", dari semua jawaban yang ada di dunia ini, kenapa dia memilih menjawab pertanyaanku dengan jawaban paling tidak nyambung seperti ini.

"Hah?", hanya itu reaksi yang bisa kukeluarkan. Orang ini bicara apa?

Di saat kebingungan inilah mataku menangkap sosok gadis bersurai sakura di samping pemuda bersurai langit biru, dan juga seorang pemuda tinggi dengan surai rumput hijau sedang melakukan three point shoot dari garis tengah lapangan.

Sayang. Kegiatan mengamatiku harus berakhir begitu saja. Karena benda hangat dan lembut menghalau jalur masuknya udara selain hidungku. Dan sesuatu yang hangat dan basah masuk kedalam mulutku. OH GOD, APA YANG SEDANG TERJADI?

Bertentangan dengan keinginan untuk lepas dari segala kelakuan tak masuk akal ini, tanganku menggenggam erat kaos pemuda di hadapanku. Mataku terpejam berharap saat terbuka nanti, ini semua sudah berakhir. Dan nafasku, sudah berubah menjadi pendek-pendek meminta pasokan udara lebih.

3 menit berlalu dan hal ini masih berlangsung.

Genggamanku makin mengerat saat pasokan udara di paru-paruku makin menipis. Dari ekor mataku yang dengan susah payah berhasil terbuka lagi, dapat kulihat perubahan ekspresi seseorang.

Oh, sial. Sekarang kau senang Akashi Seijuuro? Kau berhasil.

Dan Dark, kau masih mengira aku anak kecil yang tak tahu apa-apa? Sepertinya kau harus mengakui kesalahanmu.

Meski alasan dibalik tindakan yang kulakukan bukanlah sesuatu yang kuharapkan.


Try to find the next feather


A/N : Halo, terima kasih sudah membaca. Ini fic crossover pertamaku, jadi kalau masih banyak kesalahan mohon dimaafkan. Dan kalau ada yang mengikuti fic multy chapterku yang lain mohon kesabarannya ya. Belum dapet mood buat nglanjutin gara-gara minggu kemarin banyak tugas. Maaf banyak alesan. Dan sudah lama ingin coba bikin crossover tapi nggak kesampaian. Dan waktu bingung bikin lanjutan, ide fic ini yang muncul. Meski plotnya masih buram, kurang jelas gimana gitu. Jadi untuk lanjutannya sepertinya akan lama. Ya tergantung mood juga sih. Oke terakhir seperti biasa, Happy Reading Reader.