Standard disclaimer applied.
(Full ooc, typo, etc. DLDR!)
Sakura Point of View
Aku masih berkutat dengan adonan pie saat Sarada mulai berteriak dari kamarnya.
"Ada apa, sayang?" Tanyaku begitu sampai di sebuah ruang dengan berbagai poster di semua sisi dinding.
"Sasuke menelponku tadi! Kau tau, dia menanyakan kabarku!" Dia berseru, matanya berbinar semangat.
Aku mendengus malas mendengar pernyataannya. "Ya, tentu saja itu karena dia adalah ayahmu dan kalian belum bertemu sejak tiga bulan yang lalu"
"Oh ayolah Bu, aku tau kau juga merindukannya" dia menggodaku, oh aku tau sifat ini persis. Seketika itu bibirku membentuk garis keras.
"Jadi...kapan aku bisa menemuinya?" tanyanya, bibirnya ia lengkungkan menjadi senyuman kikuk.
"Kenapa tak tanyakan tadi saja," aku melipatkan kedua tanganku di depan dada.
"Sudah bu, maksudku dia bilang dia akan menghabiskan liburan musim panas di Oto sebelum itu dia akan kesini. Jadi...bisakah kita pergi kesana nanti?" Sarada memelukku, matanya merajuk dibalik kacamata yang ia kenakan. Dia sangat manis, bahkan disaat umurnya sudah lima belas tahun begini.
Aku menggeleng padanya. "Aku rasa kau bersama Sasuke saja, pekerjaan ibu di toko perkakas milik Gaara juga tak bisa ditinggalkan" aku tersenyum, kemudian mengusap pipinya lembut. Dia mirip sekali dengan Sasuke secara fisik.
Berbicara tentang Sasuke, dia adalah mantan suamiku dan ayah dari Sarada. Kami bercerai satu tahun yang lalu saat putriku berusia 14 tahun. Alasan klise, ketidak cocokan, menjadi dasar kami. Membahasnya membuatku ingin memutar bola mataku, setidaknya sampai saat ini hubungan kami baik-baik saja sebagai mantan suami istri.
"Baik, aku tau yang harus ku lakukan sekarang" dia mengambil iphone pemberian ayahnya.
"Hai, Sasuke" nadanya terdengar datar, sedangkan ekspresinya berbanding terbalik. Dia sangat bahagia.
Ya, Sarada tidak terlalu menyukai berungkap secara terang-terangan di depan ayahnya sendiri. Dia juga bukan remaja centil dengan permen loli di mulutnya, intinya Sarada adalah anakku dan sayangnya dia terlalu mirip dengan Sasuke. Apalagi kalau sudah sampai dibagian suka menutup-nutupi sesuatu. Bagian yang paling ku benci dari uchiha.
Selanjutnya, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sarada masih saja memasang senyumannya. Bolak-balik mengucapkan 'tapi Sasuke' atau 'Sasuke, kata Ibu'.
Perceraian kami tentu membawa dampak baginya di usia labil begini, untuk itu aku terkadang membawanya ke psikolog anak. Aku tipikal yang sangat-terlalu-khawatir, memang. Sehabis perceraian kami sikapnya mulai menunjukkan perubahan, seperti mengurung diri di kamar hingga akhirnya Boruto anak dari Hinata harus memasukkan beberapa anak kucing -hal yang paling Sarada benci- ke kamarnya agar dia mau keluar. Dan sampai akhirnya dia berhenti memanggil Sasuke dengan sebutan ayah lagi. Psikolog yang menangani Sarada bilang itu hal wajar, ya sisi sensitif dan kenakalan remaja.
Aku masih memandang putriku dengan seksama. Selanjutnya, dia menutup ponsel dan berbalik menatapku seperti tak yakin.
"Bu, sepertinya kita akan makan gratis nanti malam" dia meringis.
Dahiku mengernyit dalam,
Apa maksudnya?
"Kau tau... Sasuke bilang dia akan kesini. Dan itu sekarang, dia disini di Konoha untuk urusan bisnis"
Oh itu sudah biasa, lalu?
"Dia mengajakku makan malam dan aku menyarankan ratatouille,"
Oke, tidak buruk.
"Dan Sasuke memaksaku untuk mengajakmu juga karena ada yang ingin dia bicarakan. Penting" aku kelepasan memutar bola mata, sudah kuduga berujung tak mengenakkan.
"Mungkin dia ingin kau kembali" mendengar sarada berceletuk aku melotot ke arahnya.
"Baiklah tidak lagi bu, sekarang aku harus pergi, aku ingin bermain baseball bersama boruto dan genk berisiknya jadi bisa ku gunakan mobilmu?"
Ekspresiku berubah tak percaya, antara dia pintar membelokkan arah pembicaraan dan ide gilanya menyetir mobilku. Oke aku tau kalau Sarada lumayan lancar mengendarai chevrolet milik Sai tapi tidak untuk sedanku. Tidak untuk mobil tua yang baru diservis minggu kemarin. Aku tidak ingin keduanya celaka.
"Seingatku sepedamu masih berfungsi, Sarada" aku menimpali. Kami berlalu dari kamarnya, dia tampak cemberut dengan muka tertekuk.
"Pulangnya jangan terlalu sore, aku punya beberapa pie yang harus kau antarkan ke tetangga baru depan rumah" ujarku setengah berteriak saat dia mulai memasuki garasi.
Lagi pikiranku tertuju pada Sasuke, memang apa yang harus dibicarakan. Bila mengenai Sarada dia biasanya juga mengirimiku email tanpa harus bertemu. Ya itu permintaanku, aku lebih suka email daripada harus berdebat dengannya lewat telepon. Ya, dia sangat keras kepala dan aku hanya sedikit. Sedikit.
Tentangnya, aku rasa sudah lama aku tak bertemu. Dan kupikir menanyakan kabar tak buruk untuk memulai pembicaraan nanti -Itu hal yang lumrah Sakura- Oke, sepertinya kau harus susun rencana! Seperti apa yang akan kau kenakan nanti malam atau tatanan rambutmu atau- Hei! aku bukan remaja tujuh belas tahun yang ingin ke prom! Batinku berteriak frustasi sekarang.
Tbc
Hei! Makasih udah baca sampe sini, aku bakal lebih seneng lagi kalau kalian ngasih aku review apapun. Kaya 'lanjut' atau 'payah banget'HUEHEHE
.
