Pagi itu langit di dominasi oleh warna ash grey dengan semburat aurometalsaurus yang terlihat dari ufuk timur. Mentari terlihat masih malu–malu untuk segera menunjukkan dirinya, karena banyaknya awan hitam yang berenang di atas. Rintik–rintik hujan mulai membasahi satu per satu dinding rumah yang terlihat mulai mengusam, membasahi setiap jendela–jendela yang tak terlindungi oleh atap balkon, juga membasahi setiap gang sempit yang ada di daerah itu.
Satu kata yang bisa menggambarkan bagaimana keadaan daerah itu. Kumuh.
Terlihat beberapa orang masih berlalu–lalang di bawah guyuran hujan dengan sebuah payung atau setidaknya sebuah rain coat yang melindungi tubuh mereka. Beberapa kedai kecil terlihat bersiap–siap menutup kedai mereka sebelum hujan semakin deras. Rumah–rumah yang di dominasi oleh kontrakan–kontrakan kecil itu juga terlihat mulai menutup diri dari angin dingin yang siap berhembus.
Sebuah rumah kontrakan dengan cat buff yang mulai memucat, entah karena sudah lama tak terenovasi atau karena hujan yang sudah seminggu ini selalu turun. Sebuah pintu senada juga dalam keadaan yang serupa. Di dalam kontrakan itu terlihat seorang pemuda yang bergelung dalam sebuah selimut dari kain perca yang kusut.
Ranjang tempatnya berbaring berantakan, dengan belasan uang kertas bernominal seratus ribu yen bertebaran disana. Helaian light blue terlihat dari ujung selimut kusut yang di pakainya, perlahan ia mulai membuka selimut yang dipakainya dan mendudukkan dirinya diatas ranjang. Kulit sewarna champagne miliknya berkilauan tertimpa cahaya lampu bertegangan rendah yang menjadi satu–satunya penerangan disana.
Kaki–kaki pendeknya berjalan menuju sebuah kursi rotan yang berhadapan langsung dengan jendela rumahnya. Ia duduk disana dan memangku dagunya dengan sebelah tangan. Iris cyan azure miliknya terlihat mulai berembun, entah karena apa. Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk dan kini mengalir dengan halus menyusuri permukaan kulit pipinya.
Tak ada isakan, hanya bulir–bulir air mata yang makin gencar keluar dari kelopak matanya yang tertutup. Pemuda dengan rambut yang masih kusut itu bahkan tak memperdulikan suara guntur yang seakan–akan menentangnya. Dua jarinya bergerak menuju pipinya, menghapus jejak air mata dan memandang air matanya dalam.
"Aku menangis lagi, karenanya."ucapnya. Suaranya terdengar serak, karena kegiatan sebelumnya yang cukup menguras tenaga dan suaranya.
Flashback
Dua pemuda beda warna rambut itu terlihat sedang bergelung diatas ranjang single bed yang berantakan. Satu dari dua pemuda itu menatap takut sosok lainnya yang menatapnya nyalang. Sepasang iris heterokromatik yang tertutupi kabut nafsu mengunci sepasang iris cyan azure yang mulai mengembun.
Salah satu dari mereka mulai mendekatkan wajah keduanya, membiarkan belahan bibirnya bersua dengan belahan bibir bergetar milik sosok dibawahnya. Kedua telapak tangan yang sebelumnya mendorongnya menjauh kini beralih meremas sisi depan kemeja yang ia kenakan. Kedua sudut bibirnya terangkat saat merasakan sesuatu hangat yang menyentuh bermukaan pipinya.
Pemuda dengan rambut brick red itu semakin menempelkan tubuhnya pada tubuh pemuda dibawahnya. Mengabaikan penolakan sang pemuda di bawahnya yang terkadang penolakan tercampur dengan lenguhan nikmat yang sukses membuatnya tersenyum sinis.
Ia pun bisa merasakan kalau dirinya mulai 'tegang', begitu pun dengan pemuda yang sedang menangis dalam diam dibawahnya. Tangan dingin miliknya perlahan melepas satu per satu kancing kemeja yang di pakai pemuda dibawahnya, berikut kancing celana hitamnya.
Pemuda dengan iris heterokromatik itu tersenyum kecil saat merasakan kalau tangan lemah pemuda dibawahnya masih punya sisa tenaga untuk melawan dan terjatuh semakin dalam. Ia tak mengindahkan penolakan pemuda itu, malah menggenggam erat kedua pergelangan tangan pemuda itu dan menyimpannya di atas kepalanya.
Bahkan bisikan penolakan yang bisa di dengarnya terakhir kali sebelum mereka berdua jatuh kedalam lingkaran setan pun masih sarat akan rasa sakit, yang tak pernah benar–benar ia tahu.
"Hentikan, Seijuurou–kun."
Flashback
Ia memeluk kedua kakinya yang tertekuk, berusaha menghangatkan dirinya sendiri diantara angin malam yang berhembus kuat dari celah–celah jendela reot miliknya. Ia bahkan mengabaikan keberadaan selimut kusut yang harusnya punya fungsi lebih baik daripada sebuah sampah. Sampai ia tak sadar kalau ia sudah jatuh dalam buaian mimpi.
Tear Me Down
Pair : Akashi X Kuroko
Rate : T+
Genre : sad, hurt, romance.
Dics. : The casts are belong to Fujimaki Tadatoshi but the storyline is mine.
Warns. : Yaoi, MXM, lil bit implicit scene.
Twilight Lavender
Pemuda dengan rambut light blue itu bernama Kuroko Tetsuya, usianya baru menginjak dua puluh tahun tiga hari yang lalu. Ia memastikan kembali kalau rumah kontrakannya itu sudah terkunci aman, walaupun ia tahu tak akan ada pencuri yang berniat merampok rumahnya.
Ia membawa kakinya menapaki jalan sempit yang beberapa bagian di genangi air bekas hujan kemarin. Kakinya yang di balut sneaker navy pemberian orang tuanya berjalan lincah menghindari beberapa kubangan air yang memungkinkan mengotori kemeja terakhir yang ada di lemarinya.
Di telinganya sudah terpasang earphone yang nyatanya tak memutar lagu apapun. Pandangan matanya menatap jalanan didepannya. Ia tak menaruh perhatian pada orang–orang yang dasarnya tak pernah menyadari eksistensinya.
Di perempatan pertama ia belok kearah kanan dan menemukan sebuah halte bus. Tetsuya memutuskan untuk duduk disana dan menunggu hingga bus yang biasa ia tumpangi tiba.
Saat ini mungkin sekitar pukul delapan pagi. Langit tak se–menyeramkan kemarin, dan udara juga terasa sejuk saat dia menghirupnya. Inilah ketenangan yang di dambakan oleh Tetsuya.
Kakinya melangkah masuk ke dalam bus yang tiba sepuluh menit kemudian. Ia duduk sendiri di double seat karena keadaan cukup lengang pagi ini. Biasanya minggu pagi ia akan kesulitan mendapatkan bus karena semua bus menuju tujuannya penuh oleh penumpang. Daerah tempat tinggalnya memang ada di sudut kota, yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk dapat mencapai kota.
Tetsuya turun di halte terakhir bus ini ber–operasi, karena halte ini adalah halte terdekat menuju tempat kerjanya, walau nyatanya ia masih harus berjalan sepuluh menit sebelum benar–benar mencapai tempat kerjanya.
"Selamat pagi, Kuroko."
Tetsuya mengalihkan pandangannya menuju asal suara. Seorang pemuda dengan surai brunette dan tubuh jangkung berdiri tak jauh di belakangnya.
"Selamat pagi, Kiyoshi."jawab Tetsuya. Lantas ia segera mengambil langkahnya kembali dan masuk melalui pintu karyawan yang ada di bagian belakang.
Tetsuya melewati lorong–lorong sempit dan pengap sebelum masuk kedalam sebuah ruangan yang berisi tiga deret loker untuk karyawan. Ia berjalan menuju salah satu loker dan meletakkan tas selempangnya.
"Eh, Kuroko. Tumben, ini sudah pukul delapan pagi. Semua pengunjung sudah menunggumu."
Seorang wanita dengan papan nama 'Aida Riko' muncul dan berdiri di ambang pintu. Tanpa menjawab apapun Tetsuya berjalan melewati Riko yang mematung menatapnya.
Tetsuya duduk di satu kursi tinggi yang tersedia di panggung kecil itu. Di belakangnya ada dua orang pemain gitar dan piano. Ia mengambil sebuah mik dan penyangganya sebelum menyapa pengunjung kafe yang cukup ramai.
"Untuk lagu pertamaku, akan kupersembahkan untuk orang–orang yang pernah tersakiti."
Sorakan riah menggema hingga penjuru ruangan, Tetsuya menatap dalam semua orang yang tertawa sambil bertepuk tangan untuknya.. Rasanya seperti sesuatu yang kosong di sudut hatinya terisi oleh senyum hangat para pengunjung.
Suara petikan gitar melahirkan tepuk tangan dari para pengunjung. Tetsuya menghela nafasnya berat sebelum membawa suaranya untuk menyanyikan lagu yang mencerminkan dirinya sendiri.
Satu bulir air mata yang mengalir menyusuri pipi kanannya adalah pertanda selesainya lagu pertama yang ia nyanyikan. Tepuk tangan yang sebelumnya bergemuruh itu kini hilang, Tetsuya yang merasa aneh dengan sekitar membuka matanya, dan menemukan semua pengunjung menulis sebuah kata entah di selembar kertas, buku, tisu, ataupun ponsel dan tablet yang mereka miliki.
Semangatlah!
Satu bulir air mata mengalir lagi dari kedua pelupuk matanya, semua pengunjung yang melihatnya lantas bertepuk tangan. Bahkan semua karyawan, koki, dan manager kafe juga ikut bertepuk tangan atas sebuah lagu yang sudah di bawakan Tetsuya dengan indah dan penuh penjiwaan.
Twilight Lavender
Langkah Tetsuya terhenti, dari jarak lima meter ia sudah bisa tahu siapa sosok dengan surai brick red yang sedang bersandar di mobil sedan merah menyala miliknya. Tetsuya terkesiap, tubuhnya seakan membatu, dan semua sarafnya terasa lumpuh saat melihat kalau pemuda yang tak ingin ia temui sedang berdiri menghadap kearahnya.
Langkah kakinya mundur seirama dengan langkah kaki pemuda itu menuju kearahnya, telapak tangannya meremas strap tas yang bergelayut dibahunya dengan erat, menimbulkan warna merah yang pasti akan membekas.
Ia sudah berencana untuk berlari menjauh, namun sebelum ia bisa melakukannya satu pergelangan tangannya sudah di cekal sebuah tangan dingin yang lebih besar dari miliknya.
"Tetsuya, tunggu sebentar."
Suara dingin nan tegas itu membuat kedua mata Tetsuya membola, ia ingin segera melepaskan cengkraman pemuda di belakangnya dan segera pergi pulang.
"Apa kau malu bertemu denganku setelah kau berkencan dengan salah seorang pria yang kulihat kemarin pagi, hm?"tanya pemuda itu. Tetsuya menggigit bibirnya, menyembunyikan kenyataan kalau sebenarnya pertanyaan itu begitu melukai hatinya.
"Lepaskan aku, Akashi–kun."ucapnya. Bibirnya bergetar menahan tangis sedang pemuda yang ia panggil Seijuurou itu tak mengerti keadaannya.
"Ada apa Tetsuya? Seberapa banyak dia membayar tubuhmu ini, hm?"
Satu pertanyaan menyakitkan lagi lahir dari mulut absolute Akashi Seijuurou. Pemuda dengan rambut brick red dan sepasang iris heterokrom itu melepaskan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Tetsuya dan membiarkan pemuda itu pergi.
Tetsuya duduk dengan mata yang terus melahirkan bulir–bulir air mata dalam diam. Bisnya sudah berangkat lima menit yang lalu, tapi ia masih bertahan di halte bis yang sepi dan dingin. Masih tak ada isakan yang keluar dari belahan bibirnya, bahkan air mata pun bisa menjadi saksi bagaimana pedih hatinya sekarang.
'Apa kita benar–benar tak punya kesempatan lagi, seijuurou–kun?'
Tetsuya masih diam dalam lamunannya sampai sebuah mobil sedan hitam berhenti didepannya. Ia mengalihkan pandangannya pada sosok pemuda dengan rambut pastel orange terlihat dari balik kaca mobil yang perlahan mulai terbuka. Sosok dengan mata amber itu menatap Tetsuya tajam, sebelum ia keluar dan berdiri didepan Tetsuya.
Sosok itu berlutut di depan Tetsuya, mensejajarkan wajah mereka hingga iris amber yang memancarkan ketenangan itu mampu memangku iris cyan azure Tetsuya yang masih memerah karena menangis.
"Jangan menangis."
Skies are crying
I am watching
Catching tear drops in my hands
Only silence has its ending
Like we never had a chance
Do you have to make me feel like
There's nothing left of me
Skyscraper – Demi Lovato
To be continue…
Halo minna–san. Ini fanfik pertama saya yang berpairing AkaKuro ato bisa dibilang ini fanfik pertama saya di dunia perfanfikan. Dan karena alasan itu saya mohon pada minna–san untuk meninggalkan jejak sebagai tanda bahwa minna–san menghargai saya.
Twilight Lavender
