Disclaimer : Everything written in this blog is creation of my imagination. The characters belongs to their mangaka, but the plot belongs to me. Please DO NOT REDISTRIBUTE!

Title : Leia

Author : _kadzuki_ aka fate_aram

Rating : M

Pairing : Akakuro

Genre : AU, Shonen-ai, Dark, Hurt/Comfort

Length : Series, 1/3

Cast : Akashi Seijuurou, Kuroko Tetsuya

Summary : Ilusi... Kasih sayang... Kebohongan... Katakan padaku, dimanakah realita itu tersimpan?

A/N : Terinspirasi dari lagu Yuyoyuppe ft Megurine Luka – Leia. Dan berkat kerjaan yang makin menumpuk mendekati akhir taun, gw bawaannya kepingin nulis dark theme melulu. Didedikasikan untuk merayakan #KuroAka Days~ Well, itadakimasu~


[The Man Who Looking At The Sky]


Jemari ramping nan mulus itu kini melingkar di lehernya, memberi tekanan kuat, mengurangi pasokan oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya. Tubuhnya tak bisa bergerak seinci pun, padahal yang menindihnya bertubuh lebih kecil dan bisa dibilang lebih lemah dari dirinya. Ia terlalu meremehkan, penampilan memang bisa menipu.

Mata heterokromnya menghujam ke kedalaman bola mata sewarna laut musim panas yang selama ini menjadi alasannya untuk hidup. Biru itu telah mendingin, kehilangan emosinya. Tak ada lagi kehangatan yang terpancar. Tak ada lagi kasih sayang yang tercurah. Hanya kegelapan tak berdasar.

"Tet... su... ya..."

Sekali lagi biru itu menelusur tiap inci wajahnya, seolah mencari suatu kesalahan dari paras rupawannya. Sang pemilik mata sewarna laut musim panas menelengkan kepala perlahan, tak ada secuil pun gurat ekspresi terpahat dalam wajah manisnya.

"Sei, kurasa ini sudah saatnya bagiku untuk mengakhiri hidupmu."


Let me hear your voice

Erase this sinking heart

I feel like I've reached the endless illusion


"Anooo... Bolehkah aku duduk di sini?"

Masih teringat di benakku akan kalimat pertama yang meluncur dari mulut pemuda berambut langit kesayanganku, yang saat itu hanyalah seorang magician* handal yang baru saja bergabung dalam Departemen Pengembangan dan Penelitian Manna** milik Kementerian Pertahanan yang kupimpin. Suara yang begitu lembut, tanpa diwarnai rasa sungkan ataupun takut.

Saat itu aku hanya bisa merutuk sekaligus heran. Merutuk kesal karena waktu privat yang hanya bisa kunikmati saat jam makan siang terganggu, heran karena anggota baru timku itu menghampiri dan berbicara padaku dengan begitu santai. Apakah rekan-rekan pemuda itu yang juga merupakan bawahannya tidak memberitahu kalau aku paling tidak suka diganggu? Apakah pemuda itu tidak gentar dengan aura, wibawa, serta gelar dan kuasa yang ada padaku?

Namun ketika manik heterokromku bersirobok ke dalam bola mata sewarna laut musim panas miliknya, tanpa sadar aku terpana. Biru itu begitu... indah. Tidak, lebih dari sekedar indah. Luar biasa. Hal tersempurna dalam dua puluh lima tahun hidupku. Bola mata itu membulat saat aku terus terdiam dengan mata yang terus terpancang padanya.

"Ah, maaf aku belum memperkenalkan diriku secara langsung. Namaku Kuroko Tetsuya, mohon bimbingannya, Akashi-sama."

.

.

.

.

Berawal dari duduk bersebelahan di bangku yang sama diiringi beberapa percakapan singkat pada jam istirahat siang, kebiasaan kecil itu berlanjut ke arah yang lebih intens, membuat kami sering hang-out bersama untuk melepas penat. Hanya sekedar bertukar cerita, bertukar opini. Membuat duniaku yang selama ini berpusat pada sepi dan sendiri berubah. Lebih berwarna. Sarat akan emosi.

Dan seiring waktu berlalu, puluhan adu argumen, ratusan canda, dan senyum yang dilayangkan ke arahku, perasaan itu tumbuh. Awalnya hanya sebuah bibit kecil dari sebuah rasa bernama kagum. Kagum atas keberaniannya menyapaku, duduk di sampingku, kemudian adu pendapat denganku. Terus dan terus, kagum itu berevolusi menjadi kepedulian dan kepercayaan akan dirinya.

Hari berganti, cerita demi cerita yang mengalir dari mulut kami pun makin bersifat pribadi. Dia mempercayaiku akan rahasianya dan aku mempercayainya akan rahasiaku. Entah mengapa kisah dan rahasia yang kami bagi justru membuatku merasa dihargai, bukannya terancam. Aku, yang dulunya selalu sendiri dan tidak membutuhkan orang lain dalam privasiku, kini justru membuka diri pada seorang yang bahkan belum setahun kukenal.

Lalu kepedulian dan kepercayaan itu bertransformasi tanpa kusadari, berubah menjadi suatu bentuk sempurna, rasa yang kupikir takkan mengetuk keseharianku. Cinta. Bentuk emosi paling abstrak, tidak terikat oleh akal sehat dan logika, muncul begitu saja, mengajarkan ketulusan tanpa syarat. Hidupku yang monoton kini memiliki ritme dan tujuan, membuat senyum selalu merekah pada pemilik mata sewarna laut musim panas yang kusayang.

"...kun... Sei-kun!"

Aku tersentak saat suara lembut itu menyapa telingaku dalam oktaf yang lebih tinggi. Kufokuskan bola mataku pada pemuda manis berambut langit yang duduk di hadapanku dengan kedua pipi yang digembungkan. Manis sekali.

"Ya, Tetsuya?"

"Sudah kupanggil dari tadi, tapi Sei-kun malah diam saja." Tatapannya melembut, tangan mulusnya meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Ada yang kaupikirkan? Apa kau sedang ada masalah?"

Menghela nafas perlahan, kutatap balik biru itu. Bohong jika aku bilang tidak punya masalah. Hati, otak, dan tubuhku sedang menghadapi masalah yang sangat besar. Jantungku berdetak kencang tiap berada di dekatnya, benakku selalu terisi oleh sosoknya, kedua lengan ini berharap bisa merengkuhnya, dan butuh usaha ekstra keras menahan bibir ini agar tidak melontarkan ribuan kata cinta untuknya.

"Sei-kun?"

"Aku tidak apa, Tetsuya." Kubalas genggaman tangannya, mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Perasaan yang membuncah di dada ini bisa kutahan untuk beberapa saat lagi, menanti waktu yang tepat untuk kuutarakan. "Mendadak terpikir soal pekerjaan, cuma itu. Maaf membuatmu khawatir."

Sebuah senyum lembut merekah. Sebelah tangannya menyisir rambut sewarna langitnya, gerakan simpel namun atraktif. Sedikit malu-malu, mata sebiru laut musim panas itu menatap langsung ke kedalaman mataku dengan tegas.

"Aku yang seharusnya bilang begitu. Sei-kun tidak perlu khawatir. Proyek penelitian manna air yang kita kerjakan tidak akan gagal. Aku sudah memastikan seluruh kalkulasinya berkali-kali."

"Kalau soal itu, aku percaya sepenuhnya padamu, Tetsuya." Sambil terkekeh, kusentil dahinya dengan sayang. "Ada sedikit hal lain, tapi kurasa kita bisa menunda dan membicarakannya setelah mega-proyek ini usai."

.

.

.

.

Dulu aku selalu mencemooh orang-orang yang berharap agar waktu bisa diputar balik, memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Bagiku, apa yang kini diperbuat akan berakibat nyata pada masa depan. Itu suatu hukum yang tak terbantahkan. Memutarbalik waktu adalah tindakan melawan hukum alam, sama halnya dengan penyangkalan pada Sang Maha Tinggi. Kupikir hidupku sudah sempurna, sehingga tidak pernah sekalipun aku mengharapkan keajaiban dari sang waktu untuk berjalan mundur.

Namun kini kutarik kembali kata-kataku, cemoohanku. Berharap bahwa aku bisa mengulang kembali semuanya.

Kutatap nyalang pintu ganda berpelitur dengan plang 'Emergency Unit' berwarna merah di hadapanku. Di balik sana, orang yang kukasihi sedang meregang nyawa, berjuang agar benang kehidupannya terus terajut. Frustasi, kujambaki rambutku dengan putus asa, merasa tidak berguna karena tidak bisa melakukan apapun untuknya.

"Sial... Sial!" makiku kalap, berusaha setengah mati melenyapkan bayangan buruk yang terus berkelebatan di benakku. "Kumohon... Bertahanlah, Tetsuya... Kau harus tetap hidup..."

Alam bawah sadarku mulai bergolak, mengutuki kebodohanku, sebuah kesalahan kecil yang berakibat fatal. Seandainya aku memercayai instuisiku... Seandainya aku melakukan pengecekan ulang... Seandainya aku sadar ada yang salah pada mesin itu... Seandainya waktu itu aku tetap disana... Seandainya...

Terlalu banyak 'seandainya'. Sebanyak apapun aku berharap, semua sudah terlanjur terjadi. Sang waktu takkan sudi berputar balik, melawan hukum Sang Maha Tinggi hanya untuk entitas rendahan sepertiku. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah memohon agar orang yang kucinta keluar dari balik pintu itu dalam keadaan hidup. Sekalu lagi kutatap pintu itu, mencoba menggantung asa pada kemungkinan yang tersisa.

Tetsuya, kumohon... Tetaplah bertahan... Aku tidak bisa melanjutkan sisa kehidupanku tanpa kehadiran sosokmu...

.

.

.

.

"Tetsuya!"

Tanpa berpikir dua kali, kurengkuh tubuh pemilik rambut sewarna langit itu. Mendekap erat, takut sosoknya hanya ilusi semata. Manis vanilla yang kurindukan akhirnya kembali menggelitik indra penciumanku, mengikat kesadaranku pada realita, meyakinkan bahwa ini bukan sekedar bunga tidur pemberi harapan palsu.

Tangan mungilnya balas meraihku, memberi sapuan lembut berulang di punggungku, seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ribuan kata rindu yang kupersiapkan untuknya saat ia terbaring tak sadarkan diri lenyap, menguap begitu saja dari kepalaku. Menyisakan sunyi yang justru entah kenapa terasa lebih melegakan dadaku.

"Sei-kun."

Perlahan ia mendorong tubuhku, mengakhiri pelukan kami yang penuh pesan tanpa kata. Jemari rampingnya meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Dan akhirnya setelah hari-hari panjang penuh ketidakpastian, mata sewarna laut musim panas yang kudamba kembali menghujam ke arahku.

"Maafkan aku." ujarnya pelan, membuat perutku mendadak serasa diisi balok es yang tak terlihat. "Maafkan aku yang terlalu arogan. Terlalu percaya diri akan kalkulasiku sendiri. Seharusnya aku tetap melakukan perhitungan ulang sampai akhir, memastikan energi sihirnya mencukupi untuk mengekstrak manna-nya, da—"

"Tetsuya."

Dengan lembut kebelai pipinya, mencoba menghentikan racauan penuh penyesalannya. Di balik ketenangan yang ia tunjukkan, tersembunyi kekecewaan mendalam. Dan aku tidak suka jika biru itu terlihat redup karena perasaan-perasaan negatif yang muncul di hatinya.

"Tetsuya, proyek manna itu sukses ataupum gagal, aku tidak peduli." Kupaksakan diriku untuk menatap bola matanya, meyakinkan bahwa apapun yang terjadi, semua akan baik-baik saja. "Yang terpenting adalah kau masih hidup, masih bersamaku hingga detik ini. Itu saja. Soal proyek masih bisa kita ulangi la—"

"Sei, aku sudah tidak bisa berjalan lagi! Aku sudah tidak bisa bekerja lagi bersamamu!"

"Aku tahu, Tetsuya! Aku mengerti dengan pasti saat para healer berusaha menyelamatkan nyawamu! Persetan, aku tidak peduli apakah kau lumpuh, bisu, tuli, ataupun buta! Yang kupedulikan dan kuinginkan hanyalah kau tetap hidup dan berada di sampingku!"

Aku tidak bermaksud untuk meninggikan suaraku dan berteriak padanya. Namun aku butuh sesuatu untuk menyadarkannya bahwa hal terpenting saat ini bukanlah proyek manna itu, melainkan nyawanya, dirinya. Ia tidak tahu bahwa semenjak dia dibawa ke unit gawat darurat hingga beberapa saat yang lalu kepalaku dipenuhi oleh sosoknya. Ketakutan tak bisa melihat biru itu. Harapan untuk kembali mendengar suaranya. Keputusasaan karena tidak bisa melakukan apapun untuknya. Hanya dia, dia, dan dia.

"Sei..."

Sebelum otakku bisa mencerna lebih jauh, tubuhku sudah bertindak lebih dulu. Dalam satu gerakan lembut, kucondongkan tubuhku, mengunci kedua bibir kami dalam satu kecupan penuh makna. Jantungku berdetak kencang, wajahku perlahan memanas. Untuk sesaat waktu seolah terhenti, membiarkan momen ini melekat dalam ingatan.

"Tetsuya, will you be mine forever?"


~~~~~TBC~~~~~


Kadzchan End-Note :

Leia © Yuyoyuppe ft Megurine Luka

*Magician : penyihir

**Manna : unsur energi dasar yang terdapat pada setiap benda dan makhluk hidup

I'm sorry for my dissappearance. End of year = more hectic schedule. Fic ini gw buat spesial untuk KuroAka days *yeah!*, untuk fic yang lain akan menyusul secepatnya, target selama antara ultah abang Akashi dan abang Kuroko bakal sering update, please wish me luck, guys~ :D

Last but not least, thank you for your support through read my fics, give a like, and give me a review. Seriously I love u, guys :*