Fanfiksi ini tidak dibuat untuk mencari profit apapun, Love Live! bukan milik saya.


[ 0. ]

Konferensi, lebih tepatnya, pengadilan tinggi itu berakhir dengan ketokan palu besar sang ketua para Seraphim. Para malaikat petinggi pun turun dari singgasana mereka yang agung sementara para malaikat kelas menengah dan rendah terbang membentuk barisan lurus jalan membiarkan para Seraphim berlalu sebelum mereka melanglang buana menuju tugas mereka masing-masing seperti biasa.

Tengah ada sidang bagi malaikat pencabut nyawa, untuk kesekian kalinya baru saja.

Salah satu petinggi Seraphim yang melewati bangsal utara tengah diikuti oleh seorang malaikat.

"Tunggu, Nona Seraphim!"

Sang petinggi menghentikan langkah dan menuju arah si pemanggil. Tatapannya semula datar dan sinis, kemudian mengendur melihat siapa yang datang.

"Ah, nomor registrasi T12737." ucapnya fasih. "Ada apa, bukankah tadi kau tidak berkata-kata selama sidang?"

"Tidakkah adil ia dihukum selama beberapa bulan tidak bertugas?"

Kalimat itu tidak mengubah ekspresi dari wajah sang Seraphim. Sementara, ia di sana bicara juga merupakan malaikat tinggi, ia hanya malaikat kelas tiga. Namun, hukuman yang diberikan oleh malaikat kelas dua barusah cukup – mencenangkan.

"Ia sudah melakukan kesalahan yang berat, kami sudah berusaha meminimalisasi." Seraphim itu angkat bicara lagi. "Kau tahu dalam kode etik perbuatan itu adalah hal yang sungguh salah, Nona Throne."

Sang malaikat bungkam, sang Seraphim pun berujar pergi.

Sanksi yang diterima oleh seorang pegawai dengan level cukup tinggi—Cherubim, tepat di bawah sang Seraphim—adalah dibebastugaskan selama beberapa bulan dengan pengawasan ketat, adalah hukuman yang berat karena itu berarti bahwa malaikat dilarang mengepakkan sayapnya. Hukuman tersebut baru saja pernah sekali diberlakukan, dan itu adalah ketika pengadilan tinggi baru saja.

(Ya, surga adalah sebuah sistem dengan malaikat sebagai pekerja di dalamnya, malaikat pencabut nyawa.)

Pemilik nomor registrasi T12737 itupun menghempas nafas berat sebelum kembali menuju ruangan sidang, menjemput sang malaikat tak bersayap yang masih terduduk statis meratap nasibnya.


morning star (c) 2015
Gadis itu menderita amnesia, lagi memorinya terus memanggil sesuatu yang tidak seharusnya ada. — angel!AU.


[ cherubim ]
[ light in the starless sky ]


[ i. ]


Yang pertama ia dengar adalah suara alat yang bergerak dengan aliran ritmis, sebelum akhirnya ia membuka matanya untuk melihat langit-langit putih yang menyilaukan. Ia berada di rumah sakit—ditinjau dari segalanya yang putih—dan ia berada di atas kasur dengan beberapa alat menempel padanya, juga masker nafas.

"Ayase-san!"

Mata birunya melirik arah orang yang baru datang ke ruangan, seorang suster berpakaian lengkap. Ia tampak kaget dengan dirinya yang sudah siuman, memeriksa instrumen yang terpasang di tubuhnya dengan seksama.

"Syukurlah." suster tersebut menjeda. "Kami awalnya mengamati dan menyimpulkan awalnya keadaan anda akan turun setelah beberapa hari."

Apa yang telah terjadi? Bukannya baru saja ia—

Ah.

Ia ingat. Turbulensi udara. Mendadak semuanya bergetar dalam beberapa jenak sebelum kegelapan menyambut segalanya. Maniknya mengedip beberapa kali, merasakan bahwa kini tubuhnya bisa digerakan dengan lebih leluasa. Ia mencoba mengangkat tangan kirinya menemukan jalinan infus ada di sana.

Ada satu yang tidak ia ingat, di mana gerangan ia berada baru saja?

Dan kenapa di tengah turbulensi udara ia merasakan sebuah kehangatan?


[ ii. ]


Kecelakaan pesawat, mereka bilang, merenggut nyawa seluruh penumpang dan kru terkecuali dua orang. Sungguh keajaiban—semua orang menyebutkan dirinya seperti itu—dikarenakan pesawat jatuh ke dalam laut. Ratusan penumpang lain belum ditemukan, dan televisi serta media massa lain masih hangat membicarakan dan terus memperbaharui informasi mengenai pesawat tersebut.

Eli menanggapi segalanya dengan pasif.

Minggu pertama Ayase Eli dilewati dengan pencari berita yang datang silih-berganti menanyakan keadaan hingga kronologi kejadian; walau yang ia jawab persis sama: saya lupa.

Tidak, Eli sama sekali tidak menutupi maupun trauma akan kejadian tersebut, malah, ia tidak merasakan apapun. Kata-kata yang terus berbunyi di puncak memorinya adalah 'turbulensi udara' dan 'kehangatan'; bahkan sedikitpun tak ada sensasi laut dan air asin.

Dokter sempat bilang padanya bahwa beberapa bagian memorinya mungkin hilang karena trauma kepala yang dideritanya, tetapi ia tidak mendapat luka apapun di kepalanya. Walau begitu, penyebabnya masih dicari.

Minggu kedua, ia dipindahkan ke ruang perawatan biasa dan menemukan satu korban pesawat yang lain, Nishikino Maki. Pemilik rambut merah itu awalnya cukup tidak ramah,—walau Eli tahu itu hanya untuk menyembunyikan malu—butuh beberapa hari sebelum mereka berdua dapat berkomunikasi dengan biasa.

"Kau ingat penerbangan itu ke mana, Nishikino-san?"

"Tentu, ada apa, kau amnesia?"

Eli, memegang sebelah tangannya, memberi anggukan. "Aku ingat aku ada di dalam pesawat namun selebihnya banyak yang tidak kuingat." ia memegangi kepalanya. "Menurut dokter, tidak ada luka kepala yang kualami jadi ... belum ada vonis tertentu."

"Err," Maki menjeda, rasa tidak enakan tergambar jelas di wajahnya. "Penerbangan itu menuju Rusia."

Eli terhenti. Perlahan ia teringat akan nomor tiket juga alasannya menuju tempat itu. Kala itu ia mendapat telepon dari adiknya bahwa ia ingin Eli berkunjung. Sayup-sayup ia mendengar suara neneknya berbicara dengannya di telepon, bergantian dengan adiknya. Ia berada di sebuah apartemen, tampak segalanya adalah barang yang familiar baginya, ia duduk di kursi dekat meja tempatnya selalu belajar seraya menghadapkan diri ke arah tirai, melihat angin semilir menepuk gorden tipis putih yang menghias kamarnya tersebut.

.

"Oh ... mungkin aku hendak ke rumah nenek menemui adikku saat itu."

.

Di kamarnya terdapat beberapa tumpuk buku yang tersusun rapi dalam beberapa hierarki; seperti 'sudah dibaca' atau ditandai dengan penanda halaman merah dengan tulisan jelas 'belum dirangkum', dan nyaris semua buku itu berbau hukum.

.

"Kau ... orang Rusia?"

"Seperempat, seingatku." tukasnya. "Semoga aku bisa menelpon mereka nanti."


[ iii. ]


Minggu ketiga, dan isyarat dokter untuk membolehkannya pulang sudah berbunyi, namun ia masih harus sering kembali ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Arisa, seusai ia menelpon memberitahukan bahwa ia selamat terus-menerus menghubungi tanpa henti. Eli telah menjelaskan amnesia-nya dan meminta bantuan Arisa jikalau ia lupa. Kala itu Arisa belum bisa kembali ke Jepang karena sibuk dengan sekolahnya, Eli memaklumi.

"Ah, Eli, darimana saja?" Maki menoleh ke arah pintu.

Gadis itu akan duduk di atas tempat tidurnya seraya membaca buku, dan ada satu temannya tengah datang menjenguk. Nama gadis pemalu itu Koizumi Hanayo, kalau tidak salah, dan gadis itu akan datang dengan buket bunga putih untuk Maki. Penjenguk untuk Maki kurang lebih ada dua orang, mereka adalah teman kuliah Maki namun berbeda fakultas. Eli ikut mendengarkan pembicaraan mereka dan terkadang Hoshizora Rin, orang kedua yang tengah tak ada di sana, menanyainya banyak hal.

Eli menenteng infusnya seraya kembali ke tempat tidurnya, bersandar. Sejak pagi ia melewati serangkaian pemeriksaan.

"Radiologi." Eli membalas. "Ah, halo, Koizumi-san, tumben kau tidak bersama Hoshizora-san?"

"Rin-chan ada tugas tambahan," jawab pengguna kacamata berbingkai cokelat tersebut. "Oh iya, Maki-chan, kau dan Ayase-san berada di komplek apartemen yang sama. Jadi Rin-chan bisa mendampingi Ayase-san kalau ada apa-apa."

"Maaf aku merepotkan kali—"

"Tidak apa-apa, Eli, kau sudah mengatakan itu berulangkali." Maki memotong dengan alis yang naik. "Tenang saja, kau tidak merepotkan siapa-siapa kok."

Mereka berdua, juga Maki, adalah orang yang baik bagi Eli walaupun mereka baru mengenal sebentar. Maki adalah anak fakultas kedokteran tempat Eli berkuliah—begitu urai Rin suatu hari, Rin disuruh oleh Maki untuk mengumpulkan informasi mengenai Eli—dan Maki sangat bersimpati terhadap Eli yang hilang ingatan. Mereka bertiga akan berusaha terus mendampingi Eli.


[ iv. ]


Beberapa hari menuju minggu setelah ia keluar dari rumah sakit, Maki kerap datang ke kamar apartemennya yang berjarak empat lantai. Eli belum terlalu mengenali kamarnya, ia sebut sendiri kepada Maki, dan dengan usaha yang cukup signifikan, Eli mengingat apa yang harus ia ingat.

Ia adalah mahasiswi Fakultas Hukum, dan sebentar lagi ia akan kembali masuk kuliah.

"Oh ya omong-omong Eli, kau kenal dengan Kousaka Honoka?"

Eli menggeleng.

"Rin sudah menjelaskan apa yang terjadi, dia adalah seniorku dari Fakultas Psikologi, ia dekat denganmu saat kuliah." ujarnya. "Aku sudah memanggilnya untuk menemuimu hari ini."

Suara bel berdering dari arah pintu kamar. Eli pun segera mengambil inisiatif untuk membuka lebih dahulu dibanding Maki—

"ELI-CHAN! KAU AMNESIA!?"

Manik birunya terbelalak melihat sosok berambut jingga setengah berteriak dengan mata berkaca-kaca.

.

.

.

Maki membawa Honoka dan Eli untuk duduk di sofa tengah apartemen Eli, dengan Honoka menerangkan siapa dirinya kepada Maki dengan Eli ikut mendengarkan.

Kousaka Honoka? Eli tidak pernah ingat pernah memiliki teman dengan nama tersebut, terlebih lagi bahwa orang tersebut adalah dari Fakultas Psikologi. Seingatnya memang gedung Hukum dan Psikologi berdekatan, terpisah dengan taman berbentuk segi enam yang membentang luas dengan flora-flora dan mahasiswa-mahasiswi yang tengah meluangkan waktu, tetapi ia sungguh tidak ingat dengan seseorang bernama Kousaka Honoka.

Ah.

Ia ingat satu siluet hiperaktif yang menjadi bahan obrolan di Fakultas Psikologi. Kalau tidak salah—

"I-iya, err, Honoka?"

"Kau masih ingat denganku?"

"Tidak terlalu ..." Eli menggaruk pipinya. "Kuingat terakhir kita bertemu membicarakan soal ... entahlah, aku lupa, err ..." matanya menyipit. "Oh, seputar Yu-Yukiho atau tentang Kotori?"

Maki menyeletuk, "Ah, bagus kalau kau bisa ingat sesuatu!"

"Coba kau ingat kita membicarakan apa tentang Yukiho atau Kotori?" Honoka menelengkan kepalanya.

"Mungkin tentang ..." Eli memutar matanya. "Yukiho yang tengah ikut Arisa belajar di Rusia? Atau Kotori dan Nico yang ingin membuka brand pakaian ...?"

Banyak nama muncul dan ia masih merasa abu-abu. Arisa memiliki teman dekat bernama Yukiho, Kousaka Yukiho, dan karena itulah ia berinteraksi dengan Honoka. Lalu Honoka memiliki teman dari Fakultas Desain Komunikasi Visual, Minami Kotori, pemilik surai abu-abu yang pintar mendesain baju, dan ada Yazawa Nico dari Fakultas Ilmu Ekonomi.

Tetapi ada satu hal lagi muncul di pikirannya.

Aneh. Kenapa segalanya terasa—terpisah?


[ v. ]


"Itu Ayase-san, kan?"
"Kalau tidak salah ia selamat dari kecelakaan pesawat itu!"

"Ssst, ia bisa mendengarmu!"

Bisikan itu belum juga mati selepas ia dua minggu mengecap kehidupan sebagai mahasiswi Fakultas Hukum. Ia tengah berada di taman segi enam bersama Honoka dan Rin, yang tengah membicarakan tentang fakultas mereka masing-masing.

"Eli-chan jangan mendengar kata-kata mereka, nya." Rin mencuri perhatian Eli. Sementara Eli yang awalnya terbengong-bengong mengiyakan. "Bagaimana rasanya kembali kuliah, nya?"

"Aku merasa semua ini aneh," tukasnya sambil menaikkan bahu. "Aku merasa ini kehidupanku yang biasa, tapi aku masih merasa kebingungan."

Honoka dan Rin menatap dengan iba, Eli menundukkan kepalanya.

Apa? Sebenarnya apa yang hilang? Apa yang tiada? Apa yang ditambah-tambahkan atau yang terus berkurang?

"O-oh ya, hari ini kau ada pemeriksaan rutin ke Rumah Sakit, kan?" imbuh Honoka. "Kalau Maki-chan tidak sempat, aku saja yang mengantarmu."

"Maki baru selesai kuliah jam 5 sore, aku disuruh menemuinya di rumah kaca dekat Fakultas Kedokteran dan rumpun ilmu kesehatan ..." Eli melihat ke arah jam besar di tengah-tengah taman. "Ah, sepertinya sudah waktunya. Maafkan aku Honoka, Rin."


[ vi. ]


Eli terlalu terburu mengambil langkah dan ia tidak melihat terlalu seksama. Sedetik kemudian, beberapa warna dalam tube melayang dari tempatnya beserta kuas, buku juga tertelungkup bersama dengan ia menubruk seseorang dari arah berlawanan. Eli sesegera mungkin merapikan buku dan alat yang berserakan dan menyerahkannya kepada wanita tersebut. Kedua tangan itu bertemu seketika menyusul manik biru langit bersapaan dengan manik permata zamrud.

"Terima kasih," balasnya dengan senyum.

Wanita itu cukup tinggi, sepadan dengannya, memiliki surai ungu nyaris kebiruan tertimpa mentari senja yang diikat dua di bawah. Gaya pakaiannya cukup sederhana, terusan berwarna lavender diselingi putih renda. Wanita itu hendak berjalan pergi meninggalkan Eli sebelum akhirnya seluruh alarm di otaknya mengutarakan hal yang sama.

(—Tunggu.)

"Siapa ... kau?" tanya pemilik rambut pirang tersebut. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Tarikan senyumnya sungguh sempurna; apik dan misterius. "Kurasa tidak, aku tidak merasa pernah mengenalmu."

"Maafkan aku." tukas Eli dengan sedikit bungkukan. "Sejujurnya, aku terkena amnesia jadi aku tidak tahu siapa yang sudah kukenal maupun belum, maaf."

Wanita di hadapannya ekspresinya turun satu oktaf, dengan senyum yang sama walau sedikit menyempit. "Tidak apa-apa."

.

.

.

Pembicaraan itu berakhir dengan Eli mempersilahkan diri untuk pergi. Tak jauh dari sana tampak Maki tengah berdiri, masih dengan jas berwarna putih agak kumal menempel—lupa ia lepaskan, sepertinya—sesaat memandang ke arahnya dengan tatapan datar.

"Kau kenal orang barusan?" imbuh Maki mendadak.

"Ti, tidak? Dan sejak kapan kau tahu aku ada disitu?"

"Aku ingin memanggilmu, tapi kau menabrak orang itu jadi aku diam saja."

Eli menyipitkan matanya. "Kau tahu siapa dia?" ia mengurut ke arah dirinya datang.

"Ia adalah Toujou Nozomi, Fakultas Seni Rupa, kalau tidak salah ..." manik ungu Maki memutar sejenak. "Hasil lukisannya seringkali dipajang di Pasar Seni kampus, jadi paling tidak aku tahu namanya."

Eli melirik kembali arah di mana ia datang, tempat ia tadi bertemu dengan seorang Toujou Nozomi.

"Entah kenapa aku merasa aku mengenalnya—entah."

"Begitukah?" Maki menyela. "Mungkin kau harus menemuinya lain kali? Siapatahu dia kenal siapa dirimu sebelum amnesia?"

"Ia bilang kita tidak mengenal, tapi ..." ia menghela nafas. "Entahlah."

{ Toujou Nozomi ia akan mengingat nama itu dalam memori yang terpecah. }


[ t b c. ]


a/n. WAOW. LUAR BIASA. #abaikan
Semua terinspirasi dari pembicaraan saya di twitter dengan ... intinya seseorang. Awalnya ini semua adalah mermaid!AU dan mendadak saya banting haluan jadi angel!AU karena satu atau dua hal.

1) di sini saya menggunakan hierarki malaikat dengan [Seraphim - Cherubim - Throne - Dominion - Principality - Powers - Virtue - Archangel - Angel]; mungkin yang ada di fandom MegaTen merasa ini familiar (;
2) Kode registrasi malaikat, abjad pertama menandakan ranking yang telah saya sebutkan baru saja; jangan-jangan ada yang sudah bisa menebak dua malaikat yang disebutkan di prolog? 8D
3) Soal fakultas. Oke. Itu random. semoga aja cocok.
4) Oke fanfic ini akan mengarah kemana? Saya juga tidak tahu. Saya belum ngeh bener sama Nozomi dan Eli - semoga saja bisa memuaskan pembaca.

Ah oke, terima kasih dan stay tuned!