-LOVE MATERIAL Chapter.1-

Pairing: SoonHoon/HoZi

Caster: Kwon Soonyoung/Lee Jihoon/ Seventeen's member.

Lenght: Multi-chapter

Genre: Drama, Hurt Comfort, Sad, Romance.

Rating: T (PG-15)


Happy Reading^^


.

.

...

Pemuda berbadan mungil itu berlarian di koridor kampus. Membuat tas besar di punggungnya terayun seiring hentakan kakinya yang melaju. Sesekali mata kecilnya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Dari lima menit yang lalu kelas Mr. Lim sudah dimulai, dosen berambut botak dengan kacamata yang selalu merosot nyaris menyentuh bibir itu terkenal sangat killer.

Dia berhenti sejenak, tangannya bertumpu pada lutut. Mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Dihapusnya buliran keringat menggunakan ujung kaus berlengan panjang yang ia pakai. Satu kali belokan lagi, ia akan segera sampai.

Biar bagaimana pun bimbingan dari Mr. Lim merupakan ilmu penting. Lagi pula, dalam kamus pribadinya~ membolos, suatu poin yang terletak di urutan paling akhir.

Bayangan wajah merah padam Mr. Lim berputar di benaknya, sesegera mungkin sosok ini kembali berlari. Berbanding balik dengan kakinya yang melangkah terburu, otaknya juga sedang bekerja memikirkan sesuatu—bagaimana cara supaya mendapat ijin dan dapat mengikuti bimbingan? Salahkan alarm yang sudah ia atur dari semalam namun tiba-tiba saja tak berfungsi seperti biasanya.

Alarm mini berbentuk katak itu mendadak mati dan tidak berbunyi pada pukul delapan pagi. Badannya kelelahan setelah pulang bekerja dari kafé. Lembur setiap hari membuat badannya serasa akan patah perlahan-lahan. Itulah salah satu faktor yang membuat tidurnya begitu lelap seolah tak ada hari esok.

Dan ya, sehingga ia menjadi kesusahan seperti sekarang ini.

Langkahnya terhenti di depan sebuah ruang kelas yang cukup luas. Ia rapalkan mantra sejenak, menyiapkan diri, sekiranya dia di ijinkan bergabung atau justru terdepak keluar. Kakinya sudah lelah dan gemetar, apalagi dia belum mengganjal perut dengan sarapan.

Belum sempat tangannya menyentuh kenop pintu, pintu tinggi berwarna putih itu sudah terbuka lebih dahulu. Alhasil, dirinya yang masih mengatur napas, terkejut. "Oh, Jihoon-ah. Baru datang?"

Pemuda berambut merah jambu itu mendesah lega begitu mengenali sosok yang kini berdiri di hadapannya. "Ya Tuhan. Kukira, kau Dosen Lim."

"Beliau ada halangan. Kelas diundur setengah jam lagi dan mungkin dua belas menit lagi akan dimulai," papar pemuda pemilik tinggi badan di atas rata-rata itu sambil tersenyum, menunjukkan gigi taringnya.

"Syukurlah. Aku benar-benar lega."

"Kau selamat." Mingyu menepuki bahunya pelan.

"Kau tahu, aku berlari tanpa henti dari halte hingga kemari. Sialan sekali," Jihoon mengumpat dengan suara rendah.

"Aigoo, lihat siapa yang bicara? Bahkan, aku tidak jamin kau akan diusir dari kelas Mr Lim. Kau itu mahasiswa kesayangan," Mingyu tergelak keras begitu mendapat balasan wajah dingin dari Jihoon.

"Diamlah tiang! Sebelum tasku yang berat ini merusak wajah tampanmu." Si pemuda berkulit tan itu segera mengunci bibirnya rapat-rapat dengan kedua tangan terangkat di udara tanda menyerah. "Masuklah, kau bisa istirahat di bangku," Mingyu menggeser tubuhnya ke samping, memberi celah untuk temannya yang lebih mirip bocah sekolah menengah pertama itu untuk masuk.

"Lalu kau mau kemana, huh?" tanya Jihoon.

"Toilet. Ah, apa kau mau roti dan air mineral? Aku akan mampir ke kantin." Jihoon menggeleng. Teman tingginya yang satu ini memang bodoh atau apa? Bagaimana bisa makan dan minum sembarangan dalam ruang kelas? "Tidak, Mingyu-ya. Terima kasih."

Setelah melihat Mingyu mengangguk dan berjalan menjauh, Jihoon meraih kenop pintu. Memasuki kelas yang memang terlihat cukup ramai namun beberapa bangku masih terlihat kosong. Ia berpaling ke arah selatan, fokus pada bangku yang terletak di urutan ketiga. Ia tersenyum manis, hendak menyapa sosok tampan bersurai biru. Namun, pemuda yang ia tatap justru membuang wajah ke arah lain. Terlihat sangat jelas, enggan sekali beradu pandang dengan Jihoon.

Begitu duduk di bangkunya sendiri, kembali pemuda mungil ini menolehkan kepala ke arah sama. Lagi dan lagi, sosok pemilik mata berbentuk runcing itu abai pada Jihoon, lebih memilih memainkan ponsel silver miliknya di atas meja.

Jihoon terdiam. Beralih melambaikan tangan pada Junhui, sosok berdarah China yang kini tengah tersenyum manis padanya. Sosok yang duduk tepat di bangku belakang sosok berambut biru itu meninjukan tangan ke udara. Semangat, Jihoon-ah!

Jihoon mengangguk lantas balas meninju pula, semangat Junhui-ya!

Salah satu yang Jihoon suka di kelas Mr. Lim yakni karena dia bisa bertemu dengan seseorang yang sudah membawa lari sebagian jiwanya. Seseorang yang senang sekali mencuri ciuman di pipi sebelum kelas dimulai. Seseorang yang suka sekali memberinya sekotak susu, bekal dan juga kertas puisi di siang hari.

Dan sayangnya itu semua sudah pupus, porak-poranda, yang dimana Jihoon sendirilah pelakunya.

"Seandainya..."


- LOVE MATERIAL Chapter. 1-


Kafé Gureum, tempat unik yang dikenal dengan nama Cloud café ini memang tidak pernah sepi pengunjung. Kafè yang cukup tersohor di Seoul ini memiliki bentuk bangunan unik dan letaknya berada di ketinggian. Jika kita kesana pada malam hari, kita bisa menikmati pemandangan Kota Seoul yang indah dan gemerlap bagaikan melihat pemandangan dari atas awan.

Tak ayal banyak sekali muda-mudi yang betah singgah di kafé megah ini untuk sekedar melepas penat dengan memesan kudapan manis dan secangkir kopi. Ada juga yang sibuk berkencan di meja yang terletak paling ujung.

"Jihoon-ah, pesanan meja nomor dua sudah kau antar?" Jihoon yang berdiri di depan kaca bening dengan nampan tipis di tangan, lamgsung menghadap ke sumber suara. "Sudah, hyung."

"Apa yang kau lakukan disana? Cepat kemari. Hyung harus mengantarkan ini semua."

"Melihat bintang, hahaha. Baiklah." Segera Jihoon berlari kecil ke etalase. Meletakkan nampan kayu ke tempat semula. Ia bersihkan tangannya dengan lap kain sebelum tersenyum pada seorang pelanggan yang sudah mengantri di depan. "Selamat datang, silakan pesan."

"Grape latte dua cup."

"Baik, 7.000 won." Setelah menerima uang, Jihoon pindah meraih dua cup gelas plastik dan mengisi minuman yang dipesan pelanggan dari mesin minuman. Menaburkan topping permen warna-warni, meletakkan sedotan, dan menutupnya dengan rapi.

"Selamat menikmati, terima kasih."

Pelanggan itu membalas senyuman Jihoon lalu berbalik pergi. Antrian yang lain maju, begitu seterusnya dan Jihoon melayani pesanan mereka dengan baik.

"Empat patbingsu akan segera diantar, mohon ditunggu. Silakan duduk di meja nomor sembilan." Pelanggan kedua berjalan pergi menuju meja, dan pelanggan lain maju ke depan. "Selamat data—oh, kau Soonyoungie?" Jihoon memekik dengan suara cukup keras, membuat sosok bermantel merah yang sedang menunduk bermain ponsel itu mengangkat kepala.

Syok! Pelanggan ini hanya terdiam dengan pandangan datar, menatap Jihoon tanpa ekspresi.

Jihoon mengerjap. Apa ia sudah salah ucap? Lalu mengulas sebuah senyum canggung. Pemuda di depannya ini merupakan seorang pelanggan dan dia harus melayaninya dengan baik dan sopan.

"Maaf. Silakan—"

"Dua coffemint dan dua blueberry pie, meja sebelah utara, nomor tiga." Tak hanya memotong sambutan Jihoon. Sosok tersebut segera meletakkan uang dan berbalik pergi menunggu di meja. Jihoon membatu, lidahnya kelu hanya untuk sekedar mengucapkan kata, baik mohon ditunggu.

Bukan hanya menghindari kontak mata dengannya. Soonyoung pun terlihat enggan bersuara di hadapannya. Sekejap Jihoon linglung, hatinya pedih. Sebisa mungkin Jihoon menahan sakit. Saat ini, seakan ada sebilah pisau tumpul tak terlihat tengah berusaha mengoyak hatinya dengan kasar.

Oh tidak! Ini lebih menyakitkan lagi. Terlebih saat Jihoon melihat dengan mata kepalanya sendiri, Soonyoung-nya, bukan... Kwon Soonyoung menciumi puncak kepala seseorang yang duduk di hadapannya. Sosok itu mengabaikan Jihoon yang berdiri di samping meja dengan nampan berisi pesanan mereka.

"Silakan dinikmati. Adakah yang perlu saya bantu lagi?" Soonyoung sama sekali tak meresponnya. "Tidak ada, kamsahamnida." Yang menjawab justru sosok lain dengan senyuman lebar.

"Baiklah, ini kembaliannya. Saya permisi."

"Nde."

Apa yang kau tanam, kelak itu yang kan kau tuai! Kesalahan yang kau lakukan di masa lalu, kelak kau akan mendapat balasan di masa yang akan datang. Karma itu masih berlaku Jihoon—adil, bukan? Jadi, jangan salahkan Soonyoung kini. Berkacalah, waktu itu perlakuanmu terhadap Soonyoung lebih hina daripada ini.

Kau tidak boleh minum kopi, Jihoonie.

Jihoonie, maafkan aku minumannya tumpah.

Ah, bajumu menjadi kotor. Maafkan aku.

Bagaimana ini noda kopinya tidak bisa hilang. Aku tidak sengaja.

Kekasihku memang baik sekali, saranghae.

Jihoon menggelengkan kepalanya kuat-kuat manakala bayangan Soonyoung menari di kepalanya, bak sebuah kaset film rusak. Pandangannya buram, kelopak matanya sudah digenangi air mata. Ia menyeret kakinya pelan kembali menuju counter kafé.

Kau harus tahu situasi Jihoon—kau sedang berada di tempat kerja, maka sadar dirilah!

"Jihoon-ah, gwenchana?" tanya Jisoo yang kebetulan melintas di belakang. Jihoon mengangguk, menepuki apron hitam yang ia pakai.

Andai saja kau tahu—aku menyesal, Soonyoung.


-oOo-


Jihoon dengan cepat mengemasi lembaran-lembaran kertas tugas yang berserakan di atas meja. Kelas Mrs. Min baru saja selesai. Ada waktu kosong selama satu jam, sebelum kelas Mrs. Lie di mulai. Para mahasiswa segera berhamburan keluar kelas. Berjalan saling simpang, sebagian ke arah kanan menuju kantin, sebagian mahasiswa lagi lurus ke depan arah perpustakaan.

Jihoon berdiri dan berjalan dengan santai keluar kelas.

Hari ini tas di punggungnya tak terlalu berat, hanya berisi empat buah buku yang tidak tebal sebab hari ini hanya ada dua kelas yang Jihoon ambil. "Jihoon-ah, mau ikut ke kantin?" Tawar seseorang berpipi tembam, Boo Seungkwan.

"Tidak. Aku masih kenyang, Seungkwan-ah."

"Baiklah, sampai bertemu satu jam lagi."

Jihoon membalas lambaian tangan Seungkwan. Bisa ia lihat sosok ber-sweater hijau itu berlarian layaknya anak kecil yang bermain di taman. Jihoon melajukan kakinya kembali, menuju tempat yang sering ia kunjungi saat kelas kosong. Atap fakultas seni.

Jihoon berdiri merentangkan tangan, menghirup udara yang tertiup sejuk. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru atap, selalu sepi. Senyum tipis di bibirnya menghilang. Mendudukkan dirinya di tempat biasa, ya—tempatnya dengan Soonyoung. Namun kali ini datang tanpa Soonyoung dan tak ada lagi alas kayu tipis.

Wajah Jihoom berubah muram; dari awal, tempat ini memang selalu sepi, tak ada satu pun mahasiswa yang melirik. Mereka tidak tahu betapa indahnya menyaksikan pemandangan kota Seoul dari ketinggian gedung fakultas. Dia yang awalnya enggan pun menjadi ketagihan datang kemari. Rumah warga yang berjajar, gedung pencakar langit yang menjulang, lalulintas jalan raya yang terkadang macet dan lengang.

Ada yang kurang? Ya, seeperti apa yang dipikirkan Jihoon tadi, tempat sepi ini menjadi semakin sepi. Tak ada rengekan Soonyoung, tak ada canda tawa Soonyoung, tidak ada Soonyoung yang merayunya dengan suara aneh.

Benar-benar senyap.

Jihoon mengembuskan napas pelan lalu merogoh tasnya, mengeluarkan sebungkus roti. Ia terkekeh sendiri, mentertawakan hidupnya yang penuh drama. Tapi setidaknya, lebih baik begini dan Jihoon bersumpah tak kan mengulangi kesalahan yang sama.

Memanfaatkan orang lain.

Membodohi perasaan orang lain demi kertas bernominal yang disebut uang. Itu kesalahan fatal yang mungkin tak termaafkan.

Jihoon membuka bungkus rotinya, lalu menggigitnya lamat-lamat.

Soonyoung... Apakah, apakah boleh aku menggunakan kartu ini untuk membeli buku?

Boleh aku memakainya untuk membayar tarif service laptopku yang bermasalah.

Aku harus membayar uang kuliah besok lusa.

Bibi Sul sudah menagih uang sewa flat yang aku tinggali, Soonyoung.

Aku ingin membeli baju baru.

Apapun... Kau boleh memakai blackcard ini sesuka hatimu Jihoonie.

Kilas kesalahan yang ia perbuat kembali berputar-putar di otaknya, membuat kepala Jihoon pening bukan main. Serat gandum di rongga mulutnya terasa hambar seketika. Jihoon tersedak sebab isakannya sendiri.

Ia mengusap air matanya secara kasar. Lebih baik begini Jihoon, kau harus bekerja keras untuk hidup. Jangan membuat orang lain terluka lagi. Bahkan, kau sekarang sudah menerima karmanya. Mempermainkan perasaan seseorang yang benar-benar tulus mencintaimu dan pada akhirnya kau sendiri terjatuh dan hanyut dalam permainan itu.

Sakitnya dua kali lipat lebih menyiksa—ketika kau berbalik 'mengejar' orang yang sudah kau permainkan dan seseorang yang kau kejar untuk kembali itu tidak tertarik lagi walau hanya sekedar menatap ke belakang!


-flashback-

Sosok mungil berambut merah jambu itu merengut dengan lucu. Menatap tangannya yang digandeng seseorang. Dengan malas langkah kakinya ia seret mengikuti kemana langkah kaki sosok di depannya itu pergi.

Cuaca sedang panas dan itu membuat Jihoon benci sekali untuk beraktivitas. "Kau membawaku kemana, Soonyoung?"

"Sebentar lagi kita sampai, Jihoonie."

Jihoon kembali dibuat mencibir. Kakinya menapaki satu persatu anak tangga besi yang terlihat kotor dan berkarat. Dengan langkah kakinya yang terus menanjak, ia baru sadar bahwa Soonyoung membawanya ke atas atap fakultas seni. "Kenapa kemari?"

Rambut Jihoon tertiup angin, membuat beberapa helai bergoyang pelan. Soonyoung berbalik lalu memeluk tubuhnya dengan sayang. Jihoon mengerjapkan mata, kebingungan. "Aku merindukanmu."

"Mwoya?"

"Ya, merindukanmu. Merindukan kekasihku." Ditangkupnya pipi Jihoon dengan kedua tangan.

"Bukankah tiga jam yang lalu kita sudah bertemu?" Soonyoung merengut. Beralih merapikan rambut Jihoon yang dipermainkan angin. Ia menyukai saat dimana wajah kekasihnya yang putih dengan pipi sedikit berisi itu terbias cahaya matahari. Menggemaskan!

Soonyoung sibuk memuja Jihoon dalam hati, sementara kekasihnya itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru atap. "Satu menit tidak bertemu denganmu rasanya sudah seperti satu minggu," Celetuk Soonyoung.

"Lihat, kau mulai membual." Soonyoung terkekeh, kedua tangannya berada di pinggang Jihoon. Menariknya pelan ke depan dan kembali ia peluk. Pilihannya tepat sekali, bermesraan dengan kekasihnya disini pasti sangat menyenangkan.

Tak perlu malu sebab disini hanya ada mereka berdua dan Soonyoung bisa bebas melakukan segalanya. Melakukan segalanya? Otakmu benar-benar perlu disapu Kwon Soonyoung!

Soonyoung mengeluh sakit kala satu sentilan mendarat di dahinya. "Sebenarnya ada apa, Soonyoung?"

"Ini sakit, Jihoonie." Soonyoung mengusap keningnya yang berdenyut. "Kau lambat. Cepat katakan?"

"Sudah kubilang, tidak apa-apa sayang, aku hanya merindukanmu."

"Hah? Kau benar-benar sudah gila." Soonyoung terkekeh. Detik berikutnya dahi sosok ini mengernyit dan mengeluarkan saputangan berwarna putih dari sakunya. Mengelap dahi Jihoon yang sedikit kotor dan memerah. "Dahimu kenapa merah dan kotor begini?"

"Merah?"

"Ya dan sedikit membiru." Telisik Soonyoung sembari membersihkan dahi lebam itu lembut. "Minho hyung tak sengaja melempar bola basket, tapi dia sudah meminta maaf." Jihoon memperhatikan gerakan tangan Soonyoung di keningnya.

"Apa sakit?"

"Tidak sakit."

"Kau marah pada Minho hyung?"

"Tidak. Karena dia tidak sengaja dan sudah meminta maaf."

"Ah, kekasihku memang baik." Satu kecupan Soonyoung daratkan pada goresan memar di kening Jihoon. Si empu terdiam dengan pipi memerah. Ya Tuhan, perasaan apa ini? Gerutunya dalam hati.

Soonyoung mengulum senyum. Jihoon benar-benar terlihat seperti boneka. Jika saja kekasihnya ini saat marah tidak mengerikan, mungkin Soonyoung akan menyerang bibir chery itu sekarang juga.

"Ini untukmu, sayang." Soonyoung menggali isi tas hitam di punggungnya, mengeluarkan kotak bekal berwarna bening dan selembar surat beramplop biru tua. Ia letakkan di telapak tangan Jihoon.

"Jangan lupa makan siang. Aku tidak ingin kekasihku yang manis ini jatuh sakit."

"Lalu, surat ini?"

"Kau bisa membacanya saat aku sudah pergi."

"Hng?"

CUP!

Persetan! Bibir Jihoon yang masih terbuka benar-benar menggoda Soonyoung. Sosok ini segera menempelkan bibirnya ke bibir sang kekasih. Membasahi bibir bawah Jihoon, lalu mengulumnya beberapa detik.

Tubuh Jihoon kaku. Mata kecilnya sukses membola dengan kedua pipi kembali bersemu merah. Bahkan, saat Soonyoung mengangkat wajah, posisi Jihoon sama sekali belum berubah.

Soonyoung menyeringai puas. Mengusap pipi Jihoon, berharap wajah merah bak tomat segar itu segera pudar. Soonyoung merogoh kantung jaket, mengeluarkan satu kotak susu stroberi. Ia letakkan di tangan kiri Jihoon yang menganggur. "Jangan lupa dimakan, oke? Sebentar lagi kelas Mr. Kim akan dimulai. Kita pulang bersama sore nanti. Jihoonie, sekarang aku harus pergi."

CUP!

Seusai mencuri kecupan kedua dan mengusak rambut Jihoon, lalu Soonyoung berbalik pergi. Lebih tepatnya melarikan diri sebelum kekasihnya itu mengamuk.

Jihoon baru sadar dari rasa keterkejutan yang menyerangnya ketika melihat punggung Soonyoung menjauh menuruni anak tangga. Tatapannya jatuh ke arah tangannya sendiri—kotak bekal, surat dan susu stroberi.

"Soonyoung! Ya, dasar Mesum! Hei!" Soonyoung yang sudah berlari menjauh masih bisa mendengar umpatan itu samar-samar. Dalam larinya ia masih bisa tertawa-tawa.

Dan sejak saat itu, atap fakultas seni menjadi tempat favorit mereka. Rutinitas Soonyoung memberi bekal dan surat yang berisi puisi penuh kata-kata jenaka. Surat dengan amplop berbeda warna setiap hari, namun isi puisi yang nyaris memiliki makna sama.

Setiap hari, di jam makan siang dan saat kelas kosong, Jihoon dan Soonyoung akan datang ke atap ini berdua. Sekedar memakan bekal bersama, lalu berbagi cerita. Walaupun yang lebih banyak berbicara adalah Soonyoung sementara Jihoon sebagai kekasih yang baik hanya menyimak.

Tidak hanya itu. Terkadang, lengkingan suara Jihoon terdengar nyaring saat Soonyoung berhasil mencuri kecupan-kecupan ringan dari pipi dan bibir Jihoon.

-flashback end-


- LOVE MATERIAL Chapter. 1 -


Jihoon melepaskan tas selempang kecil dari bahunya. Ia lemparkan ke meja samping ranjangnya. Badannya ia jatuhkan begitu saja pada ranjang nyaman. Ini sudah pukul setengah dua pagi dan dia baru pulang dari tempatnya bekerja.

Ia bangkit, melepaskan sweater tebal yang melekat di tubuhnya. Menyisahkan kaus putih polos membungkus badannya yang kini terlihat semakin kurus. Jihoon melangkah ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan wajah dan menggosok gigi.

Untung saja tugas dari Mr. Park sudah ia selesaikan sebelum berangkat bekerja tadi sore. Jadi, ia bisa langsung terlelap nyenyak setelah ini. Sebisa mungkin Jihoon menghindari mandi saat malam sudah larut dan hampir menjelang pagi. Risiko terserang penyakit akan besar. Jihoon tidak ingin itu terjadi.

Esok, dia memiliki jadwal dua kelas, di pukul sebelas dan pukul setengah dua siang. Setidaknya, Jihoon bisa tidur nyenyak hingga pukul sembilan.

"Saatnya tidur." Jihoon bergumam seorang diri, menarik selimut sebatas bahu lalu memejamkan matanya yang mulai terasa berat.

Beginilah Jihoon yang sekarang. Tak kenal lelah untuk bekerja, tidak lagi bermalasan dengan menggantungkan diri pada seseorang.

Dulu, Jihoon cukup duduk diam, bebas bersandar dan mendapatkan suntikan dana. Bak tumbuhan yang bergantung hidup pada inang, parasit. Perubahannya sangat drastis memang. Sebelum bertemu dengan Soonyoung, ia juga pernah bekerja sebagai penjaga swalayan part time. Namun, untuk kali ini Jihoon rela bekerja lebih keras lagi.

Jihoon menyesal, kenapa tidak menyadari semuanya sedari awal? Mungkin faktor Jihoon sudah terlalu lama hidup seorang diri, pontang-panting menghadapi kerasnya kehidupan di bumi.

Orang tuanya sudah lama meninggal. Jihoon yang notabene anak tunggal tak tahu harus pergi kemana lagi. Rumah kecil miliknya disita, perkara hutang kedua orang tuanya. Saudara dari ayah dan ibunya tak ada yang berkenan berbagi tempat tinggal. Siapa yang mau menampung? Jika mereka semua pun tidak pernah menganggap ibu dan ayah Jihoon keluarga.

Ketika itu Jihoon hanya bisa menangis sepanjang jalan, ia tak tahu kemana harus pergi, hingga jatuh pingsan di depan rumah seseorang kakek yang berprofesi sebagai penjual buah. Kakek yang tinggal seorang diri itu menyambut Jihoon dengan suka cita untuk tinggal bersama.

Empat tahun tinggal di rumah sewa bersama kakek Nam, Jihoon kembali ceria. Bersekolah, membantu menjual buah, mencicipi masakan kakek renta itu yang terkadang membuat Jihoon ingin muntah, semuanya—ia lakukan dengan senang hati.

Namun, penyakit kronis yang menggerogoti tubuh sang kakek semakin parah. Kakek Nam tutup usia di umur enam puluh dua. Jihoon kembali menjadi sebatang kara. Di usianya yang masih dua belas tahun ia harus menjalani kerasnya hidup seorang diri tanpa saudara dan siapa pun. Ia bekerja menjaga toko paruh waktu sepulang sekolah demi menyambung hidup. Tak jarang teman-teman di kelasnya juga meminta bantuan Jihoon untuk mengerjakan tugas, dengan upah sepadan sebagai imbalan.

Pernah Jihoon berpikir, bagaimana rasanya menjadi orang kaya? Kemana-mana tak perlu membawa dompet tebal. Cukup dengan kartu kecil persegi empat. Sekali gesek, maka apapun yang diminta akan segera kau dapat saat itu juga. Waktu itu Jihoon hanya mencibir dan menyingkirkan pikiran konyolnya jauh-jauh. Ia ingin seperti mereka? Oh, bermimpi saja. Untuk kuliah saja kau belum tentu terlaksana. Pesimis memang, bisa di bilang menyerah sebelum mencoba.

Tapi, semuanya berubah—ketika keyakinan teguh di hatinya mendorong Jihoon untuk maju. Selama belum berusaha kenapa mundur? Setidaknya dia harus mencoba terlebih dahulu. Begitu lulus dari sekolah, ia meminta pihak toko untuk menambah jam kerja. Itu akan ia pergunakan untuk biaya kuliah.

Dan, semakin berubah saat ia bertemu dengan Soonyoung. Sosok bermata nyaris terpejam, anak dari pemilik perusahaan ternama. Soonyoung putra seorang konglomerat. Pemuda yang baru berkenalan dengan Jihoon dua minggu lalu itu tiba-tiba datang menyatakan perasaannya.

Salahkan Jihoon yang suka sekali berbicara tanpa berpikir dua kali.

Dengan mudah ia menjawab, "Baiklah." Tanpa berpikir jauh, apa yang harus ia lakukan ke belakangnya nanti? Bahwa komitmen membalas perasaan seseorang itu tidaklah semudah menjetikkan jari.

Ya—di sisi lain, Jihoon tak ingin mempermalukan Soonyoung yang berlutut di antara pengunjung festival. Soonyoung menyatakan perasaannya saat carnival akbar di musim semi digelar.

Ketika mereka berada di luar area festival, Jihoon hendak menjelaskan apa yang sebenarnya ingin ia jawab, namun begitu melihat sorot mata Soonyoung yang berbinar bahagia, nyali Jihoon menciut. Ia tak tega merusak senyum penuh makna nan bahagia sosok di depannya.

Sekali lagi, salahkan saja bibirnya! Awalnya, Jihoon benar-benar risih dengan adanya Soonyoung yang selalu membuntuti kemanapun 'kekasihnya' ini pergi. Selalu berceloteh ini dan itu, yang bahkan tidak Jihoon dengarkan dengan baik.

Jihoon terlihat lebih banyak menghindar dan diam, Soonyoung tak menyadari itu sebab Soonyoung mencintainya dengan sungguh-sungguh. Sosok yang biasanya sangat malas pergi ke kampus itu mendadak berubah antusias. Karena dengan pergi ke kampus Soonyoung bisa bertemu kekasihnya, tentu saja.

Kepribadian Soonyoung adalah seseorang yang suka berbagi. Ia tak sombong dengan segala yang ia punya, Soonyoung juga terkenal baik terhadap siapa saja.

Suatu ketika, Soonyoung melihat Jihoon yang notabene sudah menjadi kekasihnya berjalan dengan menundukkan wajah. Tangan kiri Jihoon tampak menggenggam kertas beramplop putih. Dari logo yang berhasil Soonyoung lirik, tentu saja ia paham apa isi dari surat itu. Raut wajah Jihoon-nya pucat.

Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang dengan cepat? Uang sewa flat saja Jihoon sudah menunggak selama tiga bulan. Jihoon masih bisa bersyukur, bibi pemilik flat yang terkenal baik itu bisa memaklumi dan tak mengusirnya pergi. Uang dan tabungan Jihoon terkuras habis untuk biaya kuliah. Sedangkan toko tempatnya bekerja belum memberi kenaikan gaji.

Kepalanya berat, terlalu banyak beban hidup yang ia pikirkan. Soonyoung memeluk Jihoon dengan sayang, menenangkan. Ia berkata, apapun yang terjadi dia harus menjadi orang pertama untuk Jihoon berbagi.

"Aku bisa membantumu. Kumohon jangan sedih hanya karena masalah seperti ini." Begitu bibir Soonyoung berujar saat itu.

Sakitmu, juga sakitku. Kesedihanmu, juga kesedihanku. Senyumanmu, sumber kebahagiaanku. Kebahagiaanmu—itu tujuanku.

Kau tidak sendiri, aku disini. Aku selalu berdiri di belakangmu. Aku orang pertama yang akan selalu ada di saat kau butuh sesuatu, apapun.

Di situlah, Jihoon menemukan titik terang. Ia menatap Soonyoung dengan mata kecilnya yang berkaca-kaca.

Ingat! Jihoon juga seorang manusia biasa yang mudah tergiur dengan hal yang menurutnya tak akan ada kesempatan kedua jika menolaknya. Awalanya, memang Jihoon menolak bantuan dari Soonyoung. Ia merasa sungkan dan merasa bodoh karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Jihoon baru tahu bahwa Soonyoung adalah sosok yang keras kepala dan suka memaksa. Soonyoung memintanya untuk berhenti bekerja. Ia berdalih tak tega melihat Jihoon harus pergi kuliah dengan kantung mata menghitam sebab kurang tidur. Jihoon pulang kerja pukul sebelas malam, itu pun terkadang harus ditambah lembur. Belum lagi tugas yang sudah menanti sentuhannya di atas meja belajar.

"Kau tidak perlu bekerja, Jihoonie. Aku tidak ingin kau menanggung beban seperti ini, sungguh." Bahkan sejauh itu, Jihoon belum pernah bercerita kepada Soonyoung, bahwa sudah bertahun-tahun ia menjalani kerasnya kehidupan seorang diri. Yang sosok pendek ini lakukan hanya mengangguk dan menurut.

Soonyoung dengan tangan terbuka bersedia menanggung semua kebutuhan hidupnya. Soonyoung tak kan pernah membiarkan orang yang ia cintai hidup terlunta-lunta.

Jihoon memang tidak pernah menuntut lebih, meskipun Soonyoung berkali-kali menawarkan diri untuk mengajak tinggal di rumahnya. Cukup dengan biaya kuliah dan sewa flat sederhana saja Jihoon sudah sungkan setengah mati.

Lalu, bukankah sifat manusia memang susah ditebak dan mudah berubah? Yang pada awalnya menolak, kelak akan melunjak.

Itu juga yang terjadi pada Jihoon.

Sesal yang acap ia rasa kala menerima permintaan Soonyoung menjadi kekasihnya, kini berbuah indah. Dia yang pada awalnya sungkan dengan perlakuan Soonyoung kini sudah mulai terbiasa dan cenderung bergantung! Bahkan Jihoon sudah mulai gelap mata, ia tak lagi mengingat apa yang akan terjadi ke belakang.

Yang terpenting sekarang, ia menemukan seseorang untuk dijadikan sandaran. Seseorang yang juga mencintainya. Ah—bahkan dia tidak memikirkan bagaimana perasaan Soonyoung jika sampai pemuda itu tahu bahwa Jihoon sama sekali tak mempunyai perasaan apapun terhadapnya.

Wajah polos dan rasa cintanya yang terlalu besar pada Jihoon, membuat Soonyoung buta arah. Jihoon sendiri menikmati semuanya. Sikapnya terhadap Soonyoung memang tetap seperti biasa. Penurut, suka berteriak, terkadang acuh tak acuh.

Tak harus mencolok sebab Jihoon khawatir Soonyoung akan curiga padanya jika bertingkah manis dengan gaya yang dibuat-buat.


-TBC-


Nerima banget kritik dan masukan^^

-Sincerely, Veyyeon21-